Teologi Gereja Versus Teologi Jemaat
Teologi gereja yang dinyatakan dalam pengakuan iman sebuah denominasi gereja sejatinya juga menjadi teologi yang hidup dalam kehidupan anggota jemaat.
Teologi gereja yang beragam dalam banyak denominasi gereja itu masih memiliki perekat dalam pengakuan iman yang universal, seperti Pengakuan Iman Rasuli yang kerap di nyatakan secara bersama dalam ibadah minggu.
Memang ada beberapa gereja yang tidak mengucapkan pengakuan Iman Rasuli secara rutin pada ibadah minggu, meski itu tidak berarti gereja-gereja itu tidak mengakui Pengakuan Iman Rasuli. Itu terjadi hanya karena perbedaan tata ibadah saja. Sehingga usaha-usaha menguatkan keesaan gereja sejatinya perlu terus diusahakan, karena pada dasarnya gereja itu adalah esa.
Teologi Jemaat
Berbeda dengan kondisi ideal tersebut di atas, pada realitanya tidak jarang ditemukan adanya kontradiksi antara teologi gereja dan teologi jemaat, secara khusus ditemukan pada gereja-gereja dimana anggota gereja atau majelis gereja yang menjadi partisipan aktif gereja dari denominasi yang berbeda.
Hadirnya banyak pendidikan teologi awam pada satu sisi merupakan angin segar untuk jemaat yang ingin belajar Alkitab lebih mendalam. Apalagi ketika gereja setempat kurang aktif untuk memberikan pendidikan teologi untuk jemaat.
Tanpa paham akibat yang akan terjadi kedepan untuk pribadi ataupun untuk gereja setempat, dan tanpa disadari anggota jemaat itu mulai membangun teologi sendiri yang dipengaruhi oleh sekolah teologinya yang berbeda dengan teologi gerejanya.
Sekolah teologi yang didirikan gereja pada umumnya adalah wadah misi gereja dan juga wadah pelestari doktrin gereja. Sekolah awam merupakan salah satu strategi, atau menjadi wadah untuk gereja mendapatkan anggota baru, secara khusus anggota gereja yang memiliki pemahaman teologi melalui pembimbingan tertentu melalui sekolah teologi.
Apabila pertentangan doktri gereja dan doktrin jemaat semakin kuat, yang terjadi kemudian adalah diberlakukannya disiplin gereja terhadap anggota jemaat yang memiliki teologi berbeda itu, atau jika anggota jemaat itu mememiliki pengaruh yang cukup kuat, konflik didalam gereja bisa terjadi, secara khusus untuk gereja-gereja konggregasional yang sangat bergantung pada pemimpinan gereja setempat.
Tidak jarang, anggota jemaat yang memiliki teologi berbeda dengan doktrin gereja dimana dia bergereja kemudian berpindah pada gereja yang telah mengajarkan teologi denominasi tertentu melalui sekolah teologi.
Tidak jarang, karena merasa mampu berteologi dan merasa memiliki doktrin yang benar, maka anggota jemaat yang memiliki dukungan fasilitas memadai itu akan mendirikan gereja baru, biasanya terjadi pada gereja-gereja konggregasional.
Jemaat tidak mampu berteologi
Usaha membangun teologi bukanlah pekerjaan mudah. Karena itu selain membaca Alkitab secara pribadi, jemaat didorong untuk mengikuti kelas-kelas pelajaran Alkitab dalam gereja disamping menghadiri ibadah-ibadh minggu secara rutin. Tujuannya adalah agar jemaat tidak menafsirkan Alkitab sesuka hatinya, sehingga melahirkan tafsiran yang tidak sesuai dengan Alkitab.
Kita bersyukur dengan Reformasi yang mengusahakan terjemahan Alkitab, sehingga semua orang Kristen dapat membaca Alkitab secara pribadi. Tapi, salah satu persoalan besarnya adalah, tidak sedikit jemaat yang merasa mampu membangun teologi tanpa perlu belajar menafsirkan Alkitab secara benar pada gereja dimana mereka berjemaat.
Pertempuran dalam media sosial terkait klaim-klaim doktrin gereja yang paling benar, sebenarnya lebih kepada klaim-klaiam anggota jemaat tentang teologinya. Bagaimana mungkin seorang anggota jemaat yang tidak diperlengkapi khusus bisa menafsirkan Alkitab secara tepat.
Saya kerap heran, betapa beraninya anggota-anggota jemaat itu mengklaim denominasi gereja lain dengan kata-kata sesat, bahkan dengan ucapan-ucapan yang tidak patut dikeluarkan oleh seorang Kristen yang mengasihi Allah dan sesama.
Menurut saya, perdebatan doktrin yang berseliweran di media sosial adalah bukti bahwa anggota jemaat memang tidak mampu berteologi, dan biarkanlah itu menjadi urusan pimpinan-pimpinan gereja.
Pimpinan gereja juga perlu belajar serius tentang Alkitab, dan paham mengenai keragaman doktrin gereja. Jangan jadikan alam demokrasi indonesia sebagai kesempatan untuk menggunakan segala cara hanya untuk memindahkan anggota gereja lain masuk dalam gerejanya.
Pada konteks tersebut di atas peran pendidikan teologi sebagai akademisi-akademisi bisa berperan untuk memajukan doktrin gereja serta penerapan-penerapan kontekstual dari doktrin gereja itu.
Kita berharap, tugas berat yang ada dipundak pendidikan teologi akan menghadirkan pendidikan teologi berkualitas yang bukan hanya menjadi benteng pelestari doktrin gereja yang beragam. Apalagi memelihara perseteruan antar denominasi gereja. Sehingga doktrin jemaat tidak perlu berkontradiksi dengan doktrin gereja.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/08/teologi-gereja-versus-teologi-jemaat.html
No comments:
Post a Comment