Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan
Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia perlu mewaspadi kekerasan dalam lembaga pendidikan.
Jika persentase kekerasan terhadap anak pada tahun 2009 dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen, berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah mendapat kekerasan. Menurut data BPS 2006, populasi anak terlantar di seluruh Indonesia mencapai 5,4 juta. Kekerasan terhadap anak akan makin meningkat jumlahnya pada tahun-tahu belakangan ini. Itulah sebabnya kita melihat kekerasan terhadap anak menjadi cerita biasa pada media-media cetak dan eletronik,
Adalah wajar jika Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar berujar, kekerasan terhadap anak sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan sehingga perlu ada kebijakan pencegahan dan penanganan yang serius.
Yang lebih memprihatinkan adalah, modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling sadis di dunia. Pelaku tega menggorok leher, menyiram dengan air panas, menyiram dengan air keras, menyetrika, menceburkan ke dalam sumur, mematahkan tangan anak, bahkan membakar hidup-hidup.
Ironisnya, menurut data Komnas PA 70% pelakunya adalah perempuan. Baik ibu kandung, ibu tiri, ibu guru,ibu asuh, ibu angkat atau perempuan lainnya. Timbul pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia, khusunya perempuan yang terkenal dengan keramahtamahannya itu bisa mudah lepas kendali, berlaku sadis, apalagi itu terjadi terhadap anak mereka sendiri.
Kultur kekerasan
Kekerasan terhadap anak di negeri ini tidak dapat dipungkiri terkait dengan masih kuatnya kultur kekerasan di negeri ini. Banyak keluarga di negeri ini masih beranggapan bahwa anak adalah aset keluarga, milik mutlak orang tua, sehingga sebagai konsekuensi logisnya, anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang tua. Akibatnya, ketika anak tidak memenuhi ambisi orang tua, anak akan diperlakukan dengan buruk, anak dianggap sebagai penyebab kegagalan orang tua.
Johan Galtung menggolongkan kekerasan kultural ini dalam kekerasan struktural, kekerasan yang bersifat tidak langsung. Pada kekerasan struktural ini atau kekerasan tidak langsung orang tua tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi. Karena pada kekerasan struktural tidak ada hubungan langsung subyek dan obyek. Kultur kekerasan tersebut kemudian menyebabkan orang tua tak merasa bersalah ketika menempatkan anak sebagai obyek, karena ada logika budaya yang melatarbelakanginya yaitu anak adalah aset keluarga.
Dengan demikian jelaslah, perlakuan sadis perempuan Indonesia terhadap anak-anak mereka tentu saja terkait pra kondisi dan kondisi yang terjadi sebelum tindak kekerasan tersebut dilakukan. Dalam bahasa Galtung, direct violence, kekerasan langsung, tidak boleh terisolasi dari konteksnya. Jadi tindakan sadis perempuan Indonesia mendapatkan tempatnya pada kekerasan struktural yang bersifat tidak langsung.
Meningkatnya kasus perceraian pada lima tahun terakhir ini di Indonesia tentu saja juga berkorelasi dengan prilaku sadis perempuan. Sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, 200 ribu pasangan berakhir dengan perceraian. Angka perceraian 10% dari angka pernikahan sesungguhnya cukup besar, dari sepuluh pernikahan yang tercatat satu berakhir dengan perceraian. Menariknya, hampir 70% persen istri yang menceraikan suami (gugat cerai). Padahal, perempuan biasanya menjadi pihak yang paling dirugikan ketika terjadi perceraian, mulai soal hak asuh anak yang biasanya dimenangkan oleh laki-laki, sampai pada pembagian harta, apalagi untuk perempuan yang tak memiliki penghasilan.
Kondisi buruk yang dialami oleh perempuan Indonesia jelas terkait dengan tindakan sadis perempuan Indonesia terhadap anak mereka. Belum lagi penderitaan akibat kemiskinan yang umumnya diderita perempuan karena tingkat pendidikan perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Kegagalan Pendidikan
Tindak kekerasan dalam kategori kejahatan sadis perempuan Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak mereka mengindikasikan kegagalan pendidikan di negeri ini. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghancurkan kultur kekerasan yang terus hidup di negeri ini.
Hannah Arendt berujar, pemikiran adalah ciri khas pertama untuk manusia. Pemikiran mendefinisikan manusia sebagai manusia. Pemikiran dapat menghindarkan kekerasan. Apabila pendidikan di negeri ini mampu membuat masyarakat, termasuk perempuan, untuk menjadi lebih rasional mestinya secara bersamaan masyarakat juga bisa menghindari diri untuk tidak melakukan kejahatan yang brutal dan tak bermartabat itu.
Hanya orang tua yang tidak berpikirlah yang dapat melakukan tindakan-tindakan kejahatan brutal dan sadis dalam relasi dengan anak mereka. Tepatlah apa yang dikatakan Augustinus, yang diadopsi oleh Arendt, kejahatan bertentangan dengan pemikiran. Kejahatan “membakar”pemikiran.
Apabila orang tua memikirkan akibat yang akan dialami oleh anak mereka yang menjadi sasaran kejahatan mereka, demikian juga dengan akibat yang harus mereka tanggung akibat perbuatan jahat tersebut, maka kejahatan yang sadis dan brutal itu tidak akan terjadi. Pada konteks ini jelas bahwa pendidikan yang bertujuan memuliakan nilai-nilai yang agung yang bermutu, seperti mencintai keadilan, kebijaksanaan, keindahan telah gagal. Pendidikan Indonesia belum mampu mengahancurkan kultur kekerasan untuk memanusiakan manusia Indonesia.
Binsar A. Hutabarat
Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan
https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/kultur-kekerasan-menyingkapkan.html
No comments:
Post a Comment