Agamaisasi konflik sama sekali tak memiliki pijakan agama. Semua orang dinegeri ini perlu menjauhkannya, karena konflik yang membawa-bawa nama agama kerap memperbesar konflik yang sejatinya tak mendapatkan dukungan agama.
Pada acara makan
malam peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk
tantangan masa depan Singapura, Menteri senior Goh Chok Tong mengingatkan agar
Singapura mewaspadai potensi bahaya yang
meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura.
Menurutnya,
semakin religius seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan
pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian
kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan menyebabkan timbulnya
kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam
tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.
Goh Chok Tong
tampaknya mewaspadai betul apa yang dikatakan tentang wajah ganda agama yang oleh
Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana agama dapat
menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian. Meskipun demikian pemerintah
Singapura tetap mengakui bahwa agama merupakan kekuatan positif di masyarakat
dalam memberikan panduan menghadapi dunia yang berubah dengan cepat.
Kejujuran Goh
Chok Tong mengungkapkan bahwa agama memiliki potensi konflik harus dihargai,
dan pernyataan tersebut tentu bebas dari usaha untuk merendahkan agama,
sebaliknya itu harus dimaknai sebagai suatu kejujuran dalam melihat realitas
saat ini dimana konflik agama menjadi problematika yang tidak mudah
diselesaikan, dan itu terjadi diberbagai belahan dunia ini. Karena itu, wajar
saja jika pemerintah Singapura berusaha berjaga-jaga untuk menghindari terjadinya
konflik agama di negerinya, apalagi konflik agama ini di berbagai negara telah
menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, serta meninggalkan akar
kebencian yang sulit untuk dipadamkan.
Menurut penulis
yang perlu diwaspadai bukanlah gairah yang makin tinggi dari masyarakat dalam
menekuni agama atau kepercayaan yang ada, tetapi fenomena meruyaknya agamaisasi
koflik dewasa ini, yaitu usaha membawa-bawa agama dalam konflik antar individu
atau golongan yang sebenarnya bukan
konflik agama, apalagi parahnya itu terjadi disaat usaha mempromosikan
pluralisme agama menjadi hal yang sering kali
terabaikan.
Agamaisasi konflik
Pernyataan Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama
terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama) dan “tokoh agama”
memanfaatkan negara (Agamaisasi politik) jelas menunjukan bahwa agama sering
kali dibawa-bawa untuk memuluskan baik ambisi politisi maupun mereka yang
menyebut diri sebagai tokoh agama.
Perjuangan
terorisme internasional, seperti juga Alqaeda adalah untuk mengembalikan
pemerintahan berdasarkan agama. Menurutnya, Islam sebagai agama sukses, kekuasaan Islam melebihi daerah kekuasaan
Romawi pada awal masehi, dan berlangsung hampir seribu tahun sejak wafatnya
Muhammad, sebelum akhirnya dikalahkan bangsa-bangsa Barat, telah dijadikan alat
kampanye untuk membangkitkan kemarahan radikalisme Islam terhadap bangsa-bangsa
barat.
Semangat
berkuasa untuk menjadi pemimpin dunia tersebut telah membuat pemimpin-pemimpin
agama menggunakan legitimasi agama untuk memuluskan ambisinya. Konflik yang
terjadi antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok demi
kekuasaan tersebut menjadi semakin luas dengan adanya agamaisasi konflik.
Komunitas
agama-agama adalah komunitas yang melintasi batasan suku, budaya dan bangsa.
Itulah sebabnya agamaisasi konflik cenderung memperluas konflik, dan jika
terjadi, sulit untuk dipadamkan. Karena itu, wajar saja jika Goh Chok Tong
mewaspadai munculnya konflik yang membawa-bawa nama agama itu.
Konflik
Pluralisme
Dialog yang
jujur terhadap mereka yang berbeda agama akan menyadarkan kita bahwa kita
sesungguhnya membutuhkan orang lain. Apalagi, jika kita menyadari betapa
sabarnya orang lain menerima kelemahan-kelemahan kita. Tepatlah apa yang
dikatakan Hannah Arendt, manusia
memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan
irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol), maka sudah sepatutnyalah
kita belajar sabar untuk menerima kelemahan-kelemahan orang lain. Ini adalah
sikap moderat yang dibutuhkan untuk menjadikan
Dialog yang
jujur itu bisa terjalin jika kita menerima pluralisme agama sebagai dasar bagi
pijakan bersama. Dialog dalam bingkai pluralisme agama bukan sarana untuk
mengajak orang beragama lain berpindah agama, tetapi dialog adalah suatu
penghargaan dan pengakuan bahwa sesungguhnya agama-agama itu unik bagi setiap
pemeluknya, dan agama-agama yang ada itu dapat memberikan kontribusinya bagi
kehidupan bersama.
Agama-agama yang
berbeda itu sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang universal yang berguna untuk
semua orang. Mengabaikan keberadaan agama-agama yang berbeda dalam membangun
suatu kehidupan bersama adalah suatu kerugian yang teramat besar. Untuk
Penerimaan
terhadap pluralisme agama adalah jalan
terbaik menghindari sisi negatif yang bisa muncul dari semangat religius yang
menjurus pada sikap eksklusif agama, yakni sikap eksklusif yang menganggap diri
sebagai pemilik kebenaran tunggal, dan membuat umat beragama tertentu enggan
belajar dari umat beragama lain, sikap eksklusif umat beragama ini bisa
menjurus pada konflik antar agama, bukan karena ajaran agama itu
melegitimasikan konflik, tapi lebih karena kurangnya pengetahuan tentang
agama-agama lain, yang bisa menimbulkan perasaan curiga satu sama lain,
khususnya pada agama-agama yang bersifat missioner.
Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarinstitute.id/2020/11/mewaspadai-agamaisasi-konflik.html
No comments:
Post a Comment