Thursday, November 26, 2020

Mewaspadai agamaisasi konflik

 






 Agamaisasi konflik sama sekali tak memiliki pijakan agama. Semua orang dinegeri ini perlu menjauhkannya, karena konflik yang membawa-bawa nama agama kerap memperbesar konflik yang sejatinya tak mendapatkan dukungan agama.

 

Pada acara makan malam peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri senior Goh Chok Tong mengingatkan agar Singapura mewaspadai potensi bahaya  yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura.

 

Menurutnya, semakin religius seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.

 

Goh Chok Tong tampaknya mewaspadai betul apa yang dikatakan tentang wajah ganda agama yang oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian. Meskipun demikian pemerintah Singapura tetap mengakui bahwa agama merupakan kekuatan positif di masyarakat dalam memberikan panduan menghadapi dunia yang berubah dengan cepat.

 

Kejujuran Goh Chok Tong mengungkapkan bahwa agama memiliki potensi konflik harus dihargai, dan pernyataan tersebut tentu bebas dari usaha untuk merendahkan agama, sebaliknya itu harus dimaknai sebagai suatu kejujuran dalam melihat realitas saat ini dimana konflik agama menjadi problematika yang tidak mudah diselesaikan, dan itu terjadi diberbagai belahan dunia ini. Karena itu, wajar saja jika pemerintah Singapura berusaha berjaga-jaga untuk menghindari terjadinya konflik agama di negerinya, apalagi konflik agama ini di berbagai negara telah menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, serta meninggalkan akar kebencian yang sulit untuk dipadamkan.

 

Menurut penulis yang perlu diwaspadai bukanlah gairah yang makin tinggi dari masyarakat dalam menekuni agama atau kepercayaan yang ada, tetapi fenomena meruyaknya agamaisasi koflik dewasa ini, yaitu usaha membawa-bawa agama dalam konflik antar individu atau golongan yang sebenarnya  bukan konflik agama, apalagi parahnya itu terjadi disaat usaha mempromosikan pluralisme agama menjadi hal yang sering kali  terabaikan.

 

 
Agamaisasi konflik

 

Pernyataan  Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama) dan “tokoh agama” memanfaatkan negara (Agamaisasi politik) jelas menunjukan bahwa agama sering kali dibawa-bawa untuk memuluskan baik ambisi politisi maupun mereka yang menyebut diri sebagai tokoh agama.

 

Perjuangan terorisme internasional, seperti juga Alqaeda adalah untuk mengembalikan pemerintahan berdasarkan agama. Menurutnya, Islam sebagai agama sukses,  kekuasaan Islam melebihi daerah kekuasaan Romawi pada awal masehi, dan berlangsung hampir seribu tahun sejak wafatnya Muhammad, sebelum akhirnya dikalahkan bangsa-bangsa Barat, telah dijadikan alat kampanye untuk membangkitkan kemarahan radikalisme Islam terhadap bangsa-bangsa barat.

 

Semangat berkuasa untuk menjadi pemimpin dunia tersebut telah membuat pemimpin-pemimpin agama menggunakan legitimasi agama untuk memuluskan ambisinya. Konflik yang terjadi antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok demi kekuasaan tersebut menjadi semakin luas dengan adanya agamaisasi konflik.

 

Komunitas agama-agama adalah komunitas yang melintasi batasan suku, budaya dan bangsa. Itulah sebabnya agamaisasi konflik cenderung memperluas konflik, dan jika terjadi, sulit untuk dipadamkan. Karena itu, wajar saja jika Goh Chok Tong mewaspadai munculnya konflik yang membawa-bawa nama agama itu.

 

Konflik Israel dan Palestina adalah contoh klasik dari agamaisasi konflik yang bukan hanya melibatkan kedua bangsa tersebut, tetapi juga bangsa-bangsa lain. Padahal Israel adalah negara sekular, dan negara Palestina yang menjadi lawan tandingnya juga negara sekular, namun konflik kedua negara tersebut selalu saja dikaitkan dengan agama.

 

 

Pluralisme

 

Dialog yang jujur terhadap mereka yang berbeda agama akan menyadarkan kita bahwa kita sesungguhnya membutuhkan orang lain. Apalagi, jika kita menyadari betapa sabarnya orang lain menerima kelemahan-kelemahan kita. Tepatlah apa yang dikatakan Hannah Arendt,  manusia memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol), maka sudah sepatutnyalah kita belajar sabar untuk menerima kelemahan-kelemahan orang lain. Ini adalah sikap moderat yang dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia tempat persemaian yang subur bagi agama-agama, dan semua orang yang berdiam di negeri ini. Tanpa harus menyamarkan identitas agama-agama itu sendiri.

 

Dialog yang jujur itu bisa terjalin jika kita menerima pluralisme agama sebagai dasar bagi pijakan bersama. Dialog dalam bingkai pluralisme agama bukan sarana untuk mengajak orang beragama lain berpindah agama, tetapi dialog adalah suatu penghargaan dan pengakuan bahwa sesungguhnya agama-agama itu unik bagi setiap pemeluknya, dan agama-agama yang ada itu dapat memberikan kontribusinya bagi kehidupan bersama.

 

Agama-agama yang berbeda itu sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang universal yang berguna untuk semua orang. Mengabaikan keberadaan agama-agama yang berbeda dalam membangun suatu kehidupan bersama adalah suatu kerugian yang teramat besar. Untuk Indonesia, pluralisme itu sendiri sesungguhnya sudah termuat dalam sila pertama dari Pancasila yang juga menjiwai sila-sila lain dari Pancasila yang mengadopsi nilai-nilai Islam,Kristen dan agama-agama lain. Suatu sintesa dari nilai-nilai agama-agama, suku dan budaya yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, dan memungkinkan semua orang di bumi Indonesia dapat hidup bersama dengan rukun  tanpa terdiskriminasikan.

 

Penerimaan terhadap pluralisme agama adalah  jalan terbaik menghindari sisi negatif yang bisa muncul dari semangat religius yang menjurus pada sikap eksklusif agama, yakni sikap eksklusif yang menganggap diri sebagai pemilik kebenaran tunggal, dan membuat umat beragama tertentu enggan belajar dari umat beragama lain, sikap eksklusif umat beragama ini bisa menjurus pada konflik antar agama, bukan karena ajaran agama itu melegitimasikan konflik, tapi lebih karena kurangnya pengetahuan tentang agama-agama lain, yang bisa menimbulkan perasaan curiga satu sama lain, khususnya pada agama-agama yang bersifat missioner.

 

Binsar Antoni  Hutabarat


https://www.binsarinstitute.id/2020/11/mewaspadai-agamaisasi-konflik.html

No comments:

Post a Comment

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...