Hukum sejatinya
perlu memenuhi keadilan publik. Manakala hukum tak memenuhi keadilan publik karena
dalam perumusan hukum dan undang-undang kerap terjadi Tarik menarik antar kepentingan
kelompok, maka hukum atau peraturan-peraturan itu perlu direvisi untuk memenuhi
keadilan publik.
Hak dan Kebebasan
Pasal 28 J ayat
2, UUD 1945, secara tegas menetapkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Ayat tersebut
seakan mewajibkan agar setiap warga negara
Kita tentu
setuju adanya pembatasan yang menjamin kebebasan, tapi pembatasan kebebasan
secara tidak adil adalah tidak tepat, dan mencederai keadilan. Kebebasan masih
bisa disebut kebebasan meski ada pembatasan-pembatasan, asal saja pembatasan
tersebut diberlakukan secara adil.
Sebaliknya, kebebasan
tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana
yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran
kebuasan yang kuat.
Kebebasan
sesungguhnya tak bisa dimaknai sebagai
kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang
diberikan bagi mereka yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur kehidupan
bersama dalam masyarakat dan negara wajib ditaati.
Mereka yang
melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum. Penggunaan
kebebasan seseorang tak boleh mengancam kebebasan orang lain. Karena itu
kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut
sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak
mengenal aturan hukum bersama.
Namun,
pembatasan kebebasan menjadi diskriminatif
jika pembatasan itu dihadirkan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi,
atau politik. Pembatasan kebebasan berdasarkan konstitusi harus memenuhi azas
keadilan, pembatasan dilakukan agar setiap orang ketika melaksanakan
kebebasannya tidak mengganggu ketertiban umum atau melanggar hukum.
Jadi, pembatasan
kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar
setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan
demi terciptanya kesamaan (equal liberty).
Dengan demikian
jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri
ini tak memiliki pijakannya dalam
konstitusi. Peraturan-peraturan yang diskriminatif mengakibatkan pemerintah
bersikap tidak adil, dan secara bersamaan itu merupakan perlawanan terhadap
konstitusi. Undang-undang seperti itu harus direvisi atau dicabut.
Tentang
kebebasan beragama
Terciptanya
kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. Regulasi
pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom
religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar
agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan
yang sama.
Pemerintah tidak
perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang
memberikan jaminan kebebasan beragama dalam negara banyak agama seperti
Umat beragama
dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara
optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. Hak kebebasan
menyembah Tuhan
baik secara
pribadi maupun
secara berkelompok
dalam hal ini adalah hak yang
paling asasi
dalam diri
manusia, mengabaikan
hak itu
sama saja
dengan menyangkali
martabat kemanusiaan.
Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap
masyarakat dan menjadi dasar bagi
kebebasan berbicara (freedom of
speech), dan kebebasan berkumpul (freedom
of assembly).
Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling
pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.
Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan
HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.
Pembatasan-pembatasan
terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah
pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-sgama di bumi
Apabila pada
waktu transformasi Pancasila
kedalam perundang-undangan
terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka
perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila
yang inklusif dan nondiskriminatif.
Hukum yang
berkeadilan
Pemerintah mesti
merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain
kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk
kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan.
Jika yang adil
disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat
hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan,
itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika
yang adil itu disamakan dengan yang legal.
Pembuat
undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan
politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali
kekuatan yang dapat memaksakannya.
Lahirnya
peraturan-peraturan yang diskriminatif di
Dr. Binsar
Antoni Hutabarat, M.Th.
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hukum-berkeadilan.html
No comments:
Post a Comment