Thursday, December 10, 2020

Identitas Nasional Kita





 

 

 

Kita mungkin telah bosan dengan pidato-pidato yang mengingatkan mengenai telah terjadinya degradasi identitas nasional Indonesia. 

Tapi, kebosanan mendengarkan peringatan tersebut tidak berarti bisa membebaskan kita dari krisis identitas nasional, seperti yang pernah diungkapkan Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia, Mukhlis Paeni, “Indonesia telah mengalami degradasi ingatan kesejarahan.”

 

Mahfud M.D. salah seorang tokoh nasional negeri ini pernah secara terbuka mengakui bahwa saat ini jati diri bangsa telah makin terkikis. Nilai-nilai luhur seperti toleransi, hidup damai, sopan, dan bangga pada dirinya mulai luntur. Krisis moral yang terjadi pada bangsa ini menyebabkan martabat bangsa Indonesia  sering dilecehkan oleh bangsa lain.

 

Pernyataan-pernyataan tersebut mestinya menjadi alarm bagi negeri ini, bukannya malah mengabaikannya begitu saja, karena  degradasi ingatan kesejarahan itu akan menyebabkan kematian identitas bangsa yang menyebabkan suramnya masa depan bangsa.

 

 

Identitas Nasional

 


Masa lalu mengajarkan kepada kita mengapa kita ada pada masa kini. Sedang  apa yang kita cita-citakan pada masa depan  menolong kita untuk bijak bertindak pada masa kini, karena dengan memiliki cita-cita yang jelas dan terukur itu kita dapat membuat proyeksi untuk menggapai cita-cita tersebut. Sebaliknya Indonesia akan kehilangan masa depan jika membiarkan kehilanganingatan sejara. Tanpa pengetahuan masa lalu Indonesia akan mengalami kematian identitas, yang akhirnya berujung pada negara gagal.

 

Identitas diambil dari kata Latin, idem yang mengimplikasikan arti kesamaan dan kontinuitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas diartikan sebagai jati diri, yakni ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedang, menurut pandangan psikologi sosial, identitas adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri sebagai suatu mahkluk yang unik. Erik Erickson kemudian mengembangkan gagasan identitas bukan hanya sebagai “proses ‘menemukan” dalam inti individu tetapi juga dalam inti kultur komunal, sebuah proses yang menciptakan identitas dari kedua identitas tersebut. Jadi identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi juga berlaku pada kelompok.

 

Identitas nasional menurut Koento Wibisono pada hakikatnya merupakan "manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya". Jadi, yang dimaksud dengan identitas bangsa Indonesia adalah manifestasi dari segenap nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari aneka  suku yang "dihimpun" dalam satu kesatuan Indonesia, menjadi kebudayaan nasional.

 

Pancasila dan semangat "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi dasar dan arah pengembangan kebudayaan nasional yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Keragaman suku, budaya, bahasa dan agama merupakan unsur-unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia. Segenap nilai-nilai budaya nasional Indonesia itu mesti termanifestasi dalam dirinya bangsa Indonesia. Karena itu melupakan Pancasila, secara bersamaan juga melupakan sejarah pembentukan identitas bangsa Indonesia, dan itu sama saja dengan membiarkan bangsa ini mengalami kematian identitas.

 

Krisis moral

 

Meredupnya kecintaan pada Pancasila yang kini terlihat pada pembilahan masyarakat berdasarkan suku, budaya dan agama. Ini  bukan hanya akan mengakibatkan terjadinya degradasi identitas nasional, tetapi lebih parah lagi bisa mengarah pada kematian identitas bangsa Indonesia yang fenomenanya terlihat pada disintegrasi yang meledak dalam konflik antar suku, agama dan kelompok di negeri ini.

 

Jalan Pancasila yang tersohor dengan semangat bhinneka tunggal merupakan jalan pemersatu suku, budaya dan agama yang beragam dan berbeda di negeri ini. Pancasila ibarat rumah bersama bagi identitas yang beragam dan berbeda itu, yang menjadi pembentuk identitas nasional Indonesia. Karena itu menerima Pancasila sesungguhnya jauh dari semangat diskriminasi atas nama apapun.

 

Menerima Pancasila harus dimaknai sebagai penerimaan terhadap perjumpaan komitmen-komitmen semisal perbedaan agama, suku dan budaya untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar komunitas yang beragam itu. Agama, suku dan budaya yang beragama dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesa dari keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhineka tunggal ika” yang anti diskriminasi menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. 

 

Para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila. Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Seperti dikatakan Eka Darmaputera, “Pancasila merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama (values consensus).”

 

Pancasila bukan sesuatu yang diberikan (given), tetapi itu adalah sebuah pencapaian. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi Indonesia dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Pancasila merupakan dasar filosofis yang masih perlu terus digali seiring dengan perkembangan terbaru saat ini untuk menghadapi permasalahan-permasalahan relevan saat ini.

Sayangnya, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi negara, perlawanan untuk menggantikannya dengan ideologi lain masih terus berlangsung sepanjang sejarah NKRI. Penolakan langsung terhadap Pancasila bukan hanya terjadi secara terbuka, tetapi juga secara terselubung. Pergumulan ideologi itu berjalan terutama melalui proses transplantasi ideologi masing-masing itu kedalam Pancasila. Padahal, membiarkan gerakan-gerakan yang merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sama sekali tidak beralasan, wajar saja jika rakyat di negeri ini mengalami kerisauan dengan ketika Pancasila makin dipinggirkan.

Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya apabila Pancasila tidak lagi menjadi nilai-nilai bersama, yang menjadi landasan etik dan moral bangsa Indonesia, sehingga setiap orang memiliki landasannya sendiri-sendiri. Pada kondisi ini dapat dikatakan, Indonesia sedang menghadapi bahaya disintegrasi, masing-masing individu, kelompok mengambil jalannya sendiri-sendiri, bukan jalan pancasila. Ini mengakibatkan kaburnya norma-norma apa yang baik dan yang jahat, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang benar dan apa yang salah, bisa disebut, telah terjadi krisis moral bangsa.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/identitas-nasional-kita.html

No comments:

Post a Comment

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...