Kita mungkin telah bosan dengan pidato-pidato yang mengingatkan mengenai telah terjadinya degradasi identitas nasional Indonesia.
Tapi, kebosanan mendengarkan peringatan
tersebut tidak berarti bisa membebaskan kita dari krisis identitas nasional,
seperti yang pernah diungkapkan Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia, Mukhlis Paeni, “Indonesia telah
mengalami degradasi ingatan kesejarahan.”
Mahfud M.D.
salah seorang tokoh nasional negeri ini pernah secara terbuka mengakui bahwa saat
ini jati diri bangsa telah makin terkikis. Nilai-nilai luhur seperti toleransi,
hidup damai, sopan, dan bangga pada dirinya mulai luntur. Krisis moral yang
terjadi pada bangsa ini menyebabkan martabat bangsa Indonesia sering dilecehkan oleh bangsa lain.
Pernyataan-pernyataan
tersebut mestinya menjadi alarm bagi negeri ini, bukannya malah mengabaikannya
begitu saja, karena degradasi ingatan
kesejarahan itu akan menyebabkan kematian identitas bangsa yang menyebabkan suramnya
masa depan bangsa.
Identitas Nasional
Masa lalu mengajarkan kepada kita mengapa kita ada pada masa kini.
Sedang apa yang kita cita-citakan pada masa depan menolong kita untuk bijak bertindak pada masa
kini, karena dengan memiliki cita-cita yang jelas dan
terukur itu kita dapat
membuat proyeksi untuk menggapai cita-cita tersebut. Sebaliknya Indonesia akan kehilangan masa depan jika membiarkan
kehilanganingatan sejara. Tanpa pengetahuan masa lalu Indonesia akan
mengalami kematian identitas, yang akhirnya berujung pada negara gagal.
Identitas
diambil dari kata Latin, idem yang
mengimplikasikan arti kesamaan dan kontinuitas. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, identitas diartikan sebagai jati diri, yakni ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang. Sedang, menurut pandangan psikologi sosial, identitas adalah
kesadaran seseorang akan dirinya sendiri sebagai suatu mahkluk yang unik. Erik
Erickson kemudian mengembangkan gagasan identitas bukan hanya sebagai “proses
‘menemukan” dalam inti individu tetapi juga dalam inti kultur komunal, sebuah
proses yang menciptakan identitas dari kedua identitas tersebut. Jadi identitas
tidak terbatas pada individu semata, tetapi juga berlaku pada kelompok.
Identitas
nasional menurut Koento Wibisono pada hakikatnya merupakan "manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas,
dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain
dalam hidup dan kehidupannya". Jadi, yang dimaksud dengan identitas bangsa
Indonesia adalah manifestasi dari segenap nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari aneka suku yang "dihimpun" dalam satu
kesatuan Indonesia, menjadi kebudayaan nasional.
Pancasila dan
semangat "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi dasar dan arah pengembangan
kebudayaan nasional yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Keragaman suku,
budaya, bahasa dan agama merupakan unsur-unsur pembentuk identitas bangsa
Indonesia. Segenap nilai-nilai budaya nasional Indonesia itu mesti termanifestasi
dalam dirinya bangsa Indonesia. Karena itu melupakan Pancasila, secara
bersamaan juga melupakan sejarah pembentukan identitas bangsa Indonesia, dan
itu sama saja dengan membiarkan bangsa ini mengalami kematian identitas.
Krisis moral
Meredupnya kecintaan pada Pancasila yang kini terlihat pada pembilahan
masyarakat berdasarkan suku, budaya dan agama. Ini bukan hanya akan mengakibatkan terjadinya
degradasi identitas nasional, tetapi lebih parah lagi bisa mengarah pada
kematian identitas bangsa Indonesia yang fenomenanya terlihat pada disintegrasi
yang meledak dalam konflik antar suku, agama dan kelompok di negeri ini.
Jalan Pancasila yang tersohor dengan semangat bhinneka tunggal merupakan
jalan pemersatu suku, budaya dan agama yang beragam dan berbeda di negeri ini.
Pancasila ibarat rumah bersama bagi identitas yang beragam dan berbeda itu,
yang menjadi pembentuk identitas nasional Indonesia. Karena itu menerima
Pancasila sesungguhnya jauh dari semangat diskriminasi atas nama apapun.
Menerima Pancasila harus dimaknai sebagai penerimaan terhadap perjumpaan
komitmen-komitmen semisal perbedaan agama, suku dan budaya untuk kemudian
membangun hubungan sinergis antar komunitas yang beragam itu. Agama, suku dan
budaya yang beragama dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesa dari
keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhineka tunggal ika” yang anti
diskriminasi menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan
ancaman.
Para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat
Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila.
Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh
dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat. Seperti dikatakan Eka Darmaputera, “Pancasila merupakan
nilai-nilai yang disepakati bersama (values consensus).”
Pancasila bukan
sesuatu yang diberikan (given), tetapi itu adalah sebuah pencapaian. Soekarno
mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi Indonesia
dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan
rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Pancasila merupakan dasar filosofis yang
masih perlu terus digali seiring dengan perkembangan terbaru saat ini untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan relevan saat ini.
Sayangnya, meski Pancasila telah
ditetapkan sebagai ideologi negara, perlawanan untuk menggantikannya dengan
ideologi lain masih terus berlangsung sepanjang sejarah NKRI. Penolakan langsung terhadap Pancasila bukan
hanya terjadi secara terbuka, tetapi juga secara terselubung. Pergumulan
ideologi itu berjalan terutama melalui proses transplantasi ideologi
masing-masing itu kedalam Pancasila. Padahal, membiarkan gerakan-gerakan
yang merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sama sekali tidak
beralasan, wajar saja jika rakyat di negeri ini mengalami kerisauan dengan
ketika Pancasila makin dipinggirkan.
Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya apabila Pancasila tidak lagi menjadi
nilai-nilai bersama, yang menjadi landasan etik dan moral bangsa Indonesia,
sehingga setiap orang memiliki landasannya sendiri-sendiri. Pada kondisi ini
dapat dikatakan, Indonesia sedang menghadapi bahaya disintegrasi, masing-masing
individu, kelompok mengambil jalannya sendiri-sendiri, bukan jalan pancasila.
Ini mengakibatkan kaburnya norma-norma apa yang baik dan yang jahat, apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang benar dan apa yang salah, bisa
disebut, telah terjadi krisis moral bangsa.
Dr. Binsar A.
Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/identitas-nasional-kita.html
No comments:
Post a Comment