Friday, March 26, 2021

Kebijakan Kebebasan Beragama di Indonesia




 



KONTRIBUSI REFORMASI  TERHADAP KEBIJAKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh: Dr. Binsar Antoni Hutabarat, M.Th.
 

 

Abstrak

 

Artikel ini pertama-tama akan menjelaskan mengenai kontribusi Reformasi terhadap proteksi HAM, secara khusus mengenai kebebasan beragama, dan kemudian melihat kontribusi reformasi terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia, yang secara khusus akan ditelusuri dalam kebijakan pemerintah Indonesia terkait kebebasan beragama serta turunan dari kebijakan tersebut. Temuan kajian ini adalah bahwa kontribusi Reformasi terlihat pada UUD 45, namun turunan dari kebijakan tersebut tidak mengacu pada UUD 45, akibatnya hadirlah kebijakan tentang kebebasan beragama yang diskriminatif, dan kebijakan diskriminatif tersebut kemudian menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya dan berakibat pada terganggunya kehidupan antara agama di Indonesia. Itulah sebabnya kebebasan beragama masih menjadi persoalan di negeri banyak agama ini

Kata kunci: Reformasi, kebebasan beragama, kebijakan publik, Indonesia

Pendahuluan

Reformasi teologis yang dilakukan oleh Marthin Luther  dan juga para Reformator lainnya dengan semboyan “Sola Scriptura” bahwa perubahan praktik dan moral hanyalah mungkin jika ajaran iman kepercayaan kembali kepada otoritas Alkitab telah mempengaruhi kehidupan moral Gereja pada waktu itu. Sejarah menyaksikan kontribusi reformasi sangat menyeluruh, mulai dari kehidupan pribadi sampai kehidupan bermasyarakat dan pendidikan, bahkan menjadi perintis demokrasi di seluruh dunia. Termasuk didalamnya adalah proteksi Ham, secara khusus kebebasan beragama. Reformasi Protestan memiliki kontribusi penting terhadap hadirnya negara-negara demokrasi yang didasarkan pada hak-hak asasi manusia.

Melihat pentingnya pengaruh Reformasi dalam seluruh aspek kehidupan gereja dan masyarakat maka perlu ditelusuri bagaimanakah pengaruh reformasi dalam kebijakan publik terkait dengan kebebasan beragama di Indonesia? Bagaimanakah kondisi kebebasan beragama di Indonesia ? Serta, bagaimanakah peran penting Gereja reformasi masa kini dalam perumusan kebijakan publik tentang kebebsan beragama di Indonesia ?

 

Reformasi dan Perlindungan Kebebasan Beragama 

Pengaruh kekristenan terhadap institusi legal nyata ketika agama Kristen menjadi agama negara pada waktu pertobatan Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara dipengaruhi oleh pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan dalam lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami, heterosexual dan seumur hidup. Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak untuk kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah. Reformasi mengakui bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran bahwa semua manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan negara. Menurut pandangan iman kristiani, semua manusia beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama. Allah yang memberikan/menanamkan kebenarannya kepada setiap manusia secara umum (sensus divinitatis), membuat manusia selalu ingin mencari Tuhan. Namun pencarian manusia akan Tuhan tersebut secara bersamaan merupakan pelarian manusia dari Allah. Karena manusia tidak mampu mengenal Allah dengan panca inderanya. Hanya orang-orang yang ditanamkan benih iman oleh Allah yang akan memberika respons terhadap berita Injil. Jadi, walaupun tidak semua orang menemukan Tuhan yang benar, tetapi semua orang sesungguhnya beragama. Hal ini dapat dipahami karena agama merupakan rumusan manusia tentang Tuhan (ciptaan Tuhan), meski hal itu belum tentu benar, namun pada hakikatnya semua orang adalah beragama.

Hak Kebebasan Beragama dalam pandangan Martin Luther, seorang tokoh Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap orang untuk menafsirkan Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai dengan hati nuraninya. Pada waktu itu tidak setiap orang boleh membaca Alkitab dan menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh tidak setuju dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja. Sehingga bidat  dalam sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja dengan memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani. Jadi Gereja pernah tidak taat kepada Alkitab dengan menindas bidat dengan memakai tangan negara. Mengenai penyimpangan dalam Gereja tetsebut Kuyper menjelaskan demikian :

Kewajiban pemerintah untuk menyingkirkan setiap bentuk agama yang salah dan penyembahan berhala bukan penemuan Calvinisme (apa kata Alkitab), tetapi berasal jauh dari Konstantin Agung, dan merupakan reaksi terhadap penganiayaan-penganiayaan mengerikan yang dilakukan oleh para Kaisar kafir pendahulunya terhadap sekte Nazaret. Sejak hari itu, sistem ini telah dipertahankan oleh semua teolog Katolik Roma dan diterapkan oleh semua raja dan pangeran Kristen. Pada masa Luther dan Calvin, ada keyakinan universal bahwa sistem itu adalah sistem yang benar. Sementara itu orang-orang Calvinis pada jaman Reformasi menyerahkan korban-korban mereka, yang jumlahnya mungkin puluhan ribu, ke tiang gantungan dan tiang pembakaran (korban pihak Lutheran dan Katolik Roma hampir-hampir tidak layak dihitung), sejarah telah bersalah dalam hal ketidakadilan yang besar dalam hal menuding eksekusi hukuman bakar hidup-hidup atas Servetus sebagai crimen nefandum (kejahatan yang keji)  

 

Sikap Gereja yang kejam terhadap bidat merupakan reaksi terhadap penderitaan yang dialami Gereja. Namun kewajiban pemerintah yang berpihak kepada Gereja dengan menyingkirkan penyembahan berhala juga merupakan penyimpangan wewenang negara, sebaliknya Gereja juga tidak boleh memakai tangan negara untuk melakukan penindasan kepada bidat, karena itu merupakan di luar wewenang gereja dan  merupakan sesuatu yang bukan berasal dari pengajaran Alkitab. 

Penganiayaan terhadap bidat merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran Kristen yang Alkitabiah dan secara bersamaan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, hal ini dituangkan dalam deklarasi tahun 1649 dimana dinyatakan, bahwa “penganiayaan karena iman adalah pembunuhan spiritual, pembunuhan terhadap jiwa, suatu kemarahan yang diarahkan terhadap Allah sendiri, dosa yang paling mengerikan, Selama bidat-bidat Kristen atau bidat-bidat agama lain tetap hidup mentaati undng-undang yang berlaku, maka keberadaan mereka tidak boleh dihalangi oleh orang Kristen, baik oleh kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan menggunakan kekuasaan pemerintah. 

Pengakuan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani juga mempunyai cakupan yang lebih luas dari Deklarasi Universal HAM, karena kekristenan bukan saja mengakui setiap individu mempunyai hak untuk memilih agama dan kepercayaan, di mana ada perbedaan antara agama dan kepercayaan, tetapi dalam perspektif Kristen semua manusia beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama, maka tidak seoranpun yang tidak beragama. Semua manusia berhak berdasarkan kedaulatan individunya sendiri untuk memilih agama maupun melepaskannya tanpa boleh dihalangi oleh negara. Sebaliknya negara harus menjamin kebebasan individu untuk dapat menikmati hak-hak nya, tanpa mengganggu hak-hak orang lain. 

Perubahan hubungan antara Gereja dan negara terjadi pada pemikiran Reformasi. Apabila tradisi Roma Katolik melihat eksistensi negara bersumber dalam hukum kodrat, maka reformasi melihat negara dalam persfektif kejatuhan manusia. Artinya, dalam usaha memelihara dunia yang telah jatuh dalam dosa. Allah menciptakan institusi negara sebagai bagian dari ordo pemeliharaan. Jadi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan, sehingga negara sebagaimana pandangan Agustinus dilihat secara negatif walaupun tidak berarti bahwa negara tidak berguna. Bagi Luther institusi negara dalam dirinya bersifat negatif karena negara tidak menghasilkan kebaikan, ia hanya untuk mencegah kejahatan. Dan kekuasaan negara sering kali mudah untuk diselewengkan, namun demikian negara perlu ada untuk menghindari anarki, karena bagi Luther tirani lebih baik dari pada anarki.

Dalam teori dua kerajaannya Luther menggambarkan bahwa negara dan Gereja adalah memiliki kewenangan yang berbeda. Negara  mempunyai wewenang dalam urusan kesejahteraan, sedang gereja dalam urusan-urusan spiritual. Dan gereja tidak boleh melawan pemerintah, kecuali negara mencampuri urusan Gereja dalam wewenang spiritual. Sedangkan pada waktu negara bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kewajibannya, Gereja tidak boleh melawan negara, tetapi sebaliknya Gereja demi ketaatan pada Allah rela untuk menderita. Pandangan Luther ini nampak kurang memperhatikan peran sosial gereja. Pola hubungan ini merupakan pemisahan negara dan Gereja secara total. Pola hubungan antara Gereja dan negara Luther membuat Gereja menjadi pasif, bahkan akibatnya Gereja menjadi tidak perduli dengan hal-hal dunia, yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Hubungan antara Gereja dan negara sebagaimana pandangan Luther mengakibatkan negara bertindak melampaui daerah kekuasaannya. Dan walaupun negara bertindak melampaui wewenangnya, Gereja tetap harus tunduk kepada negara. 

Pandangan Calvin mengenai negara lebih positif dibandingkan pemahaman Luther, walaupun Calvin juga setuju untuk melihat negara dalam persfektif kejatuhan manusia. Mengenai hal ini Abrahama Kuyper menerangkan demikian:

Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara;Dengan demikian, semua konsepsi yang benar tentang nature negara dan tentang pengambil alihan kekuasaan oleh pemerintah, dan di pihak lain, semua konsepsi yang benar tentang hak dan kewajiban rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, bergantung pada apa yang telah dikedepankan oleh Calvinisme sebagai kebenaran primordial – bahwa Allah telah membentuk orang-orang yang memerintah, karena alasan dosatanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di bumi ketika Allah menenggelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang bobrok.

 

Menurut pandangan Calvin negara ada karena manusia telah jatuh kedalam dosa, tanpa dosa negara tidak perlu ada. Namun walaupun Calvin melihat negara secara negatif, tapi ia percaya bahwa negara berguna agar dapat mengatur kehidupan menjadi baik. Calvin melihat negara lebih positif dibandingkan Luther. Dalam pandangan Calvin tanpa negara kehidupan menjadi seperti neraka. 

Walaupun Calvin mengakui ada kedaulatan yang berbeda antara negara dan agama sebagaimana Luther, namun berbeda dengan Luther, Calvin berpendapat bahwa apabila negara menyalah gunakan kekuasaannya, baik urusan spiritual maupun dunia, rakyat boleh melawannya. Jadi Calvin tidak memisahkan negara dengan agama secara total,  ia mengakui pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan yang terjadi adalah koordinasi. “Kedaulatan negara dan kedaulatan Gereja berdiri berdampingan, dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya. Pandangan Calvin ini didasarkan oleh pemahaman bahwa Gereja dan negara memperoleh wewenangnya dari Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu. 

Bagi Calvin pemerintahan sipil merupakan sesuatu yang dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Negara ada karena manusia cenderung berbuat kejahatan, bahkan didalam masyarakat Kristen sendiri banyak orang yang tidak menjadi Kristen yang sejati. Karena wewenang negara berasal dari Allah, maka negara harus beralaskan pada penghormatan dan kesusilaan. Jadi negara bertanggung jawab terhadap kemajuan agama, untuk menjaga kesusilaan,  namun negara tidak diberi hak untuk mengatur apa yang terjadi dalam Gereja.

Berdasarkan uraian tentang hubungan Gereja dan negara menurut pandangan Calvin, maka nampak bahwa pemikiran Calvin tentang hubungan Gereja dan negara merupakan pemikiran yang sangat menyeluruh dari Alkitab, dalam arti dalam hubungan tersebut Gereja dapat menjalankan perannya dengan optimal, baik dalam kehidupan spiritual maupun dalam pengelolaan alam untuk membawa kesejahteraan manusia. Pemikiran Calvin tentang hubungan negara dan Gereja merupakan kebenaran yang Alkitabiah dan bersifat inklusif, dalam arti tidak hanya cocok dalam komunitas Kristen, tetapi juga dalam komunitas yang beragam agama. Dan penerapan dari hubungan negara dan Gereja/agama akan memberikan kebebasan kepada individu yang ada, secara khusus dalam penghormatan kebebasan beragama. Hal tersebut nampak jelas dalam pemilihan sistem pemerintahan yang diajukan oleh Calvin, dimana ia berpendapat bahwa dalam suatu sistem pemerintahan sebaiknya kuasa tertinggi dalam negara tidak berada dalam tangan satu orang, melainkan ditanggung dalam kelompok yang lebih luas (aristokrasi) atau lebih baik lagi suatu kelompok yang dipilih oleh rakyat, jadi Calvin mengusulkan Aristokrasi dan demokrasi. Tidaklah mengherankan jika Calvin disebut sebagai pionir kebebasan hati nurani dan HAM. Karena pemerintahan di tangan banyak orang dan berada dalam pengawasan banyak orang merupakan sistem negara yang disulkan Calvin, dan dalam sistem itu kebebasan individu dapat terjaga.

 

C. Kebijakan Tentang Kebebasan Beragama  di Indonesia

    Jaminan kebebasan beragama di Indonesia dituangkan dalam kebijakan publik tertinggi di negeri ini, yakni dituangkan dalam sila-sila Pancasila pada mukadimah,dan juga batang tubuh UUD 45 yang merupakan penjabaran dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Karena itu, hadirnya kebijakan yang merupakan turunan dari UUD 45 yang mendeskriminasikan agama-agama tertentu  lebih disebabkan karena kurangnya konsistensi pemerintah dalam berpegang pada perundang-undangan yang telah ditetapkan.

 

1. Pancasila Dasar Pengakuan Kebebasan Beragama.

      Pancasila sebagai dasar negara disahkan bersamaan dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dimengerti karena sila-sila dari Pancasila tertuang di dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, semua rumusan Pancasila yang ada, selain yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, termasuk Piagam Jakarta harus dianggap sebagai suatu dokumentasi sejarah. Dengan terjadinya penuangan Konstitusional tersebut, maka Pancasila menjadi sumber hukum negara Republik Indonesia dan Pancasila adalah Ideologi Nasional. Karena itu semua hukum dibawahnya harus bersumber dari Pancasila.

   Mengenai pengertian dari sila Ketuhanan yang Maha Esa, Soekarno pencetus istilah Pancasila menjelaskan seperti berikut:

Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang    Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja karena bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan,  sesuai keyakinan masing-masing. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Buddha menjalankan ibadahnya menurut petunjuk kitab-kitab mereka, dan seterusnya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat Indonesia hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya  “egoisme agama” dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. 

 

       Berdasarkan pernyataan di atas, Soekarno tidak bermaksud mengatakan bahwa negara mengatur rakyatnya untuk memilih agama yang harus mereka anut. Dalam pidato tersebut, dia hanya menganjurkan supaya semua warga negara memeluk agama yang sesuai dengan keyakinannya. Dia juga menjelaskan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan ibadah agamanya masing-masing. Soekarno dan rekan-rekannya yang merumuskan Pancasila adalah orang yang bertuhan, karena itu wajarlah jika mereka menghimbau semua rakyat Indonesia untuk bertuhan. Sebagai orang yang bertuhan, Soekarno mengerti apa faedah agama itu bagi pembangunan bangsa. Namun tidak berarti dia memaksa rakyat untuk menganut agama tertentu.

    Senada dengan Soekarno, TB Simatupang mengatakan secara tegas bahwa :

Sila pertama bukanlah “kepercayaan kepada Allah” tetapi lebih berarti kepercayaan kepada “ide ketuhanan”, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah “Allah” tetapi istilah yang lebih netral, “Ketuhanan”. Kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang ke-allahan. Ia berbicara tentang keilahian. Juga orang-orang yang tidak mempercayai Allah yang bersifat pribadi, misalnya beberapa kalangan dalam agama Budha, dapat menerima sila tersebut. Ia berbicara tentang kepercayaan kepada sesuatu yang maha transenden. Sesuatu yang maha esa, mungkin ini terdengar sebagai suatu konsep yang amat samar-samar, tetapi ia berhasil merangkul semuanya. Bahkan orang-orang Komunis pernah menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai keberatan yang asasi terhadapnya. Semua orang mendaptkan dalam sila itu sesuatu yang bersifat pokok dari segi kepercayaan mereka.

 

    Uraian Soekarno dan Simatupang mengenai Pancasila sangat jelas. Bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh diartikan secara teologis, yang dimaksud dengan penafsiran secara teologis misalnya adalah menafsirkan kata Ketuhanan yang Maha Esa sebagai tauhid dalam agama Islam, karena ia adalah gambaran pengakuan bahwa semua agama mempunyai tempat di bumi Indonesia. Sila tersebut juga merupakan suatu pengakuan bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak agama, dan memberi tempat yang sama terhadap semua agama. Penjelasan yang gamblang mengenai kebebasan beragama di dalam sila pertama yang merupakan pernyataan tidak adanya diskriminasi agama, seharusnya diterima oleh semua individu dan kelompok yang ada di Indonesia, apabila setiap individu dan kelompok tersebut sungguh-sungguh mempelajari sejarah lahirnya NKRI dan masa-masa di mana seluruh rakyat sama-sama bahu-membahu berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan itu.

 

2. Kebebasan Beragama dalam Perundang-undangan di Indonesia

 

Produk kebijakan terkait dengan kebebasan beragama di Indonesia ternyata dijumpai adanya ketidakkonsistenan antara kebijakan terkait dengan kebebasan beragama dalam UUD 45 dan kebijakan turunannya.

Kebebasan beragama di negeri ini dijamin oleh konstitusi. Udang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 45 hasil amandemen menegaskan :

1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”. 

 

Pengakuan hak kebebasan beragama dalam konstitusi negeri ini semakin dikokohkan dalam pasal 29 UUD 45 yang menyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

Selanjutnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kebebasan beragama sebagai hak dasar yang pemenuhannya tidak bisa ditunda  ditegaskan dalam pasal 22 demikian:

(1)Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Pengakuan kebebasan beragama sebagai hak-hak asasi yang bersifat universal secara tegas juga dinyatakan pada ratifikasi kovenan hak-hak sipil dan politik,  International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR), yang menjadi tuntutan internasional. Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia jelas cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya menjadi sangat sulit karena adanya kebijakan dan peraturan turunan dari UUD 45 yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 45 tentang kebebasan beragama.

Kebijakan Diskriminatif Terkait kebebasan beragama lahir karena ketidakkonsistenan pemerintah dalam bersikap netral pada agama-agama. Oleh karena kepentingan tertentu pemerintah Indonesia telah mengabaikan proteksi terhadap kebebasan beragama.

3. Kebijakan Diskriminatif

a. Kebijakan tentang Penodaan Agama

Pembatasan jumlah agama di Indonesia tidak memiliki pijakan dalam perundang-undangan.. Namun, pendefinisan agama menurut Departemen Agama yang memiliki syarat-syarat berikut: memiliki kitab suci, memiliki Nabi, Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa), memiliki tata ibadah bagi pengikutnya, telah diartikan sebagai pembatasan jumlah agama. Keberadaan agama-agama lain seperti Yahudi, Shinto, Zaratustarian, Taoisme tidak dilarang di Indonesia. Anehnya, agama-agama suku yang adalah agama pertama penduduk Indonesia tidak diakui keberadaannya dan mereka wajib bergabung pada salah satu agama resmi negara, jika tidak akan kehilangan hak-hak sipilnya. Daerah dimana penganut agama-agama suku itu tinggal menjadi ladang misi agama-agama resmi, sedang daerah dimana penganut agama resmi menjadi tempat terlarang bagi misi agama-agama lain.

Struktur Departemen Agama yang hanya terdiri atas Direktora Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu/Budha inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi pembatasan jumlah agama resmi negara.

Pemberlakuan agama resmi sebagaimana dilakukan pada masa Soekarno juga terjadi pada masa orde baru. Bahkan yang lebih tragis, agama Konghucu pada masa Soeharto tidak diakui keberadaannya sebagai agama resmi melalui penetapan Presiden No. 1/Pn.ps/1965, dan dalam undang-undang no.5 tahun 1969 tentang jenis-jenis agama di Indonesia yang terdiri atas, Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, tidak lagi diakui pada masa Soeharto melalui Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negri No.477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978. yang menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.  Umat Konghucu Indonesia baru kembali diakui keberadaannya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, aliran kepercayaan dan agama-agama suku sampai saat ini tetap mengalami pemasungan karena tidak pernah diakui eksistensinya sebagai agama.

b. Pendirian Rumah Ibadat

Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.  Pada praktiknya SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen. Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah, umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa daerah terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja. Ketetapan bahwa negara menjamin kebebasan warga negara untuk beribadah menurut kepercayaannya masing-masing telah disangkal dengan keluarnya SKB tahun 1969 itu. SKB ini menjadi alasan bagi penutupan, bahkan perusakan disertai pembakaran terhadap rumah-rumah ibadah agama minoritas.

1. SKB dua menteri ini pada masa reformasi mengalami perubahan menjadi Peraturan  Bersama Menteri (PBM) dalam peraturam bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri nomor 9 tahun 2006, dan nomor 8 tahun 2006. Namun, inti dari PBM tersebut tidak berbeda dengan SKB yang terindikasi memuat pasal-pasal yang membatasi kebebasan beragama, khususnya pembangunan tempat ibadah yang menuntut adanya sejumlah 60 tanda tangan orang dewasa dari aggota masyarakat dimana tempat ibadah itu akan didirikan. Untuk  pendirian Gereja, sekurang-kurangnya diajukan oleh 90 orang anggota dewasa. Setelah pemberlakuan PBM, pembakaran, pengrusakan tempat ibadah terus terjadi, Forum Komunikasi Kristen Jakarta mencatat selama 21 Maret 2006 hingga 17 Agustus 2007 terdapat 67 Gereja yang mendapat tekanan dan gangguan. Yang mengherankan, surat keputusan yang kontroversial dan tidak produktif ini tidak juga dibatalkan.

c. Kebijakan Penyiaran Agama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri juga membuat keputusan bersama nomor 1 tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Pasal 4 dari keputusan tersebut menjelaskan bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan bagi  orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain. Mengenai pelarangan penyiaran agama kepada yang sudah beragama ini, Simatupang mengatakan :

Salah satu jalan yang hendak ditempuh guna menghentikan pertumbuhan gereja yang pesat itu ialah melalui dikeluarkannya suatu pernyataan bersama, bahwa semua pihak tidak akan membawa agama kepada orang yang telah mempunyai agama. Maksudnya ialah agar supaya menyampaikan agama masing-masing orang dipusatkan kepada orang-orang yang belum mempunyai agama, sehingga dengan demikian tidak akan timbul ketegangan di antara umat beragama sendiri.

Perundang-undangan yang diskriminatif juga menyasar aliran Ahmadiyah. Menteri Agama dan jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri mengeluarkan SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya. SKB tersebut memang tidak membubarkan aliran Ahmadiyah, namun melarang penyebaran Ahmadiyah, meski masyarakat banyak yang mengartikannya sebagai pembubaran Ahmadiyah, sehingga setelah keluarnya keputusan itu tanggal 9 juni 2008, pemeluk Ahmadiyah mengalami ancaman.

Direktur Jenderal Hak Asasi manusia (HAM) Harkristuti menduga SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya diterbitkan setelah ada demonstrasi besar yang dilakukan sejumlah ormas di antaranya Hizbut Tahir (HTI), Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Laskar Aswajah, Aliansi Damai Antipenistaan Islam, dan Forum Betawi Rempug (FBR) di istana Kepresidenan yang meminta agar Ahmadiyah di bubarakan.Jadi jelaslah, lahirnya Produk undang-undang yang diskriminatif terkait ketidakkonsistenan pemerintah demi mencari posisi aman untuk tetap terus berkuasa.

d. Perda-perda agama

Produk undang-undang diskriminatif tidak hanya hadir melalui pusat pemerintahan, tetapi juga melalui pemerintahan lokal. Peraturan daerah (Perda) yang berbasis agama muncul diberbagai daerah, awalnya pada daerah-daerah dimana Islam menjadi mayoritas, itulah sebabnya perda-perda agama itu popular dengan sebutan Perda Syariat.

Maraknya penerapan Perda-perda Syariat diberbagai daerah di Indonesia terutama sejak provinsi Aceh  memberlakukan ketentuan syariat Islam di wilayahnya, setelah mendapatkan otonomi khusus melalui perundang-undangan nasional. Sulawesi Selatan dan Jawa Barat mengikuti jejak Aceh memberlakukan ketentuan Syariat di wilayahnya.Perda agama ini setidaknya telah diberlakukan di tingkat provinsi (6), Kabupaten (38), Kota (12).

Diskriminasi yang lahir karena penerapan perda agama itu kemudian menimbulkan perlawanan pada daerah-daerah dimana pemeluk agama non Islam yang menjadi mayoritas. Provinsi Bali dengan mayoritas agama Hindu Bali menuntut otonomi khusus sebagaimana yang diberikan pada provinsi Aceh.

Reaksi kontroversial atas perda agama (Perda syariat) datang dari wilayah Papua, Manokwari. Munculnya usulan Perda berbasis Injil sebagai proteksi terhadap Islamisasi di Papua dari tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, yang juga mendapat dukungan masyarakat, serta pemerintah lokal Manokwari mengakibatkan kebebasan beragama menjadi problem serius bukan hanya pada daerah-daerah mayoritas Islam, tapi juga pada daerah-daerah mayoritas Kristen dan juga mayoritas  Hindu. 

tentang kebebasan beragaama tingginya kekerasan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa implementasi dari undang-undang tersebut amat lemah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam memberikan andil bagi tingginya kekerasan agama di Indonesia juga berkait dengan ketidakkonsistenan pemerintah dalam berpegang pada konstitusi. Lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, merupakan contoh ketidak konsisitenan pemerintah yang menghadirkan aturan yang dikriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Menariknya lagi,  SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen (lihat Bab I). Hal itu semakin jelas ketika melihat latar belakang dikeluarkannya SK tersebut, yakni karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa tempat terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja.

Lahirnya undang-undang No. 1/1974 dimana Konghucu tidak tercantum sebagai agama resmi, jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang mengakui kebebasan beragama. Apalagi undang-undang perkawinan tersebut juga terbukti telah mengekang kebebasan beragama yakni adanya larangan menikah beda agama.

Selanjutnya, dalam Instruksi Menteri Agama No. 4/1978 dimana departemen agama tidak mengakui aliran kepercaayaan, jelas membuktikan bahwa transformasi Pancasila kedalam aturan-aturan dibawahnya tidak berjalam dengan mulus, banyak aturan-aturan di negeri ini yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD.

Tidak konsistennya pemerintah dalm berpegang pada konstitusi khususnya terhadap hak kebebasan beragama semakin terlihat jelas dengan kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah  dimana agama-agama tertentu menjadi mayoritas. Kehadiran perda-perda diskriminatif tersebut kemudian membua interdepedensi antar agama makin tergerus, dan intoleransi agama makin menguat di negeri yang terkenal dengan kerukunannya.

KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Sebuah kebijakan publik terkait dengan agama yang unggul pastilah dapat dilaksanakan dengan baik dan akan menghadirkan kehidupan publik antara agama yang toleran dan rukun. Sebaliknya kebijakan publik yang buruk akan sulit untuk diterapkan dan berakibat terganggunya kehidupan publik antar agama yang toleran dan rukun.

Akibat hadirnya kebijakan publik terkait agama yang buruk, bertentangan UUD 45 yang mengatur tentang kebebasan beragama di Indonesia, maka kondisi kebebasan beragama di Indonesia telah menjadi problem yang tidak mudah diselesaikan. Indonesia pernah terkenal dengan semangat toleransinya yang tinggi antar agama-agama, namun oleh karena hadirnya kebijakan publik yang buruk, toleransi antar agama di Indonesia kemudian makin menipis, dan  hubungan antar agama di Indonesia kemudian menjadi sesuatu yang amat peka, bahkan tidak jarang menyulut konflik yang mengakibatkan korban harta dan yawa yang tidak sedikit.

 

.

 

A. Kekerasan antar agama. 

Dalam diskusi “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2008” di Jakarta. Yoseph Ade Prasetyo, anggota staf Divisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM melaporkan sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari tahun 2004 hingga 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima 120 laporan mengenai penodaan terhadap rumah ibadah, baik yang diancam akan ditutup maupun yang telah ditutup secara paksa.

Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi pada tahun 2008 tersebut bukanlah yang tertinggi dalam sejarah pemerintahan reformasi, karena kekerasan agama sepertinya telah menjadi bagian yang erat dalam sejarah reformasi, dan sampai akhir tahun 2008 kekerasan agama itu terus terjadi dalam jumlah yang terbilang tinggi.  SETARA Institute for Democracy and Peace   mencatat, sepanjang 2008 terjadi 367 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pelanggaran itu terjadi dalam 265 peristiwa. "Peristiwa paling banyak terjadi pada Juni 2008. Dari 367 pelanggaran, masih berdasarkan catatan SETARA, 88 tindakan merupakan tindakan kriminal yang dilakukan warga dan 91 tindakan berupa intoleransi dilakukan oleh individu/anggota masyarakat.

Dalam tahun 90-an Indonesia menjadi juara dunia dalam hal membakar dan merusak Gereja. Forum Komunikasi Kristen Jakarta mencatat, sejak 13 September 1969 hingga Maret 2006 sudah ada 950 Gereja dirusak atau di bakar. Belum termasuk tempat ibadah agama-agama lain yang juga mengalami nasib yang sama, dirusak dan dibakar karena pertentangan antar agama.

B. Kekerasan dalam agama tertentu.

Center for Studies and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada (CRCS UGM) menerbitkan temuan bahwa sepanjang tahun 2008 kehidupan relasi keagamaan di Indonesia masih banyak diwarnai oleh praktik-praktik kekerasan, yang didominasi oleh kekerasan dalam internal agama itu sendiri.

Korban kekerasan terbesar yang terjadi di dalam agama (agama dengan aliran yang disebut bidat) terbesar terjadi pada kelompok Ahmadiyah.Kekerasan lain juga terjadi pada Lia Eden dan pengikutnya, dan juga terhadap aliran yang berbeda dengan mainstream agama tertentu.

 

Reformasi dan Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia

Kebijakan publik terkait kebebasan beragama di Indonesia sesungguhnya menempati posisi yang sentral bagi usaha memajukan bangsa Indonesia. Apabila pemerintah Indonesia gagal membuat kebijakan yang unggul dalam ptoteksi kebebasan beragama, maka taruhannya adalah kerusakan dan kehancuran kehidupan bangsa Indonesia. Kebijakan terkait agama yang memiliki posisi penting dalam sejarah perjuangan bangsa  yang buruk akan berdampak panjang. Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang unggul jika kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan-kebijakan yang unggul dan tentu saja dapat diimplementasikan.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat dipengaruhi oleh hadirnya sebuah kebijakan yang menjamin kebeabsan beragama di Indonesia. Jaminan kebebasan beragama di Indonesia dalam UUD 45, demikian juga dengan ratifikas hak-hak sipil yang juga memuat tentang kebebasan beragama, dan dalam hal ini menjadi perjuangan yang dipengaruhi gerakan reformasi, maka kekristenan sudah semestainya membawa semangat reformasi dalam penetapan kebijakan yang melindungi kebebasan beragama di Indonesia.

 Implementasi Proteksi kebebasan beragama dalam negara yang sangat plural seperti Indonesia bukan hal yang mudah. Namun, kebebasan Beragama di Indonesia awalnya tidak menjadi problem. Masuknya agama-agama pendatang yang kini menjadi agama mayoritas berlangsung secara damai. Kebebasan beragama mulai menjadi problem ketika pemerintah yang berkuasa tidak konsisten berpegang pada Pancasila dan konstitusi yang berlaku. Demi mempertahankan kekuasaannya pemerintah memakai agama untuk memuaskan ambisinya tersebut. Pemerintah memberikan kekhususan pada agama tertentu demi mendapatkan dukungan demi melatenkan kekuasaannya. Ini adalah politisasi agama yang merusak agama dan hubungan antar agama. Politisasi agama itu mengkerdilkan peran penting agama dalam masyarakat. Bahkan kemudian menimbulkan benturan antar agama. Agamaisasi Politik

Negara dan agama memang tidak dipisahkan secara pemisahan kedap air, atau sama sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Agama dan Negara sesungguhnya memiliki kedaulatan yang berbeda. Namun agama memiliki kepentingan dengan negara, khususnya terkait hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Negara, tempat dimana umat beragama itu tinggal. Hubungan antara agama dan Negara dalam Negara Indonesia sering kali dipahami berbeda dengan yang seharusnya. Negara Pancasila bukan Negara agama(teokrasi yang didasarkan pada agama tertentu), dan juga bukan Negara sekuler yang menafikan peran agama dalam ruang public. Kebingungan memahami Hubungan antara agama dan Negara ini nyata dengan lahirnya perda-perda berbasis agama yang marak pada masa reformasi dimana otonomi daerah diberlakukan. Mayoritas agama dalam tempat-tempat tertentu ingin menunjukan hegemoninya dan menguasai pemerintahan daerah, sebagaimana terjadi dalam negara agama. Hegemoni agama ini membuat agama tidak lagi kritis, dan tidak lagi perduli dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diusungnya. Agama kemudian melupakan agama lainnya sebagai saudara, dan menuntut diperlakukan secara khusus. Pada daerah-daerah dimana perda agama diberlakukan, bukan hanya diskriminasi terhadap agama lain yang terjadi, agama-gama itu sendiri pun mengalami kemerosotan. Hingga saat ini belum ada indikasi bahwa daerah-daerah yang menetapkan perda agama adalah daerah yang aman dan makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak menetapkan perda agama. Agamaisasi politik ini tidak berbeda dengan politisasi agama ternyata berdampak buruk pada agama itu sendiri, diman agama tidak lagi dapat memberikan kontribusi positifnya secara maksimal.

 https://www.binsarhutabarat.com/2021/03/kebijakan-kebebasan-beragama-di-indonesia.html

No comments:

Post a Comment

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...