Wednesday, March 13, 2024

Mewaspadai Politisasi Kekerasan Masa Lalu


Tempat Belajar Menulis Karya Ilmiah, Klik Disini!







Tulisan Liliya Wetangterah dibawah ini menarik untuk disimak. Politisasi kekerasan hanya akan menghadirkan kekerasan demi kekerasan.


 Bagaimanakah kita dapat berperan untuk memutus rantai kekerasan masa lalu? 

Bagaimanakah kita bisa tetap mengingat peristiwa kekerasan masa lalu untuk kemudian saling memaafkan  dan tidak mengulangi tindakan kekerasan yang memilukan itu?

Artikel dibawah ini diterterbitkan dalam blog Binsar Hutabarat Institute sebagai penghargaan atas pemikiran yang penting, apalagi isu-isu terkait dengan politisasi kekerasan  masa lalu memang hadir dalam media-media sosial sebagaimana dituliskan dalam artikel ini.

Penerbitan artikel yang penulis terima melalui email google scholar ini juga  tepat pada peringatan kematian Yesus di salib yang mendamaikan manusia berdosa. Kiranya kita bisa bebas dari pengulangan konflik masa lalu, dan dapat hidup damai sebagai sebuah bangsa di negeri yang pernah tersohor dengan toleransinya ini.



 GEREJA SEBAGAI KAWAN SEPERJALANAN
DI TENGAH POLITISASI ISU KEMANUSIAAN KEKERASAN MASA LALU
Liliya Wetangterah

 

Indonesia memasuki sebuah babak baru demokrasi sejak ditetapkannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Empat belas tahun kemudian, di tahun 2018, Indonesia memasuki babak baru dalam pemilu yaitu dengan diberlakukannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa wilayah di Indonesia. 171 daerah yang terdiri dari 39 kota dan 115 kabupaten telah melaksanakan Pilkada serentak pada 27 Juni 2018.

Melalui Pilkada langsung, bangsa ini diingatkan kembali bahwa rakyatlah yang berdaulat. Jabatan dan kepemimpinan kepala daerah adalah amanat yang didapat dari rakyat yang akan mereka pimpin. Sudah seharusnya jabatan dan kuasa yang didapat dipergunakan sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat. Demi mendapatkan suara rakyat berbagai macam cara dilakukan. Dari memberikan visi-misi dan program-program kerja yang dirancang serta prestasi kerja yang pernah dicapai, hingga saling berbalas kampanye hitam.

Pemilihan umum serentak tahun 2018 juga menjadi jalan pembuka bagi pemilihan umum serentak tahun 2019 yang memilih presiden dan para anggota dewan, baik daerah maupun anggota legislatif di Senayan. Bagi para kontestan, kemenangan-kemenangan dalam Pilkada tahun 2018 akan juga menentukan strategi pemilihan presiden tahun 2019. Keriuhan pemilu juga ditambah dengan perkembangan media daring (online) yang begitu cepat. Media daring menjadi salah satu media ampuh untuk mempromosikan diri dan hasil kerja para kontestan pemilu. Namun di sisi lain, media menjadi alat penyebar informasi yang tidak benar, kampanye hitam, dan berbagai ujaran kebencian.  

Keriuhan pemilihan umum dengan berbagai kampanye melalui media sosial tahun 2018 silam terjadi di tengah-tengah berbagai pelanggaran HAM dan kekerasan masa lalu yang tidak terselesaikan hingga hari ini. Kekaburan sejarah ini tidak hanya menjadi alat impunitas tetapi juga menyediakan ruang bagi politisasi isu-isu kekerasan tersebut dalam pemilihan umum. Politisasi isu pelanggaran Ham dan kekerasan memiliki keuntungan namun lebih banyak mendatangkan kerugian. Pelanggaran Ham dan kekerasan tidak akan dilihat dan diselesaikan sebagai masalah kemanusiaan. Salah satu pelanggaran HAM dan kekerasan masa lalu tersebut adalah Tragedi ’65. Tulisan ini akan melihat bagaimana isu kemanusiaan Tragedi ‘65 dipakai dalam pemilu tahun 2018, apa dampaknya bagi para korban dan proses penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan, khususnya Tragedi ’65, serta bagaimana gereja menempatkan diri dan mengambil sikap.

 

Isu Tragedi ’65 dan Pilkada

Pada tanggal 15 Januari 2018, Budi Gunawan, kepala Badan Intelejen Negara (BIN), menjelaskan bahwa isu yang akan berkembang di seputar Pilkada diantaranya adalah isu agama dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ditungganginya isu PKI dalam Pilkada bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sudah 53 tahun berlalu sejak kejadian penculikan dan pembunuhan para jenderal, namun kata PKI masih menjadi “hantu” yang menakutkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Di sisi lain, “hantu” ini menjadi “komoditas” yang dianggap akan membuat laku kampanye-kampanye politik. Pada tahun 2014, saat masa Pemilihan Presiden langsung, Joko Widodo menjadi korban dari serangan isu PKI. Tidak segan-segan berbagai komentar di media sosial menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan isu keterlibatannya dengan PKI. Isu ini tentunya ditangkis dengan tegas.

Pada tahun 2017, saat Pilkada DKI Jakarta sedang berlangsung isu kebangkitan PKI juga sempat dihembuskan untk menarik perhatian pemilih. Tidak hanya di Jakarta, isu PKI juga menyerang politisi di daerah. Thjai Ciu Mie, salah seorang anggota DPRD kota Singkawang yang maju menjadi bakal calon walikota Singkawang 2017, diisukan membagikan kalender dengan lambang palu arit.

Saiful Muljani Research Consulting (SMRC) melakukan survei pada tahun 2017 tentang isu kebangkitan PKI. Penelitian ini menggunakan metode multistage random sampling, dengan 1057 responden yang digunakan untuk analisis data. Tingkat kepercayaan mencapai 95% dan menggunakan margin eror 3,1%. Hasil survei ini menemukan bahwa 86% responden tidak mempercayai bahwa sekarang telah terjadi kebangkitan PKI. Hanya 12,6% responden yang percaya bahwa telah terjadi kebangkitan PKI. Temuan lainnya dari survei ini adalah 5,1% responden percaya bahwa Jokowi adalah orang atau terkait PKI sementara 71,5% menyatakan tidak percaya, dan 19.9% tidak tahu. Sirojuddin Abas, direktur SMRC, menjelaskan bahwa isu kebangkitan PKI adalah isu yang direproduksi dan terasosiasi dengan elite politik. Isu ini akan semakin hangat menjelang Pilpers tahun 2019. Berhembus dengan kencangnya isu kebangkitan PKI tidak dapat dipisahkan adanya gerakan dari mesin partai tertentu untuk memobilisasi suara demi tujuan kekuasaan tokoh partai tertentu. Di pihak lain isu kebangkitan PKI juga bertujuan untuk mengurangi legitimasi pemerintah.

Wahid Foundation melakukan survei tentang tren toleransi sosial dikalangan perempuan Muslim Indonesia pada Oktober 2017. Survei ini dilakukan di 34 provinsi dengan 1500 responden. Dalam survei ini ditemukan bahwa kelompok komunis dan LGBT menjadi kelompok yang paling tidak disukai. Ketidaksukaan terhadap kelompok komunis cenderung meningkat dari tahun 2016. Jika pada tahun 2016 tercatat 16,7% responden yang tidak menyukai kelompok komunis terdapat peningkatan pada tahun 2017 menjadi 21,9%. Yenni Wahid, Direktur Wahid Institut, menyatakan bahwa isu PKI adalah adalah isu yang sangat politis dan dapat dipakai untuk menyerang Jokowi. Komunis adalah kelompok yang terimajinasikan dan tidak termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari namun isu ini sangat cepat diterima oleh masyarakat.

Politik buta sejarah membuat orang mempropagandakan isu-isu apapun selama isu itu dapat dijadikan kambing hitam demi menyatukan berbagai dukungan. Raffi Pamenang Imawan, seorang peneliti di Populi Center memperingatkan bahwa munculnya isu PKI dan kebangkitannya adalah tanda dari ingin kembalinya oligarki lama atau kelompok tertentu yang tersingkir karena runtuhnya Orde Baru. Isu PKI diprediksi akan digaungkan pada pemilihan 2018 sebagai persiapan menuju pemilihan 2019.  Pemilihan 2018 menjadi pemilihan yang strategis karena akan memperebutkan kantong-kantong suara bagi Pilpres 2019. Prediksi tersebut ternyata terkonfirmasi dalam debat capres keempat dalam Pilpres 2019. Presiden Jokowi, dalam kapasitas sebagai calon petahana, mengakui sendiri bahwa selama empat tahun dirinya telah dituduh PKI.

Ada pihak-pihak yang mengharapkan isu PKI dapat menjatuhkan kredibilitas pemerintah dan dapat membuat gesekan dan perpecahan dalam masyarakat. Dihembuskannya isu PKI juga diharapkan dapat menyasar kaum nasionalis dan agamis yang menentukan pilihannya dengan pertimbangan emosional. Kaum nasionalis dan agamis adalah dua segmen pemilih yang cukup luas.  

 

Antara Stigma dan Fakta

Setelah terjadinya penculikan dan pembunuhan pada 30 September 1965, PKI kemudian diumumkan sebagai dalangnya. Cerita, film, dan buku-buku sejarah dicetak untuk membuktikan betapa kejinya PKI membunuh para jenderal. Sepuluh orang jenderal yang meninggal pada saat itu dianugerahkan gelar Pahlawan Revolusi. Dari generasi ke generasi, cerita kekejian yang dilakukan oleh PKI direproduksi sebagai ingatan bangsa yang sangat menakutkan. PKI dan komunis menjadi kata yang tabu diucapkan oleh bangsa Indonesia. Lambang palu arit yang sedianya merupakan alat-alat pertanian menjadi lambang yang menakutkan. Berbagai pihak dan masyarakat yang membantu proses pemberantasan gerakan tersebut dilihat sebagai pahlawan negara yang berjuang demi nasionalisme untuk mempertahankan negara Republik Indonesia.

Di sisi lain, sejak 1 Oktober 1965, jutaan warga negara Indonesia dikejar, dipenjarakan, disiksa, bahkan dibunuh dengan keji karena menjadi anggota PKI dan sebagian dituduh menjadi anggota PKI. Tuduhan sebagai kelompok yang akan menggantikan dasar negara Indonesia seolah membenarkan berbagai kekerasan-kekerasan yang dialami oleh mereka yang berafliasi dengan PKI dan yang dituduh PKI. Kelompok ini kemudian menjadi kelompok yang didiskriminasi secara sistematis sebagai bentuk pemberantasan PKI. Kekerasan-kekerasan tersebut tidak hanya terjadi di pulau-pulau besar di Indonesia tetapi terjadi di seluruh Indonesia. Hasil laporan Internasional People Tribunal on Crimes against Humanity in Indonesia 1965 di Belanda menyatakan telah terjadi beberapa kejahatan kemanusiaan seperti pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, hingga pengasingan bertahun-tahun. Laporan ini juga menyebutkan jumlah korban pada saat itu menyentuh angka enam digit atau sekitar tiga juta orang. Sebagian besar korban menerima kejahatan tersebut tanpa adanya pemeriksaan dan pengadilan.

Cerita-cerita kekejian yang dilakukan oleh PKI di Lubang Buaya direproduksi secara berulang sebagai versi cerita resmi. Demikian juga cerita kekejian yang dialami oleh korban dan keluarga PKI atau yang dituduh PKI dibungkam menjadi cerita yang tabu namun menyebar dalam diam di tengah masyarakat. Kondisi ini bertahan bertahun-tahun membuat bangsa Indonesia bertumbuh dalam ketakutan. Penyiksaan, kekejian, dan kematian yang dipertontonkan kepada masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi tanpa disadari telah menjadi teror. Masyarakat Indonesia dikondisikan bahwa kekerasan yang dialami oleh korban merupakan sesuatu yang wajar dan harus diterima oleh orang-orang yang menjadi musuh bangsa. Secara turun-temurun korban dan keluarganya selalu ditempatkan sebagai musuh bersama bangsa.

Emmanuel Subangun menegaskan bahwa sikap yang diwariskan oleh Orde Baru adalah politik yang yang memandang kelompok lain sebagai kawan atau lawan. Tidak ada ruang untuk duduk bersama dalam perbedaan membicarakan kepentingan bersama. Lawan adalah kelompok berbeda yang tidak perlu diajak duduk bersama untuk berembuk dan pantas untuk dibunuh mati. Berpuluh-puluh tahun kemudian sikap berpolitik seperti ini masih hidup dalam masyarakat. Stigma PKI dipakai untuk meragukan nasionalisme lawan yang bahkan dapat dipakai membunuh karakter seseorang. Identitas seseorang diubah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia. Pada saat seseorang telah ditempatkan sebagai musuh bersama bagi bangsa saat itulah segala bentuk kekerasan seolah dibenarkan untuk dia terima. Penggunaan stigma PKI kepada lawan politik adalah sebuah taktik kotor yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Di sisi lain terdapat fakta yang berbeda. Sejarah Indonesia membuktikan banyak dari antara korban yang ditangkap, dibunuh mati, atau diasingkan adalah pahlawan yang telah berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Sebagian dari mereka juga adalah kaum intelektual yang pemikiran dan karya mereka telah membesarkan bangsa Indonesia pada masa mereka masing-masing.  Sebut saja Fransiska Fanggidae, seorang perempuan kelahiran pulau Timor, 16 Agustus 1925. Namanya hilang dari sejarah Indonesia sejak Tragedi ’65. Fransisca tidak dapat kembali ke Indonesia, ia tinggal di Belanda setelah sebelumnya sempat menjalani pengasingan di Tiongkok.

Fransisca adalah seorang perempuan yang menjadi pembicara di Konferensi Kalkuta, India, pada tahun 1948. Konferensi Kalkuta sendiri adalah konferensi pemuda dari negara-negara terjajah yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Pada konferensi ini, Fransisca sebagai tokoh perempuan muda berbicara tentang pentingnya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sepak terjang Fransisca dan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia kemudian dibukukan berdasarkan wawancara dengan dirinya dalam sebuah buku berjudul Memoar Perempuan Revolosioner. 

Gambaran lain dapat dilihat dalam buku Memori-Memori Terlarang hasil penelitian Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini memperlihatkan sebagian korban yang meninggal pada Tragedi ’65 adalah orang-orang yang berpendidikan dan memiliki peran penting dalam masyarakat. Cerita-cerita korban dari pulau Sabu, salah satu pulau kecil di provinsi NTT, membuktikan bahwa kebanyakan korban yang ditangkap dan dibunuh pada saat itu adalah guru-guru sekolah. Pada masa itu, mereka telah berpendidikan cukup baik dan memberikan diri untuk menjadi pengajar di pelosok-pelosok negeri. Sebagai orang berpendidikan para guru ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga kemudian mendorong mereka untuk terlibat dari berbagai organisasi dan menjadi kritis pada masa itu. Merekalah yang kemudian dituduh sebagai anggota PKI dan sebagian dibunuh.

Di sisi lain, korban dan keluarganya hingga kini masih terus hidup di negara ini sebagai warga negara yang turut membangun bangsa ini walau keberadaan mereka dihambat dan dipersulit secara sistematis. Di tengah-tengah stigma dan diskriminasi yang terus direproduksi dalam dunia pendidikan, sebagian anak-anak korban dan keluarganya tetap berjuang mati-matian untuk tetap mengecap pendidikan yang tinggi. Diskriminasi juga dirasakan oleh para korban dan keluarganya ketika hendak mencari kerja. Cap eks-tahanan politik (tapol) pada Kartu Tanda Penduduk yang diberikan bagi korban dan keluarga menjadi salah cara yang digunakan selama bertahun-tahun sebagai salah satu alat diskriminasi. Di tengah-tengah kesulitan ini sebagian anak-anak korban dan keluarga lainnya tetap dapat menemukan jalan hidup mereka.

Salah seorang korban di kota Kupang berhasil untuk menyekolahkan anak-anaknya walau dengan bersusah payah hingga anaknya telah mejadi seorang dosen. Anak-anak korban lainnya telah menjadi kepala desa, sebagian menjadi aparat desa, sebagian lagi bekerja pada lembaga swadaya masyarakat. Realitanya, dalam luka dan duka yang korban alami karena berbagai diskriminasi, korban dan keluarganya tetap berusaha sekuat tenaga untuk tetap mempertahankan hidup dan bekerja membangun bangsa dan berjasa bagi negara melalui profesi masing-masing. Tidak sedikit diantara mereka masih menyimpan trauma dan masih terus berjuang dengan identitas mereka sebagai anak dan keluarga korban. Korban dan keluarganya terus bekerja membangun bangsa ini sesuai dengan profesi mereka masing-masing.

Pada realitanya korban dan keluarga, walau puluhan tahun masih terstigma sebagai musuh negara, tetap bekerja membangun negara melalui profesi masing-masing. Sementara itu, para penyebar kampanye hitam terlihat seolah menjadi kelompok yang nasionalis karena menjaga negeri ini dari para musuh negara. Padahal mereka tidak peduli bagaimana trauma bangsa dapat dengan mudah muncul kembali. Penyebar kampanye hitam hanya mementingkan kepentingan agar kandidat yang didukungnya dalam pilkada terpilih. Seolah tidak peduli bahwa tidak akan ada kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa mendengarkan suara korban.

 

 

Kerugian dan Keuntungan Penggunaan

Isu Tragedi ’65 dan Pilkada dari Perspektif Korban

 

Media massa, baik cetak, elektronik, dan media sosial, menjadi alat komunikasi yang memiliki peran penting. Perkembangan media elektronik terutama media sosial sebagai bagian dari kemajuan teknologi tentunya memiliki dua wajah, wajah positif dan negatif. Melalui media elektronik sebuah berita dapat sampai ke seluruh penjuru negeri hanya dalam hitungan menit.

Akses berita yang cepat dan luas menjadi kelebihan media elektronik untuk digunakan sebagai alat kampanye termasuk kampanye hitam. Pelabelan atau stigmatisasi keterlibatan seseorang calon pemimpin daerah sebagai seseorang yang berhubungan dengan PKI adalah kampanye politik tanpa hati nurani yang memanfaatkan kekaburan sejarah bangsa.

Dihembuskannya isu kebangkitan PKI mengingatkan masyarakat Indonesia terutama korban Tragedi ‘65 kepada trauma masa lalu. Korban dan keluarga kembali ditempatkan dalam keadaan ketakutan. Tidak hanya itu, berbagai kegiatan terkait pengungkapan kebenaran Tragedi ’65 menjadi terhambat karena takut dicurigai sebagai kebangkitan PKI baru. Dengan kata lain, rekonsiliasi bangsa masih menjadi jalan jauh, berbatu, dan berliku. Tanpa pengungkapan kebenaran, bangsa Indonesia tidak akan pernah tahu apa yang harus direkonsiliasikan. Sementara itu, pengungkapan kebenaran harus berburu waktu karena banyak korban semakin hari semakin sepuh; sudah terlalu banyak korban yang meninggal dengan membawa luka hati mereka karena menanti keadilan.

Terbungkamnya usaha pengungkapan kebenaran berakibat pada langgengnya impunitas karena negara tidak mampu memenuhi tugasnya. Untuk melawan impunitas, negara bertugas untuk menyelidiki pelanggaran termasuk memastikan para pelaku dituntut dengan hukuman yang adil. Negara juga bertugas menyediakan pemulihan yang efektif sehingga korban dapat menerima reparasi atas luka-luka yang mereka terima. Tugas lain dari negara yang penting bagi masa depan bangsa Indonesia adalah memastikan hak mutlak bagi para korban untuk mengetahui kebenaran dan negara harus mengambil langkah-langkah penting untuk mencegah keberulangan.

Selama isu PKI masih dipakai sebagai komoditi politik maka Tragedi ’65 tidak akan menjadi masalah kemanusiaan. Siapapun yang menjadi presiden pasti akan menghindarkan diri dari penyelesaian kasus Tragedi ’65. Demikian juga para gubernur dan bupati tidak akan mendengarkan suara korban dan berani mengambil kebijakan terkait korban Tragedi ’65. Terlalu besar resiko yang harus dipikul ketika mereka telah terstigma sebagai pembela PKI gaya baru.  

Di sisi lain, berkembangnya isu PKI di media elektronik juga memberikan sedikit pengaruh baik. Perubahan kurikulum sejarah dari kurikulum 1994 ke kurikulum 2004 sebenarnya menyediakan ruang bagi pendapat yang lebih beragam terkait cerita Tragedi ’65. Dalam kurikulum 2004 cerita tentang Tragedi ’65 belum diceritakan. Pada tingkat SMP dan SMA, cerita Tragedi ’65 digambarkan dengan menampilkan berbagai pendapat terkait Tragedi ’65. Kurikulum sempat diujicobakan namun menerima berbagai kritikan sehingga diputuskan untuk kembali ke kurikulum 1994. Keadaan ini di satu sisi memberikan dampak positif karena generasi muda tidak lagi terpapar narasi resmi pemerintah terkait Tragedi ’65. Namun, di sisi lain, hal ini menjadikan generasi muda sebagai generasi yang tidak lagi mengetahui apa yang terjadi pada Tragedi ’65. Ruang kosong pada pengetahuan sejarah generasi muda ini hendaknya menjadi ruang yang harus direbut agar berbagai hasil penelitian terkait Tragedi ’65, terutama yang berangkat dari perspektif korban, harus dibaca oleh generasi muda.

Kembali maraknya pembicaraan kampanye hitam terkait isu PKI di media elektronik, termasuk di dalamnya media sosial, setidaknya menaikan rasa ingin tahu generasi muda untuk mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi pada Tragedi ’65. Pada saat yang sama berbagai klarifikasi terkait Tragedi ’65 semakin marak dipaparkan dan dibicarakan di media sosial. Berbagai hasil penelitian, baik di Indonesia maupun di luar negeri, mengenai sisi lain Tragedi ’65 gencar dibahas. Fakta demi fakta semakin dibukakan untuk dikonsumsi masyarakat. Situasi ini setidaknya membuat masyarakat mendapat semakin banyak pemahaman tentang sisi lain Tragedi ’65 yang tidak mungkin dibicarakan di waktu sebelumnya. Namun sayangnya situasi ini didorong bukan demi terungkapnya kebenaran namun sebagai komoditas politik. Setidaknya suara-suara korban yang dulu berada dalam ruang gelap sebagai sesuatu yang tabu kini berada dalam ruang abu-abu. Narasi-narasi korban terdengar dimana-mana tetapi tanpa legitimasi kebenarannya oleh negara.

 

 

Gereja Sebagai Kawan Seperjalanan Korban dan Keluarganya

Banyak diantara para korban dan keluarganya hingga hari ini masih bertanya-tanya apa salah dan dosa mereka bagi bangsa Indonesia sehingga kekerasan secara sistematik harus mereka terima selama puluhan tahun. Para korban dan keluarganya memiliki hak atas kebenaran. Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2005 telah membuat resolusi tentang hak atas kebenaran. Tanggal 24 Maret telah juga ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban. Hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat mencakup:

1. Hak untuk mengetahui pelanggaran yang dialaminya

2. Hak atas keadilan

3. Hak atas reparasi

4. Jaminan bahwa pelanggaran tidak akan berulang lagi

Dalam perspektif transitional justice hak-hak korban ini sejalan dengan pendekatan advokasi yang menyeluruh dengan meliputi:

1. Pengungkapan kebenaran

2. Penuntutan pelaku di pengadilan

3. Pemulihan korban

4. Reformasi institusi untuk memastikan pelanggaran tidak akan terjadi lagi.

Dengan kata lain proses pengungkapan kebenaran adalah proses untuk memahami masa lalu untuk memperbaiki diri pada masa sekarang demi masa depan. Dengan mendengar suara korban, kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu dapat dimengerti. Dengan memahami apa yang terjadi di masa lalu maka faktor-faktor penyebab, pola-pola kekerasan, dan akibat dari kekerasan dapat dikenali. Hanya dengan demikian bangsa ini dapat terhindar dari terulangnya kekerasan yang sama.

Negara berkewajiban untuk memenuhi seluruh hak korban atas kebenaran ini. Namun pada kenyataanya hingga hari ini masyarakat sipil menjadi pihak yang lebih gencar mendengarkan suara korban, mencari, dan menyatukan potongan-potongan kebenaran sejarah Indonesia terkait Tragedi ‘65. Gerakan masyarakat sipil untuk mengumpulkan suara-suara korban Tragedi ’65 di seluruh penjuru Indonesia dilakukan sebagai gerakan dari pinggiran dan telah banyak dilakukan serta menghasilkan berbagai karya. Dalam konteks NTT saja telah ada buku Memori-Memori TerlarangMenemukan Kembali IndonesiaMerentang Juang, dan beberapa hasil penelitian lainnya.  

Jalan panjang pengungkapan kebenaran di Indonesia sendiri telah dimulai secara nasional dengan dilaksanakannya gerakan tahun kebenaran pada tahun 2014 oleh Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Inisiatif tahun kebenaran ini adalah salah satu usaha masyarakat sipil untuk memenuhi hak-hak atas kebenaran para korban dan keluarganya. Nilai penting lain dari gerakan tahun kebenaran ini adalah untuk menyatakan pada bangsa Indonesia bahwa jika kekerasan pada masa lalu tidak diselesaikan dengan baik maka tidak ada jaminan di masa depan bahwa kekerasan tersebut tidak akan terulang lagi.

Pada tahun kebenaran tersebut dilakukan Dengar Kesaksian dari beragam kasus yang terjadi antara 1965 sampai dengan 2005. Diantaranya, kekerasan Tragedi 1998 yang terjadi saat runtuhnya rezim Soeharto, operasi-operasi Militer di wilayah Papua, Aceh, dan Timor Leste, Konflik Sumber Daya Alam, serangan terhadap kelompok kritis dan pembela HAM, dan pemaksaan terhadap ideologi Asas Tunggal Pancasila. Jumlah kasus yang didokumentasi sebanyak 930 peristiwa kekerasan yang mencakup 3.396 korban (2.706 korban laki-laki, 529 korban perempuan, dan 161 tidak diketahui/tidak tersedia informasi). 

Sebanyak 72 kesaksian diantaranya diperdengarkan secara langsung oleh para korban dan saksi di Jakarta, Solo, Palu, Kupang, Papua, dan Aceh dalam acara Dengar Kesaksian. KKPK berhasil mengkaji dan menuliskan 140 narasi peristiwa kekerasan yang dianggap dapat memberikan gambaran tentang kekerasan pada tahun 1965 sampai 2005. Temuan ini menjadi bukti bahwa sejarah bangsa Indonesia penuh dengan peristiwa berdarah. Hasil dari dengar kesaksian ditulis dalam laporan akhir Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), dengan judul “Menemukan Kembali Indonesia Baru: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas.”

Tidak hanya data, jejaring-jejaring masyarakat sipil dari daerah-daerah hingga dunia internasional telah terjalin bahkan telah mewujudkan International People Tribunal. Pengadilan rakyat ini dilaksanakan di Den Haag pada 13 November 2015 dengan menghadirkan berbagai korban dan saksi untuk menceritakan apa yang terjadi pada Tragedi ’65.  Walau pengadilan ini tidak berakibat pada hukum, pengadilan ini memutuskan bahwa telah terjadi sepuluh pelanggaran berat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada masa itu. Sepuluh pelanggaran HAM berat tersebut adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.

Setelah pengadilan rakyat dilaksanakan di Belanda (International People Tribunal ) pada tanggal 18-19 April 2018, di Indonesia dilaksanakan juga Simposium Nasional untuk membedah Tragedi ’65 dengan pendekatan sejarah. Simposium Nasional ini adalah gerakan maju di mana untuk pertama kalinya negara mau bicara tentang Tragedi ’65. Kendati demikian harus diakui bahwa penyelesaian kasus Tragedi ’65, apalagi permintaan maaf negara, masih menjadi harapan yang harus diraih melalui sebuah perjalanan panjang.

Gerakan-gerakan pengungkapan kebenaran yang menjadi gerakan masyarakat sipil ini adalah gerakan dari pinggiran-pinggiran negeri. Gerakan-gerakan masyarakat sipil ini hanya terjadi di pinggiran sebab belum berhasil menyentuh para pembuat keputusan di pusat-pusat pemerintahan.

Selama Tragedi ’65 masih terus dipakai sebagai komoditas politik maka penyelesaian kasus-kasus Tragedi ’65 sebagai sebuah masalah kemanusiaan masih menjadi pergumulan panjang yang entah kapan bertemu ujungnya. Penyelesaian kasus Tragedi ’65 dan pengungkapan kebenaran hanya akan diselesaikan jika hitung-hitungan secara politik cukup menguntungkan.

Mudji Sutrisno menjelaskan bahwa para pendiri bangsa ini menghayati dan menyusun politik sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat melalui bentuk negara hukum dan sistem demokrasi. Namun kini politik tidak lagi dipahami sebagai sarana untuk menata hidup bersama demi kesejahteraan bersama. Wajah politik dimaknai dan dijalankan sebagai ruang untuk merebut kuasa, rebutan uang, dan aktualisasi kepentingan ego. Politik telah menjadi sarana untuk mendapatkan kekayaan. Dalam pemahaman politik yang demikian, keberpihakan pada korban pelanggaran HAM akan ditentukan oleh keuntungan dan kerugian yang akan didapat.

Gereja sebagai pemberita kebenaran tentu sudah seharusnya tidak dapat tinggal diam dalam konteks politik seperti ini. Luka dan trauma para korban adalah juga luka dan trauma anggota gereja. Luka dan trauma para korban adalah identitas gereja karena bertahun-tahun dalam luka dan trauma inilah korban dan keluarganya bersekutu dan membangun imannya.

Dewan Gereja Dunia pada tahun 2013, telah mengajak gereja-gereja seluruh dunia untuk memahami misi sebagai misi dari pinggiran. Pemaknaan misi hendaknya tidak lagi dipahami sebagai misi yang dilakukan oleh pihak yang lebih “kuat” kepada pihak yang dianggap “lemah.” Misi juga berarti mendengarkan mereka yang “lemah.” Dalam konteks Indonesia, misi gereja hendaknya juga dimaknai sebagai kesediaan mendengarkan suara korban dan keluarganya. Gereja-gereja di Indonesia tidak dapat berdiam diri dengan kenyataan pelanggaran HAM pada Tragedi ’65. Para korban telah bersuara menceritakan narasi-narasi penderitaan milik mereka dan oleh karena itu upaya pemenuhan hak atas kebenaran adalah juga panggilan gereja.

Johan Baptist Metz, seorang teolog Katolik Jerman yang mengalami Perang Dunia II dan peristiwa Holocaust, menegaskan bahwa teologi perlu mengingat penderitaan. Gereja perlu selalu siap untuk menstimulasi orang-orang beriman agar lebih sensitif terhadap penderitaan yang terjadi di sekitarnya. Bagi Metz, gereja adalah komunitas ingatan dan juga sebagai saksi publik akan penderitaan Yesus; gereja adalah pemberita memori penderitaan Kristus. Memori akan Kristus ini meminta gereja untuk tidak hanya mengingatnya tetapi juga bertindak berdasarkan itu. Memori penderitaan Yesus menuntut aksi.

Gereja perlu menyadari dunia politik di sekitarnya karena kesadaran politik sangat dekat dengan iman dan teologi. Iman adalah praksis yang membawa harapan solidaritas bagi masyarakat. Kesadaran politik adalah Imitatio Christi yakni bahwa ingatan kepada Yesus akan menentukan tindakan dan kehidupan kita. Praksis kehidupan Kristiani berada dalam pengalaman mistik (doa) dan politik (tindakan) yang menirukan kehidupan Kristus. Teologi politik dipahami sebagai relasi antara agama dan masyarakat, antara iman yang eskatologis dan kehidupan sosial. Pelayanan gereja tidak bersifat privat atau mengurus dirinya sendiri tetapi harus juga berfungsi sebagai sikap kritis terhadap masyarakat. Teologi politik adalah teologi praksis fundamental yang berhubungan dengan sejarah nyata manusia, baik gereja maupun masyarakat. Teologi politik dituntun oleh narasi Alkitab dan selalu berada di sisi kaum tertindas, pribadi yang menderita, sebagai pembawa harapan di tengah penderitaan. Memori penderitaan pada masa lalu harus diingat sebagai landasan bagi solidaritas dengan yang menderita.

Pemikiran Metz dapat menjadi peringatan bagi gereja-gereja di Indonesia sebagai penerus memori  penderitaan Yesus  untuk  juga bersolidaritas dengan penderitaan korban Tragedi ’65 dan keluarganya. Gereja-gereja di Indonesia tidak dapat meneruskan memori tentang penderitaan Yesus sambil menutup mata dan telinga bagi penderitaan korban dan keluarganya yang terjadi secara masif dan sistematis selama bertahun-tahun di negeri ini.

 Tidak dapat dipungkiri, para korban dan keluarga mereka adalah juga anggota gereja yang bergumul dengan luka dan trauma. Dengan membawa luka dan trauma, mereka memahami relasi mereka dengan Allah (doing theology), merayakan iman mereka (worshipping God), dan memberi tanggapan iman kepada Allah (right living). Dalam pergumulan iman kehidupan mareka, sebagian korban berhasil menjadi penyintas. Dengan mendengarkan cerita korban, gereja akan menemukan berbagai cerita-cerita lain terkait Tragedi ’65 yang berbeda dari versi yang berkembang di tengah masyarakat. Narasi-narasi ini tidak hanya sekadar berisi cerita-cerita kekerasan yang terjadi pada masa itu tetapi juga penuh dengan cerita kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai iman: bagaimana mereka memahami Allah dalam penderitaan yang dialami hingga cerita tentang perjuangan keadilan tanpa mendendam.

Dengan mendengarkan suara korban, gereja dapat mengevaluasi diri demi pembaruan dirinya. Bertahun-tahun selama masa Orde Baru, korban dan keluarganya hidup dengan menyimpan luka dan trauma mereka. Secara sistematis ketidakadilan yang mereka alami seolah dianggap wajar sebagai akibat yang harus ditanggung. Stigma ini bertahun-tahun bertemu dengan pandangan gereja yang melihat bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Penderitaan demi penderitaan korban seolah dibenarkan dengan ajaran gereja yang melihat penderitaan sebagai bentuk kemarahan Tuhan atas dosa-dosa manusia. Kekerasan dan ketidakadilan yang mengakibatkan korban dan keluarganya menderita bertahun-tahun, dipahami sebagai akibat dari dosa yang dilakukan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu penyelesaian penderitaan tersebut hanya pada penyelesaian dosa-dosa pribadi korban dan keluarganya. Gambaran tentang Allah menjadi gambaran Allah yang penuh ketegangan karena siap menghukum orang-orang berdosa. Peran gereja akhirnya direduksi menjadi pelayanan spiritual pribadi.

Dengan mendengarkan suara korban, gereja dapat memahami bagaimana struktur-struktur yang berkuasa secara sistematis mendiskriminasi korban dan keluarganya. Dengan mendengarkan cerita korban, pemahaman dosa juga akan dimaknai sebagai ketidakadilan struktural yang menindas. Pengampunan atas dosa ketidakadilan struktural adalah dengan melawan ketidakadilan tersebut.  Peran gereja hendaknya dipahami lebih dari sekadar mendengarkan suara korban tetapi juga bersedia berjalan bersama korban dan keluarganya dalam perjalanan perjuangan untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.  Para korban tidak hanya sekadar membutuhkan pertolongan spiritual bagaimana mereka menyembuhkan luka mereka. Mendengarkan suara korban saja tidak cukup. Perjuangan demi terwujudnya hak korban atas kebenaran di dunia ini adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Korban telah berbicara dan gereja tidak hanya dapat mendengarkan suara korban dan merefleksikannya. Korban tidak hanya membutuhkan pelayanan yang seolah mempersiapkan mereka menghadapi kematian tanpa memiliki trauma dan ketakutan. Korban tidak hanya membutuhkan janji manis bahwa di sorga nanti tidak ada lagi tangisan dan air mata. Para korban butuh kawan seperjalanan untuk meneriakkan kebenaran cerita mereka, butuh pemenuhan hak atas kebenaran di sini, di dunia ini.

Dengan mendengarkan suara korban, gereja akan memahami penderitaan sebagai akibat dari sebuah kekerasan dan ketidakadilan struktural. Pemahaman ini akan juga mengubah gambaran tentang Allah karena Allah dilihat sebagai Allah yang menderita dan bersedia menjadi teman seperjalanan dalam penderitaan. Narasi-narasi korban penuh dengan berbagai kesaksian hidup bagaimana Allah menjadi satu-satunya tempat mereka berlindung. Bagaimana ketika keluarga, masyarakat, hingga negara menjadikan mereka musuh bersama dan pergi menjauh dari kehidupan mereka, Allah adalah Allah yang setia dan menjadi kawan seperjalanan yang menguatkan dan selalu memberi harapan untuk sebuah hidup yang lebih baik. Allah tidak dipahami sebagai Allah yang bersedia menghukum orang berdosa tetapi menjadi gambaran Allah yang juga menderita sehingga siap berjalan bersama mereka dalam jalan penderitaan. Tindakan pastoral gereja tidak lagi dapat hanya dipahami sebagai tindakan menguatkan melalui doa saja. Pemaknaan tindakan pastoral harusnya mencakup advokasi hak-hak korban secara menyeluruh. Tidak dapat dipungkiri pemenuhan hak atas kebenaran adalah penyembuhan trauma yang paling ampuh bagi para korban, dan rekonsiliasi bangsa Indonesia. Gereja sudah seharusnya juga menjadi teman seperjalanan yang membawa suara-suara korban menuju “pusat-pusat pengambilan” keputusan di negeri ini.

Narasi-narasi korban tidak hanya akan membantu gereja untuk memperbarui diri pada saat ini tetapi juga akan membantu gereja untuk mengantisipasi kekerasan yang sama yang dapat terulang di masa depan. Dalam narasi-narasi korban kita akan menemukan berbagai cerita yang akan membantu kita memahami penyebab kekerasan, pola-pola kekerasan yang dipakai, dan akibat dari kekerasan yang yang dirasakan oleh korban bartahun-tahun lamanya. Dengan mengetahui penyebab kekerasan gereja mendapat pelajaran untuk menghindari penyebab tersebut. Demikian juga ketika gereja memahami pola-pola kekerasan yang dipakai, hal itu dapat membantu gereja untuk menganalisis kekerasan-kekerasan yang terjadi pada masa kini dan dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan baru. Isu agama adalah salah satu isu yang dapat dengan mudah dipakai demi kepentingan politik untuk menimbulkan konflik dan kekerasan di tengah masyarakat. Kemampuan menganalisis pola-pola kekerasan dapat membantu gereja dan menghindarkan gereja dimanipulasi oleh sumber kekerasan.

Flora Keshkegian, seorang teolog feminis yang berasal dari keluarga Armenia dan memiliki pengalaman genosida yang dilakukan oleh Turki selama Perang Dunia I, menekankan pentingnya ingatan atas masa lalu. Ia menegaskan bahwa tindakan mengingat perlu dilakukan bagi transformasi diri korban. Baginya ingatan adalah alat pemulihan, sakit hati dan trauma diingat bukan untuk memperkuat perasaan sakit hati dan trauma, melainkan demi pemulihan dan tranformasi.

Keshkegian menyatakan bahwa kekristenan sendiri pada hakikatnya adalah saksi narasi penderitaan di atas salib. Panggilan untuk menjadi saksi narasi penderitaan adalah panggilan gereja. Tidak ada narasi tunggal yang dapat mencakup seluruh cerita tentang ingatan yang benar. Oleh karena itu mengingat cerita penderitaan Yesus haruslah diletakan dalam keseluruhan cerita penebusan Allah. Ketika gereja sebagai persekutuan mengingat penderitaan Yesus, hal itu haruslah dilakukan demi keselamatan dan harapan. Gereja bertindak untuk menjaga memori Yesus dalam ajaran dan praktik-Nya.

Memori salib dan memori kebangkitan adalah dua memori yang tidak dapat dilepaskan. Melalui memori salib, Allah dimaknai sebagai Allah yang menjadi kawan seperjalanan yang menguatkan para korban. Dengan kata lain, memori salib adalah solidaritas bersama dengan para korban. Solidaritas tersebut hendaknya dipahami sebagai solidaritas untuk juga menjadi saksi atas penderitaan orang lain. Sementara memori kebangkitan, membuktikan bahwa kekuatan kematian tidak dapat mengalahkan kehidupan. Memori kebangkitan menegaskan bahwa ada harapan atas kematian. Panggilan gereja sebagai komunitas yang menjadi saksi memori kematian dan kebangkitan adalah panggilan untuk bersolidaritas dengan penderitaan sesama dan membawa kehidupan serta harapan bagi para korban.

Gereja pada hakikatnya adalah sebuah persekutuan ingatan dan saksi, pembawa memori dan ingatan tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus. Panggilan ini dengan sendirinya akan memengaruhi identitas gereja sebagai persekutuan orang percaya, akan membentuk pemahaman diri umat Kristen tentang Allah, dan akan memberikan relevansi antara masa lalu dengan masa kini.

Ingatan atas penderitaan sebagai ingatan demi transformasi dan pemulihan dapat dimulai dari ritus dan ibadah. Ritus dan ibadah dapat menjadi proses pembelajaran umat. Keshkegian melihat Perjamuan Kudus sebagai salah satu sarana untuk mengingat kembali penderitaan dan dengan demikian dapat juga membawa penderitaan para korban ke atas meja. Tidak hanya liturgi, khotbah-khotbah dalam gereja, pengajaran gereja, dan berbagai praktik sosial dan politik gereja dapat digunakan sebagai sarana untuk menjadi saksi memori-memori penderitaan.

Gereja tidak dapat menjadi saksi penderitaan Yesus yang membawa harapan tetapi enggan untuk berbicara tentang penderitaan korban Tragedi ’65. Para korban telah bersuara tidak hanya di dalam negeri tetapi hingga ke luar negeri.  Namun kenyataanya pembicaraan dan diskusi-diskusi dalam gereja tentang HAM lebih banyak seputar hak untuk membangun rumah ibadah dan pelanggaran-pelanggaran HAM masa kini. Pembicaraan dan diskusi mengenai pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang, dalam hal ini Tragedi ’65, belum banyak dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan gereja. Tragedi ’65 seolah telah selesai dan tidak lagi butuh dibicarakan. Pemenuhan hak atas kebenaran dilihat sebagai tugas negara dan bukan tugas gereja.

Usaha-usaha secara sengaja dan sistematis untuk menyuarakan suara korban terutama terkait korban Tragedi ’65 sudah seharusnya dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia. Jika gereja-gereja di Indonesia begitu kencang meneriakkan penegakan HAM terkait hak untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadah, advokasi terhadap korban perdagangan orang, pendampingan terhadap kasus-kasus kemanusiaan lainnya, maka sudah saatnya gereja-gereja di Indonesia juga menjadi teman seperjalanan korban Tragedi ’65. Jika tidak, maka gereja hanya akan terus berada dalam daerah abu-abu: mendengarkan suara korban namun tidak berani membicarakannya secara terbuka, mengakuinya secara lembaga, serta memperjuangkan suara-suara korban kepada pemangku kepentingan di negeri ini. Gereja harus menjadi teman seperjalanan bersama korban dan penyintas untuk menyuarakan narasi korban dari pinggiran menuju ke tengah hingga didengar oleh para penguasa di pusat kepemimpinan.

 

BIBLIOGRAFI

Fanggidae, Fransisca. Memoar Perempuan Revolusioner. Yogyakarta: Galangpress, 2006.

van Klinken, Helene, ed. Laporan Akhir Pengadilan Rakyat International 1965. Bandung: Ultimus, 2017.

Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran. Menemukan Indonesia Kembali: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. Jakarta: KKPK, 2014. (Buku ini dapat diunduh secara gratis di http://www.asia-ajar.org/files/MENEMUKAN%20KEMBALI%20INDONESIA%20-%20BUKU%201.compressed.pdf, diakses 5 Juli 2019).

Kolimon, Mery, dan Liliya Wetangterah, eds. Memori-Memori Terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur. Kupang: Bonet Pingupir, 2012.

Pakpahan, Binsar J. Allah Mengingat: Teologi Ingatan Sebagai Dasar Rekonsiliasi dalam Konflik Komunal. Jakarta: BPK Gunung Mulia & UPI STT Jakarta, 2017. 

Subangi, Emmanuel. Politik Anti Kekerasan Paska Pemilu ’99. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999.

Sukanta, Putu Oka, ed. Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi 65-66. Jakarta: LKK, ITJ, Tifa, 2011.

Sutrisno, Mudji. Krisis Peradaban. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Taman 65. Melawan Lupa: Narasi-Narasi Komunitas Taman 65. Denpasar: Taman65 Press, 2012.  

Thompson, J. Milburn. Keadilan dan Perdamaian. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.

Wandita, Galuh et. al. Merentang Juang. Jakarta: Asia Justice And Rights, 2014. (Buku ini dapat diunduh secara gratis di http://asia-ajar.org/files/Buku%20Foto%20Merentang%20Juang%20%5BVersi%20Indonesia%5D.pdf, diakses 5 Juli 2019)

Yuniar, Dodi dan Matt Easton, eds. Bertahan dalam Impunitas. Jakarta: Asia Justice And Rights, 2015. (Buku dapat diunduh secara gratis di http://www.asia-ajar.org/files/Indonesia%20Report%20-%20Bertahan%20dalam%20Impunitas-low.pdf, diakses 5 Juli 2019)

 

Sumber Internet

Kepala BIN: Isu PKI dan Agama masih marak di tahun Politik. http://news.liputan6.com/read/3292436/kepala-bin-isu-pki-dan-agama-masih-marak-di-tahun-politik, diakses 16 Februari 2018.

Pilkada Serentak 2017, isu PKI mulai merebak. http://www.beritasatu.com/politik/373443-pilkada-serentak-2017-isu-pki-kembali-merebak.html, diakses 16 Februari 2018.

Peneliti SMRC: Isu kebangkitan PKI bagian dari kontestasi politik. https://nasional.tempo.co/read/1021005/peneliti-smrc-isu-kebangkitan-pki-bagian-dari-kontestasi-politik, diakses 16 Februari 2018.

SMRC: Isu Kebangkitan PKI berkaitan dengan Politik. https://nasional.tempo.co/read/1021202/smrc-isu-kebangkitan-pki-berkaitan-dengan-politik, diakses 16 Februari 2018.

Survei Wahid Foundation isu Komunis dan LGBT paling tidak disukai. https://nasional.tempo.co/read/1055349/survei-wahid-foundation-komunis-dan-lgbt-paling-tak-disukai, diakses 16 Februari 2018.

Isu PKI saat “Hantu” Lama Bersemi Kembali. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170919074546-20-242624/isu-pki-saat-hantu-lama-bersemi-kembali, diakses 16 Februari 2018.

LIPI, Kurikulum Sejarah 2004 Versus 1994. http://lipi.go.id/berita/kurikulum-sejarah-1994-versus-2004/647, diakses 16 Februari 2018.

Jokowi-Prabowo Saling Curhat Soal Tuduhan PKI dan Pro-Khilafah. https://tirto.id/jokowi-prabowo-saling-curhat-soal-tuduhan-pki-dan-pro-khilafah-dkAu, diakses 22 Juni 2019.

Together Towards Life, dokumen World Council of Churches (WCC) https://www.oikoumene.org/en/resources/documents/commissions/mission-and-evangelism/together-towards-life-mission-and-evangelism-in-changing-landscapes, diakses 5 Juli 2019.

Transitional Justice https://www.ictj.org/about/transitional-justice, diakses 22 Juni 2019.


https://www.binsarinstitute.id/2021/04/mewaspadai-politisasi-kekerasan-masa.html

No comments:

Post a Comment

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...