Saturday, November 20, 2021

Membangun Kompetensi Nasional



Membangun Kompetensi Nasional


Oleh Binsar A Hutabarat


Harapan agar mutu pendidikan secepatnya diperbaiki guna meningkatkan kompetensi nasional rupanya masih harus menunggu waktu lama lagi. Target anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 sebesar lebih Rp 700 triliun sebagaimana diamanatkan UUD 1945 sudah dipastikan tak bisa dipenuhi.


Tahun depan pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp 48,72 triliun, yang berarti jauh dari target yang diamanatkan konstitusi. Dengan total APBN untuk tahun depan mencapai sekitar Rp 700 triliun, alokasi anggaran untuk pendidikan mestinya mencapai Rp 140 triliun.


Sudah bisa dibayangkan bahwa dengan tersedianya anggaran yang terbatas, dunia pendidikan masih akan menghadapi persoalan yang sama yakni kesulitan mendongkrak mutu lulusannya. Pendidikan bukannya makin maju, malah mengalami kemunduran.


Memang ada usaha untuk membuka pintu investasi asing dalam bidang pendidikan, namun hal itu tidak mudah. Berbagai kontroversi menyangkut masuknya modal asing dalam dunia pendidikan menunjukkan hal itu. Tambahan pula, indutrialisasi pendidikan yang makin transparan akhir-akhir ini dikhawatirkan akan lebih mempersempit ruang untuk orang miskin untuk menikmati pendidikan layak.


Melihat realitas tersebut di atas, Indonesia barangkali perlu belajar dari Korea Selatan. Negeri Ginseng yang merdeka belakangan dari Indonesia ini justru mencatat kemajuan ekonomi yang luar biasa. Korea Selatan kini sudah masuk dalam jajaran negara maju, sedangkan Indonesia masih tetap terseok-seok.


Belajar dari Korsel


Syngman Rhee, presiden pertama Korea, tidak membawa kemajuan berarti dalam perekonomian negeri itu karena banyaknya korupsi dari rezim lama. Mayor Jenderal Park Chung Hee yang mengambil alih kekuasaan dari tangan Rhee melalui suatu kup akhirnya mampu mengubah Korea Selatan dalam waktu singkat. Korea Selatan yang tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita US$ 72 segera berubah dengan geliat ekonomi yang luar biasa.


Park berperan sangat besar dalam membangun perekonomian Korea Selatan dengan melakukan perombakan besar-besaran dalam cabinet. Park bersama sejumlah ekonom merancang program Perencanaan Pembangunan Ekonomi Lima Tahun Pertama (First Five Years Economic Development Plan) yaitu mengembangkan Korea menjadi negara industri, dengan didahului peningkatan pendidikan yang luar biasa.


Pada periode lima tahun pertama pemerintahannya (1962-1967), Park memfokuskan pada pembangunan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Park Chung Hee membangun gedung-gedung sekolah serta pengadaan tenaga-tenaga guru yang andal. Pada masa kepemimpinannya, tak ada satu anak pun yang boleh tinggal di rumah.


Pendidikan di Korea meningkat secara luar biasa baik dari segi jumlah maupun kualitas. Jika pada tahun 1962 perbandingan ratio jumlah guru terhadap murid untuk primary school 1:54; tahun 1980 1:30, dan untuk secondary school tahun 1962, 1:34, tahun 1980 perbandingan yang ada menjadi 1:18, total biaya pendidikan sebesar 37% disubsidi oleh pemerintah.


Hal lain yang menarik adalah perusahaan di Korea memberlakukan pembayaran gaji yang berbeda, bergantung pada jenjang pendidikan yang diperoleh. Begitu pula kenaikan gaji sangat tergantung pada produktivitas, senioritas dan profesionalisme pegawai, bukan “perkongkoan”. Itulah yang membuat rakyat Korea dapat menerima pendidikan yang memadai sesuai dengan permintaan industri yang ada.


Perusahaan-perusahaan Korea seperti Hyundai, Faywoo, Samsung, mengirim ribuan pekerjanya untuk mendapatkan pendidikan S2, S3 di Amerika dan Eropa. Bagi mereka, investasi dalam bidang pendidikan adalah indentik dengan meningkatkan kemampuan pekerja untuk dapat berinteraksi dengan cepat dan menyesuaikan dengan perubahan pekerjaan dan teknologi yang ada. Itulah kunci yang membuat national competence Korea melejit jauh melampaui Indonesia.


Di Korea ada 26 public vocational training institutes, dan setiap tahun pekerja yang dilatih di sana minimum mencapai 350,000 pekerja, kurang lebih 3% dari labour force di seluruh Korea.


Jadi human capital, terbukti sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi, kultur dan masa depan negara. Korea adalah buktinya. Negeri ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi bersamaan peningkatan sumber daya manusianya yang luar biasa. Ketika Park mati tertembak oleh Direktur KCIA Kim-jae-kyu pada Oktober 1979, pendapatan per kapita negeri itu meningkat secara luar biasa, US$ 2.420 dari US$ 72 pada tahun 1962.


Bagaimana dengan Indonesia


Mengapa Indonesia tak ingin belajar dari Korea? Menurut data Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme, UNDP), hampir 55% dari laki-laki berumur 12-17 tahun di Indonesia hanya mengecap pendidikan sampai SMP, dan 30% hanya sampai dengan SD, itupun pada sekolah dengan mutu rendah.


Jumlah guru yang memenuhi standar mutu di Indonesia kira-kira tidak lebih dari 20%, selebihnya sama sekali tidak memadai, apalagi untuk era globalisasi saat ini. Sertifikasi guru untuk mendongkrak kualitas para pendidik pun tak berjalan mulus, tentu akan lebih terhambat lagi dengan anggaran pendidikan yang makin kecil. Berbagai kondisi itulah yang membuat tingkat kompetensi Indonesia makin tenggelam.


Indonesia memang membutuhkan revolusi bidang pendidikan jika ingin membangun perekonomian nasional. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat dan bangsa akan tetap berada di jalur impian belaka.


Belajarlah sejenak dari Korea. Negeri yang minim sumber daya alam dibandingkan Indonesia itu kini tergolong maju, hanya karena pemerintah, swasta dan rakyat sama-sama berjuang untuk memulainya dengan memfokuskan diri pada pembangunan sumber daya manusia yang kompetitif, competitiveness human development.


Kini Korea menjadi negara maju dengan berbagai produk elektronik dan otomotif yang mulai merajai pasaran dunia. Saat ini Korea menjadi salah satu negara yang sumber daya manusianya paling siap memasuki era globalisasi. Tindakan luar biasa Korea Selatan dengan mereformasi bidang pendidikan mestinya patut dicontoh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

No comments:

Post a Comment

Interpretasi terhadap Tuhan beragam karena manusia terbatas.

http://dlvr.it/TDQy4L