Religius Toleran
Menurut saya kedalaman dan keluasan seseorang dalam memahami agamanya sesungguhnya berelasi erat dengan bagaimana orang itu berinteraksi dengan sekitarnya, termasuk juga dengan mereka yang berbeda agama. Karena agama bukan hanya mengajarkan hubungan manusia dengan penciptanya, tapi juga dengan sesamanya manusia.
Ketika seorang beragama berelasi dengan orang lain, baik yang seagama maupun yang tidak seagama, ia bukan hanya dituntut untuk bisa memberikan kontribusi positif terhadap sesamanya, tetapi pada saat yang bersamaan ia juga dituntut untuk belajar dari sesamanya.
Kejujuran dalam berelasi dengan sesama akan membuka mata setiap orang bahwa kebenaran bukan hanya milik eksklusive dirinya dan agamanya, tetapi juga ada pada orang lain.
Arogansi yang memposisikan diri sebagai pemilik seluruh kebenaran bertentangan dengan kerendahan hati seorang yang religius.
Dengan demikian jelaslah bahwa eksklusivisme agama sesungguhnya merupakan pendangkalan agama, karena eksklusivisme agama menutup rapat-rapat pengetahuan yang berasal dari luar.
Cara beragama seperti inilah yang perlu diwaspadai karena bisa melahirkan polarisasi agama, yang kemudian bisa menutup dialog agama.
Suatu kondisi kehidupan agama-agama yang menyimpan potensi konflik yang amat besar.
Tidak sulit untuk memahami, bahwa kualitas pemahaman seseorang terkait erat dengan kuantitas pemahaman yang dimilikinya, demikian juga kemampuan mengintegrasikan kuantitas pemahan yang ada itu akan sangat mempengaruhi kualitas pengetahuan seseorang, baik tentang agamanya sendiri, maupun pengetahuannya tentang agama-agama lain.
Seorang yang semakin religius mustahil menjadi makin eksklusive, dengan kata lain, seorang yang makin religius pastilah seorang yang toleran, karena ia telah terbiasa menerima perbedaan, dan mampu melihat perbedaan sebagai suatu berkat, bukannya malapetaka.
Kesediaan mendengar orang lain, dan menerima perbedaan-perbedaan awalnya memang menyakitkan. Namun, ketika kesabaran menerima perbedaan itu kemudian membuat wawasan seseorang semakin luas, dan makin meningkatkan kualitas pengetahuannya baik tentang sesama maupun tentang agama-agama lain, dan juga agama yang dianutnya, kesakitan itu tidak lagi dirasakan, karena kebaikan yang dia terima melampaui kesakitan yang dialami.
Pengetahuan kebenaran yang didapat melalui orang lain merupakan sesuatu yang amat berguna, karena itu, pengorbanan yang sedikit dalam kesabaran menerima perbedaan menjadi tidak berarti dibandingkan hal-hal positif yang diterima.
Dengan demikian jelaslah, tesis yang mengatakan bahwa kehidupan yang makin religius berbanding lurus dengan potensi konflik agama adalah tidak tepat.
Seorang yang makin religius seharusnya adalah seorang toleran, bahkan kemampuan untuk hidup toleran dengan orang beragama lain sangat ditentukan pada sejauh mana seseorang itu memahami imannya, atau seberapa religiusnya orang itu.
Semakin religius seseorang, maka ia akan menjadi semakin toleran.
Karena itu, gairah yang makin tinggi dari masyarakat dalam menekuni agama atau kepercayaan harus disyukuri, bahkan perlu di dorong oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas –fasilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketaqwaan, seperti tersedianya gedung ibadah, fasilitas pendidikan agama dll.
Hanya saja, pada konteks ini agama-agama mesti mewaspadai kemungkinan terjadinya polarisasi agama yang bisa timbul karena agama-agama hanya fokus pada pengembangan agamanya masing-masing, tanpa peduli dengan eksistensi agama-agama lain.
Agama-agama tidak boleh membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama, yang membuat komunikasi antar agama tidak berjalan dengan baik. Itu akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.
Seorang yang religius toleran paham betul bahwa sejarah melaporkan, keragaman agama tak pernah bisa diseragamkan, bumi tak pernah berada dalam keseragaman agama-agama, sebaliknya, agama-agama di bumi ini makin hari makin beragam, meski pada perbedaan tersebut terdapat juga kesamaan-kesamaan.
Kesamaan yang ada dalam agama –agama itulah yang harus terus digali untuk dapat menjadi perekat bagi kehidupan bersama agama-agama.
Menjadi religius mestinya juga memahami interdepedensinya terhadap agama-agama lain, serta mau membuka diri dalam dialog dengan agama-agama lain yang didasarkan pada pengakuan terhadap pluralisme agama. Itu akan membawa agama-agama memiliki pengetahuan yang benar terhadap agama-agama lain, dan secara bersamaan menghapus kecurigaan terhadap agama-agama lain.
Agama-agama yang berbeda itu sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang universal yang berguna untuk semua orang. Karena itu mengabaikan keberadaan agama-agama yang berbeda dalam membangun suatu kehidupan bersama adalah suatu kerugian yang teramat besar. Semuanya itu bisa diatasi jika kita menjadi orang yang religius toleran.
https://www.binsarhutabarat.com/2021/11/religius-toleran.html
No comments:
Post a Comment