Sejak Tahun 2006 saya mulai menulis di media-media ibu kota. Inilah salah satu kumpulan tulisan terkait potret buram Indonesia yang saya amati. Tulisan ini bukan ungkapan keputusasaan, sebaliknya berisi pengharapan untuk menghadirkan Indonesia yang lebih baik. Silahkan berkomentar untuk potret ini menjadi lebih terang bederang.
http://www.binsarinstitute.id/2023/02/potret-buram-indonesia.html
Perlukah UU Antipornografi dan Pornoaksi?
Suara Pembaruan, 16 Februari 2006
Binsar A. Hutabarat
Perdebatan seputar Rancangan Undang- Undang RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sedang digodok di DPR saat ini menjadi isu "panas". Kalau tidak salah, isu ini mulai mencuat (lagi) ketika Rhoma Irama menuding goyangan "ngebor" Inul Daratista sebagai salah satu jenis pornoaksi.
Inul sendiri membantah tuduhan Si Raja Dangdut itu sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak mempunyai dasar. Pertengkaran mereka sempat mereda, namun dengan adanya pembahasan RUU Antipornografi dan Pornoaksi, perselisihan kedua artis kondang tersebut kembali menjadi pemberitaan hangat.
Tingginya desakan dari sekelompok masyarakat agar RUU Pornografi dan Pornoaksi disahkan, pun tidak terlepas dari rencana terbitnya Majalah Playboy versi Indonesia. Bahkan, nyaris setiap hari ada demo besar untuk menolak Playboy khas Indonesia ini. Padahal kalau mau jujur, selama ini sudah sejak lama beredar majalah yang mungkin lebih "parah" dari Playboy yang bakal diterbitkan itu, namun tidak pernah ter-lalu diributkan.
Bahkan, VCD-VCD porno (blue film) juga bertebaran di mana-mana tanpa ada yang mau peduli. Mungkin karena tekanan terhadap pornografi sedang menguat, banyak pula kasus lama yang dinilai berbau pornografi, kini mulai ditangani. Anjasmara, yang dituding melecehkan Nabi Adam, akhir-akhir ini kasusnya mencuat lagi ke permukaan.
Masalah pornoaksi dan pornografi memang rumit. Jadi, bagaimana membuat UU-nya juga jelas bukan masalah sederhana.
Adalah fakta bahwa banyak pihak yang menginginkan adanya UU Antipornografi, namun sebaliknya tidak sedikit orang yang menolaknya. Sehingga, jika RUU Antipornografi disahkan karena dorongan kelompok tertentu, pastilah UU tersebut akan menimbulkan diskriminasi. Padahal UU seharusnya dibuat untuk memberikan kebahagiaan bersama sebagai sesama warga bangsa.
Definisi
Pro-kontra yang mengitari RUU Antipornografi dan Pornoaksi berawal dari belum adanya definisi "pornografi" yang dapat diterima secara bersama oleh semua kalangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, serta (2) bahan bacaan yang dengan sengaja semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Persoalannya, setiap orang punya batas sendiri tentang mana tingkah laku erotis yang membangkitkan birahi, dan mana yang termasuk dalam unsur seni-bukan usaha untuk membangkitkan birahi seks. Pornografi juga melahirkan definisi yang beragam berdasarkan pengaruh pandangan suku, budaya, dan agama. Akibatnya tidak mudah untuk menarik nilai-nilai bersama yang akan dituangkan dalam UU Antipornografi tersebut.
UU Antipornografi dan Pornoaksi yang bisa menjadi sintesa nilai-nilai bersama semua suku, budaya, dan agama dapat saja diperlukan. Namun, itu terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang belum dewasa untuk menilai mana yang baik atau tidak menyangkut pornografi. Yang bahaya adalah jika UU tersebut dipergunakan oleh kelompok tertentu untuk melindungi keutuhannya, tanpa peduli kelompok lain.
Tindakan demikian adalah tindakan warga bangsa yang belum dewasa, sebab UU tersebut dapat diibaratkan sebagai larangan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa. Sehingga, tidaklah mengherankan jika belum lama ini Dr Boyke Dian Nugraha, pakar seksologi, di hadapan anggota legislatif yang tengah merancang RUU tersebut, mengatakan bahwa UU Antipornografi substansinya cenderung mencampuri urusan pribadi.
Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi dampak pornografi, pendidikan seks lebih penting dibanding sebuah UU. Ia juga mengatakan bahwa ketika pendidikan seks diberikan secara tepat, maka ancaman pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Proteksi yang terlalu berlebihan dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya berlaku untuk anak-anak.
Memang, setiap individu mempunyai hak yang melekat dalam dirinya, dan kebebasan untuk menikmati haknya dibatasi oleh penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Jadi, pornografi yang mengganggu ketertiban umum, sebagai sesuatu hal yang bersifat asusila tidak dapat diizinkan.
Dan, kewajiban negara untuk menjaga hubungan bersama tersebut tanpa harus merampas hak-hak individu. Belum adanya UU Antipornografi tidak berarti tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggar hukum berkenaan dengan tindakan yang mengganggu ketertiban umum. Karena hal tersebut sudah ada hukumnya.
Buktinya, Anjasmara-yang aksi "seni"-nya dinilai meresahkan kelompok ter-tentu, menghadapi proses hukum. Jadi, perangkat hukum terhadap pelanggaran susila (pornografi) telah ada sehingga tidak perlu merampas hak kebebasan individu.
Perdebatan
Adanya perdebatan dalam penyusunan RUU Antipornografi mengindikasikan bahwa dalam masyarakat Indonesia belum ada kesepakatan nilai-nilai bersama. Masyarakat Indonesia belum menyatu, sebab masih berupa kumpulan masyarakat. Walaupun Indonesia telah merdeka cukup lama (61 tahun), namun masyarakat yang Pancasilais belum juga terwujud.
Bahkan, di sana-sini timbul konflik. Rasa keindonesiaan belum tertanam kuat. Akibatnya, dalam transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan, sering menimbulkan diskriminasi terhadap sesama warga bangsa. Karena individu, kelompok yang ada sering tidak berusaha untuk menghormati kebebasan orang lain. Sebaliknya, setiap individu dan kelompok selalu berusaha untuk memaksakan kehendaknya. Transformasi Pancasila ke dalam UU seringkali tidak dijiwai oleh semangat Pancasila yaitu bhineka tunggal ika.
Dapat dipahami apabila RUU Antipornografi tetap ingin diusahakan untuk diundangkan maka berarti masyarakat Indonesia belum de- wasa, nyatanya, karena individu atau kelompok diizinkan untuk memaksakan nilai-nilainya yang partikular menjadi sesuatu yang universal. Dan, ketidakdewasaan tersebut juga nyata dari tindakan yang tidak menghargai perbedaan. Terlebih lagi, karena tentang definisi pornografi belum ada kata sepakat, maka tidak boleh ada suatu kelompok pun yang bisa memaksakan nilai-nilai partikular agama dan kepercayaannya melalui UU.
Untuk mengatasi tindakan yang tidak bertanggung jawab dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan dari usaha yang haram, merusak moralitas manusia dengan memperdagangkan hal-hal yang bersifat pornografi, jalan terbaik adalah menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk mengatasi dampak negatif dari pornografi dan pornoaksi.
Pada bagian ini, peran keluarga dan agama menjadi sesuatu yang penting. Moralitas keluarga yang terjaga dengan baik, melalui teladan orang tua, merupakan kekuatan yang mampu menahan semua usaha yang mau menghancurkan moralitas bangsa.
Demikian juga agama-agama seharusnya semakin menyadari bahwa ia bukan hanya merupakan suatu sistematisasi kepercayaan, tetapi juga harus mewujud dalam kehidupan umatnya. Apabila penegakan hukum dan UU yang telah ada berjalan dengan baik, hal tersebut cukup untuk membawa Indonesia ke dalam kehidupan moral yang lebih baik.
Persoalannya, seringkali hukum yang dibuat susah payah, justru ditelantarkan.
UU tentang Antipornografi tampaknya tidak akan memberikan kontribusi positif. Terlebih lagi, karena menimbulkan pro-kontra yang belum selesai. Dengan demikian sudah seharusnya jangan buru-buru disahkan.
Siapa yang berani menjamin UU Antipornografi tersebut dapat membuat Indonesia lebih bermoral? Kejahatan yang nyata-nyata di depan mata saja tidak pernah disentuh, apalagi hal-hal yang masih menimbulkan kontroversi. Sebagai negara terkorup di dunia dengan konflik antarsuku, budaya, dan agama yang sangat memprihatinkan, masihkah Indonesia merasa sebagai negara bermoral tinggi?
Bencana demi bencana melanda Indonesia, hanya sebagian kecil orang yang peduli, bahkan tidak jarang orang Indonesia yang tidak punya hati nurani, menyunat bantuan bagi orang-orang yang menderita. Apakah hukum Indonesia hanya cocok untuk orang kecil?
Bukankah hanya orang kecil yang kesulitan mendapatkan bacaan-bacaan pornografi, sedang orang-orang beruang tetap mendapatkan akses untuk mengonsumsinya? Mudah-mudahan bukan hanya pemerintah yang berusaha bertindak bijak, tetapi semua warga bangsa juga belajar untuk menjadi bijak.
Binsar A. Hutabarat
Nasionalisme yang Tidak Cerdas
Suara Pembaruan, 3 April 2006
Binsar A. Hutabarat
Dalam Kongres Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, saat ini nasionalisme yang ada tidak cerdas, utamanya dalam menghadapi internasionalisme yang sekarang disebut globalisasi (Pembaruan, 25 Maret 2006). Presiden juga mengingatkan, pentingnya melanjutkan ajaran Bung Karno tentang nasionalisme yang harus hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
Pernyataan Presiden tersebut merupakan kesimpulan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Demonstrasi penolakan Blok Cepu oleh ExxonMobil, dan juga permintaan penutupan Freeport. Kedua perusahaan tersebut kebetulan milik Amerika, penguasaan perusahaan Amerika atas emas di Papua, serta minyak Cepu menimbulkan perasaan ketidakmandirian di kalangan rakyat, ada perasaan intervensi asing yang tinggi atas Indonesia.
Akibatnya, tidak mustahil nasionalisme yang tidak cerdas tersebut melahirkan perasaan antiAmerika. Demonstrasi bukan lagi membicarakan masalah keadilan yang seharusnya menjadi topik yang perlu menjadi bahasan, sebaliknya yang muncul adalah semangat sebagai bangsa yang merasa diri lebih superior.
Belum lagi, adanya pemberian suaka terhadap 42 orang pengungsi asal Papua yang membuat banyak orang Indonesia berang kepada Australia yang dianggap tidak pernah beritikad baik. Apalagi, Australia merupakan negara yang mendukung lepasnya Tim-Tim dari Indonesia. Tidak sedikit suara-suara keras yang meminta pemutusan hubungan bilateral dengan Australia, karena suaka tersebut dianggap sebagai intervensi asing. Boleh saja marah dengan Australia, yang menganggap Indonesia tidak dapat memberi perlindungan kepada warganya. Tetapi, seharusnya kita juga berusaha untuk memperhatikan Papua dengan baik. Realitanya, Papua menjadi daerah tertinggal.
Lebih parah lagi, semangat nasionalisme yang tidak cerdas tersebut juga menimbulkan perkelahian dalam soal pornografi dan pornoaksi. Kelompok yang mendukung ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi UU, sebagian beranggapan bahwa nilai-nilai budaya Indonesia jauh lebih tinggi daripada nilai-nilai budaya barat.
Pornografi dan pornoaksi yang dilegalkan di Barat dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia. Nasionalisme yang sempit ini kemudian berdampak pada hubungan dengan sesama warga bangsa karena tidak semua setuju dengan UU APP. Mengenai perlu tidaknya UU APP, tulisan penulis telah dimuat Pembaruan (16 Februari 2006). Persoalan-persoalan di atas tersebut bisa jadi mempengaruhi Presiden untuk membuat kesimpulan bahwa nasionalisme yang ada saat ini, tidak cerdas. Kenyataan ini tentunya tidak boleh dibiarkan, karena ketidakmampuan untuk menyuburkan internasionalisme akan meruncingkan nasionalisme, dan mengakibatkan kebangkrutan nasionalisme. Jalan terbaik untuk menyuburkan nasionalisme yang cerdas adalah kembali kepada apa yang telah ditetapkan oleh The Founding Fathers Indonesia?
Nasionalisme Indonesia
Menurut Sukarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme (lihat naskah Pidato Bung Karno tentang lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945). Pernyataan Sukarno tersebut merupakan suatu penjelasan nasionalisme yang harus dianut oleh Indonesia. Sukarno mengingatkan akan bahaya dari nasionalisme yang tidak bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme yaitu bahaya terjadinya peruncingan nasionalisme yang melahirkan chauvinisme.
Seperti yang pernah terjadi pada bangsa Jerman yang mengatakan "Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jerman, sebagai "bangsa Aria" yang menganggap diri sebagai bangsa tertinggi di dunia. Menjadi bangsa yang meremehkan bangsa lain. Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa (internasionalisme). Jadi nasionalisme Indonesia yang mempersatukan keragaman suku, budaya dan agama harus membawa pada persatuan umat manusia.
Sebagaimana dikatakan Gandhi, "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan (My nationalism is humanity)". Indonesia yang bersatu adalah bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia. Sejak awal berdirinya NKRI telah disadari bahwa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa tidak dapat hidup menyendiri. Indonesia harus hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Kekuatan nasionalisme akan terus bertumbuh ketika Indonesia mampu hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain sebagai suatu keluarga. Namun internasionalisme tidak boleh melahirkan kosmopolitanisme yang menolak kebangsaan (nasionalisme).
Penyebab Tidak Cerdas
Tumbuhnya semangat nasionalisme yang tidak cerdas karena ketidakmampuan menyandingkan nasionalisme dan internasionalisme. Memang Indonesia tidak jatuh kepada kosmopolitanisme, namun sayangnya tidak mampu menghindari bahaya peruncingan nasionalisme yang melahirkan pemikiran nasionalisme yang tidak cerdas. Sikap curiga berlebihan terhadap bangsa lain yang membuat suatu bangsa ingin menghancurkan bangsa lain.
Demikian juga sikap eksklusivisme bangsa akan membuat penilaian yang merendahkan bangsa lain. Akibatnya, terjadi benturan antar bangsa. Untuk Indonesia, trauma penjajahan memang bisa jadi, tidak mudah untuk menghilangkan rasa curiga terhadap bangsa lain. Namun membiarkan trauma tersebut terpelihara baik, akan merugikan Indonesia. Sikap hati-hati boleh saja dimiliki, karena dalam pergaulan antarbangsa setiap bangsa mempunyai kepentingan domestik.
Hal tersebut wajar, namun tidak boleh melupakan bahwa sesungguhnya bangsa-bangsa adalah satu keluarga. Sehingga, sikap hati-hati tidak berarti menutup diri terhadap bangsa-bangsa lain, apalagi perasaan curiga yang ingin menelan bulat-bulat bangsa lain. Nasionalisme yang tidak cerdas tersebut juga bisa muncul karena ketakutan terhadap globalisasi.
Memang globalisasi dapat menimbulkan ancaman komunitas yang eksklusif. Namun, seharusnya globalisasi bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Kesadaran internasionalisme yang menghargai bangsa-bangsa lain sebagai satu keluarga membuat kita mampu menarik manfaat dari perjumpaan yang ada. Semangat nasionalisme yang membawa pada persatuan bangsa-bangsa dengan tetap menghargai keragaman akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang kuat. Sebaliknya, ketidakmampuan kita untuk menghargai bangsa-bangsa lain justru akan melunturkan nasionalisme Indonesia. Tidak heran jika saat ini nasionalisme Indonesia mengalami kebangkrutan.
Lunturnya internasionalisme yang disebabkan ketidakmampuan menerima bangsa-bangsa lain dapat berakibat buruk bagi Indonesia. Apalagi, jika melihat sejarah perkembangan bangsa NKRI, pada hakekatnya Indonesia lahir karena adanya penggabungan bangsa-bangsa yang ada di Nusantara.
Setelah keruntuhan Majapahit ada banyak kerajaan yang muncul di Bumi Nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut dapat disebut sebagai bangsa-bangsa. Kemudian karena kesadaran adanya perasaan senasib sebagai bangsa yang berada dalam penjajahan Belanda, bangsa-bangsa tersebut bersatu menjadi bangsa Indonesia. Ketidakmampuan menerima internasionalisme karena kecurigaan terhadap bangsa-bangsa lain, tidak mustahil akan menimbulkan kecurigaan terhadap bangsa-bangsa yang telah melebur menjadi bangsa yang kini dikenal sebagai suku bangsa.
Akibatnya, terciptalah komunalisme suku, budaya dan agama yang akhirnya akan menelan nasionalisme. Ketidakmampuan menerima semua bangsa-bangsa sebagai keluarga bukan mustahil akan mengakibatkan Indonesia tidak lagi menghargai kelompok yang berbeda sebagai satu keluarga yaitu bangsa Indonesia. Jika hal ini terjadi, disintegrasi bangsa menjadi suatu ancaman yang serius.
Menyikapi tumbuhnya nasionalisme yang tidak cerdas, sudah seharusnya sebagai bangsa kita perlu mengadakan instrospeksi diri. Benarkah kita mampu menghargai bangsa-bangsa lain sebagai keluarga besar umat manusia (internasionalisme)? Jika belum, seharusnya kita belajar melihat bahwa bangsa-bangsa yang berbeda adalah juga merupakan keluarga. Kesadaran ini akan sangat mempengaruhi sikap kita dalam menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.
Kemudian kesadaran tersebut akan menjadi suatu kekuatan yang maha dasyat untuk menghancurkan segala rintangan yang menghalangi mewujudnya masyarakat Indonesia yang menyatu. Benturan-benturan yang masih terjadi sesama warga bangsa akan dapat didamaikan oleh semangat kekeluargaan tersebut. Kemudian bukan mustahil Indonesia akan dapat memainkan peran yang lebih signifikan bagi perdamaian dunia.
Binsar A. Hutabarat
Proyek Mercusuar dari Senayan
Investor Daily, 7 September 2010
Binsar A. Hutabarat
Proyek mercusuar gedung DPR digulirkan pertama kali pada 2009. Namun, karena berdekatan dengan pemilu, rencana tersebut dipendam untuk sementara. Baru pada 2010 rencana tersebut kembali dimunculkan, namun suara penolakan pun terus bergulir kencang.
Konsep pembangunan gedung DPR berlantai 36 yang mengundang kontroversi di masyarakat itu memang terbilang mewah. Pembangunan fisik saja menghabiskan Rp. 1,16 triliun, dan ditambah biaya penyediaan sarana teknologi informasi, sistem pengamanan dan perabotan gedung, total biaya seluruhnya akan mencapai Rp. 1,6 triliun.
Anggaran yang disiapkan itu sepadan dengan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) bagi 22 juta warga miskin selama satu tahun. Tahun ini pemerintah mengalokasikan bantuan iuran Jamkesnas sebesar Rp. 6000 per bulan atau Rp. 72.000 per tahun untuk satu warga miskin
Sejak digulirkan proyek mercusuar tersebut, berbagai kecaman muncul dari banyak elemen masyarakat. Apalagi, gedung DPR yang saat ini masih lebih dari cukup untuk menunjang kinerja parlemen. Proyek tersebut hanya akan menjadi proyek mercusuar yang tidak perlu.
Tapi, menurut versi DPR, pengadaan fasilitas mewah itu adalah untuk meningkatkan kinerja anggota dewan. Dengan fasilitas mewah tersebut, para anggota dewan diharapkan bisa betah berlama-lama di Senayan.
Tapi, mungkinkah kegemaran membolos anggota dewan akan pupus karena fasilitas mewah tersebut? Bagaimana dengan kebiasaan mengantuk ketika rapat, atau gemar berselancar internet, atau ber-SMS-ria saat rapat?
Soal kepantasan
DPR belum menunjukan kinerja yang mengesankan, tapi mereka malah sudah menuntut imbalan lebih setelah kemewahan yang telah mereka terima. Buruknya kinerja DPR dapat dibuktikan pada fungsi legislasinya, dari 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditargetkan, baru tujuh yang dapat diselesaikan DPR. Bahkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah pun belum dilaksanakan secara maksimal, ditambah lagi kasus korupsi yang menyandera beberapa anggota dewan.
Kinerja yang dipertunjukan para wakil rakyat di Senayan itu juga tidak sebanding dengan tuntutan mereka yang terbilang sangat tinggi. Simak saja berbagai biaya yang telah dikucurkan untuk keperluan wakil rakyat di Senayan.
Biaya pelantikan pada 2009 terbilang sangat mewah, yakni sebesar Rp. 11 miliar ditambah biaya perjalanan dinas pindah Rp. 26 miliar, juga anggaran renovasi rumah dinas anggota dewan Rp. 445 miliar. Para wakil rakyat pun meminta dana sebesar Rp. 2 triliun terkait optimalisasi penerimaan negara dan pajak, lalu masih ada tuntutan dana aspirasi total Rp. 8,2 triliun, serta wacana pembangunan rumah aspirasi yang akan menelan dana triliunan rupiah.
Pembangunan gedung mewah tersebut melengkapi berbagai kemewahan yang sudah diterima anggota dewan saat ini. Setiap bulan, seorang anggota dewan menerima penghasilan Rp. 59,77 juta, belum termasuk tunjangan reses, kunjungan kerja, rapat di luar kota, pembuatan undang-undang.
Jadi, pembangunan gedung mercusuar adalah sesuatu yang sungguh tidak rasional. Apalagi, saat ini negara sedang menghadapi kebutuhan mendesak terkait bencana meletusnya Gunung Sinabung, pemberian bantuan terhadap korban banjir tahunan di banyak daerah, penanganan korban lumpur Lapindo yang masih belum tuntas, program penanggulangan kemiskinan, penanggulangan busung lapar, perluasan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan murah, jamkesnas, dan lain-lain.
Fasilitas mewah sesungguhnya tidak berkorelasi dengan produktivitas. Bisa saja fasilitas mewah membuat anggota dewan diam berlama-lama di gedung mercusuar tersebut, tapi bukan untuk bekerja, melainkan menikmati pelisiran gratis. Karena itu, jelaslah, proyek mercusuar tersebut melanggar kepantasan.
Kebiasaan berhemat
Proyek mercusuar Gedung DPR dilihat dari sudut manapun jelas mengindikasikan tumpulnya sensitifitas mereka. Proyek itu telah mendapat kritik dari banyak elemen masyarakat, namun rencana pembangunannya terus digulirkan tanpa transparansi.
Dengan mendapat banyak fasilitas, anggota dewan sepatutnya waspada terhadap “tipuan” untuk merasa lebih baik atau lebih penting, dan merasa berada pada kelas sosial yang tinggi. Sebuah jebakan perilaku action seeker yaitu perilaku snobbish yang seharusnya tidak boleh bersemayam di dada abdi masyarakat.
Untuk bisa terhindar dari tipuan tersebut, perlu dimiliki karakter refresif, yakni kebiasaan berhemat, disiplin, suka bekerja keras, menahan diri untuk tidak memamerkan kemewahan. Sebaliknya, waspadalah terhadap jebakan karakter ekspresif yaitu karakter yang konsumtif, dengan lebih mengutamakan reward dari pada kerja keras. Dalam bentuk ekstremnya tampak pada usaha jalan pintas memiliki kekayaan berlimpah. Korupsi dalam hal ini menjadi godaan yang amat menarik, dan telah sukses menjerat anggota dewan yang tak mewaspadainya.
Para anggota dewan mestinya selalu ingat pada janji-janji yang dikumandangkan pada masa pemilu, khususnya janji untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, yang dimandatkan oleh konstitusi. Anggota dewan yang membiarkan rakyatnya terus hidup dalam kemiskinan, dan sebaliknya, mereka terus berburu untuk mendapatkan fasilitas mewah adalah suatu langlah yang salah, dan itu juga berarti mereka telah berlaku tidak adil terhadap rakyat dan bangsa ini. Ini mengindikasikan tumpulnya sensitifitas anggota dewan.
Boleh saja anggota dewan berkeras untuk merealisasikan keinginannya memiliki gedung mercusuar yang menawarkan kemewahan. Tapi semua itu menjadi sangat tak berarti apabila rakyat merasa tak lagi membutuhkan mereka. Bisa jadi, suara-suara kekecewaan yang ingin membubarkan DPR, seperti dikumandangkan Iberamsjah, pakar politik Universitas Indonesia, akan menjadi kenyataan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Penjara Berujung Kematian
Oleh Binsar A Hutabarat
Terkait kondisi penjara yang makin tak nyaman bagi para penghuninya, artis Roy Marten dalam suatu seminar antinarkoba berujar, sebaiknya pecandu narkoba jangan ditahan, melainkan dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi. Menurut Roy, di balik jeruji penjara ternyata para pengedar barang-barang haram tersebut tetap beroperasi. Akibatnya, pecandu narkoba tetap saja dapat mengonsumsi narkoba dan mereka tak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada benda terlarang itu.
Untuk mereka yang berkantung tebal dan hanya sedikit tekad untuk melepaskan diri dari keterikatan pada narkoba, penjara memang bukan tempat yang cocok. Tapi uang telah membuat mereka selalu bisa menikmati barang haram itu, meski berada di balik jeruji. Sedangkan bagi mereka yang tak punya uang, kemarahanlah yang mereka pendamkan, dan sikap diskriminatif itulah yang mereka terima. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang diharapkan menjadi tempat pembinaan para narapidana untuk kemudian bisa kembalik ke masyarakat, akhirnya benar-benar menjadi penjara bagi para penghuninya. Cukup banyak indikasi pelanggaran hak-hak manusia.
Tinginya nyawa yang melayang di balik jeruji besi adalah akibat praktik pembiaran yang kerap dilakukan di LP-LP. Pembiaran napi yang sakit dan kemudian mati merupakan bukti bahwa semangat balas dendam masih kental di LP. Ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi.
Bentham, seorang penganut teori hukum utilitas, mengingatkan, “Jikalau memang terpaksa harus diterima, hukuman itu harus diterima sejauh menjanjikan pengecualian dari kejahatan yang lebih besar”. Hukuman dapat dibenarkan hanya kalau menghasilkan akibat-akibat baik. Membiarkan napi mati dalam penjara karena sakit yang diderita atau karena kondisi tahanan yang buruk jelas suatu perbuatan melawan hukum. Apakah akibat baik dari membiarkan napi mati dengan sakit yang dideritanya tanpa memberi pertolongan yang memadai? Tentu saja tidak ada keuntungan sedikit pun bagi narapidana.
Dari sudut pandang retribusi, pembiaran yang menyebabkan kematian napi juga tidak dapat dibenarkan. Dalam The Chritique of Practical Reason (1788) Kant menulis,”Jikalau seseorang yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai akhirnya menerima cambukan secukupnya, setiap orang menyetujuinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, meski selanjutnya tak sesuatu pun dihasilkan darinya.”
Hukuman bisa saja diberikan setimpal dengan pelanggaran seseorang, tapi ia tetap berusaha untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Membiarkan napi tentu saja menyalahi hukum retributif karena di sana terbaca adanya penambahan hukuman, yaitu menghukum manusia dalam kondisi yang bukan manusia (inhuman).
Gotong Royong
Rumah tahanan yang kini disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan seharusnya menjadi tempat di mana di sana ada kasih dan persahabatan. Hanya dengan demikian narapidana dapat disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar, dan dari sana pula mereka bisa merajut kehidupan bersama yang lebih baik di tengah masyarakat.
Wajah garang para penjaga penjara mestinya tak perlu dipamerkan di sana. Hanya ada kasih dan persahabatan di lembaga permasyarakatan. Tapi kita semua tahu, bahwa rumah tahanan kini menjadi amat menakutkan. Lantas, mengapa istilah lembaga pemasyarakatan tetap saja digunakan?
Kalau dana yang menjadi alasan sehingga banyak program pemasyarakatan tidak berjalan, mengapa kemudian narapidana diperas secara amat tidak manusiawi? Negeri ini memiliki banyak orang-orang filantrop yang bersedia membantu. Bahkan kalau mau jujur, banyak penjara di Indonesia mendapat kunjungan kaum filantrop. Kalau saja ada transparansi, LP tidak perlu kekurangan dana atau ketiadaan tenaga medis. Rakyat di negeri ini sudah terbiasa hidup bergotong royong dan suka membantu.
Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa seseorang bisa dilihat dari bagaimana sikapnya terhadap orang yang memusuhinya. Jauh dari sikap membalas dendam apalagi berniat membinasakan musuh adalah suatu sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa seseorang. Perbuatan jahat dipahami sebagai pelarian manusia dari kodrat dirinya yang merugikan pelaku itu sendiri, karena itu pembalasan dendam tidak diperlukan, karena si pembuat kejahatan pada hakikatnya berada dalam posisi yang sedang memerlukan pertolongan.
Pada kesadaran itu kemudian muncul pemahaman bahwa setiap orang perlu mendapat kesempatan untuk dapat berubah, memperbaiki diri, untuk kembali pada harkatnya yang semula. Kesempatan untuk berubah itu diakui menjadi kebutuhan semua manusia yang tidak pernah bebas dari salah. Pemberian kesempatan untuk berubah meniscayakan pemberian maaf pada pelaku kejahatan. Pada titik ini terlihat bahwa sikap memaafkan musuh memerlukan jiwa besar yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan diri untuk memahami keterbatasan orang lain.
Kesadaran untuk memaafkan itu tidak berarti menafikan disiplin atau sanksi yang diperlukan untuk mengembalikan sang tersesat pada jalan yang benar. Tanpa sanksi, kesalahan bisa dianggap sebagai bukan kesalahan, namun pemberian sanksi harus didasarkan pada usaha untuk mengembalikan sang pelanggar hukum pada jalan yang benar. Luther mengibaratkan, “Di ujung tongkat harus ada buah apel.”
Dilema Hukuman
Menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan seseorang adalah tidak mudah. Tidak jarang pelaku kejahatan berat mendapat hukuman ringan sedangkan pelaku pelanggaran ringan mendapatkan hukuman berat. Ini umumnya terkait interpretasi hakim dan kemampuan pelaku menjelaskan fakta yang terjadi.
Dilema ini kerap muncul di penjara. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan sering tergoda untuk menjadi “hakim” di institusi yang menjadi binaannya. Mengapa hal itu terjadi? Bukankah vonis telah dijatuhkan di lembaga pengadilan, sedangkan penjara tinggal melaksanakan apa yang diputuskan pengadilan?
Tugas utama lembaga pemasyarakatan adalah mengembalikan napi pada masyarakat, bukan menambahkan hukuman pada napi. Mengeksploitasi napi jelas bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan moralitas.
Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion and Society; alumnus program magister (S2) Institut Reformed Jakarta.
Suara Pembaruan, 13 November 2010
Binsar A. Hutabarat
Sebagai negeri kaya bencana, kaya letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, bencana banjir, dan becana lainnya, Indonesia membutuhkan banyak relawan untuk menyelamatkan warga korban bencana, yakni relawan yang mencintai sesamanya tanpa pamrih, mereka selalu hadir menolong warga korban bencana di seantero negeri ini tanpa perlu dihimbau oleh siapapun.
Meletusnya Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 menelan korban 42 meninggal dunia, belum termasuk yang mengalami luka berat dan ringan. Letusan Merapi yang disertai dengan awan panas pada jumat 5 November berdampak lebih luas lagi, mengakibatkan korban tewas seluruhnya 135 orang, 411 luka-luka dan dirawat inap, dua ratus orang lebih hingga kini dinyatakan hilang, mengakibatkan 289.613 penduduk harus hidup dalam tempat-tempat pengungsian. Bencana Mentawai membuat 449 orang meninggal, 93 orang dinyatakan hilang, 410 korban luka berat dan ringan, belum lagi banjir bandang di Wasior, Papua. Tragedi memilukan ini patut disebut sebagai bencana nasional.
Meletusnya Gunung Merapi, dikabarkan membuat aktivitas gunung-gunung berapi lainnya yang ada di Indonesia meningkat, selain gunung Karangetan dan Gunung Ibu di bagian timur Indonesia yang berstatus waspada, ada 19 gunung api lain yang kini berstatus waspada. Itu artinya, ancaman bencana yang besar masih akan menghantam negeri ini, padahal, upaya untuk menolong korban bencana yang datang beruntun kali ini membutuhkan daya dan dana yang amat besar, bahkan beberapa relawan juga telah gugur ketika berusaha mengevakuasi korban bencana Merapi.
Beban berat yang mesti kita tanggung bersama untuk menolong korban bencana mestinya menghentikan semua perbantahan yang tidak produktif soal mengapa bencana itu terjadi, dan kemudian fokus kepada bagaimana menolong warga korban bencana. Segenap tenaga kita harus diarahkan untuk menolong warga korban bencana semaksimal mungkin.
Gugurnya beberapa relawan di Merapi mestinya menyadarkan kita bahwa bencana yang sedang melanda negeri ini membutuhkan daya, dan dana yang tidak sedikit. Dan secara bersamaan memberikan inspirasi bahwa semua warga bangsa di negeri ini sesungguhnya bertanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan nyata sebagaimana telah dicontohi relawan-relawan yang telah gugur ketika mengevakuasi korban Merapi.
Salut untuk relawan
Solidaritas yang sarat dengan semangat kepahlawanan sesungguhnya telah ditunjukkan oleh relawan-relawan di negeri ini. Para relawan telah berjuang keras menyelamatkan korban Merapi ditengah ancaman awan panas Merapi yang mematikan. Ancaman cuaca buruk, serta gelombang laut Mentawai juga tidak menyurutkan langkah relawan untuk membantu warga korban bencana. Para relawan itu tak kenal diskriminasi, mereka hanya tahu bahwa warga korban bencana harus ditolong, tanpa pamrih mereka berupaya mengurangi penderitaan korban, bahkan kehadiran mereka di lokasi bencana seringkali mendahului pejabat-pejabat di daerah bencana.
Meski tanpa atribut semarak, seperti layaknya partai-partai politik, sesungguhnya tidak sulit menemukan relawan di lokasi bencana. Sebaliknya, mudah untuk menemukan bendera partai politik dilokasi bencana, namun sulit menemukan karya mereka di lokasi bencana, karena umumnya partai politik lebih sibuk memamerkan atributnya dibandingkan karya mereka.
Para relawan yang tanpa pamrih itu tampaknya memiliki hati seperti Jean Henry Dunant, seorang Swis, yang tak tahan ketika melihat korban perang Solverino pada Juni 1859. Dan kemudian untuk menyelamatkan korban perang itu mendirikan organisasi yang memberikan bantuan tanpa diskriminasi, baik terhadap suku bangsa, ras, agama, sahabat ataupun musuh, semua diperlakukan sama. Semangat yang agung itu dipuji oleh dunia, itu sebabnya pada tahun 1864 organisasi yang telah berjasa besar itu dikukuhkan sebagai Palang Merah Internasional dalam konvensi Jenewa.
Moralitas relawan, dan juga moralitas yang diusung Henry Dunant ini bisa disebut sebagai moralitas palang merah atau moralitas kepanduan yang berpihak pada korban. Moralitas yang dilekatkan pada Camus yang terkenal dengan bukunya La Peste (Sampar), yang karenanya ia mendapatkan ganjaran hadiah Nobel. Bagi mereka yang memegang moralitas ini dalam situasi bencana yang diperlukan hanyalah keberpihakan pada korban. Menurut Camus, mempromosikan ethos untuk berjuang dalam keberpihakan pada korban penting ”karena kita tidak tahu mengapa bencana itu terjadi, yang diperlukan adalah bagaimana menolong mereka yang menjadi korban bencana itu.”
Proses bagaimana bencana melanda negeri ini telah dipaparkan oleh banyak ahli, itu penting untuk mengantisipasi bencana-bencana yang masih akan datang, tapi realitas korban yang membutuhkan bantuan tetap harus menjadi utama dibandingkan hal-hal lainnya. Namun, menyimpulkan bahwa bencana adalah hukuman Tuhan akan melahirkan gugatan yang tidak pernah selesai, apalagi bencana sesungguhnya telah membinasakan secara mengerikan siapapun yang dijumpai, bencana tak kenal diskriminasi, apapun agamanya, orang saleh atau orang jahat, semua menerima akibat yang sama dari kehadiran sebuah bencana.
Emmanuel Levinas, seorang tokoh etika politik yang tersohor juga setuju dengan moralitas yang berpihak pada korban itu, ia mengatakan bahwa kebaikan transenden adalah data paling dasar dalam kenyataan yang namanya manusia, ini meneguhkan apa yang dikatakan Plato, bahwa ide tertinggi adalah ”yang baik.”Menurutnya manusia harus berbuat kebaikan terhadap sesamanya, dan mestinya tanpa pamrih, karena itu adalah sebuah keharusan dari manusia yang memiliki ide kebaikan. Levinas berujar, ”karena suatu kebaikanku yang kuketahui, yang seakan-akan kubanggakan, sudah bukan kebaikan lagi.”Menolong korban bencana adalah sebuag keharusan dan mestinya tanpa pamrih.
Pemerintah Indonesia mestinya menyadari bahwa persiapan dini dalam merespon terhadap bencana yang pasti akan datang harus dilakukan secara serius. Semangat solidaritas nasional yang bersemayam kuat di bumi ini sebagaimana telah dicontohkan para relawan yang gugur ketika menolong korban bencana, selayaknya terus digelorakan. Solidaritas yang sarat dengan semangat kepahlawanan yang telah mengangkat negeri ini tinggi-tinggi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat jangan pernah diabaikan, sebaliknya mesti digenggam kuat terlebih ketika bencana besar melanda negeri ini.
Kita tentu salut atas perjuangan para relawan, dan tentu saja tanpa mengesampingkan mereka yang telah menyumbangkan harta benda mereka untuk membantu korban bencana. Keluarga para relawan itu wajib mendapat santunan. Para relawan baru patut diberikan pembinaan yang baik untuk melaksanakan tugasnya, juga perhatian pelayanan medis agar tetap dalam kondisi sehat. Di samping itu pemerintah juga harus transparan terhadap penggunaan dana bencana, agar tidak terjadi korupsi dana bencana. Jika ini kita lakukan, maka beban berat warga korban bencana akan terobati, dan harga diri kita sebagai bangsa yang satu akan terjaga, karena kita mampu merawat solidaritas yang menjadi ciri perjuangan kemerdekaan negeri ini. Sekali lagi, salut untuk relawan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Mengikis Tabiat Koruptif Para Pemimpin Daerah
Investor Daily, 25 Juni 2010
Binsar A. Hutabarat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani 150 izin pemeriksaan kepala daerah-bupati, walikota, maupun gubernur-yang tersandera kasus korupsi. Realitas ini seakan meneguhkan apa yang dikatakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.
Banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi jelas bukan sebuah berita bagus bagi penegakkan hukum di Tanah Air. Ini justru fakta yang sangat memprihatinkan di tengah gencarnya kampanye pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi.
Apalagi dengan akan diperiksanya 150 kepala daerah yang kini aktif, itu berarti kerugian yang teramat besar bagi masyarakat. Ini di luar perhitungan biaya yang digelontorkan pemilu kepala daerah (pemilukada). Pada 2010 ini saja, biaya pelaksanaan pemilukada mencapai Rp 3,545 triliun, yang berarti rata-rata Rp 15 miliar per daerah. Jika ditambah biaya yang dikeluarkan seluruh calon dengan perkiraan rata-rata Rp 15 miliar per calon, itu berarti sepasang kepala daerah bisa menelan dana Rp 30 miliar.
Biaya yang amat besar untuk mendapatkan sepasang kepala daerah tersebut ternyata tidak berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, tak sedikit kepala daerah yang justru tersandera kasus korupsi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berujar, tidak semua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ini terjadi karena unsur kesengajaan, tapi lebih disebabkan kekeliruan menafsirkan aliran yang ada atau tindakan diskresi kepala daerah dalam mengatasi permasalahan di daerahnya.
Kesadaran Politik Rakyat
Gamawan Fauzi boleh saja berkilah atau mencari alasan pembenar. Namun, berbagai realitas membuktikan bahwa jabatan kepala daerah kini menjadi rebutan, bukan untuk “mengabdi” melainkan rebutan untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Karena itu, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi tersebut, entah berapa pun biaya yang harus dikucurkan, dan dengan cara apapun biaya tersebut diperoleh.
Itulah fenomena koruptif kepala daerah yang terjadi saat ini kerap terkait dengan tabiat koruptif yang terbentuk karena untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan biaya yang amat mahal. Seorang kepala daerah yang telah menghabiskan uang banyak akan berusaha untuk setidaknya mengembalikan ongkos kampanye yang sudah dikeluarkannya.
Maraknya konsultan-konsultan politik yang menawarkan jasa untuk memenangkan kampanye semakin meneguhkan betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah. Akhirnya, jabatan kepala daerah yang mestinya menjadi tempat dan pusat pengabdian kepada masyarakat, malah tercederai oleh nafsu sang kepala daerah tersebut untuk mengumpulkan uang guna mengembalikan investasi yang telah dikeluarkannya.
Bagaimanapun jabatan kepala daerah itu diperuntukkan bagi kesejahteraan umum. Mereka yang menduduki jabatan tersebut membawa tugas dan tanggung jawab besar bagi kebaikan dan kepentingan umum (bonum communae). Mereka berkewajiban memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera lahir batin. Hati dan pikiran seorang kepala daerah adalah memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat di daerahnya, tanpa terjebak sekat-sekat kepentingan suku, agama, dan antargolongan.
Setiap orang yang ingin menjadi kepala daerah harus selalu tertanam dalam dirinya ucapan Presiden AS John F Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai presiden pada Januari 1961: “…ask not what your country can do for you-ask what you can do for your country.” Jangan tanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu!
Ini berarti, siapa yang tidak memiliki semangat mengabdi, dia tidak layak menduduki jabatan kepala daerah. jabatan tersebut bahkan akan membuahkan malapetaka besar bila dia memperolehnya dengan permainan tidak jujur, money politics, dan tindakan-tindakan tercela lainnya.
Lalu, siapakah yang seharusnya menjaring para calon pemimpin agar kelak terpilih hanya mereka yang benar-benar berkualitas, bermoral, dan berkarakter? Pemilihlah yang memiliki peran penting bagi hadirnya pemimpin berkualitas. Makanya sudah waktunya masyarakat meneliti dan mengenal dengan baik siapa sesungguhnya yang layak menjadi pemimpin daerah.
Rakyat jangan memilih kucing dalam karung. Jangan biarkan jabatan kepala daerah jatuh di tangan mereka yang dikuasai tabiat koruptif.
Pelayan Bukan Penguasa
Sesungguhnya tak sulit mencari sosok-sosok berhati mulia serta memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni. Sayangnya, mereka umumnya tak punya niat, tak punya ambisi. Tugas masyarakat adalah medorong dan mendukung sosok-sosok seperti itu. Bahwa ada proses politik dalam pemilihan seorang kepala daerah, itu sudah menjadi aturan main yang lazim.
Namun, adalah juga tugas masyarakat untuk memperjuangkan bagaimana pemimpin daerah yang terpilih itu jatuh ke tangan orang yang tepat, jujur, dan berkualitas. Masyarakat perlu disadarkan agar hanya memilih calon-calon pemimpin daerah berkarakter mulia.
Ini penting agar kita tidak akan lagi menjumpai kepala-kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi atau mereka yang dikenal memiliki tabiat koruptif. Demi Indonesia yang sejahtera dan masyarakat yang semakin maju, kita membutuhkan pemimpin yang tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa daerah, tapi pelayan masyarakat.
Negeri ini hanya akan mengalami restorasi apabila kesadaran politik rakyat semakin meningkat, termasuk kesadaran masyarakat untuk memilih pemimpin bermoral dan bermartabat. Kesadaran politik rakyat itu akan menjadi benteng kokoh guna mengenyahkan calon-calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kelak hanya akan menyengsarakan rakyat.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Partisipasi Perempuan dan Aksi Afirmasi
Investor Daily, 15 Maret 2010
Binsar A. Hutabarat
Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Perayaan ini menandai bangkitnya perempuan dalam kancah politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Di Indonesia, peran perempuan di bawah bayang-bayang kaum pria, bahkan kerap menjadi sasaran kekerasan laki-laki.
Hari Perempuan Internasional di negara-negara Barat mulai dirayakan pada sekitar tahun 1910-an dan 1920-an. Sempat menghilang beberapa saat, perayaan ini dihidupkan kembali seiring bangkitnya gerakan feminisme pada tahun 1960-an. Sejak 1975 PBB mulai mensponsori perayaan Hari Perempuan Internasional.
Meski peran kaum ini sudah mulai tampak dalam berbagai bidang, nasib malang yang menimpah mereka tetap saja tak bisa ditutup sebelah mata. Korban kekerasan rumah tangga atau menjadi korban pelecehan seksual masih sering menjadi kisah tragis yang dialami kaum perempuan kita, tidak memandang suku, agama, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan.
Data Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, sepanjang tahun 2009, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 263%, atau naik tiga kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun 2008. Tahun 2009 terjadi 143.586 kasus, sedangkan tahun 2008 hanya 54.425 kasus.
Kekerasan terhadap istri, baik fisik maupun psikis cukup menonjol, yakni 96% atau 146.849 kasus. Perempuan mengalami diskriminasi bukan hanya pada ruang publik, tapi juga pada ruang privat perempuan.
Boleh saja kita mengatakan bahwa saat ini perempuan lebih berani melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, namun melihat peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan yang amat spektakuler -tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya- dapat disimpulkan bahwa martabat perempuan Indonesia masih belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya.
UU Anti Diskriminasi
Hal yang tampak masih menonjol adalah perlakuan diskriminatif terhadap kaum ini. Menurut Convention of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang dimaksud dengan diskriminasi adalah segala pembedaan, pengesampingan, atau pembatasan apapun yang dibuat atas dasar jenis kelamin.
Pembedaan ini mempunyai mempunyai pengaruh atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan Hak-hak Asasi Manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya oleh kaum dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya.
Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada ranah publik, tetapi juga pada ranah privat. Perempuan Indonesia dipaksa menjadi Super Woman bekerja diluar rumah sebagaimana laki-laki, namun masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dianggap domain perempuan.
Beratnya penderitaan perempuan Indonesia itu masih ditambah lagi dengan kekerasan yang dialami dalam rumah tangga, pemberian upah yang tidak adil, bahkan perlindungan yang minim terhadap buruh migran perempuan yang selalu menjadi bulan-bulanan kekerasan majikan.
Diskriminasi terhadap perempuan yang membuat perempuan termarjinalkan ini sangat merendahkan martabat suatu bangsa, karena sebagai sebuah bangsa yang beradab perempuan dan laki-laki harus diperlakukan setara dan harus memiliki persamaan dalam hak-hak nya. Apalagi untuk Indonesia yang telah merativikasi konvensi CEDAW (Convention of All Forms of Discrimination Against Women) atau konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984.
Berdasarkan undang-undang tersebut diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bidang sudah selayaknya disudahi, dan diskriminasi terhadap perempuan sesungguhnya juga melawan konstitusi RI yang menempatkan laki-laki dan perempuan setara adanya.
Aksi Afirmasi
Masih rendahnya partisipasi perempuan Indonesia mengindikasikan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi persoalan yang menuntut peran pemerintah dalam memenuhi hak-hak perempuan.
Rintangan diskriminasi yang menghalangi partisipasi perempuan itu harus dihapuskan. Peningkatan partisipasi perempuan Indonesia ini penting dan harus lebih ditingkatkan. Perempuan harus diberikan ruang sebebas-bebasnya dalam mengabdi kepada bangsa dan sesama manusia.
Marginalisasi perempuan Indonesia merupakan faktor penting yang membuat Indonesia terus berada dalam kemiskinan, ini dapat dipahami karena jumlah terbesar penduduk Indonesia adalah perempuan. Marginalisasi perempuan dalam bidang pendidikan, politik, sosial, ekonomi otomatis akan menghambat kemajuan bangsa.
Fakta membuktikan bahwa keberhasilan pemberdayaan perempuan di negara-negara berkembang identik dengan keberhasilan usaha membangun bangsa, demikian juga sebaliknya. Bagaimanapun seperti kata David Hollenbach, partisipasi kelompok marginal mempunyai prioritas atas pemeliharaan tata masyarakat yang mengesampingkan mereka."
Karena itu pemerintah sepatutnya menerapkan kebijakan aksi afirmatif terhadap perempuan atau diskriminasi positif untuk mengurangi efek diskriminatif yang dialami perempuan yang menghalangi partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa. Pemerintah yang membiarkan masyarakat memarginalkan perempuan sama saja dengan melanggengkan ketidak adilan.
Aksi afirmatif terhadap perempuan tidak akan meminggirkan laki-laki karena laki-laki dan perempuan pada hakikatnya memiliki interdepedensi. Karena itu demi Indonesia yang lebih baik dan demi penghormatan terhadap hak-hak perempuan, pemerintah sepatutnya menunjukan keberpihakannya terhadap perempuan agar kaum ini dapat menggunakan hak partisipasinya.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Karakter Bangsa, Dulu dan Kini
Investor Daily, 23 Januari 2010
Binsar A. Hutabarat
Karakter bangsa Indonesia terbilang kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatlaka mencapai kemerdekaan, dan saat mempertahankan kemerdekaan. Bayangkan, hanya bermodalkan bambu runcing, penjajah Belanda yang dilengkapi persenjataan canggih persenjataan canggih berhasil diusir anak-anak bangsa ini.
Kini, karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sudah sangat rapuh. Daya juang bangsa ini nyaris hilang ditelan berbagai godaan kepentingan sesaat. Masih tingginya praktik korupsi di Indonesia dan bergentayangannya makelar kasus dengan terindikasi adalanya jaringan mafia hukum merupakan potret buram sistem penegakan hukum di Indonesia.
Belum terselesainya kasus Bank Century, perlakuan diskriminatif dalam penjara yang kini menjadi buah bibir, dan penculikan bayi yang terbukti melibatkan petugas rumah sakit dan Puskesmas, semakin memperkuat pandangan bahwa karakter bangsa ini dalam kondisi yang amat lembek. Keburukan menjadi sesuatu yang biasa dan nilai-nilai kebaikan telah menjadi barang mewah di negeri ini.
Berbagai dekadensi moral ini muncul terkait dengan semakin lemahnya satu pilar pembangunan manusia seutuhnya: pendidikan. Pendidikan kita semakin tanpa arah, bias. Ironisnya, pemerintah masih saja berkukuh menyelenggarakan ujian nasional yang tak memiliki saham berarti untuk menguatkan karakter bangsa.
Cacat Pendidikan
Pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan.
Seperti kata Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan orang mulai tidak memerhatikan lagi bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan gagal untuk menghadirkan generasi anak-anak bangsa yang berkarakter kuat.
Pendidikan seharusnya mamapu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik, dan manusia pada dasarnya adalah animal seducandum, yaitu “binatang” yang harus dan dapat dididik.
Itulah makanya filsuf Aristoteles mengingatkan, sebuah masyarakat yang budayanya sudah tidak lagi memperhatikan pentingnya pendidikan atau tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai suatu good habits, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “menandai”, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karena itu, seseorang perlu mendapatkan pendidikan karakter.
Dengan pendidikan karakter, kata Thomas Lickona (1991), budi pekerti dan tingkah laku orang tersebut terbentuk. Hasilnya akan terlihat dalam tindakan nyata. Orang tersebut akan bertingkah laku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, bekerja keras, dan lain-lain.
Untuk memiliki karakter atau budi pekerti yang baik itu perlu adanya latihan yang serius dan terus-menerus. Meski manusia memiliki karakter bawaan, itu tidak berarti karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik.
Kita tentu setuju bahwa membangun sebuah kebiasaan untuk berbuat baik itu tak selalu mudah, meski dorongan untuk berbuat kebaikan memang ada. Tapi, jika dorongan yang tidak baik itu terus dibiarkan hadir, keinginan yang baik dengan mudah didesak mundur. Bila kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik berkembang semaunya, kekacauanlah yang terjadi.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan dalam diri seorang anak manusia. Masalahnya, bagaimana manusia itu mengonstruksi diri sendiri, di mana yang baik dikembangkan dan yang jelek dikurangi atau dihilangkan, itulah pekerjaan yang harus dilakukan setiap saat, setiap hari.
Karena itu, dalam banyak hal karakter yang baik lebih patut dipuji dibandingkan bakat yang luar biasa. Bakat adalah anugerah, sedangkan karakter yang baik tidak dianugerahkan. Karakter yang baik lahir dari latihan dan perjuangan yang keras, terus-menerus, sebuah latihan yang tak kenal lelah. Seperti kata Tolbert McCarrol, karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam. Otot karakter kita akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan menjadi kuat kalau sering dilatih.
Peranan Guru
Pendidikan di Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter, sudah saatnya harus dibenahi. Indonesia memerlukan pendidikan karakter agar tampil pribadi-pribadi unggul, kuat, dan tahan uji.
Sudah waktunya pemerintah fokus pada bagaimana memperbaiki mutu pendidikan yang terfokus pada pembangunan karakter. Pemerintah perlu memperbaiki perpustakaan sekolah untuk meningkatkan budaya baca dengan menghadirkan buku-buku bacaan berkualitas tentang budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai moral dan memberi banyak kesempatan untuk menghidupi nilai-nilai moral tersebut.
Peran guru di sini menjadi sangat penting dan strategis. Mereka adalah wajah pendidikan kita. Karena itu, guru patut diberikan kedudukan terhormat, termasuk juga pemenuhan kebutuhannya, tidak hanya untuk sekolah negeri, tetapi juga guru-guru swasta.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Peduli Nasib PRT Migran
Investor Daily, 12 Desember 2009
Binsar A. Hutabarat
Tahun ini merupakan peringatan ke-61 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada 10 Desember. Namun, perbudakan ternyata belum juga lenyap, setidaknya itu dialami para pembantu rumah tangga (PRT) migran diberbagai negara.
Lebanon adalah mimpi buruk bagi PRT. Dalam dua bulan terakhir, sedikitnya 10 pembantu rumah tangga (PRT) tewas di Libanon, entah dengan cara gantung diri atau terjun dari gedung tinggi. Seorang aktivis Libanon mengatakan, bunuh diri ini hanya puncak gunung es perlakuan buruk terhadap PRT.
Sedikitnya, satu dari tiap empat keluarga di Libanon memiliki PRT migran, kini jumlahnya mencapai 200.000 orang. Mereka umumnya merupakan wanita berusia 20an-30an yang datang dari Filipina, Indonesia, Ethiopia, Nepal, Sri Lanka, dan Madagaskar. Lebih dari sepertiga PRT asing di Libanon tidak diberi hari libur dan lebih dari 50 persennya bekerja setidaknya 10 jam per hari. Selain kurang waktu istirahat, mereka juga kerap tidak diberi cukup makan.
Perlakuan buruk terhadap PRT bukan hanya terjadi di Libanon, tetapi juga di banyak negara. Indonesia sebagai pen-suplai PRT yang terbilang besar kerap mendengar perlakuan tidak manusiawi itu. Masih terekam ddalam ingatan kita Nirmala Bonat yang disiksa majikannya di Malaysia pada tahun 2004. Nirmala menderita luar biasa akibat disiram air panas, dipukuli dan disetrika oleh majikannya.
Apa yang dialami Nirmala bukan hanya melukai perasaan kita sebagai warga negara, tapi juga menciderai prinsip-prinsip hak asai manusia (HAM) yang universal.
Praktik Perbudakan Modern
Perlakuan kejam yang dialami Nirmala dan juga banyak PRT diberbagai negara di dunia ini tak ubahnya dengan praktik perbudakan di masa lampau. Di masa lampau praktik pemilikan budak dan penguasaan seseorang atas orang lain adalah hal lazim. Seorang tuan tanah atau penguasa biasanya tidak hanya menguasai lahan atau tanah-tanah tapi juga para budak yang dipekerjakan di lahan-lahan tersebut.
Para budak tersebut dipekerjakan tanpa menerima upah. Pemilik budak hanya menyediakan makanan, tempat tinggal, dan pakaian bagi budaknya. Seorang budak sama sekali tidak mempunyai hak untuk melawan perintah pemiliknya. Pada masa lalu budak diperoleh dari tawanan perang yang siap dipekerjakan di ladang milik tuannya.
Kejadian yang hampir sama juga terjadi pada Siti hajar pada tahun 2009 ini. Siti Hajar yang berasal dari Jawa Barat menerima perilaku kejam sebagaimana dialami Nirmala Bonat, yaitu, disiram air panas, ditusuk dengan benda tajam hingga pemukulan dengan benda tumpul. Perlakuan kejam yang dialami oleh PRT diberbagai negara saat ini tak ubahnya dengan praktik perbudakan pada masa lampau, bahkan terkadang perlakuan lebih tak manusiawi terjadi pada PRT di banyak negara.
Larangan perbudakan mulai muncul pada tahun 1700-an, bersamaan dengan timbulnya pemberontakan negara–negara jajahan yang menuntut kemerdekaan. Tahun 1834-1840 pemerintah kolonial Inggris mulai menghapuskan perbudakan di wilayah koloninya, sementara Amerika Serikat pada tahun 1865 mengeluarkan larangan terhadap perbudakan.
Baru pada 10 Desember 1948 lahir deklarasi universal HAM yang menjadi piagam mulia penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Ini menjadi dokumen resmi yang menempatkan manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang harus dihormati hak-haknya: hak hidup, hak berekspresi, hak mendapatkan perlindungan hukum. Berdasarkan prinsip ini manusia itu sama, setara dengan harkat dan martabatnya yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.
Sayangnya, tak seindah gema Deklarasi Universal HAM, pada kenyataan praktik perbudakan masih terus berlangsung. Nirmala Bonat dan berbagai kisah memilukan yang dialami banyak PRT di dunia mengindikasikan bahwa praktik perbudakan sesungguhnya belum lenyap dari muka bumi ini.
Bahkan seorang PRT sering mendapat perlakuan yang jauh lebih buruk dibandingkan yang dialami budak-budak di masa lampau. Mereka tidak hanya dipekerjakan sebagai pembantu untuk meringankan tugas-tugas sang majikan di rumah, tapi juga mendapat perlakuan yang mengoyak harkat dan martabatnya sebagai manusia. Mereka diperlakukan secara kasar tanpa mampu membela diri. Mereka sering diisolasi dari keluarga, paspor mereka disita dan diperkosa.
Ironisnya, lembaga yang mengirim mereka seringkali menutup mata terhadap nasib buruk yang menimpa PRT yang dikirimnya itu. Nasib mereka, seperti bunyi pepatah, “Habis manis sepah dibuang” perbudakan semestinya tak boleh lagi ada dimuka bumi ini. Mereka adalah orang-orang yang tercampakkan. Itulah yang paling sering kita saksikan.
Tanggung Jawab Pemerintah
Terus berlangsungnya perbudakan terhadap PRT asal Indonesia mengindikasikan masih minimnya peran pemerintah dalam melindungi warganya yang bekerja dalam profesi itu. Jika pemerintah Indonesia, juga negara-negara penyuplai PRT tidak mengulurkan tangannya untuk melindungi warganya itu, PRT yang mati karena bunuh diri atau dianiaya majaikannya, atau mengalami cacat seumur hidup akan terus bertambah.
Ini berarti pembiaran yang tidak berprikemanusiaan, suatu pembiaran terhadap perbudakan era modern yang menciderai nurani semua manusia yang bermartabat. Dengan adanya pembiaran seperti ini pemerintah bisa dianggap terlibat dalam sebuah kejahatan, karena bagaimanapun, pengiriman PRT juga diketahui pemerintah. Bahkan pemerintah ikut mendorongnya sebagai bagaian dari solusi lapangan kerja di dalam negeri yang kian sumpek.
Jadi, pemerintah tak bisa terus menutup mata terhadap perlakuan yang tidak manusiawi terhadap warganya yang mencari nafkah di negeri orang. Perlindungan PRT Indonesia di luar negeri adalah tanggung jawab pemerintah Indonesia. Mereka adalah warga negara yang wajib dilindungi, bukan hanya karena mereka “Pahlawan devisa”, tapi orang Indonesia yang punya hak dan martabat.
Karena itu, bersama negara-negara tujuan pengiriman PRT, Indonesia harus bekerja sama untuk menekan perlakuan yang tak manusiawi terhadap PRT kita di luar negeri. Sebagaiman tema hari HAM Nasional tahun ini, “Menggugat Tanggung jawab Negara atas Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan HAM”, hendaknya berbagai kejadian tragis yang menimpa para PRT kita bisa diakhiri dengan perhatian dan kepedulian pemerintah atas nasib setiap warganya.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Manjauhi Loyalitas Ganda
Investor Daily, 31 Oktober 2009
Binsar A. Hutabarat
Saat melantik 34 menteri KIB II beberapa waktu lau, presiden SBY mengigatkan para menteri agar meletakkan loyalitas sepenuhnya kepada bangsa dan negara serta presiden, bukan kepada pimpinan partai. Pernyataan tersebut jelas mengindikasikan bahwa tak boleh ada “dua tuan” dalam pengabdian menteri.
Penegasan SBY mengindasikan pada satu hal penting, yakni bahwa seorang menteri harus berwawasan nasional. Ia seorang nasionalis tulen ketika harus mengemban tugas-tugas bangsa dan negara. Meskipun mereka berasal dari berbagai partai politik, dalam mengemban tugas, jiwa atau semangat “nasionalis” harus tertanam kuat dalam diri mereka.
Perasaan terikat sebagai pelayan kepentingan bangsa dan negara akan membuat mereka rela mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih. Semua itu secara jelas mereka ucapkan saat ikrar pelantikan 22 Oktiber 2009.
Selain loyalitas kepada bangsa dan negara, para menteri juga sepatutnya meletakan loyalitas dan pertanggungjawaban mereka kepada presiden sebagai nahkoda pemerintahan sesuai dengan sistem presidensial, bukannya kepada pemimpin partai. Presiden adalah kepala negara, pemimpin bangsa. Sebagai bawahan, menteri harus taat kepada pimpinannya.
Apabila para menteri KIB II ini mampu menunjukan komitmen mereka terhadap bangsa dan negara, rakyat pasti boleh berharap bahwa pemerintahan yang baru ini akan benar-benar melayani kepentingan rakyat, untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat Indonesia seluruhnya?
Mampukah para menteri tahan terhadap setiap godaan yang membuatnya terjebak dalam sekat-sekat kepentingan partai atau kelompoknya sendiri?
Bukan “Dua Tuan”
Benarkah ungkapan yang menyatakan, “Loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada bangsa dimulai”. Ini berarti kepentingan negara (lebih besar) harus berada atas kepentingan partai politik (lebih kecil), atau kepentingan umum harus lebih diutamakan lebih daripada kepentingan kelompok atau golongan, apalagi perseorangan.
Loyalitas kepada partai itu juga bukan sesuatu yang haram, asalkan loyalitas kepada partai itu tidak sampai mereduksi atau mengasikan loyalitas kepada bangsa. Justru loyalitas kepada partai seharusnya semakin menguatkan loyalitas seorang warga negara terhadap bangsa dan negaranya.
Demikian juga dengan menteri pengusaha. Menjadi pengusaha adalah hak setiap warga bangsa. Namun, apabila usaha yang dilakukan sang menteri tersebut kemudian bisa menggangu pengabdiannya di pemerintahan, maka cara yang bijaksana adalah melepaskan pengelolaan usaha tersebut kepada orang atau lembaga yang dapat dipercaya.
Apabila para menteri KIB II mampu berpegang pada wawasan nasional dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik yang mengusungnya, sudah dapat dipastikan takkan terjadi konflik kepentingan dalam diri sang menteri. Mengabdi kepada “dua tuan” –-pemimpin negara dan pemimpin partai politik—takkan terjadi dalam dirinya.
Menghamba pada dua tuan sekaligus adalah suatu yang mustahil. Seseorang pasti akan mencintai yang satu dibanding dengankan tuan yang lainnya. Kalau sampai ada “dua tuan” dalam pengabdian seorang menteri, ini jelas akan mangancam keutuhan KIB II. Kerja sama dan solidaritas kabinet dipastikan terganggu, yang pada akhirnya akan merusak kinerja kabinet secara keseluruhan.
Pengalaman pemerintah sebelumnya telah membuktikan bahwa loyalitas yang lebih besar kepada partai daripada kepada nakhoda pemerintahan, akan mengancam keutuhan solidaritas kabinet. Bila ini terjadi, kembali kepetingan bangsa menjadi terpinggirkan, dan rakyat bangsa ini lagi-lagi menjadi korban sikap egois sang menteri.
Itulah yang dikhawatirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga pada masa awal pemerintahannya yang kedua ia harus menyampaikan hal tersebut secara terang benderang kepada para pembantunya.
Hindari Primodialisme
Para menteri KIB II, dengan demikian, harus “bersumpah” untuk menjauhkan diri dari sikap yang primodialistis, mementingkan diri, partai, kelompok atau golongan, dan menempatkan kepetingan umum, bangsa, dan negara di atas segalanya. Pintu hati para menteri harus selalu terbuka pada nilai-nilai kesatuan bangsa.
Keragaman latar belakang partai dan golongan bukan suatu yang salah. Sangat boleh jadi, dari keragaman latar belakang inilah lahir pemikiran-pemikiran kreatif yang sangat berguna bagi bangsa dan negara. Tentu bukan sebaliknya, sebuah kepentingan lebih besar harus dikalahkan hanya demi kepentingan partai. Kalau ini yang terjadi, bangsa ini kembali masuk pada kotak-kotak primodialisme, yang justru akan mempersulit pencapaian kompromi-kompromi untuk melahirkan suatu kebijakan bersama.
Bola sekarang berada di tangan para menteri KIB II. Mereka mulai sibuk dengan menyusun program 100 hari kerja. Akankah mereka mampu mengarungi ujian selama lima tahun ke depan di tengah berbagai godaan, termasuk untuk berhamba kepada “dua tuan”?
Para menteri yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negara akan dengan sepenuh hati mencurahkan waktu dan tenaga mereka untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya. Mereka pasti dengan sadar mau menyingirkan kepentingan-kepentingan partai, kelompok atau golongan, dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Dalam hal loyalitas, mereka takkan berhamba pada dua tuan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Loyalitas kepada Bangsa
Suara Pembaruan, 27 Oktober 2009
Binsar A. Hutabarat
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II harus berwawasan nasional. Artinya, sebagai nasionalis, para menteri KIB II harus memiliki cinta yang berkobar-kobar terhadap bangsanya. Oleh karena itu, meskipun mereka berasal dari berbagai partai politik atau golongan, bukan tidak mungkin mereka dapat bersatu dalam menjalankan pemerintahan.
Perasaan terikat sebagai satu bangsa akan membuat mereka rela mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih, sebagaimana yang telah mereka ikrarkan dalam sumpah pada pelantikan 22 Oktober 2009.
Loyalitas kepada bangsa itu jugalah yang dituntut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang diutarakan seusai melantik 34 menteri KIB II dan pejabat setingkat menteri. Meletakkan loyalitas pada bangsa bukan pada partai dan golongan adalah tepat. Para menteri sepatutnya juga meletakkan loyalitas dan pertanggungjawaban mereka kepada presiden sebagai nakhoda pemerintahan sesuai dengan sistem presidensial, bukannya kepada pemimpin partai.
Wawasan nasional akan menjadi kekuatan batin yang dapat mempersatukan para menteri, yang datang dari berbagai partai politik dan golongan, untuk dapat bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan dengan presiden sebagai nakhoda. Sebaliknya, wawasan primordialisme menjadi ancaman yang akan memudarkan loyalitas para menteri terhadap bangsa dan negara
Apabila para menteri KBI II mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap bangsa dan negara, pastilah optimisme rakyat terhadap pemerintahan yang baru ini akan terus bertambah. Persoalannya sekarang, apakah para menteri itu mampu meletakkan loyalitas kepada bangsa lebih daripada ke partai atau tidak. Inilah yang sedang dinantikan oleh segenap rakyat Indonesia.
Benarlah ungkapan yang menyatakan, “loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada bangsa dimulai.” Prioritas utama seorang warga bangsa adalah menaruh loyalitasnya pada bangsa bukan pada partai politik. Apabila partai politik tidak lagi mengutamakan kepentingan bangsa, maka seorang warga bangsa yang baik seharusnya lebih memilih untuk loyal terhadap bangsa, bukannya pada partai politik, karena partai politik sesungguhnya merupakan alat untuk dapat mengabdi kepada bangsa dan negara. Jadi, tujuan pengabdian utama seorang warga bangsa bukanlah kepada partai, melainkan kepada bangsa.
Loyalitas kepada partai juga bukan sesuatu yang haram, asal hal itu tidak menegasikan loyalitas kepada bangsa. Atau loyalitas kepada partai seharusnya makin menguatkan loyalitas terhadap bangsa dan negara. Demikian juga dengan menteri pengusaha. Menjadi pengusaha adalah hak setiap warga bangsa. Namun, apabila usaha yang dijalankan sang menteri tersebut kemudian bisa mengganggu pengabdiannya di pemerintahan, maka cara yang bijaksana adalah melepaskan pengelolaan usaha tersebut kepada orang atau lembaga yang dapat dipercaya.
Dua Tuan
Apabila para menteri KBI II mampu berpegang pada wawasan nasional Indonesia, maka dapat dipastikan mereka tidak akan memiliki dua tuan, karena pengabdian kepada bangsa dan negara lebih utama dari pengabdian kepada partai dan golongan.
Menghamba pada dua tuan adalah sesuatu yang mustahil. Seseorang pasti akan mencintai tuan yang satu dibandingkan dengan tuan yang lainnya. Jika ini diaplikasikan pada menteri KBI II, khususnya mereka yang duduk dalam jabatan formal partai politik, tentu akan sangat mengkhawatirkan. Dapat diduga, para menteri tersebut akan lebih mementingkan perkembangan partainya daripada menaati nakhoda pemerintah, dalam hal ini presiden, dan ini akan mengancam keutuhan KBI II.
Bukan mustahil, bongkar-pasang kabinet akan kembali terjadi pada KBI II, dan sudah pasti akan sangat mengganggu pengabdian pemerintah untuk menyejahterakan rakyat, menegakkan demokrasi dan keadilan. Padahal, tugas berat di pundak pemerintah itu membutuhkan kerja sama yang solid dari seluruh jajaran kabinet.
Meski bukan mustahil loyalitas kepada partai bisa berjalan seiring dengan loyalitas kepada bangsa dan negara, namun pengalaman pemerintahan sebelumnya telah membuktikan, loyalitas kepada partai jauh lebih kuat dibandingkan dengan loyalitas kepada nakhoda pemerintahan, dan para menteri juga akan lebih meletakkan pertanggungjawaban mereka kepada partai politik daripada kepada Presiden yang mengangkatnya. Akibatnya, keutuhan kabinet terancam, bukti bahwa loyalitas kepada bangsa sering kali terpinggirkan.
Mungkin, karena kekhawatiran akan terulangnya kejadian tersebut, maka presiden menuntut para menteri yang dilantiknya untuk meletakkan loyalitasnya kepada bangsa dan negara. Komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara akan terlihat dari apakah menteri KBI II dari unsur partai rela melepaskan kedudukan formal pada partainya atau tidak, dan apakah menteri yang memiliki perusahaan dapat melepaskan badan usahanya selama mereka duduk dalam pemerintahan.
Para menteri KBI II harus menjauhkan diri dari ancaman wawasan primordialisme yang akan memudarkan wawasan nasional. Para menteri tidak boleh tertutup pada nilai kesatuan bangsa. Keragaman latar belakang partai dan golongan tentu saja akan melahirkan berbagai pemikiran dan primordialisme adalah ancaman yang akan mempersulit pencapaian kompromi untuk melahirkan kebijakan bersama.
Apabila para menteri KBI II mampu berpegang pada wawasan nasional Indonesia, maka dapat dipastikan mereka tidak akan memiliki dua tuan, karena pengabdian kepada bangsa dan negara lebih utama dari pengabdian kepada partai dan golongan.
Para menteri yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negara akan rela mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kesejahteraan rakyat dengan melepaskan jabatan formal pada partai dan menyerahkan pengelolaan perusahaannya kepada pihak lain.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Mudik dan Toleransi Polisi
Suara Pembaruan, 26 September 2009
Binsar A. Hutabarat
Ritual mudik di negeri ini selalu saja menyisakan kepedihan. Pada tahun ini, dalam kurun H-7 hingga H+3 Lebaran, dalam waktu 10 hari, terjadi 1.238 kecelakaan. Tercatat 472 pemudik tewas dengan kerugian mencapai Rp 6,6 miliar. Meski kita tidak berharap, ada kemungkinan jumlah itu terus bertambah, apalagi puncak arus balik baru akan terjadi pada Sabtu atau Minggu.
Meski jumlah korban tewas pada saat mudik tahun ini diklaim menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetap saja jumlah korban masih sangat besar. Pada 2008, selama 14 hari mudik, jumlah korban meninggal 616 orang, luka berat 780, dan luka ringan 1.336 serta dengan jumlah kerugian material Rp 4,85 miliar. Jumlah tabrak lari 121 kejadian. Sedangkan pada mudik 2007, tercatat 1.785 kasus kecelakaan dengan jumlah korban meninggal 789, luka berat 952, dan luka ringan 2.034. Korban kecelakaan terbanyak, tahun ini, adalah pengendara sepeda motor. Sekitar 50% korban tewas adalah pengendara sepeda motor.
Disiplin berlalu lintas kalangan pengendara menjadi faktor penting yang mengakibatkan tingginya korban kecelakaan di jalan. Kasus terbaliknya mobil yang melaju kencang dari arah Balan menuju Medan dan terbalik di Pinang Lomban, Rantau Parapat (21/9), adalah contoh dari perilaku "ugal-ugalan" pengendara bermotor. Dengan penumpang yang padat, pengemudi bus nekat memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Pada saat yang sama, pengemudi bus tetap asyik berbicara memakai telepon seluler, tak peduli pada keselamatan penumpang. Kecelakaan yang disebabkan oleh ulah manusia ini, yaitu melalui pengabaian aturan, mendominasi kasus kecelakaan, selama masa mudik Lebaran.
Kita semua paham, disiplin berlalu lintas pengendara di negeri ini masih buruk. Pada saat arus lalu lintas padat, pengabaian disiplin tentu akan berakibat sangat fatal. Tapi, mengapa pada kondisi lalu lintas padat, tahun ini, polisi justru mengendurkan peraturan bagi pemudik? Pemerintah semestinya menegakkan aturan lalu lintas agar rakyat tidak mati sia-sia di jalan.
Toleransi polisi berupa pengenduran aturan bagi pemudik sesungguhnya tidak masuk akal. Disiplin lalu lintas seharusnya lebih diperketat pada saat mudik dengan kepadatan lalu lintas. Dengan pengetatan aturan kecelakaan pada arus lalu lintas padat dapat dikurangi. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, polisi memberikan pelonggaran aturan yang justru mempertinggi risiko kecelakaan berkendaraan pada lalu lintas padat. Tepatlah apa yang dikatakan pakar transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh November, Hitapriya Suprayitno, tingginya kasus kecelakaan dengan jumlah korban amat besar adalah dampak dari pengabaian aturan dan disiplin. Atas nama "toleransi", polisi kerap mengendurkan peraturan bagi pemudik.
Transportasi Memadai
Harus diakui penggunaan angkutan umum yang murah dan aman di negeri ini masih merupakan sesuatu yang amat langka, khususnya pada setiap ritual mudik. Padatnya penumpang kereta api dan bus merupakan bukti bahwa pemerintah belum mampu meyediakan transportasi yang memadai bagi rakyat. Sepinya mudik gratis bersama partai-partai politik, yang biasa hadir sebelum pemilu berlangsung, juga mempersempit peluang untuk mendapatkan transportasi mudik yang murah dan aman pada 2009 ini.
Oleh karena itu, untuk mereka yang berkantong tipis, mudik dengan sepeda motor menjadi pilihan terbaik daripada harus berdesak-desakan berebut tempat di kereta api atau bus-bus angkutan antarkota. Toleransi polisi kemudian membuat banyak pengendara motor berani mengangkut lebih dari dua orang yang bertentangan dengan undang-undang lalu lintas. Banyak sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang dan tidak terkena sanksi. Toleransi polisi ini ternyata berdampak buruk bagi pengendara sepeda motor, khususnya anak-anak yang belum paham bahaya yang mengintai di jalan raya.
Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, harus berani menegakkan UU Lalu Lintas. Melonggarkan aturan lalu lintas akan membuat disiplin lalu lintas sulit untuk ditegakkan. Untuk melihat peningkatan disiplin lalu lintas, pemerintah dapat menjadikan peristiwa mudik sebagai tolok ukur. Jika pada risiko tinggi berlalu lintas masyarakat berdisiplin tinggi, menaati aturan lalu lintas, maka mudik dapat dijadikan momen untuk meningkatkan perbaikan disiplin dalam berlalu lintas. Oleh karena itu, untuk menciptakan mudik nirkecelakaan, pemerintah sepatutnya menegakkan disiplin berkendaraan bukannya malah melonggarkan aturan.
Pemerintah juga tak perlu malu mengakui kegagalan dalam menyiapkan transportasi yang memadai pada masa mudik dengan meminta masyarakat menunda mudik daripada harus berebut kendaraan dan berdesak-desakan dengan risiko mengalami kecelakaan. Dan kemudian pemerintah terus berusaha menyediakan transportasi yang memadai pada tahun-tahun berikutnya. Pemerintah juga dapat mendorong perusahaan-perusahaan menyelenggarakan mudik bersama karyawan agar tersedia transportasi yang murah dan aman. Di samping itu, pemerintah harus membuat perencanaan infrastruktur jalan raya yang baik. Buruknya infrastruktur jalan raya ikut memberikan andil pada terjadinya kecelakaan pada saat mudik.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Menghentikan "Mudik Maut"
Investor Daily, 26 September 2009
Binsar A. Hutabarat
Ritual mudik di negeri ini selalu menyisakan kepedihan. Pengabaian aturan dan disiplin menjadi penyebab utamanya. Untuk menghadirkan mudik tanpa kecelakaan, pemerintah harus memperbaiki disiplin berlalu lintas.
Hanya dalam waktu 10 hari, tepatnya hari H-7 hingga H+3 Lebaran, telah terjadi 1.238 kecelakaan, denga 472 pemudik tewas, serta kerugian mencapai Rp 6,6 miliar. Ada kemungkinan jumlah itu terus bertambah, mengingat puncak arus balik baru akan terjadi pada Sabtu atau Minggu (27/9) besok.
Meski jumlah korban tewas pada mudik tahun ini diklaim menurun disbanding tahun-tahun sebelumnya, tetap saja korban mudik yang tewas tahun ini masih sangat besar. Pada 2008, selama 14 hari mudik Lebaran, jumlah korban meninggal sebanyak 616 orang, luka berat 780, luka ringan 1.336, dengan jumlah kerugian material Rp 4,85 miliar, dan jumlah tabrak lari sebanyak 121 kejadian.
Sedangkan pada Mudik 2007, tercatat 1.785 kasus kecelakaan, dengan jumlah korban meninggal 789, luka berat 952, dan luka ringan sebanyak 2.034. Korban kecelakaan terbanyak pada tahun ini terjadi pada pengendara sepeda motor, yaitu 50% dari seluruh korban kecelakaan yang tewas.
Perbaikan Disiplin
Kita semua paham bahwa disiplin berlalu lintas para pengandara kendaraan bermotor di negeri ini masih sangat buruk. Anehnya, mengapa pada kondisi lalu lintas padat seperti Lebaran tahun ini polisi justru mengendurkan peraturan bagi pemudik?
Pemerintah semestinya menegakkan aturan lalu lintas agar rakyat tidak mati sia-sia di jalan. Untuk mencegah korban terus bertambah, khususnya pada ritual mudik dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi, masyarakat dan pemerintah harus menegakkan aturan dan disiplin berlalu lintas.
Karena itu, toleransi polisi berupa pengenduran aturan bagi pemudik sesungguhnya sangat tidak masuk akal. Disiplin lalu lintas justru seharusnya lebih diperketat pada saat-saat mudik, dengan kepadatan lalu lintas yang luar biasa. Dengan pengetatan peraturan di jalanan, kecelakaan dapat dikurangi. Namun, yang terjadia adalah sebaliknya, polisi melonggarkan aturan yang justru mempertinggi risiko kecelakaan berkendaraan pada lalu lintas padat. Dalam hal ini terlihat pemerintah membiarkan peraturan tidak ditegakkan, dan ini dapat dianggap telah membiarkan rakyat mati sia-sia di jalan.
Jadi, benar kata pakar transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Hitapriya Suprayitno bahwa tingginya kasus kecelakaan dengan jumlah korban amat besar adalah dampak dari pengabaian aturan dan disiplin. Atas nama “toleransi” polisi kerap mengendurkan peraturan bagi pemudik.
Selain itu, harus diakui bahwa penggunaan angkutan umum yang masih murah dan amandi negeri merupakan sesuatu yang amat langka, khususnya pada setiap ritual mudik. Padatnya penumpang kereta api maupun bus-bus kota merupakan bukti bahwa pemerintah belum mampu menyediakan transportasi yang memadai bagi rakyat. Sepinya mudik gratis bersama partai-partai politik yang biasa hadir sebelum pemilu berlangsung juga mempersempit peluang untuk mendapatkan transportasi mudik yang murah dan aman pada Lebaran 2009.
Karena itu, untuk mereka yang berkantung tipis, mudik dengan motor menjadi pilihan terbaik dari pada harus berdesak-desakan berebut tempat di kereta api atau bus-bus angkutan antarkota. Toleransi polisi kemudian membuat banyak pengendara motor berani mengangkut lebih dari dua orang, yang bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas.
Gairah mudik denga sepeda motor juga didorong oleh “kebutuhan pamer” masyarakat yang ingin terlihat berhasil di mata sanak saudara di kampong halaman mereka. Sepeda motor menjadi symbol keberhasilan itu. Malangnya, penegndara sepeda motor yang paling tidak berdisiplin dalam berlalu lintas, dan kemudian mendapatkan kelonggaran aturan, merupakan korban tewas terbanyak kecelakaan lalu lintas pada masa mudik Lebaran.
Jelas terlihat, toleransi polisi dengan melonggarkan aturan justru melahirkan malapetaka, yakni tingginya kecelakaan lalu lintas. Pemerintah dalama hal ini polisi harus berhenti memberikan toleransi dengan melonggarkan aturan lalu lintas yang justru bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas.
Mudik Nirkecelakaan
Pemerintah, dalam hal ini polisi, harus berani menegakkan aturan lalu lintas. Melonggarkan aturan lalu lintas akan membuat disiplin berlalu lintas sulit ditegakkan. Untuk melihat peningkatan disiplin lalu lintas, pemerintah dapat menjadikan peristiwa mudik sebagai tolok ukur. Karena itu, untuk menciptakan mudik nirkecelakaan, pemerintah sepatutnya menegakkan disiplin berkendaraan bukannya malah melonggarkan aturan.
Pemerintah juga tak perlu malu mengakui kegagalan dalam menyiapkan transportasi yang memadai pada masa mudik dengan meminta masyarakat menunda mudik daripada harus berebut kendaraan dan berdesak-desakan dengan risiko mengalami kecelakaan. Selanjutnya, pemerintah harus terus berusaha menyediakan transportasi yang memadai pada tahun-tahun berikutnya.
Pemerintah juga dapat terus mendorong perusahaan-perusahaan untuk menyelenggarakan mudik bersama bagi karyawan. Dengan tersedia transportasi mudik yang murah dan aman seprti ini, pemerintah jadi tidak perlu direpotkan dan para pemudik pun bisa sampai ke tempat tujuan mereka dengan senang hati.
Di sini, pemerintah tinggal berkonsentrasi penuh pada perencanaan infrstruktur jalan raya yang baik. buruknya infrastruktur jalan raya ternyata juga memberikan andil pada terjadinya mudik maut.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Pelantikan Anggota DPR dan Kebutuhan Pamer
Suara Pembaruan, 11 September 2009
Binsar A. Hutabarat
Biaya pelantikan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 1 Oktober 2009 sedikitnya Rp 49,6 miliar. Uang itu akan dibelanjakan melantik 692 orang, terdiri dari 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD. Biaya itu akan ditanggung oleh tiga lembaga, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD. Dengan demikian, untuk pelantikan dan orientasi anggota dewan negara harus mengeluarkan Rp 71,7 juta per anggota. Ini jumlah yang teramat besar, apalagi pada saat negeri ini sedang dirundung bencana gempa.
Gempa bumi yang terjadi, baru-baru ini, hingga Minggu (6/9) menelan korban meninggal 73 orang, yang tersebar di delapan kabupaten di Jawa Barat dan satu kabupaten Jawa Tengah. Untuk menanggulangi bencana tersebut sedikitnya dibutuhkan Rp 1,4 triliun. Karena pos dana bencana dalam APBN 2009 sudah habis terpakai, maka dana akan diambil oleh pemerintah dari dana cadangan APBN 2009.
Tingkah laku anggota dewan dalam hal ini meneguhkan apa yang dikatakan oleh sosiolog Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of The Leisure Class (1899), bahwa masyarakat memiliki kebutuhan pamer guna memperlihatkan status mereka dengan penampilan yang mencolok. Apabila pelantikan anggota dewan yang menghabiskan dana demikian besar tersebut benar didorong oleh egoisme diri untuk memamerkan pencapaian mereka menduduki kursi kekuasaan, ini adalah fakta suatu anomali semestinya dihindari, karena akan melukai hati rakyat.
Kalau saja wakil-wakil rakyat di negeri ini memahami makna dari panggilan sebagai anggota dewan, yaitu menjadi pelayan rakyat, maka pelantikan anggota DPR dan DPD tidak akan pernah menjadi ajang memaksimalkan kesempatan untuk mengeruk kekayaan, apalagi itu terjadi pada saat jeritan korban gempa bumi masih terus berkumandang, karena minimnya bantuan yang mereka peroleh. Pelantikan anggota dewan sejatinya harus menjadi ajang di mana anggota dewan membuktikan komitmennya kepada rakyat yang telah memilih mereka. Kesempatan itu harus dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk lebih mendekatkan diri kepada rakyat yang diwakilinya.
Oleh karena itu, akan sangat membanggakan jika biaya pindah rumah anggota dewan mereka tolak dan mereka bersedia menanggung sendiri biaya tersebut. Kemudian, dengan rasa peduli yang tinggi serta didorong oleh kerelaan hati pada penderitaan korban gempa, pada acara pelantikan itu mereka dapat menunjukkan komitmen kepada rakyat dengan menyisihkan sebagian dari kekayaan mereka untuk membantu korban gempa yang telah memilih mereka.
Panggilan Mulia
Anggota dewan tampaknya perlu menyimak apa yang dikatakan oleh Paul Marshall, “Pemerintah-pemerintah bukan dipanggil untuk menjadi penguasa mutlak, namun untuk menjadi hamba. Mereka tidak dipanggil untuk menjadi kekuatan-kekuatan yang egosentrik, namun sebaliknya harus menjadi hamba yang melayani, demi kebaikan seluruh rakyat.”
Menjadi anggota dewan seharusnya dimaknai sebagai panggilan mulia untuk mendedikasikan diri bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tugas untuk memperhatikan dan mengangkat taraf kehidupan rakyat, yang masih berada dalam kemiskinan, adalah suatu tugas yang mulia. Adalah suatu kekeliruan yang teramat besar jika jabatan sebagai anggota dewan dimaknai sebagai pusat kegiatan hidup, yakni sebagai suatu peluang untuk memperkaya diri, atau meraup sebanyak-banyaknya kekayaan demi kehidupan pribadi, karena wewenang kekuasaan adalah untuk melayani, bukan untuk hal yang lain.
Kebutuhan pamer adalah suatu anomali, tak layak dipelihara oleh siapa pun. Semangat pamer mengindikasikan adanya usaha untuk merendahkan sesama. Gairah untuk pamer harus diwaspadai oleh siapapun, khususnya mereka yang menjadi panutan masyarakat.
Anggota dewan seharusnya mampu menghindari diri dari anomali budaya pamer, yaitu keinginan untuk mempertontonkan status mereka dengan menyelenggarakan pelantikan yang serba mewah. Apalagi, kini mereka mengemban suatu tugas yang maha penting yakni menyuarakan suara hati nurani rakyat, khususnya mereka yang sedang menderita.
Kalau saja acara pelantikan anggota dewan itu dapat diisi dengan kegiatan yang dapat menunjukkan komitmen mereka kepada rakyat, dukungan rakyat terhadap mereka tentu akan sangat besar, dan itu bisa menjadi tenaga yang amat besar untuk melaksanakan tugas mulia, yang tidak mudah, yang harus mereka emban. Pada sisi yang lain, itu juga bisa mengobati luka hati rakyat yang lelah melihat kemalasaan anggota dewan menghadiri persidangan, dan perilaku beberapa anggota dewan yang kini ditahan, karena melakukan korupsi.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Pembangunan Hajat Hidup Orang Banyak
Investor Daily, 11 Agustus 2009
Binsar A. Hutabarat
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam kongres ke-17 di Bukit Tinggi menyimpulkan, ekonomi Indonesia saat ini didominasi oleh asing. Ini terjadi karena Indonesia telah membuka diri terlalu jauh terhadap investasi asing, akibatnya, sejumlah bidang strategis yang awalnya dikuasai negara kini telah dikuasai asing.
Makin tergerusnya kedaulatan Indonesia dibidang ekonomi terlihat jelas pada bisnis ritel modern Indonesia yang kini dikuasai asing. Bukan hanya pasar ritel lokal yang “kelimpungan” bersaing dengan ritel asing, pasar tradisional yang menjadi sandaran jutaan rakyat Indonesia terancam banyak yang gulung tikar.
Sekitar 85% pengelolaan lapangan migas di Indonesia saat ini dikuasai asing, dan telah memperkaya asing, misalnya, PT Freeport Indonesia yang menambang emas dan tembaga di Mimika Papua yang merupakan salah satu penghasil emas terbesar di dunia dengan kontribusi laba terhadap perusahaan induknya, Freeport McMorran yang tercatat di New York Stock Exchange, mencapai 70% lebih, itu adalah saksi bahwa manfaat terbesar perusahaan-perusahaan tambang Indonesia untuk kepentingan asing, kekayaan alam Indonesia terus-menerus di keruk oleh asing.
Dominasi asing juga merambah di bisnis telekomunikasi yang sedang “booming”di negeri ini. Bahkan, 50% dari saham bank-bank papan atas di negeri ini dikuasai asing. Semakin meneguhkan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kedaulatan.
Apabila Pemerintah Indonesia terus membiarkan dominasi asing merajalela di negeri ini, bukan mustahil, kemerdekaan yang adalah jembatan emas untuk memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan itu tak akan banyak manfaatnya. Krisis kedaulatan yang terus menggerogoti Indonesia melalui dominasi asing pada bidang-bidang strategis di negeri ini bisa menghantarkan Indonesia menjadi negara gagal.
Bahaya Imperialisme
Beberapa abad yang lalu Francis Bacon sudah mengingatkan bahwa landasan teleologis ilmu ialah meningkatkan kesejahteraan manusia. Penguasaan Ilmu (yang memberikan pengetahuan) dan teknologi (yang menunjukan cara untuk memakai pengetahuan itu) memampukan manusia untuk dapat mengolah alam bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Itulah sebabnya pengusaan ilmu dan teknologi telah membuat negara yang miskin sumber alamnya, seperti misalnya Korea Selatan, Jepang dan khususnya negara-negara Barat, berhasil memajukan negeri mereka. Kemampuan mengolah alam dengan menggunakan teknologi tinggi itu menjadikan negara maju bukan saja dapat memaksimalkan hasil alam mereka, tapi juga telah memberikan mereka kemampuan mengolah hasil alam dari negara-negara yang melimpah sumber alamnya, namun gagap dalam teknologi dan lemah dalam keuangan.
Sayangnya, kemajuan teknologi juga membuat negara-negara maju tergoda untuk merampas kedaulatan negara-negara miskin yang merdeka melalui penguasaan ekonomi demi memuaskan nafsu serakah manusia, dan nafsu terus berkuasa dengan adanya penguasaan teknologi. Jadi, teknologi sesungguhnya tidak netral, dan telah dikuasi oleh nafsu manusia untuk berkuasa.
Kemajuan teknologi terbukti telah melahirkan era baru penjajahan di bidang ekonomi, yang membuat negara-negara merdeka tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas negerinya. Ini merupakan fenomena baru setelah perang dunia kedua, dan Indonesia adalah salah satu korbannya.
Bacon juga telah menurunkan dictum yang tersohor bahwa ilmu adalah kekuasaan, dan teknologi adalah tangan ilmu. Ada ungkapan, kekuasaan itu jahat (Power is corrupt) karena itu, kita jangan naif, bahwa perusahaan multi nasional atau asing itu akan membagi keuntungannya dengan adil dengan Indonesia.
Perusahaan asing atau multi nasional yang menguasai Indonesia dengan kepemilikan teknologi tinggi harus dicurigai, pemerintah harus terus mengevaluasi pembagian hasil yang setimpal. Bahaya imperialisme adalah realitas yang harus diwaspadai dengan masuknya perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Hajat Hidup Orang banyak
Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pembangunan Indonesia adalah hasil kerjasama seluruh rakyat Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menetapkan bahwa rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam Indonesia yang dikuasai oleh negara. Makin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin yang terjadi di Indonesia mengindikasikan adanya penyimpangan yang terjadi dalam pembangunan Bangsa Indonesia. Dominasi asing merupakan salah satu penyebanya.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh sila kelima dari Pancasila, pembangunan masyarakat Indonesia, termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi harus memberikan keadilan bagi semua rakyat Indonesia. Kelima sila Pancasila itu oleh Soekarno diperas menjadi satu sila yakni Gotong Royong, bagi Soekarno itu merupakan intisari dari Pancasila yang menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia, yakni suatu pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dalam hal ini bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi tujuan kemerdekaan kita.
Kemerdekaan adalah “jembatan emas” untuk memerdekakan rakyat Indonesia. Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia harus berjuang memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya secara maksimal untuk kesejahteraan rakyatnya.
Secara “de Jure” Indonesia masih menjadi negara yang merdeka, namun kedaulatan Negara Indonesia kini mengalami krisis. Tergerusnya kedaulatan di bidang ekonomi otomatis akan membuat kemerdekaan tidak lagi efektif sebagai jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia yang masih banyak tinggal dalam kemiskinan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara gagal sebagaimana terjadi pada negara-negara di benua Afrika.
Pembangunan Indonesia masih belum dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Apalagi dengan adanya penguasaan bidang-bidang strategis di Indonesia oleh asing, ini tentu akan menghambat implementasi dari tujuan kemerdekaan Indonesia, yakni tercipyanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Intervensi asing yang dimungkinkan dengan penguasaan bidang-bidang strategis itu akan membuat pembangunan Indonesia tidak “melulu” untuk rakyat Indonesia, tetapi juga untuk kepentingan asing yang menguasai bidang-bidang strategis di negeri ini. Akibatnya, pembangunan Indonesia bukan lagi hasil musyawarah dan mufakat seluruh bangsa Indonesia, tapi telah dicampuri oleh pihak asing. Ini tentu saja bertentangan dengan cita-cita negara Indonesia. Jadi pembangunan untuk hajat hidup orang banyak yang kita cita-citakan itu sesungguhnya belum tercapai dan mesti kita kerjakan lebih bersungguh-sungguh lagi.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Developed by Proweb Indonesia
Krisis Global dan Etika Global
Suara Pembaruan, 25 Maret 2009
Binsar A. Hutabarat
Krisis ekonomi global, saat ini, pada awalnya mengguncang negara-negara maju kemudian merambah ke negara-negara miskin. Yang mendebarkan, tak ada yang tahu kapan krisis ini berakhir. Bahkan tak ada yang dapat menjamin krisis ini tidak akan melahirkan depresi besar yang akan menciptakan ledakan pengangguran serta bahaya kelaparan. Apalagi dampak krisis tersebut makin terasa di Indonesia.
Krisis subprime mortgage di Amerika, yang mengawali krisis global ini, menurut Raden Pardede dalam seminar ekonomi yang diselenggarakan oleh Reformed Center for Religion and Society, Sabtu (28/2) adalah akibat eksploitasi kerakusan manusia. Tergiur oleh kompensasi yang tinggi diciptakanlah produk keuangan, mortgage loan: prime, subprime (produk KPR), dan oleh rekayasa yang canggih, mengubah surat utang BB dan unrated, berisiko tinggi menjadi rating AAA atau Aaa (investment grade) menjadi berisiko rendah. Akibatnya, terjadilah kredit macet yang kemudian melahirkan krisis finansial di Amerika.
Meski kondisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, tetap saja Pemerintah Indonesia mesti mewaspadainya. Aliran dana kampanye mungkin akan sedikit menolong pengetatan likuiditas yang berdampak buruk pada sektor riil, tapi tak ada yang menjamin bahwa krisis global akan berakhir setelah Pemilu 2009. Apalagi dalam triwulan keempat 2008, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,2 persen, melemah dari triwulan sebelumnya 6,1 persen.
Keyakinan Adam Smith akan adanya tangan siluman dari pasar bebas yang akan menciptakan keseimbangan atas fluktuasi harga, ternyata hanya ilusi. Kapitalisme yang mendewakan uang, materi selalu saja mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Neoliberalisme dengan pasar bebasnya telah membelah dunia menjadi negara-negara kaya dan miskin, serta gap antara keduanya terus bertambah lebar.
Jauh-jauh hari teori tangan siluman Adam Smith itu sesungguhnya telah ditentang oleh Joseph Stiglitz, “tangan siluman sering tidak kelihatan karena memang tidak ada”. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis keuangan global, sebuah krisis yang lahir karena eksploitasi kerakusan manusia, telah membuktikan bahwa tangan siluman itu memang tidak ada.
Etika Global
Jurang lebar antara negara kaya dan miskin, utamanya bukan karena kebodohan manusia, tetapi lebih karena kejahatan manusia yang melahirkan ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Kapitalisme global yang mengeksploitasi kerakusan manusia melabrak nilai-nilai kemanusiaan yang harus dihormati, akhirnya mengalami kehancuran karena tidak memenuhi asas keadilan.
Akibat manusia tidak lagi memperlakukan manusia lainnya sebagai sesama manusia, sebaliknya memperlakukan sesamanya sebagai objek pemuasan napsu keserakahan. Kerja sama yang harmonis antarsesama manusia menjadi barang mewah. Jika kondisi itu terus terpilihara, krisis ekonomi yang terjadi saat ini bukan mustahil akan melahirkan depresi global.
Secara harfiah, manusia bukanlah serigala atas sesamanya. Manusia dapat hidup bersama meski tak bisa bekerja sama. Namun, manusia yang membiarkan sesamanya terus hidup dalam kemiskinan dan tak memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan sesamanya adalah bagai serigala atas sesamanya. Ini melanggar hukum kodrat yang mengajarkan agar manusia dalam hidup bersama-sama itu mencapai kesempurnaan bersama. Manusia harus hidup saling menolong dalam mencari atau menyelenggarakan hidup yang luhur, kata Driyarkara (Driyarkara, 2006, hal 500.)
Dalam masyarakat yang tidak menghargai keadilan, manusia yang kuat memanfaatkan manusia yang lemah, dan yang lemah tak mampu memghindarinya. Ini adalah suatu kejahatan.
Kejahatan atau penindasan terhadap orang miskin, atau yang mengakibatkan kemiskinan, adalah salah satu persoalan serius yang menyebabkan kemiskinan terus bertambah, khususnya kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha. Lebih parah lagi jika kejahatan itu dilakukan dalam perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Tak ada jalan lain, apabila dunia ingin membangun ekonomi global yang menguntungkan semua pihak, maka ekonomi global tersebut mesti dibangun di atas dasar etika global, suatu etika yang lahir dari konsensus bersama umat manusia sedunia. Untuk mewujudkan hal tersebut setiap negara wajib membangun tatanan ekonomi di atas landasan etika bisnis, yang juga sesuai dengan etika bisnis global.
Pembangunan ekonomi sangat berkaitan erat dengan pembangunan politik. Hadirnya pemimpin-pemimpin bangsa yang cerdas dan bermoral akan melahirkan regulasi dalam bidang ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Suksesnya pemilu yang jujur dan adil akan sangat mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.Kerja sama yang membuahkan kebaikan bersama hanya mungkin jika keadilan dijunjung tinggi. Etika bisnis, etika kerja harus ditegakkan. Dan itulah yang akan mengantarkan Indonesia pada cita-cita bangsa, yaitu kesejahteraan untuk seluruh rakyat.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Developed by Proweb Indonesia
Dekadensi Moral dan Cacat Pendidikan
Suara Pembaruan, 25 Januari 2009
Binsar A. Hutabarat
Indonesia dikenal memiliki karakter kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatkala mencapai kemerdekaan, dan saat mempertahankan kemerdekaan. Sekarang otot karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sangat lembek.
Kian melembeknya otot-otot karakter bangsa Indonesia ini tentu saja menjadi kabar buruk, karena itu berarti kehidupan berbangsa sedang berada dalam kemunduran. Itulah sebabnya, mengapa disintegrasi bangsa kini menjadi persoalan krusial yang terbaca dari konflik-konflik mudah meledak di berbagai daerah apalagi jika berhubungan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia, disusul dengan upaya pelemahan KPK, bergentayangannya makelar kasus, belum selesainya kasus Bank Century, perlakuan diskriminatif dalam penjara yang menjadi buah bibir, penculikan bayi yang melibatkan petugas rumah sakit dan puskesmas, semakin memberi peneguhan bahwa otot karakter bangsa ini dalam kondisi yang amat lembek. Keburukan menjadi sesuatu yang biasa dan nilai-nilai kebaikan telah menjadi barang mewah di negeri ini.
Dekadensi moral yang terjadi di negeri ini harus diakui merupakan potret adanya cacat dalam pendidikan kita. Ironisnya, pemerintah masih saja bersikukuh untuk menyelenggarakan ujian nasional yang tak memiliki saham penting untuk menguatkan karakter bangsa.
Bahkan, mengalami penolakan karena terbukti merangsang siswa dan guru yang merasa terpojok untuk menghalalkan mencontek demi suatu keberhasilan, baik untuk kelulusan atau nama baik sekolah.
Cacat Pendidikan
Pendidikan Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan dan mengabaikan pendidikan karakter. Pendidikan moral, seperti pendidikan Moral Pancasila memang ada, namun, pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini seperti apa yang dikatakan Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan kita sehingga pendidikan gagal untuk menghadirkan bangsa yang berkarakter kuat, dan akhirnya berdampak dan turut memberikan saham terhadap dekadensi moral yang amat memprihatinkan.
Pendidikan seharusnya mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik, manusia adalah animal seducandum artinya, manusia ialah binatang yang harus dan dapat dididik. Dengan tepat Aristoteles mengatakan, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan pentingnya mendidik good habits (melakukan kebiasaan berbuat baik), akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti "menandai", yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karena itu, untuk menghadirkan bangsa yang bermoral, masyarakat perlu mendapatkan pendidikan karakter sejak masa kecil mereka, sebagaimana dikatakan Thomas Lickona (1991), pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras.
Pendidikan Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan dan mengabaikan pendidikan karakter harus segera dibenahi. Manusia memerlukan pendidikan karakter untuk tampil sebagai pribadi-pribadi yang berkarakter kuat, jika tidak, dekadensi moral akan terus terjadi. Untuk memiliki karakter atau budi pekerti yang baik itu perlu adanya latihan yang serius (askese). Manusia memang memiliki karakter bawaan, namun itu tidak berarti bahwa karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik, berbeda dengan kebiasaan buruk.
Kita tentu setuju melakukan kebiasaan berbuat baik itu sukar, meski dorongan kebaikan memang ada, tetapi jika dorongan-dorongan yang tidak baik itu dibiarkan saja, maka keinginan yang baik dengan mudah didesak. Kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik berkembang beraksi semaunya, kekacauanlah yang terjadi. Semua agama tentu setuju, jadi apa manusia itu, sebetulnya tergantung pada bagaimana manusia itu mengkonstruksi diri sendiri, yang baik dikembangkan, yang jelek dikurangi atau dihilangkan.
Karakter yang baik lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa, karena bakat adalah anugerah, sedang karakter yang baik tidak dianugerahkan, karakter yang baik lahir dari latihan dan perjuangan yang keras. Otot karakter kita akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan menjadi kuat kalau sering dilatih.
Pemerintah sudah waktunya fokus pada bagaimana memperbaiki cacat pendidikan di Indonesia yang telah mengabaikan pendidikan karakter. Pemerintah perlu memperbaiki perpustakaan sekolah untuk meningkatkan budaya baca dengan menghadirkan buku-buku bacaan berkualitas tentang budaya bangsa ini untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Peran guru disini menjadi sangat strategis, guru patut diberikan kedudukan terhormat, termasuk juga pemenuhan kebutuhannya, bukan hanya untuk sekolah negeri, tapi juga guru-guru swasta. Askese, latihan untuk menekan keburukan dan mempromosikan kebaikan khususnya bagi mereka yang mengemban jabatan publik akan menjadi kekuatan fenomenal untuk pembangunan karakter bangsa.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah peneliti di Reformed Center for Religion and Society
Mutu Pendidikan dan Jalur Alternatif
Investor Daily, 6 Desember 2008
Binsar A. Hutabarat
Badai krisis telah mengakibatkan angka pengangguran bertambah, tak terkecuali dari kalangan terdidik. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih terfokus pada upaya mendongkrak mutu pendidikan dan menekan angka pengangguran terdidik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Agustus 2006 jumlah penganggur dari kalangan terdidik sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen dari jumlah angka pengangguran. Setengah tahun kemudian jumlah itu naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen. Disebutkan pula, lebih dari 300.000 lulusan perguruan tinggi dari jenjang diploma hingga sarjana atau strata satu (S-1) siap memasuki pasar tenaga kerja. Tahun ajaran 2005/2006.
Pada tahun yang sama, Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun, tidak semua yang lulus ini terserap oleh pasar. Lalu kalau demikian, apa sesungguhnya yang terjadi dengan pendidikan kita? Mengapa pendidikan kitai tak mampu memperluas peluang kerja?
Ditengah ancaman resesi dunia yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia, puluhan ribu buruh kini menerima menerima pemutusan hubungan kerja (PHK). Berbeda dengan negara-negara maju yang memberikan bantuan pada rakyatnyanya yang menganggur, di Indonesia korban PHK harus menerima kenyataan untuk menderita batin karena merasa tak berharga kehilangan pekerjaan. Seolah tak ada lagi solusi untuk mengatasi bertambahnya pengangguran. Semuanay sumpek.
Dimulai dari guru
Konstitusi Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti Pendidikan Indonesia harus bisa menyiapkan manusia Indonesia untuk hidup mandiri dengan memiliki kompetensi untuk bekerja. Untuk menghasilkan manusia terdidik sebagaimana diamanatkan konstitusi maka diperlukan fasilitas memadai seperti gedung sekolah yang layak dan perpustakaan dengan buku-buku berkualitas. Di samping dibutuhkan laboratoriun serta fasilitas yang dapat menunjang pengemabangan bakat siswa.
Namun di atas segalanya, pendidikan bermutu membutuhkan tenaga-tenaga guru yang terdidik dan kompeten, berkomitmen pada tugas dan pengabdian serta layak di gugu dan di tiru. Mulailah dengan perbaikan mutu dan kesejahteraan guru, maka semuanya akan ditambahkan.
Sayangnya mutu guru sering menjadi bahan perbincangan yang tiada habis-habisnya. Guru dikeluhkan karena kehadirannya di kelas kerap hanya sebagai formalitas belaka. Sebuah penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2007) menunjukan, hampir sebagian besar guru sekolah menengah di Indonesia sering meninggalkan ruang kelas untuk mencari nafkah tambahan di tempat lain. Akibatnya, murid-murid yang semestinya mendapat pelajaran pun akhirnya terabaikan hak-haknya.
Karena itu, untuk memperbaiki mutu pendidikan tak ada jalan lain kecuali dimulai dengan pembenahan mutu guru dengan memperbaiki kesejahteraan mereka. Pemerintah harus bersungguh-sungguh mengimplementasikan anggaran pendidikan 20% dengan perbaikan mutu dan kesejahteraan guru. Pasalnya, karena hingga saat ini masih banyak sekolah yang guru-gurunya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi berbicara tentang fasilitas pendidikan.
Pada peringatan hari guru nasional, 25 November lalu para guru kembali menyerukan kepada pemerintah agar segera memperbaiki kesejahteraan mereka. Mereka menuntut pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Guru, meski masih ada indikasi perlakuan diskriminatif terhadap guru-guru swasta. Pemerintah wajib memperhatikan kesejahteraan guru sebagai tenaga professional bukan hanya sekedar pengabdi bangsa. Mereka layak mendapat bayaran yang setimpal atas ilmu mengajar yang mereka miliki, bidang keahlian yang mereka kuasai, serta tugas dan semangat pengabdian yang mereka emban. Mengubah Lirik himne guru dari Pahlawan Tanpa tanda Jasa menjadi Pahlawan Pembangun Insan Cendekia akan tidak ada artinya sama sekali jika nasib dan kesejahteraan mereka tetap terabaikan.
Jalan Alternatif
Bila penyelenggaraan pendidikan benar-benar sesuai dengan amanat konstitusi, kehadiran generasi muda yang cerdas dan mampu mengolah sumber daya alam Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan semua orang di Indonesia bukanlah sebuah impian belaka.
Sejauh ini pelajar Indonesia telah membuktikan dirinya mampu berkiprah dalam kancah internasional dengan keberhasilan mereka menyabet medali emas , perak dan perunggu dalam olimpiade fisika. Tidak sedikit tenaga ahli Indonesia “jebolan” perguruan tinggi kelas dunia yang justru bekerja untuk kemajuan bangsa-bangsa lain. Itu artinya, otak orang Indonesia tak kalah hebatnya dari otak-otak bangsa terhebat lainnya di dunia. Pemerintah mesti mengkap semua itu sebagai potensi besar yang bisa dikembangkan untuk kemajuan bangsa. Disinilah pemerintah harus bisa memberikan akses pendidikan berkualitas pada semua nggota masyarakatnya dan mengupayakan agar tamatan pendidikan tinggi dapat bekerja dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Ide Ciputera pengusaha kondang di negeri ini untuk mencetak sebanyak mungkin“entrepreneur” barangkali layak dijadikan acuan. Pemerintah harus merancang system pendidikan bermutu yang bisa menghasilkan generasi penerus penuh kreasi, mampu mencari solusi sendiri, dan menciptakan jalan-jalan alternatif apabila jalan normal benar-benar sudah tersumbat.
Hanya dengan demikian, akan lahir generasi yang tidak ikut menambah barisan pengangguran, malah menciptakan jalan-jalan alternatif untuk mengurai ledakan pengangguran tersebut.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Jabatan Politik Sebagai Panggilan
Investor Daily, 2 Agustus 2008
Binsar A. Hutabarat
Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.
Mengutip TB Simatupang dalam buku Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya tidak berbeda dengan panggilan para pahlawan yang gugur di medan peperangan. Keduanya sama-sama mengandung arti kesediaan untuk berkorban demi bangsa dan Negara. Keduanya sama-sama mewujudkan suatu panggilan hidup, tentu dengan cara yang berbeda.
Kompetensi Moralitas
Kurang dari setahun lagi pemilu 2009 akan digelar. Melalui pesta demokrasi rakyat ini nantinya terpilih seorang presiden dan wakil presiden, ratusan wakil rakyar di (DPR), dan ribuan wakil rakyat di daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Mereka hanya sedikit dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia yang terpilih untuk menduduki jabatan politik strategis.
Karena itu, mereka mestinya bukan sosok yang biasa-biasa saja, melainkan manusia-manusia unggul yang terpilih karena kompetensi, kapabilitas, akseptibilitas, integritas, dan juga moralitas mereka. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang pilihan, karena di dalam diri mereka tertanam sikap dan hasrat kuat untuk “merendahkan dirinya” dan membaktikan seluruh perhatiannya pada kepentingan bangsa dan Negara.
Membangun Negara, memajukan kepentingan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah komitmen utama mereka. Mereka menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk kepentingan sempit: diri, partai, kelompok, atau golongannya sendiri. Tak terbersit dalam diri mereka hasrat menduduki jabatan politik hanya demi kursi kekuasaan atau uang.
Mereka yang duduk dalam jabatan politik haruslah menjadi contoh untuk apa yang dengan tepat dikatakan Presiden AS ke-35 John F. Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu sudah berikan bagi negaramu.”
Jelaslah, sebagai suatu panggilan hidup, jabatan politik mesti menampilkan figur terbaik dari anak-anak bangsa ini. Mereka menjadi contoh, layaknya tokoh-tokoh agama yang menjalani fungsi kenabian, meski mereka memiliki ladang pengabdian yang berbeda.
Partai sebagai Benteng
Undangan partai-partai politik- melalui iklan di berbagai media yang menawarkan jabatan politik kepada siapa saja yang berkompeten, hendaknya tidak disamakan dengan iklan lowongan pekerjaan yang lazim. Iklan semacam itu haruslah dimaknai sebagai undangan yang mulia dari partai-partai politik kepada mereka yang terpanggil untuk menduduki jabatan politik. Tentu, dengan niat tulus, yakni untuk mengabdi bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Selama ini, politik memang tidak jarang diidentikkan dengan ladangnya para pecundang. Politik itu kotor, karena para pelakunya tak pernah jauh dari sikap munafik, penuh intrik, saling hujat, dan saling menjatuhkan. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah karena sehari-hari dapat kita saksikan perilaku para pemimpin busuk, politikus tak bermoral, dan elit-elit yang bernafsu mengangkangi jabatan publik yang diembannya.
Lihat saja, masih banyak Negara yang terus dirundung konflik serta kemiskinan, semata karena egoisme para pemimpinnya. Para pemimpin ini menjalani praktek politik tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelli), dan kerap menempatkan manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homoni lupus, (Thomas Hobbes).
Di manakah akar permasalahannya? Akar persoalannya karena memang sudah terjadi “salah pilih”. Kita gagal memilih manusia unggulan, sebaliknya, dengan gampang kita menjatuhkan pilihan pada kaum medioker untuk menduduki jabatan publik. Akibatnya, banyak persoalan bangsa yang tak pernah selesai.
Karena nasib rakyat dan nasib bangsa menjadi taruhannya, maka penyeleksian yang ketat untuk mereka yang ingin menduduki jabatan tersebut adalah sebuah keharusan. Peran kunci untuk ini ada ditangan partai politik. Partai politik dituntut tanggung jawabnya untuk menghadirkan pemimpin yang memiliki kompetensi dan berdedikasi tinggi.
Di sini partai politik harus menjadi benteng terdepan dalam merekrut calon unggulan untuk menduduki jabatan politik, sekaligus benteng pertama yang menyekat masuknya para politikus busuk yang berambisi menduduki jabatan publik. Partai politik sudah selayaknya menanggalkan citra buruknya sebagi mesin uang pada setiap penyelenggaraan pemilihan Presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seperti kegiatan-kegiatan lainnya, aktivitas politik tentu saja membutuhkan uang. Namun, membayar sejumlah dana untuk suatu jabatan publik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi sang calon, itu justru merendahkan martabat jabatan politik yang mulia itu.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Cara Cerdas Turunkan Angka Golput
Suara Pembaruan, 16 Juli 2008
Binsar A. Hutabarat
Pemilu membutuhkan partisipasi aktif dari semua warga negara untuk bersama-sama membangun negara menjadi lebih baik dan demokratis. Oleh karena itu, partai politik (parpol) memiliki peran strategis untuk mendorong partisipasi rakyat dalam pemilu. Apabila parpol mampu menyuarakan hati nurani rakyat maka pemilu akan menjadi pesta demokrasi yang dinanti-nantikan rakyat untuk terciptanya perubahan yang lebih baik dengan cara damai.
Menjelang Pemilu 2009, sebagaimana pemilu sebelumnya, kekhawatiran terhadap membengkaknya golongan putih atau golput masih saja ada. Bahkan, kekhawatiran itu makin kuat. Hal itu wajar saja meskipun Pemilu 2004 berjalan baik, menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, serta dipuji bangsa-bangsa lain.
Pemilu 2004 sesungguhnya dimenangi oleh golput. Pada saat itu jumlah golput tercatat sekitar 34 juta orang, Partai Golkar, pemenang pemilu saat itu, hanya mendapatkan suara 24 juta, jauh di bawah golput.
Pada beberapa pemilihan kepala daerah, baru-baru ini, jumlah golput meningkat tajam, bahkan melebihi jumlah yang memilih, Pilkada Banten mencatat 40 persen golput. Pilkada Jawa Barat mencatatkan angka golput lebih dari 33 persen, Pilkada DKI Jakarta 35 persen, Pilkada Kepulauan Riau 46 persen, dan yang paling fenomenal di Jawa Tengah, golput mencapi 69 persen.
Ditemukannya selebaran-selebaran untuk mendukung golput pada Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu saja bisa menggelembungkan golput. Selebaran-selebaran itu bisa jadi akan lebih banyak beredar pada masa kampanye Pemilu 2009 yang dimulai 12 Juli 2008, sekaligus juga bisa mempengaruhi sukses tidaknya pemilu. Oleh karena itu, kita membutuhkan cara cerdas menurunkan angka golput.
Fenomena golput bukan hal baru. Itu sudah ada sejak pemilu pertama di republik ini, yakni 1955. Pada masa itu, golput diartikan sebagai akibat ketidaktahuan masyarakat tentang pemilu, biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Namun, untuk menentukan angka golput tidak mudah, karena biasanya, suara tidak sah juga dikelompokkan sebagai golput.
Pada era Orde Baru golput lebih diartikan sebagai sebuah gerakan moral, sebagai tindakan protes terhadap sistem yang diterapkan saat itu. Pada 1971, sebulan sebelum pemilu, Arief Budiman dengan didampingi aktivis mahasiswa dan pemuda memproklamirkan gerakan moral yang dinamakan golput. Sebanyak 34 eksponen ditahan penguasa pada waktu itu, dan golput pun diharamkan. Wacana golput kembali menjadi isu hangat menjelang Pemilu 2004.
Sebab atau Akibat
Hak dalam ilmu hukum adalah peranan seseorang yang mempunyai sifat fakultatif. Artinya boleh dilaksanakan boleh juga tidak dilaksanakan (lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia). Untuk melaksanakan hak ini maka kepada individu diberikan perlindungan agar setiap individu bebas untuk melaksanakan haknya atau tidak.
Jika kita kaitkan dengan "hak memilih" maka itu berarti setiap individu bebas untuk memilih atau tidak memilih. Setiap individu bebas untuk memilih partai apa yang dia dambakan dan bebas untuk tidak memilih satu pun partai.
Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Nurcholis Madjid, kalau golput betul-betul dilarang itu melanggar demokrasi karena tidak memilih itu hak setiap orang. Pemilu itu bukan kewajiban. Memang di Australia pemilu adalah kewajiban, tapi banyak negara yang tidak mewajibkannya. Misalnya, Amerika serikat, demikian juga dengan Indonesia.
Berdasarkan fenomena kehadiran golput dan konsepsi dari hak, dapat dipahami bahwa golput adalah akibat bukan sebab. Jika wacana golput kembali merebak menjelang Pemilu 2009 berarti ada penyebabnya. Ini juga telah diperingatkan oleh Salahuddin Wahid, "Kalau partai politik masih meneruskan perilakunya yang lebih mementingkan parpol dan para tokohnya, jangan heran kalau angka golput akan sangat tinggi." Apalagi dengan makin benderangnya dekadensi moral yang kian sering dipertontonkan anggota DPR (legislatif), Kejaksaan Agung (yudikatif), dan pemerintah (eksekutif), jumlah golput dikhawatirkan meningkat.
Mengingat golput adalah akibat bukan sebab, maka jalan mudah untuk menekan angka golput bukan mendiskreditkannya. Apalagi menganggapnya sebagai sumber kekacauan, karena golput pada awal kehadirannya di negeri ini adalah sebuah gerakan moral.
Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai orang menjadi golput karena paksaan. Itu merupakan pelanggaran dan bisa dikategorikan sebagai usaha untuk menggagalkan pemilu. Menganjurkan golput atau mengkondisikan seseorang untuk menjadi golput juga sulit dibuktikan.
Ketika reformasi bergulir rakyat makin mengetahui bahwa hak memilih dijamin oleh hukum. Ada harapan untuk terlibat dalam usaha pembangunan bangsa dengan cara memilih pemimpin-pemimpin yang propembaruan. Oleh karena itu, pemilu di era reformasi menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia.
Namun, sepuluh tahun reformasi telah bergulir dan dua pemilu yang dianggap sukses telah berlangsung di negeri ini. Perubahan belum juga kunjung terjadi. Pemimpin lebih takut pada partai politik dibandingkan dengan menjalankan amanat rakyat. Itulah yang membuat menggelembungnya angka golput.
Pemerintah dan pemimpin partai mesti hati-hati, jangan sampai mencontoh pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap golput, karena bisa menjadikan golput sebagai patriotisme politik. Sebaliknya, pemerintah dan partai-partai politik mesti meningkatkan kinerja, khususnya dalam menyejahterakan rakyat yang kini sedang panik dengan mahalnya harga energi dan bahan pangan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Developed by Proweb Indonesia
Obat Murah atau Murahan
Suara Pembaruan, 6 Maret 2008
Binsar A. Hutabarat
Untuk Indonesia yang rakyatnya kebanyakan hidup miskin dan mudah terserang penyakit, ketersediaan obat murah tentu saja menjadi harapan. Sayangnya, harapan itu tak kunjung datang, obat rakyat yang murah dan berkualitas yang pernah dijanjikan pemerintah hanya dianggap sebagai obat murahan yang tak berkualitas.
Tahun lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari meluncurkan program obat murah untuk rakyat sedikit miskin yang diproduksi oleh Indofarma. Program tersebut telah menghadirkan harapan baru bagi rakyat yang sedang "panik" mengingat harga obat yang terus merangkak naik, dan tentunya sangat menyengsarakan rakyat kecil. Kita tentu paham, untuk memenuhi kebutuhan makan saja mereka sudah kepayahan, apalagi harus ditambah dengan kebutuhan obat yang harganya kian melangit.
Program obat murah itu menyangkut pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama pemerintah dengan PT Indofarma. Sepuluh obat serba seribu itu di antaranya adalah obat batuk dan flu, obat flu, batuk berdahak, asma, penurun panas anak, penurun panas, tambah darah, maag, sakit kepala, dan indo obat batuk cair. Dilihat dari jenis obat- obat tersebut dapat dimengerti bahwa obat-obat itu sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi pada kondisi cuaca buruk.
Menurut Menteri Kesehatan, program itu juga bertujuan untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi tamatan apoteker yang masih menganggur serta mencegah terjadinya pemalsuan obat. Dengan murahnya harga obat, maka pemalsuan obat diharapkan dapat ditekan, dan penggunaan obat generik tak berlogo dalam jumlah besar itu tentunya akan membuka lowongan kerja baru bagi tamatan apoteker.
Ironisnya, belum juga rakyat miskin bernafas sedikit lega, ada berita tak sedap didengar. Siti Fadilah mengungkapkan, obat Rp 1000 yang menjadi program pemerintah pada 8 Mei 2007 itu sering tak sampai ke tangan konsumen karena langsung dibeli oleh para spekulan. Tapi, pemerintah berjanji akan mengemplang para spekulan obat yang tak bermoral itu, dan menjamin, obat murah itu akan dapat dengan mudah didapat di warung-warung pada 3-6 bulan setelah penetapan itu.
Kini telah enam bulan lebih berlalu sejak penetapan tersebut dan yang terjadi adalah tren pasar obat generik ternyata justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2001 pasar obat generik mencapai 12 persen, tahun lalu tinggal 7,23 persen. Artinya program obat murah belum menunjukkan dampak yang berarti bagi rakyat miskin, bahkan boleh dikatakan tak mendapat respons yang cukup tinggi. Apalagi dengan banyaknya obat generik yang kini bermunculan timbul anggapan, bahwa itu bukan obat murah dalam arti obat berkualitas dengan harga murah, tapi itu adalah obat murahan yang rendah kualitas.
Boleh saja pada waktu peluncuran pertamanya, Menteri Kesehatan menjelaskan, "itu obat rakyat yang murah dan berkualitas, dan kualitasnya ada dalam pemantauan", jadi bukan obat murahan yang tidak berkualitas. Tapi pada realitasnya program tersebut belum mengena dihati rakyat miskin. Lantas apa yang salah dengan program obat murah tersebut sehingga tidak digemari oleh masyarakat, dan sayangnya juga obat generik tak berlogo itu juga tak dikenal para dokter pada umumnya dengan baik.
Realisasi Program
Niat baik pemerintah untuk menghadirkan obat murah sesungguhnya patut mendapat pujian. Itu adalah kebijakan yang cerdas dan berpihak pada masyarakat, dalam hal ini masyarakat miskin. Kita semua tahu, obat adalah kebutuhan yang amat penting, bahkan telah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, karena tak seorangpun yang bebas dari serangan penyakit. Terlebih lagi ketika terjadi perubahan cuaca, atau pada kondisi cuaca buruk, karena itu, pastilah semua orang membutuhkan obat, dan penetapan obat murah tentu saja akan sangat membantu masyarakat.
Sangat disayangkan, promosi obat murah yang diluncurkan pemerintah itu, tidak segencar promosi obat yang harganya selangit. Bukan hanya masyarakat yang asing dengan obat murah itu, tetapi juga para dokter. Apalagi dengan banyaknya jenis obat generik yang kini beredar, kita tentu paham promosinya tentu saja membutuhkan biaya tinggi. Belum lagi banyaknya obat generik yang kini beredar (obat generik, obat generik tak berlogo, obat generik berlogo) justru membuat masyarakat cenderung meragukan khasiatnya.
Tren menurunnya obat generik itu mengindikasikan bahwa hingga kini program obat murah itu kurang dipercaya oleh dokter ataupun masyarakat. Setidaknya itulah yang disimpulkan oleh Syamsul Arifin, Direktur PT Kimia Farma, dalam diskusi bertajuk, "Obat Generik, Obat Murah atau Murahan", tanggal 27 Februari 2008. Dalam diskusi tersebut terlontar kesaksian bahwa dalam pengalaman penggunaannya, obat generik ternyata juga memiliki kualitas yang rendah, sehingga dokter pun enggan memberikannya pada pasien, belum lagi dengan adanya efek samping yang mengakibatkan efektivitas obat generik itu dipertanyakan. Lebih aneh lagi obat generik itu ternyata masih juga sulit di dapat di apotek, padahal jumlahnya mencapai ratusan dan sering membuat pusing dokter untuk mengingatnya.
Harus diakui, semua kejelekan yang ditempelkan pada obat murah itu memang belum merupakan hasil penyelidikan yang terpercaya, namun setidaknya itu mestinya menjadi pendorong untuk pemerintah mengevaluasi program obat murah tersebut. Kalau tidak berapa banyak uang yang harus terbuang percuma untuk membiayai program obat murah itu.
Perlu Koordinasi
Kegagalan obat murah untuk dipercaya oleh masyarakat sebenarnya terkait minimnya koordinasi pemerintah dengan para dokter. Demikian juga dengan penjual obat, dalam hal ini pemilik apotek, yang merupakan media penting bagi promosi tersebut, jika memang pemerintah tak punya cukup uang untuk mempromosikan obat murah itu layaknya promosi obat bermerek.
Apabila koordinasi Departemen Kesehatan terjalin baik dengan para dokter, masyarakat tentu akan dapat menerima obat murah tersebut, karena yang merekomendasikannya adalah dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Ini, tentunya akan memangkas biaya iklan yang sangat tinggi.
Kurangnya koordinasi itu juga terlihat, dengan tidak bersedianya dokter memberikan obat generik karena kuatir akan efek samping dari penggunaan obat tersebut. Padahal, jika ada koordinasi, pastilah ada umpan balik dari para dokter sebagai upaya penjagaan kualitas obat murah tersebut.
Sangat disayangkan, jika program obat murah yang terdengar indah di telinga itu hanya indah di atas kertas, apalagi mengingat begitu berartinya obat bagi masyarakat miskin. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan sudah sepatutnya mengevaluasi program obat murah tersebut. Jika tidak, obat murah untuk rakyat hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah menjadi kenyataan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Kartel Tarif SMS dan Moralitas dalam Bisnis
Investor Daily, 2 Februari 2008
Binsar A. Hutabarat
Desakan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir baru-baru ini, agar para operator telepon seluler segera menurunkan tarif Short Message Service (SMS) yang bernuansa bisnis tidak adil dan merugikan konsumen, terkait bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS, perlu disikapi serius. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam hal ini sudah semestinya merespons penemuan tersebut.
Rakyat telah cukup banyak menderita dan tak perlu lagi dibebani, sebaliknya usaha untuk meringankan beban dan penderitaan rakyat harus menjadi kepedulian semua, termasuk pengusaha bisnis operator telepon seluler.
Keberangan Ketua YLKI sesungguhnya dapat dipahami, ada informasi, produksi SMS tersebut hanya sekitar Rp. 76 per SMS, sedang tarif yang diberlakukan operator rata-rata sebesar Rp. 250 hingga Rp. 350 per SMS, berarti Operator seluler telah merengguk profit 400 persen, sejumlah keuntungan yang sangat besar ditengah-tengah kondisi rakyat yang kebanyakan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal, rakyat sangat membutuhkan sarana informasi layaknya telepon seluler, dan sudah semestinya kehadiran telepon seluler dengan segala kemudahannya, khususnya fasilitas SMS, menjadi sarana yang berguna untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat melalui kemudahan usaha, lebih ironis lagi, keuntungan itu diraih melalui cara yang tidak adil, suatu persekongkolan pengusaha kelas kakap.
Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS itu baru terungkap setelah berlangsung lama, dan mengapa tampaknya pemerintah belum mengambil tindakan serius, apakah ada keengganan pemerintah untuk mengintervensinya?
Dampak Negatif Ekonomi Pasar
Kritik yang bertubi-tubi terhadap penerapan ekonomi pasar yang dilakukan pemerintah, dan seakan sama sekali tak ada lagi kontrol pemerintah, khususnya terkait dengan problem ketidak adilan, bukan tanpa dasar. Kita tentu paham, pasar bebas mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan. Mereka yang lemah, miskin, baik materi maupun informasi, akan selalu menjadi objek kerakusan mereka yang kuat, apabila kondisi ini dibiarkan, tentulah yang miskin tetap akan hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, tanpa kesempatan untuk merubah nasibnya.
Moralitas, yang oleh Adam Smith dianggap sebagai “invisible hand”, tangan yang tidak kelihatan, yang mengendalikan ekonomi pasar untuk dapat befluktuasi secara adil, terbukti hanyalah impian kosong. Nafsu kerakusan manusia membuat mereka yang kuat sering kali berusaha memanfaatkan seluruh kelebihannya, tanpa peduli dengan nasib si miskin, ada adagium yang mewakili kebenaran tersebut, mereka yang kaya terus bertambah kaya, sedang mereka yang miskin akan tetap berada dalam lembah kemiskinan”, itulah yang terjadi dalam bisnis kartel penetapan tarif SMS jika memang terbukti.
Globalisasi yang kini didorong oleh pasar bebas harus diakui menyisakan masalah tersendiri, yaitu telah menciptakan jurang antara Negara kaya dan Negara miskin yang makin melebar, dan itu juga terjadi pada banyak negara, termasuk di Indonesia.
Rakyat yang sangat membutuhkan media informasi, khususnya dalam meningkatkan taraf hidupnya, terhambat, karena tingginya biaya yang harus dibayar per SMS, sedang operator SMS yang umumnya adalah pemilik modal, terus bergelimang dengan keuntungan yang makin memperkaya mereka, tidaklah mengherankan jika dalam bisnis ini terus saja bermunculan operator-operator baru, dan tidak juga mengherankan, jika bisnis itu terus merajalela sampai kedaerah-daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel, memang ada manfaat besar dari kehadiran teleon seluler itu, namun realitas yang menyedihkan adalah, mereka yang dirugikan bukan hanya yang kaya, tetapi khususnya rakyat yang sedang dalam kondisi miskin, di kota-kota besar, telepon celuler juga telah digunakan oleh pedagang kecil, pembantu-pembantu rumah tangga, buruh, tukang ojek, juga para tukang Becak yang memiliki pandapatan amat minim, namun masih harus dihambat komunikasinya dengan tingginya biaya SMS.
Problem Ketidakadilan
Ekonomi memang tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara begitulah tesis liberalisme yang melahirkan pasar bebas, hal itu ada benarnya, tetapi memiliki keterbatasan, karena tidak semua bidang usaha bisa diambil oleh swasta, orientasi individu dalam berusaha yang semata-mata tertuju pada profit pribadi mengakibatkan bidang-bidang yang tidak menguntungkan, meski dibutuhkan, tidak akan diambil oleh swasta, pemerintah dalam hal ini harus mengambilnya demi memnuhi kebutuhan masyarakat dan untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Di Negara Amerika Serikat yang adalah pendukung utama pasar bebas sekalipun, tidak ada seorang pun pengusaha swasta yang ingin mengambil alih NASA, karena memang tidak menguntungkan, dan pemerintah mesti mengelolanya walau terus merugi.
Hal yang perlu diwaspadai adalah Usaha yang berorientasi pada profit itu tidak mustahil akan merampas kebebasan yang lain dalam berusaha. Pemerintah dalam hal ini yang berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat semestinya berperan untuk menciptakan keadilan, KPPU dalam hal ini berkewajiban untuk mendeteksi kecurangan yang ada. Kartel penerapan tarif SMS jika ini benar terjadi, semestinya perlu diambil tindakan agar tidak lagi merugikan masyarakat.
Tidaklah mengherankan mengapa Mohammad Hatta menawarkan koperasi, karena itu tidak dimiliki pribadi, usaha dimiliki secara bersama, dalam ekonomi pasar social ini Negara memiliki peran yang jauh lebih besar dibanding ekonomi pasar bebas, yaitu dalam hal pembagian keuntungan, sehingga peristiwa kartel tarif SMS tentu tidak akan terjadi. Pemerintah dalam hal ini terkait ketidak adilan dalam kartel penerapan tarif perlu mengeluarkan regulasi untuk menciptakan keadilan.
Moral Bisnis Indonesia
Kartel penerapan tarif SMS jika terbukti, merupakan potret kelam bisnis Indonesia. Kita semua tentu setuju, dunia bisnis bukanlah daerah bebas nilai. Apalagi untuk orang Indonesia yang terkenal relegius, bisnis memiliki nilai-nilai etis yang dipengaruhi oleh agama para pelaku bisnis. Mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari masyarakat yang berada dalam kondisi miskin, dan mau tak mau harus bergantung pada produk tersebut adalah tindakan yang tidak etis, dan tarif SMS yang jelas-jelas sangat berpengaruh bagi banyak orang untuk meningkatkan usahanya dan untuk menambahkan pendapatannya sudah seharusnya dibuat semurah mungkin, suatu kebutuhan masyarakat umum sudah semestinya dibuat semurah mungkin.
Dengan keuntungan kecil namun memiliki pasar yang luas, perusahaan telepon seluler akan tetap eksis, sebaliknya dengan menetapkan tarif yang tinggi peran maksimal telepon seluler tidak akan tercapai, kecuali hanya memenuhi napsu kerakusan untuk mendapatkan profit sebasar-besarnya, kemajuan tekhnologi telepon seluler untuk Indonesia ternyata belum didedikasikan untuk kepentingan orang banyak, ini adalah potret kelam bisnis tanpa moralitas yang harus segera diakhiri. Tekad telkom untuk menurunkan biaya telepon tidak lama lagi patut dicontoh oleh para operator telepon seluler.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Karakter Bangsa, Dulu dan Kini
Investor Daily, 23 Januari 2010
Binsar A. Hutabarat
Karakter bangsa Indonesia terbilang kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatlaka mencapai kemerdekaan, dan saat mempertahankan kemerdekaan. Bayangkan, hanya bermodalkan bambu runcing, penjajah Belanda yang dilengkapi persenjataan canggih persenjataan canggih berhasil diusir anak-anak bangsa ini.
Kini, karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sudah sangat rapuh. Daya juang bangsa ini nyaris hilang ditelan berbagai godaan kepentingan sesaat. Masih tingginya praktik korupsi di Indonesia dan bergentayangannya makelar kasus dengan terindikasi adalanya jaringan mafia hukum merupakan potret buram sistem penegakan hukum di Indonesia.
Belum terselesainya kasus Bank Century, perlakuan diskriminatif dalam penjara yang kini menjadi buah bibir, dan penculikan bayi yang terbukti melibatkan petugas rumah sakit dan Puskesmas, semakin memperkuat pandangan bahwa karakter bangsa ini dalam kondisi yang amat lembek. Keburukan menjadi sesuatu yang biasa dan nilai-nilai kebaikan telah menjadi barang mewah di negeri ini.
Berbagai dekadensi moral ini muncul terkait dengan semakin lemahnya satu pilar pembangunan manusia seutuhnya: pendidikan. Pendidikan kita semakin tanpa arah, bias. Ironisnya, pemerintah masih saja berkukuh menyelenggarakan ujian nasional yang tak memiliki saham berarti untuk menguatkan karakter bangsa.
Cacat Pendidikan
Pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan.
Seperti kata Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan orang mulai tidak memerhatikan lagi bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan gagal untuk menghadirkan generasi anak-anak bangsa yang berkarakter kuat.
Pendidikan seharusnya mamapu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik, dan manusia pada dasarnya adalah animal seducandum, yaitu “binatang” yang harus dan dapat dididik.
Itulah makanya filsuf Aristoteles mengingatkan, sebuah masyarakat yang budayanya sudah tidak lagi memperhatikan pentingnya pendidikan atau tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai suatu good habits, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “menandai”, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karena itu, seseorang perlu mendapatkan pendidikan karakter.
Dengan pendidikan karakter, kata Thomas Lickona (1991), budi pekerti dan tingkah laku orang tersebut terbentuk. Hasilnya akan terlihat dalam tindakan nyata. Orang tersebut akan bertingkah laku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, bekerja keras, dan lain-lain.
Untuk memiliki karakter atau budi pekerti yang baik itu perlu adanya latihan yang serius dan terus-menerus. Meski manusia memiliki karakter bawaan, itu tidak berarti karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik.
Kita tentu setuju bahwa membangun sebuah kebiasaan untuk berbuat baik itu tak selalu mudah, meski dorongan untuk berbuat kebaikan memang ada. Tapi, jika dorongan yang tidak baik itu terus dibiarkan hadir, keinginan yang baik dengan mudah didesak mundur. Bila kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik berkembang semaunya, kekacauanlah yang terjadi.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan dalam diri seorang anak manusia. Masalahnya, bagaimana manusia itu mengonstruksi diri sendiri, di mana yang baik dikembangkan dan yang jelek dikurangi atau dihilangkan, itulah pekerjaan yang harus dilakukan setiap saat, setiap hari.
Karena itu, dalam banyak hal karakter yang baik lebih patut dipuji dibandingkan bakat yang luar biasa. Bakat adalah anugerah, sedangkan karakter yang baik tidak dianugerahkan. Karakter yang baik lahir dari latihan dan perjuangan yang keras, terus-menerus, sebuah latihan yang tak kenal lelah. Seperti kata Tolbert McCarrol, karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam. Otot karakter kita akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan menjadi kuat kalau sering dilatih.
Peranan Guru
Pendidikan di Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter, sudah saatnya harus dibenahi. Indonesia memerlukan pendidikan karakter agar tampil pribadi-pribadi unggul, kuat, dan tahan uji.
Sudah waktunya pemerintah fokus pada bagaimana memperbaiki mutu pendidikan yang terfokus pada pembangunan karakter. Pemerintah perlu memperbaiki perpustakaan sekolah untuk meningkatkan budaya baca dengan menghadirkan buku-buku bacaan berkualitas tentang budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai moral dan memberi banyak kesempatan untuk menghidupi nilai-nilai moral tersebut.
Peran guru di sini menjadi sangat penting dan strategis. Mereka adalah wajah pendidikan kita. Karena itu, guru patut diberikan kedudukan terhormat, termasuk juga pemenuhan kebutuhannya, tidak hanya untuk sekolah negeri, tetapi juga guru-guru swasta.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Pembangunan Hajat Hidup Orang Banyak
Investor Daily, 11 Agustus 2009
Binsar A. Hutabarat
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam kongres ke-17 di Bukit Tinggi menyimpulkan, ekonomi Indonesia saat ini didominasi oleh asing. Ini terjadi karena Indonesia telah membuka diri terlalu jauh terhadap investasi asing, akibatnya, sejumlah bidang strategis yang awalnya dikuasai negara kini telah dikuasai asing.
Makin tergerusnya kedaulatan Indonesia dibidang ekonomi terlihat jelas pada bisnis ritel modern Indonesia yang kini dikuasai asing. Bukan hanya pasar ritel lokal yang “kelimpungan” bersaing dengan ritel asing, pasar tradisional yang menjadi sandaran jutaan rakyat Indonesia terancam banyak yang gulung tikar.
Sekitar 85% pengelolaan lapangan migas di Indonesia saat ini dikuasai asing, dan telah memperkaya asing, misalnya, PT Freeport Indonesia yang menambang emas dan tembaga di Mimika Papua yang merupakan salah satu penghasil emas terbesar di dunia dengan kontribusi laba terhadap perusahaan induknya, Freeport McMorran yang tercatat di New York Stock Exchange, mencapai 70% lebih, itu adalah saksi bahwa manfaat terbesar perusahaan-perusahaan tambang Indonesia untuk kepentingan asing, kekayaan alam Indonesia terus-menerus di keruk oleh asing.
Dominasi asing juga merambah di bisnis telekomunikasi yang sedang “booming”di negeri ini. Bahkan, 50% dari saham bank-bank papan atas di negeri ini dikuasai asing. Semakin meneguhkan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kedaulatan.
Apabila Pemerintah Indonesia terus membiarkan dominasi asing merajalela di negeri ini, bukan mustahil, kemerdekaan yang adalah jembatan emas untuk memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan itu tak akan banyak manfaatnya. Krisis kedaulatan yang terus menggerogoti Indonesia melalui dominasi asing pada bidang-bidang strategis di negeri ini bisa menghantarkan Indonesia menjadi negara gagal.
Bahaya Imperialisme
Beberapa abad yang lalu Francis Bacon sudah mengingatkan bahwa landasan teleologis ilmu ialah meningkatkan kesejahteraan manusia. Penguasaan Ilmu (yang memberikan pengetahuan) dan teknologi (yang menunjukan cara untuk memakai pengetahuan itu) memampukan manusia untuk dapat mengolah alam bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Itulah sebabnya pengusaan ilmu dan teknologi telah membuat negara yang miskin sumber alamnya, seperti misalnya Korea Selatan, Jepang dan khususnya negara-negara Barat, berhasil memajukan negeri mereka. Kemampuan mengolah alam dengan menggunakan teknologi tinggi itu menjadikan negara maju bukan saja dapat memaksimalkan hasil alam mereka, tapi juga telah memberikan mereka kemampuan mengolah hasil alam dari negara-negara yang melimpah sumber alamnya, namun gagap dalam teknologi dan lemah dalam keuangan.
Sayangnya, kemajuan teknologi juga membuat negara-negara maju tergoda untuk merampas kedaulatan negara-negara miskin yang merdeka melalui penguasaan ekonomi demi memuaskan nafsu serakah manusia, dan nafsu terus berkuasa dengan adanya penguasaan teknologi. Jadi, teknologi sesungguhnya tidak netral, dan telah dikuasi oleh nafsu manusia untuk berkuasa.
Kemajuan teknologi terbukti telah melahirkan era baru penjajahan di bidang ekonomi, yang membuat negara-negara merdeka tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas negerinya. Ini merupakan fenomena baru setelah perang dunia kedua, dan Indonesia adalah salah satu korbannya.
Bacon juga telah menurunkan dictum yang tersohor bahwa ilmu adalah kekuasaan, dan teknologi adalah tangan ilmu. Ada ungkapan, kekuasaan itu jahat (Power is corrupt) karena itu, kita jangan naif, bahwa perusahaan multi nasional atau asing itu akan membagi keuntungannya dengan adil dengan Indonesia.
Perusahaan asing atau multi nasional yang menguasai Indonesia dengan kepemilikan teknologi tinggi harus dicurigai, pemerintah harus terus mengevaluasi pembagian hasil yang setimpal. Bahaya imperialisme adalah realitas yang harus diwaspadai dengan masuknya perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Hajat Hidup Orang banyak
Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pembangunan Indonesia adalah hasil kerjasama seluruh rakyat Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menetapkan bahwa rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam Indonesia yang dikuasai oleh negara. Makin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin yang terjadi di Indonesia mengindikasikan adanya penyimpangan yang terjadi dalam pembangunan Bangsa Indonesia. Dominasi asing merupakan salah satu penyebanya.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh sila kelima dari Pancasila, pembangunan masyarakat Indonesia, termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi harus memberikan keadilan bagi semua rakyat Indonesia. Kelima sila Pancasila itu oleh Soekarno diperas menjadi satu sila yakni Gotong Royong, bagi Soekarno itu merupakan intisari dari Pancasila yang menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia, yakni suatu pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dalam hal ini bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi tujuan kemerdekaan kita.
Kemerdekaan adalah “jembatan emas” untuk memerdekakan rakyat Indonesia. Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia harus berjuang memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya secara maksimal untuk kesejahteraan rakyatnya.
Secara “de Jure” Indonesia masih menjadi negara yang merdeka, namun kedaulatan Negara Indonesia kini mengalami krisis. Tergerusnya kedaulatan di bidang ekonomi otomatis akan membuat kemerdekaan tidak lagi efektif sebagai jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia yang masih banyak tinggal dalam kemiskinan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara gagal sebagaimana terjadi pada negara-negara di benua Afrika.
Pembangunan Indonesia masih belum dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Apalagi dengan adanya penguasaan bidang-bidang strategis di Indonesia oleh asing, ini tentu akan menghambat implementasi dari tujuan kemerdekaan Indonesia, yakni tercipyanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Intervensi asing yang dimungkinkan dengan penguasaan bidang-bidang strategis itu akan membuat pembangunan Indonesia tidak “melulu” untuk rakyat Indonesia, tetapi juga untuk kepentingan asing yang menguasai bidang-bidang strategis di negeri ini. Akibatnya, pembangunan Indonesia bukan lagi hasil musyawarah dan mufakat seluruh bangsa Indonesia, tapi telah dicampuri oleh pihak asing. Ini tentu saja bertentangan dengan cita-cita negara Indonesia. Jadi pembangunan untuk hajat hidup orang banyak yang kita cita-citakan itu sesungguhnya belum tercapai dan mesti kita kerjakan lebih bersungguh-sungguh lagi.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Sumpah Melawan Kemiskinan
Suara Pembaruan, 31 Oktober 2007
Binsar A. Hutabarat
Tanggal 28 Oktober 2007 kita merayakan 79 tahun Sumpah Pemuda, peristiwa penting yang amat menentukan dalam lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Timbul pertanyaan, mampukah kita mengobarkan kembali semangat Sumpah Pemuda, yang menjadi kunci penting bagi lahirnya negara merdeka.
Perjuangan rakyat Indonesia sesungguhnya belum dapat dikatakan selesai, khususnya dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih membelenggu rakyat banyak. Kemiskinan dan kebodohan itu terlihat jelas, antara lain, pada potret kehidupan suku-suku terasing atau yang lebih dikenal dengan sebutan Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Semangat Sumpah Pemuda, yaitu kerelaan berkorban founding fathers Indonesia itu, telah menjadi kunci bagi hadirnya NKRI. Semangat pengorbanan itu juga terlihat jelas dalam perang-perang gerilya melawan kolonialisme demi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dengan bangga TB Simatupang pernah berkata: "Sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan, seperti, terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini." Artinya, semangat persatuan Indonesia sebagai bangsa dengan ciri kerelaan berkorban itu tumbuh dalam perjuangan yang sulit, khususnya dalam menghadapi musuh bersama, yaitu kolonialisme. Ikrar kebangsaan Indonesia tumbuh makin kuat sebagai reaksi terhadap kolonialisme. Pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia itu juga telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara lainnya, khususnya di Asia.
Wajar saja jika kita berharap pada momen ini kita bisa lagi mengobarkan semangat persatuan untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih menjadi persoalan besar. Secara jujur kita mesti mengakui bahwa kemerdekaan itu, yang juga adalah jalan untuk memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan kebodohan, belum juga memenuhi harapan sebagian besar rakyat Indonesia.
Lingkungan Terganggu
Potret buram tentang kemiskinan dan kebodohan terlihat jelas dalam kehidupan Komunitas Adat Terpencil yang tersebar di Tanah Air. Menurut data Departemen Sosial pada 2005, sedikitnya 1,1 juta jiwa hidup dalam kondisi keterbatasan prasarana dan sarana. Di Papua, masyarakat yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan bukan hanya di Pegunungan Tengah (Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya, Yahokimo, Tolikara, dan Pegunungan Bintang), tetapi juga di pesisir pantai, seperti, Kabupaten Waropen, Yapen Waropen, Nabire, Biak Numfor, Keerom, Kaimana, Fak-fak, Asmat, Mappi, Jayapura, dan Sarmi. Bahkan masih ratusan suku terasing di Papua yang belum tersentuh pembangunan. Suku-suku itu sulit melakukan kontak dengan masyarakat di luar wilayahnya karena minimnya prasarana dan sarana.
Penderitaan masyarakat KAT itu semakin bertambah dengan maraknya penebangan hutan secara liar yang berakibat terganggunya lingkungan mereka, ditambah lagi kehadiran perusahaan perkebunan atau pertambangan yang sering kali tak peduli dengan penderitaan masyarakat setempat.
Otonomi daerah semestinya makin meningkatkan perhatian pada upaya pengentasan kemiskinan masyarakat KAT. Peringatan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah tentang bahaya pengabaian pemberdayaan KAT itu dalam peringatan Hari Pers Nasional 2007, baru-baru ini, membuka kesadaran bahwa usaha itu masih membutuhkan perjuangan keras pemerintah daerah. Pengabaian tugas itu bisa menimbulkan kesenjangan sosial, kecemburuan, dan kebencian warga yang tertinggal.
Kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial yang amat lebar juga jelas terlihat di kota-kota besar. Kehadiran gelandangan, pengemis, dan pengamen (gepeng) dalam hiruk-pikuknya kesibukan di kota-kota besar adalah cerita sedih yang tak pernah berakhir. Belum lagi, kondisi rakyat di negeri ini, yang hampir setengahnya hidup dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS sehari, tentu saja selalu hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran terbelenggu oleh kemiskinan.
Pada momen peringatan Sumpah Pemuda ini kita perlu mengobarkan kembali semangat kebangsaan yang bukan lagi untuk mengusir penjajah, tapi untuk memerangi kemiskinan, memerdekakan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Kita mesti bersumpah untuk memeranginya secara bersama-sama.
Cinta kepada rakyat harus ada pada setiap pemimpin di negeri ini, sehingga persoalan siapa yang layak menjadi pemimpin bukan lagi jadi hal utama. Sebaliknya, kerelaan untuk berkorban harus menjadi utama. Untuk itu, nasib memperhatikan rakyat mesti menjadi hal utama dalam Pemilu 2009. Kepercayaan rakyat jangan diabaikan hanya demi kepentingan pribadi. Semangat Sumpah Pemuda harus kita kobarkan kembali untuk melahirkan tekad melawan kemiskinan dan kebodohan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Developed by Proweb Indonesia
Bebas HIV/AIDS Syarat Menikah
Investor Daily, 16 Juni 2007
Binsar A. Hutabarat
Melejitnya pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia telah mengkhawatirkan banyak pihak, terutama keluarga-keluarga yang memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kesucian pernikahan.
Sejak tahun 2000, Indonesia telah termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevelensi HIV lebih dari 5%. Pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS sangat mengkhawatirkan, karena jumlah yang tidak terdata jauh lebih besar dibandingkan data yang ada, seperti fenomena gunung es. Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia menurut estimasi saat ini mencapai 200.000 kasus, suatu kenyataan yang sesungguhnya kemungkinan masih lebih besar lagi. Jika tidak diwaspadai, Indonesia akan menyusul Afrika sebagai rekor penderita HIV/AIDS tertinggi di dunia.
Pertambahan jumlah tersebut terutama terjadi di kota-kota besar dengan kasus terbesar lewat jarum suntik pada para pengguna narkoba, disusul seks bebas dengan berganti-ganti pasangan. Kasus HIV/AIDS di Papua, misalnya, terbesar adalah melalui hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan. Tidaklah mengherankan bahwa kemudian ada gugatan untuk menyelematkan banyak orang dari bahaya tertular HIV/AIDS melalui pembatasan pernikahan dengan pemberlakuan syarat bebas HIV/AIDS untuk menikah. Apalagi 73% penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah laki-laki.
Berdasarkan data di atas dapat dipahami, wanita dan anak-anak adalah komunis yang paling rentan dari penularan terhadap HIV/AIDS, karena itu muncul desakan terhadap Departemen Agama untuk mengeluarkan peraturan surat bebas HIV/AIDS sebagai syarat menikah. Lantas, apakah ini bukan merupakan pembelengguan terhadap hak privat seseorang? Kita semua tahu, menikah adalah hak privat yang tidak boleh dicampuri apalagi dicabut oleh negara.
Penyebab Tuntutan
Adanya tuntutan surat bebas HIV/AIDS sebagai pembatas pernikahan yang ditujukan kepada Departemen Agama mengindikasikan bahwa lembaga keagamaan masih merupakan institusi paling strategis dalam menekan lajunya pertambahan penderita HIV/AIDS. Ini tentu saja sangat membanggakan. Survei terkini melaporkan, tokoh-tokoh agama memang masih lebih dipercaya dibandingkan tokoh-tokoh politk. Namun, pada sisi lain hal itu juga mengindikasikan sikap ketidakdewasaan masyarakat Indonesia, yakni mengizinkan campur tangan pemerintah untuk mendikte dengan siapa seseorang menikah. Rekomendasi itu bisa menyebabkan mengguritanya tangan pemerintah pada bidang-bidang privat lainnya.
Tingginya pertambahan jumlah penderita AIDS umumnya disebabkan melemahnya lembaga keluarga di Indonesia yang menafikan pembimbingan pranikah dari lembaga agama. Karena itu, jika Depag mengeluarkan syarat bebas HIV/AIDS untuk menikah, pasangan yang akan melangsungkan pernikahan mau tidak mau harus menerima pembimbingan pranikah dari lembaga keagamaan.
Harus diakui, banyak kasus perceraian terjadi karena dasar utama pernikahan mereka adalah “suka sama suka”. Dengan dasar suka sama suka inilah kemudian tercipta kecenderungan pendustaan yang dilakukan penderita HIV/AIDS untuk menikahi pasangannya yang tidak mengidap HIV/AIDS. Dalam kondisi ini, tingkat penularan HIV/AIDS akan semakin tinggi. Itulah sebabnya timbul desakan untuk digulirkannya surat bebas HIV/AIDS sebagai syarat menikah. Hal ini dilakukan guna melindungi wanita dari tipu daya atau pendustaan oleh pasangannya. Pada gilirannya hal ini akan berakibat langsung terhadap anak-anak.
Pendidikan Seks
Tuntutan dikeluarkannya peraturan pemilikan surat bebas HIV/AIDS oleh Departemen Agama sebagai syarat menikah jelas merupakan pelarian dari tanggung jawab keluarga serta penyangkalan terhadap hak dan kebebasan individu. Negara dapat saja mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk memeriksakan kesehatannya sebagai usaha melindungi warganya, namun kebebasan memilih seharusnya tetap ada pada individu.
Seandainya keluarga dan pemerintah mampu menyadarkan akan bahaya dari HIV/AIDS tentunya tak ada seorang pun yang ingin berspekulasi menikah dengan penderita HIV/AIDS. Demikian juga penderita HIV/AIDS tidak akan bernafsu menikahi orang yang dicintainya apabila ia tahu bahwa kondisinya akan membahayakan pasangannya.
Pada titik ini terlihat pentingnya pendidikan seks dalam keluarga. Sebagaimana tujuan dari pendidikan adalah untuk memfasilitasi peserta didik dengan pengetahuan yang benar, maka mestinya pendidikan seks dalam keluarga, sekolah, dan lembaga lainnya tetap terjaga dengan baik. Dengan demikian, pembatasan kebebasan individu melalui persyaratan surat bebas HIV/AIDS untuk menikah tidak diperlukan.
Pemeriksaan terhadap pasangan yang akan menikah serta ibu hamil yang kemungkinan terjangkit HIV merupakan langkah lain untuk membebaskan masyarakat dari penyakit yang mematikan itu. Apalagi kemajuan kedokteran kini memungkinkan anak dalam kandungan serta istri dari penderita HIV/AIDS dapat bisa terdeteksi dengan baik. Jika pekerjaan ini dilakukan, anak pasangan yang mengidap HIV/AIDS tidak akan mewariskan penyakit itu pada anaknya.
Pernikahan adalah hak individu. Oleh karena itu, negara tidak dapat melarang atau mencampurinya. Ada banyak cara untuk menjauhi masyarakat dari penyakit yang mematikan ini. Salah satu cara yang “murah” sekaligus sangat efektif dalam memerangi perkembangan HIV/AIDS, yakni dengan menguatkan peran keluarga dan agama serta kampanye berkala mengenai bahaya HIV/AIDS.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Dekade Kerakusan (Soal Beras dengan Pemutih dan Produk Berpengawet)
Investor Daily, 16 Januari 2007
Binsar A. Hutabarat
Seruan pertobatan dari tokoh agama dalam merespon bencana yang datang silih berganti, tampaknya hanya menjadi kata-kata indah yang hanya patut dirangkaikan dalam puisi serta tidak pernah mampu menyentuh relung hati banyak orang Indonesia. Terbukti bukanya sikap solidaritas antar sesama yang ditumbuhkan, namun justru roh kerakusan yang kini kita saksikan. Setidaknya yang tersirat pada fenomena hadirnya beras mengandung klorin serta produk berpengawet lainya di masyarakat. Maraknya produk yang mengandung bahan berbahaya jangan-jangan merupakan alarm lahirnya dekade kerakusan yang tidak pernah kita impikan.
Perintah penarikan terhadap minuman yang terbukti mengandung pengawet ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Tahun 2001 dan 2002 telah banyak minuman berpengawet yang diperintahkan untuk ditarik dari peredaran, karena mengandung bahan yang membahayakan konsumen. Herannya, perusahaan-perusahaan tidak pernah kapok untuk meluncurkan produk-produk monuman berpengawet yang membahayakan masyarakat. Pastilah untungnya jauh lebih besar dari kerugian yang harus mereka tanggung, meski harus menarik semua produknya dari pasaran ketika tertangkap basah. Jangan heran banjir produk minuman berpengawet seakan tidak pernah sepi dari tahun ke tahun.
Produk berpengawet ini tidak hanya ada pada minuman yang bukan merupakan kebutuhan utama, tapi juga ada pada produk obat-obatan tradisional seperti jamu yang biasa dikonsumsi masyarakat. Produsen jamu di Cilacap tanpa merasa bersalah memperoduksi jamu oplosan dengan zat-zat yang berbahaya dan dijual secara bebas. Anehnya, setiap kali produk tersebut ditarik karena kedapatan mengoplos kandungan berbahaya, produk baru akan muncuk kembali dengan mengoplos barang yang sama dan semuanya memiliki ijin Depkes.
Masyarakat pengemar jamu kini harus berhati-hati dalam memilih merek jamu yang akan dikonsumsi. Yang tidak mau tau biasanya menyetop konsumsinya. Tetapi yang memiliki kantong tipis harus rela hidup dalam kekhawatiran sambil terus berusaha mendapatkan jamu bebas zat berbahaya, apalagi kalau kebiasaan minum jamu itu sudah menjadi warisan turun-temurun.
Masih hangat dalam ingatan kita ketika BPOM mengumumkan bahwa banyak makanan seperti tempe, tahu, baso, ikan asin, ikan basah yang beredar di pasar ternyata mengandung formalin sehingga penurunan omzet penjualan terjadi secara dratis. Muncul keluhan dari pedagang dan pengusaha, tapi tidak pernah diperkirakan oleh mereka bahwa pedagang itu juga telah ikut andil merusak kesehatan masyarakat. Jangankan mengungkapkan permintaan maaf untuk tindakan yang tidak disengaja, mereka yang jelas-jelas dengan sadar melakukan pun kalau mungkin berusaha berkelit sebisa mungkin untuk tidak terjerat hukum. Tampaknya roh kerakusan kapitalisme yang hanya peduli dengan untung besar mulai mengancam negeri ini.
Belum juga kekhawatiran kita hilang terhadap minuman berpengawet serta jamu dengan kandungan zat berbahaya, kini masyarakat dihebohkan dengan kandungan pemutih pakaian atau klorin pada beras yang dijual di pasar tradisional. Melonjaknya harga besar telah membuat rakyat kecil merana, tapi penderitaan tersebut kini ditambah denga kekhawatiran adanya zat berbahaya dalam kandungan beras yang tampak putih dan menarik untuk dikonsumsi, apalagi dengan harga yang cukup murah.
Racun rupanya makin ganas memangsa rakyat kecil, tapi anehnya pemerintah begitu lamban bertindak melindungi rakyat kecil dari serangan racun yang disebarkan oleh monster-monster yang mencintai rupiah. Inikah tanda lonceng kemenangan kapitalisme yang menjadi pionir lahirnya dekade kerakusan?
Tanggung Jawab Pemerintah
Keterbatasan informasi selalu menjadi alasan klasik ketika produk berbahaya dijual dengan bebas di pasaran tanpa ada tindakan dari pemerintah. Alasan itu jugalah yang kini untuk membenarkan kelemahan pemerintah dalam bertindak terhadap peredaran beras mengandung klorin yang kini menjadi buah bibir. Padahal pemerintah wajib menjamin keamanan pangan. Kemudahan berusaha memang diperlukan untuk mendorong lajunya pertumbuhan perekonomian Indonesia, tapi peran pemerintah dalam hal ini tidak boleh absen menjamin keamanan pangan.
Hadirnya produk berpengawet dan kini pada beras yang mengandung klorin, merupakan bukti kompetisi destruktif telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Realitas ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam hubungan bisnis atau kerja ternyata nilai-nilai etis makin menguap. Bahkan kalau boleh dikatakan tidak lagi menjadi bidang yang perlu diperhitungkan. Segala sesuatu diukur dengan jumlah uang yang mingkin untuk didapat. Karya hanya diukur dengan seberapa banyak hasil yang didapat diperoleh seseorang, tanpa peduli seberapa besar karya itu berdampak bagi orang lain. Kepuasan yang pada hakikatnya juga bisa didapat ketika sesorang membahagiakan orang lain menjadi tidak lagi populer.
Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala atas sesamanya) itulah roh kapitalisme yang diagung-agungkan dan terus mendorong pasar bebas serta meminimalkan peran pemerintah. Padahal pasar itu sendiri digerakkan oleh manusia-manusia egois dan ingin untung sendiri, lahirlah semboyan bar-bar: siapa kuat dialah yang bertahan. Itulah yang terbaca dalam persaingan dagang yang menghalalkan produk berpengawet serta beras mengandung klorin.
Suatu anomali telah terjadi, nafsu kerakusan kini dianggap baik karena memberikan motivasi yang tinggi untuk terus menjadi kaya, ini adalah bukti kemunculan dekade kerakusan. Realitas ini akan membuat yang miskin bertambah miskin dan yang kaya bertambah kaya. Tidaklah mengherankan setengah jumlah penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan tentunya juga tidak sehat, karena banyak produk murah yang mengandang racun. Itulah makanan si miskin. Herannya elit di parlemen masih sibuk saja mempersoalkan kenaikan gaji.
Sanksi Berat
Produk berpengawet mengandung racun tidak boleh lagi dianggap sebagai kesalahan produsen perusahaan untuk menepati perjanjian yang telah dtetapkan mengenai kandungan yang ada sesuai standar Departemen Kesehatan. Namun, dalam tindakan itu harus ada manifestasi dari nafsu keserakahan yang membahayakan. Perusahaan berusaha mengunakan modal kecil mungkin walau harus berdusta, sehingga dapat menjual produk semurah mungkin dan sebanyak mungkin. Demi memenagkan persaingan, tanpa peduli pada konsumen sebagai pihak yang dikorbankan. Ganjaran dari tindakan itu haruslah merupakan sanksi yang berat.
Secara rasional Immanuel Kant berpendapat, seorang yang telah melakukan tindakan yang banyak merugikan orang lain sama saja dengan membuka dirinya untuk menerima balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Sanksi ini tentunya bukan merupakan pembalasan dendam, tetapi sebagai upaya untuk menekan kompetisi destruktif yang membahayakan serta menjujung tinggi hukum yang berkeadilan yang akan melindungi rakyat banyak.
Mudah-mudahan kita tidak lagi dihantui oleh beras dengan klorin dan produk makanan dan minuman berpengawet, sehingga ornang miskin dapat memakan makanan sehat dan dapat memperbaiki kualitas hidupnya.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Pendidikan dan Kompetensi Nasional
Investor Daily, 21 September 2007
Binsar A. Hutabarat
Pendidikan merupakan faktor penting yang mampu mendongkrak kompetensi nasional (national competence) suatu bangsa. Indonesia yang kaya sumber alamnya takkan bisa berbuat banyak bila sebagian besar rakyatnya berpendidikan rendah.
Harapan agar mutu pendidikan secepatnya diperbaiki guna meningkatkan kompetensi nasional rupanya masih harus menunggu waktu lama lagi. Target anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 sebesar Rp. 700 triliun sebagaimana diamanatkan UUD 1945 sudah dipastikan tak bisa terpenuhi.
Tahun depan pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp. 48,72 triliun, yang berarti jauh dari target yang diamanatkan konstitusi. Dengan total APBN untuk tahun depan Rp. 700 triliun, alokasi anggaran pendidikan mestinya mencapai Rp. 140 triliun.
Sudah bisa dibayangkan bahwa dengan tersedianya anggaran yang terbatas, dunia pendidikan masih akan menghadapi persoalan yang sama yakni kesulitan mendongkrak mutu lulusannya. Pendidikan bukannya makin maju, malah mengalami kemunduran.
Memang ada usaha untuk membuka pintu investasi asing dalam bidang pendidikan, namun hal itu tidak mudah, berbagai kontroversi menyangkut masuknya modal asing dalam dunia pendidikan menunjukan hal itu. Tambahan pula, industrialisasi pendidikan yang makin transparan akhir-akhir ini dikhawatirkan akan lebih mempersempit ruang orang miskin untuk menikmati pendididikan yang layak.
Melihat realitas tersebut di atas, Indonesia barangkali perlu belajar dari Korea selatan. Negeri Ginseng yang merdeka belakangan dari Indonesia ini justru mencatat kemajuan ekonomi yang luar biasa. Korea selatan kini sudah masuk dalam jajaran negara maju, sedangkan Indonesia masih tetap terseok-seok.
Belajar dar Korea Selatan
Syngman Rhee, Presiden pertama Korea tidak membawa kemajuan berarti dalam perekonomian Korea karena banyaknya korupsi dari rezim lama. Dan oleh Suatu Coup yang dilakukan Mayor Jendral Park Chung hee, ia turun tahta dan melarikan diri ke Hawai. Income per capita Korea pada saat pemerintahan baru itu adalah US$ 72.-, Korea pada waktu itu tergolong negara miskin.
Park memiliki peran yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, dengan melakukan perombakan besar-besaran dalam kabinet dan ekonomi yang dikenal dengan First Five Years Economic Development Plan, yaitu mengembangkan Korea menjadi negara Industri, dengan didahului peningkatan pendidikan yang luar biasa.
Pada periode 5 tahun pertama pemerintahannya (1962- 1967), Park memfokuskan pada pembangunan pendidikan, Kesehatan dan infrastruktur. Park Chung Hee, melakukan pembangunan gedung-gedung sekolah serta pengadaan tenaga-tenaga guru yang handal. Pada masa kepemimpinananya, tak ada satu anak pun yang boleh tinggal dirumah. Pendidikan di Korea meningkat secara luar biasa baik dari segi jumlah maupun kualitas. Jika pada tahun 1962 Perbandingan ratio jumlah guru terhadap murid untuk primary school 1 : 54 ; tahun 1980 1 : 30, dan untuk secondary school tahun 1962, 1 : 34, tahun 1980 perbandingan yang ada menjadi 1:18. total biaya pendidikan sebesar 37% disubsidi oleh pemerintah.
Hal lain yang menarik adalah, perusahaan di Korea memberlakukan pembayaran gaji yang berbeda, bergantung pada pendidikan yang disandang, dan kenaikan gaji sangat tergantung pada produktivitas, senioritas dan profesionalisme pegawai, bukan “per kongkoan”. Itulah yang menyebabkan rakyat Korea mesti menerima pendidikan yang memadai sesuai dengan permintaan Industri yang ada.
Perusahaan Korea, Hyundai, Faywoo, Samsung, mengirim ribuan pekerjanya untuk mendapatkan pendidikan S2, S3 di Amerika dan Eropa. Bagi mereka, Investasi dalam bidang pendidikan adalah identik dengan meningkatkan kemampuan pekerja untuk dapat berinteraksi dengan cepat dan menyesuaikan dengan perubahan pekerjaan dan tekhnologi yang ada, itu sebabnya “national competence” Korea melejit jauh melampaui Indonesia.
Di Korea ada 26 public vocational training institutes, dan setiap tahun pekerja yang ditraining disana minimum mencapai 350,000 pekerja, kurang lebih 3% dari Labour force diseluruh Korea. Jadi pendidikan yang mempengaruhi Human Capital sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi, kultur dan masa depan negara. Korea mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perkembangan manusia dalam pendidikan mempunyai relasi yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika 26 October 1979, Park mati tertembak oleh Direktur KCIA Kim Jae-kyu, income percapita Korea telah meningkat secara luar biasa, sebesar US$. 2420 dari US$ 72.- pada tahun 1962.
Bagaimana dengan Indonesia
Menurut data UNDP hampir 55% dari laki-laki berumur 12 – 17 tahun di Indonesia hanya mengecap pendidikan sampai SMP, dan 30% hanya menikmati sampai dengan SD, itupun pada sekolah dengan mutu rendah. Jumlah guru dengan standar mutu competence, untuk Indonesia kira-kira tidak lebih dari 20%, selebihnya adalah tidak memadai untuk era globalisasi pada saat ini. Sertifikasi guru untuk mendongkrak kualitas guru itu tentunya akan terhambat dengan anggaran pendidikan yang makin kecil.
Tidak mengherankan, Korea yang minim natural resources dibanding Indonesia kini tergolong negara maju, karena pemerintah, swasta dan rakyat berjuang untuk menjadi negara industri dengan target eksport keseluruh dunia, kristalisasi merk electronik dan mobil, sehingga terjadi chaebol business yang benar-benar fokus kepada industri dengan competitiveness human development, sehingga Korea pada hari ini menjadi salah satu negara yang mempunyai stock human resources yang competitive secara mendunia. Tindakan luar biasa Korea Selatan untuk menjadi negara maju dengan mengadakan peningkatan luar biasa dalam bidang pendidikan mestinya patut dicontoh oleh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya yang berada dalam kondisi miskin, apalagi tingkat kemiskinan di Indonesia itu sejajar dengan tingkat pengangguran.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Penjara Berujung Kematian
Investor Daily, 18 April 2007
Binsar A. Hutabarat
Terkait kondisi penjara yang makin tak nyaman bagi para penghuninya, artis Roy Marten dalam suatu seminar antinarkoba berujar, sebaiknya pecandu narkoba jangan ditahan, melainkan dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi. Menurut Roy, di balik jeruji penjara ternyata para pengedar barang-barang haram tersebut tetap beroperasi. Akibatnya, pecandu narkoba tetap saja dapat mengonsumsi narkoba dan mereka tak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada benda terlarang itu.
Untuk mereka yang berkantung tebal dan hanya sedikit tekad untuk melepaskan diri dari keterikatan pada narkoba, penjara memang bukan tempat yang cocok. Tapi uang telah membuat mereka selalu bisa menikmati barang haram itu, meski berada di balik jeruji. Sedangkan bagi mereka yang tak punya uang, kemarahanlah yang mereka pendamkan, dan sikap diskriminatif itulah yang mereka terima. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang diharapkan menjadi tempat pembinaan para narapidana untuk kemudian bisa kembalik ke masyarakat, akhirnya benar-benar menjadi penjara bagi para penghuninya. Cukup banyak indikasi pelanggaran hak-hak manusia.
Tinginya nyawa yang melayang di balik jeruji besi adalah akibat praktik pembiaran yang kerap dilakukan di LP-LP. Pembiaran napi yang sakit dan kemudian mati merupakan bukti bahwa semangat balas dendam masih kental di LP. Ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi.
Bentham, seorang penganut teori hukum utilitas, mengingatkan, “Jikalau memang terpaksa harus diterima, hukuman itu harus diterima sejauh menjanjikan pengecualian dari kejahatan yang lebih besar”. Hukuman dapat dibenarkan hanya kalau menghasilkan akibat-akibat baik. Membiarkan napi mati dalam penjara karena sakit yang diderita atau karena kondisi tahanan yang buruk jelas suatu perbuatan melawan hukum. Apakah akibat baik dari membiarkan napi mati dengan sakit yang dideritanya tanpa memberi pertolongan yang memadai? Tentu saja tidak ada keuntungan sedikit pun bagi narapidana.
Dari sudut pandang retribusi, pembiaran yang menyebabkan kematian napi juga tidak dapat dibenarkan. Dalam The Chritique of Practical Reason (1788) Kant menulis,”Jikalau seseorang yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai akhirnya menerima cambukan secukupnya, setiap orang menyetujuinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, meski selanjutnya tak sesuatu pun dihasilkan darinya.”
Hukuman bisa saja diberikan setimpal dengan pelanggaran seseorang, tapi ia tetap berusaha untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Membiarkan napi tentu saja menyalahi hukum retributif karena di sana terbaca adanya penambahan hukuman, yaitu menghukum manusia dalam kondisi yang bukan manusia (inhuman).
Gotong Royong
Rumah tahanan yang kini disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan seharusnya menjadi tempat di mana di sana ada kasih dan persahabatan. Hanya dengan demikian narapidana dapat disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar, dan dari sana pula mereka bisa merajut kehidupan bersama yang lebih baik di tengah masyarakat.
Wajah garang para penjaga penjara mestinya tak perlu dipamerkan di sana. Hanya ada kasih dan persahabatan di lembaga permasyarakatan. Tapi kita semua tahu, bahwa rumah tahanan kini menjadi amat menakutkan. Lantas, mengapa istilah lembaga pemasyarakatan tetap saja digunakan?
Kalau dana yang menjadi alasan sehingga banyak program pemasyarakatan tidak berjalan, mengapa kemudian narapidana diperas secara amat tidak manusiawi? Negeri ini memiliki banyak orang-orang filantrop yang bersedia membantu. Bahkan kalau mau jujur, banyak penjara di Indonesia mendapat kunjungan kaum filantrop. Kalau saja ada transparansi, LP tidak perlu kekurangan dana atau ketiadaan tenaga medis. Rakyat di negeri ini sudah terbiasa hidup bergotong royong dan suka membantu.
Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa seseorang bisa dilihat dari bagaimana sikapnya terhadap orang yang memusuhinya. Jauh dari sikap membalas dendam apalagi berniat membinasakan musuh adalah suatu sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa seseorang. Perbuatan jahat dipahami sebagai pelarian manusia dari kodrat dirinya yang merugikan pelaku itu sendiri, karena itu pembalasan dendam tidak diperlukan, karena si pembuat kejahatan pada hakikatnya berada dalam posisi yang sedang memerlukan pertolongan.
Pada kesadaran itu kemudian muncul pemahaman bahwa setiap orang perlu mendapat kesempatan untuk dapat berubah, memperbaiki diri, untuk kembali pada harkatnya yang semula. Kesempatan untuk berubah itu diakui menjadi kebutuhan semua manusia yang tidak pernah bebas dari salah. Pemberian kesempatan untuk berubah meniscayakan pemberian maaf pada pelaku kejahatan. Pada titik ini terlihat bahwa sikap memaafkan musuh memerlukan jiwa besar yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan diri untuk memahami keterbatasan orang lain.
Kesadaran untuk memaafkan itu tidak berarti menafikan disiplin atau sanksi yang diperlukan untuk mengembalikan sang tersesat pada jalan yang benar. Tanpa sanksi, kesalahan bisa dianggap sebagai bukan kesalahan, namun pemberian sanksi harus didasarkan pada usaha untuk mengembalikan sang pelanggar hukum pada jalan yang benar. Luther mengibaratkan, “Di ujung tongkat harus ada buah apel.”
Dilema Hukuman
Menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan seseorang adalah tidak mudah. Tidak jarang pelaku kejahatan berat mendapat hukuman ringan sedangkan pelaku pelanggaran ringan mendapatkan hukuman berat. Ini umumnya terkait interpretasi hakim dan kemampuan pelaku menjelaskan fakta yang terjadi.
Dilema ini kerap muncul di penjara. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan sering tergoda untuk menjadi “hakim” di institusi yang menjadi binaannya. Mengapa hal itu terjadi? Bukankah vonis telah dijatuhkan di lembaga pengadilan, sedangkan penjara tinggal melaksanakan apa yang diputuskan pengadilan?
Tugas utama lembaga pemasyarakatan adalah mengembalikan napi pada masyarakat, bukan menambahkan hukuman pada napi. Mengeksploitasi napi jelas bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan moralitas.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Berita Harus Menunjuk pada Fakta
Suara Pembaruan, 4 Januari 2007
Binsar A. Hutabarat
Berita seharusnya menunjuk pada fakta, lazimnya kita sebut sebagai berita benar, tapi ternyata tidak selalu demikian. Berita tidak jarang terpisah jauh dari fakta, berita seringkali juga tidak mampu menunjuk pada fakta, kita menamakannya berita bohong, meski penyampai berita adalah orang yang dipercaya atau memiliki kompetensi untuk menyampaikan berita benar.
Mengucapkan berita tanpa mampu menunjuk pada fakta jauh lebih mudah dibandingkan menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengerti, sehingga ada banyak berita tidak mampu menunjuk pada fakta. Parahnya, akibat buruk yang dihasilkan sering kali tak pernah terpikirkan.
Berita tanpa fakta yang begitu mudah terucap biasanya berdampak buruk bagi orang yang membutuhkan berita itu, realitas ini terbaca dalam peristiwa hilangnya pesawat Adam Air, pada penerbangan ke Manado dari Surabaya 1 Januari lalu, dan diberitakan Jatuh di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Berawal dari pengumumam Komandan Pangkalan Udara Marsekal Pertama Eddy Suyanto yang mengatakan bahwa bangkai pesawat Adam Air telah ditemukan di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Poliwali Mandar, pukul 08.15 WIB.
Media elektronik dan surat kabar tanpa ragu menyebarluaskannya, apalagi berita itu dikonfirmasikan oleh pernyataan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa pukul 09.15 WIB tentang telah ditemukannya pesawat tersebut dengan 90 korban tewas dan 12 orang selamat. Berita itu menimbulkan harapan bagi keluarga penumpang.
Mereka berharap salah satu dari 12 orang yang selamat itu adalah keluarga mereka. Tidak heran, seorang istri yang sedang hamil tujuh bulan berusaha ke Makassar dengan harapan dapat menjumpai suaminya yang termasuk salah seorang dari 12 penumpang yang selamat.
Pukul 12.45 WIB, Marsekal Eddy Suyanto kembali menegaskan penemuan pesawat Adam Air dengan sedikit perubahan namun sangat penting bahwa 12 orang yang dinyatakan selamat belum ditemukan, masih dicari, tetapi 90 korban meninggal telah ditemukan.
Berita ini mengecilkan harapan keluarga korban, karena 12 orang yang diberitakan selamat, ternyata belum ditemukan, bisa jadi nasibnya akan sama dengan 90 korban lainnya.
Pukul 17.26 WIB, rombongan wartawan yang sudah berjalan 30 kilometer dari Desa Rangoan, menemukan fakta bahwa warga setempat belum melihat satupun jenazah korban Adam Air. Tetapi pukul 18.00 WIB, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tetap menyatakan laporan tentang adanya korban tewas 90 orang, meskipun tim SAR tidak bisa bergerak karena hujan.
Herannya, walaupun tim SAR belum tiba pada lokasi reruntuhan pesawat, aparat yang berwenang, dalam hal ini KNKT, begitu bernafsu untuk memberitakan berita yang tidak terkait dengan fakta.
Pukul 18.50 WIB, Adam Air menggelar jumpa pers dan menyatakan bahwa 90 orang tewas dan 12 selamat adalah informasi yang bersumber dari masyarakat. Padahal masyarakat yang mana masih menjadi misteri, karena sumber utama yang dianggap sebagai pembawa berita menampiknya.
Di sini tampak bahwa orang-orang yang dipercaya sebagai pembawa berita benar, masih belum mampu memahami pentingnya berita yang harus disampaikan.
Alasan desakan keluarga sebagai pembenaran penyampaian berita tanpa fakta, tentu saja tidak dapat dibenarkan.
Pukul 19.00 WIB, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menggelar jumpa pers untuk mengoreksi berita bohong. Kabar palsu itu tersebar dari masyarakat ke kantor Kepolisian Resor Polewali Mandar, diteruskan ke kantor Kepolisian Wilayah Pare-pare, lantas ke Kepolisian Daerah Sulawesi Barat dan Panglima Kodam hingga ke tangan Menteri.
Melihat alur berita yang masuk ke tangan Menteri dan kemudian diberitakan kepada masyarakat tidaklah beralasan jika berita bohong itu semata-mata ditimpakan pada masyarakat pembawa berita pertama, sedang pembawa berita pertama pun tidak mampu diketahui secara tepat.
Antara Kata dan Fakta
Di sini tampak bahwa orang-orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat sebagai pembawa berita benar, masih jauh dari kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diembannya.
Filsafat bahasa mengajarkan kepada kita, bahwa kata (bahasa) bukanlah fakta. Kata hanya menunjuk pada fakta, dan kata bukan fakta, sehingga kata akan kehilangan nilainya ketika ia tidak mampu menunjuk pada fakta.
Namun, kata yang tidak menunjuk pada fakta tidak akan kehilangan otoritasnya, kata tetap berkuasa membawa pendengarnya pada apa yang diperkatakan. Kata yang memiliki otoritas akan sangat berbahaya ketika kata tidak mampu menunjuk pada fakta, bukan saja kata menjadi tidak bernilai, tetapi berdampak pada individu yang menjadi pendengar.
Kata menjadi menyesatkan pendengar dan melahirkan tindakan-tindakan yang tidak produktif bahkan menghancurkan pendengar yang menjadi penurut berita, itulah yang sering kali dilupakan.
Kemudahan mengucapkan kata (berita) sering kali dianggap tidak berakibat fatal. Padahal setiap berita (kata) yang terucap entah ia menunjuk pada fakta atau tidak, tetap tidak kehilangan otoritasnya.
Artinya, berita (kata) memiliki otoritas membawa pendengar pada apa yang benar atau penyesat, apalagi ketika sang pemberita mendapatkan kepercayaan masyarakat, otoritas makin kuat menyertai berita, akibatnya semua berita akan ditelan mentah-mentah oleh pendengar.
Kenyataan ini sangat merugikan pendengar, karena itu pihak yang memiliki otoritas harus lebih berhati-hati untuk menyampaikan berita.
Harapan keluarga penumpang pesawat Adam Air menemukan anggota keluarganya sebagai bagian dari 12 orang yang selamat, tentu saja akan membuat mereka berjuang keras dengan segala upaya untuk segera menemukannya, jika mungkin segera menuju lokasi ditemukannya jatuhnya pesawat.
Namun mimpi bertemu dengan keluarga walau harus mengorbankan segalanya menjadi tidak bermakna ketika berita yang didengar tidak menunjuk pada fakta, karena ketika mereka menuju lokasi yang diberitakan, ternyata mereka tidak menemukan apa yang dimimpikan.
Ini adalah penderitaan baru yang tidak harus ditanggung jika pembawa berita bertanggung jawab menyeleksi berita yang harus disampaikan.
Berita bohong yang menyesatkan masyarakat Indonesia tidak akan terdengar jika kita memahami bahwa kata (berita) memiliki otoritas.
Menyalahkan pembawa berita pertama boleh saja, tetapi menerima berita tersebut bulat-bulat tanpa mencari fakta adalah kesalahan lain, dan tidak bisa dianggap kecil, apalagi berita itu telah menjadi makanan masyarakat pada skala nasional.
Pejabat berwenang tidak hanya perlu meminta maaf, tetapi harus menyadari bahwa tugas menyampaikan berita benar adalah sangat penting, sehingga peritiwa pendustaan pada skala nasional ini tidak terulang kembali.
Memang tugas untuk menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta tidaklah mudah, sang pemberita harus berjerih lelah menjumpai fakta yang ditunjuk oleh kata atau berita, setidaknya memastikan ada perjumpaan dengan fakta barulah ada berita yang disampaikan.
Pekerjaan berat ini akan menjadi kebahagiaan seandainya kita tahu bahwa pendengar berita akan sangat diuntungkan dengan berita benar.
Apalagi di tengah-tengah dunia yang gemar menyampaikan berita bohong untuk membinasakan sesamanya, yang terbaca pada banyaknya pertentangan, kerusuhan, penganiayaan, pembunuhan, berdasarkan berita tanpa fakta.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Kemerdekaan adalah Jembatan Emas
Suara Pembaruan, 8 Agustus 2006
Binsar A. Hutabarat
Kemerdekaan adalah jembatan emas. Artinya, kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan. Kemerdekaan bagi Indonesia seharusnya menjadi awal bagi perjuangan untuk memerdekakan rakyat Indonesia.
Tepat pada tanggal 17 Agustus 2006, Indonesia genap berusia 61 tahun. Kemeriahan perayaan HUT RI kali ini sudah mulai terasa. Penjual-penjual bendera merah putih dengan segala asesorisnya sudah mulai tampak memamerkan dagangannya. Demikian juga dengan pertandingan-pertandingan olahraga, yang biasa digelar untuk memeriahkan hari yang sakral tersebut, juga sudah mulai terlihat.
Mensyukuri kemerdekaan yang telah kita raih merupakan sesuatu yang patut dilakukan, namun melakukan instrospeksi untuk melihat sejauh mana cita-cita kemerdekaan telah kita capai, tidak boleh diabaikan. Karena kemerdekaan adalah jembatan emas untuk memerdekakan rakyat Indonesia dari keterbelakangan.
Wajah Buram Indonesia
Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia misalnya, Indonesia jauh tertinggal. Memang Indonesia berhasil mengukir prestasi indah dalam olimpiade sains dan fisika belum lama ini. Namun itu hanya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar.
Potensi itu belum diberdayakan secara maksimal. Buktinya, walaupun salah seorang peraih medali olimpiade tersebut berasal dari Papua, sampai saat ini tribalisme yang mengarah kepada barbarisme masih terlihat nyata di kawasan paling timur negera kita itu. Perang suku di Mimika, yang masih berlangsung hingga saat ini dan telah menelan korban 12 orang meninggal dan dua ratusan orang terluka, melukiskan wajah Papua yang buram. Dan jika pada awalnya orang Malaysia banyak yang belajar di Indonesia, sekarang orang Indonesia lebih getol belajar di Malaysia atau Singapura.
Wajah buram Indonesia tidak hanya dapat dibaca di Papua, tetapi juga pada daerah-daerah lain. Perang antarsuku bukan hanya terjadi di Papua, tetapi juga di Kalimantan, dan daerah lain. Orang Madura diusir dari Kalimantan, orang Jawa diusir dari Aceh. Belum lagi pengkaplingan dan penutupan daerah berdasarkan sentimen agama, seperti di Halma-hera dan Ambon yang dikapling-kapling berdasarkan agama. Hal yang sama juga terjadi di Poso, bahkan di Bekasi yang sudah cukup maju pun masih ada klaim pengkaplingan daerah berdasarkan agama.
Wajah buram Indonesia juga dapat dibaca jelas lewat banyaknya pengangguran dan orang miskin. Bicara tentang kemiskinan dan pengangguran, Indonesia jauh lebih miskin dibanding Malaysia dan Singapura. Sekitar 64 juta rakyat Indonesia hidup miskin di penghujung akhir tahun 2005. Artinya, hampir seperempat penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Awal tahun 2006 pengangguran diperkirakan mencapai sekitar 10 juta orang, belum lagi ditambah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi tahun ini.
Keterpurukan Indonesia saat ini menjadi lengkap akibat bencana yang tidak mengenal belas kasihan, baik di Aceh, Nias, Yogyakarta dan Jawa Tengah, Pangandaran, dan lain-lain. Jumlah orang miskin, pengangguran, bertambah terus. Penyakit dan kejahatan merajalela. Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia sudah mulai dijauhi turis mancanegara karena dinilai kurang aman.
Belum adanya sistem penanggulangan bencana yang baik, bencana beruntun kali ini menyebabkan tingkat kemiskinan melambung tinggi. Padahal, sebagai negeri yang berada di kawasan rawan bencana, sistem penanggulangan bencana mestinya terus mengalami perbaikan.
Dalam kondisi seperti ini, masihkah mereka yang menderita tersebut bisa bersyukur atas kemerdekaan yang kita alami? Tidak sedikit orang Indonesia yang lebih memilih berganti kewarganegaraan daripada harus bergulat bersama mengatasi krisis yang terjadi. Undang Undang Kewarganegaraan yang baru diberlakukan, tentu merupakan angin segar khususnya bagi WNI keturunan yang sering diperlakukan diskriminatif. UU ini mungkin sedikit melegakan, tapi tidak cukup kuat untuk menahan lunturnya nasionalisme yang telah mengalami kebangkrutan. Itulah wajah buram Indonesia saat ini yang bisa memungkinkan kita mengikuti jejak negara Uni Soviet Rusia yang terpecah.
Makna Kemerdekaan
Mengenai makna kemerdekaan, Soekarno secara tegas menjelaskan demikian, "Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis risalah yang bernama 'Mencapai Indonesia merdeka'. Maka didalam risalah tahun'33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, polietieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat."
Soekarno menjelaskan bahwa Indonesia harus siap merdeka. Indonesia tidak perlu menunggu segalanya menjadi baik, baru memberanikan diri untuk merdeka, lepas dari penjajah. Menurut Soekarno, mengutip perkataan Armstrong, Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka hanya satu malam. Sebanyak 80 persen rakyatnya pada waktu itu masih nomad, bahkan mereka tidak tahu bahwa mobil harus menggunakan bensin, sehingga rakyatnya pernah memberikan gandum pada mobil Ibn Saud. Setelah proklamasi kemerdekaan barulah Ibn Saud membangun rakyatnya. Jadi kemerdekaan adalah jembatan emas. Di dalam Indonesia merdeka itulah baru kita memerdekakan rakyat kita (lihat pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945)
Pemahaman Soekarno mengenai makna kemerdekaan harus menjadi dasar bagi instrospeksi sebagai bangsa. Benarkah kita sudah berjuang untuk memerdekakan rakyat Indonesia? Benarkah kita mengakui bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas sebagai peluang emas untuk membangun masyarakat adil dan makmur yang kita rindukan?
Wajah buram Indonesia Indonesia akan segera menjadi cemerlang jika kita mengakui kemerdekaan adalah jembatan emas. Keputusan untuk bersama-sama menyeberangi jembatan emas adalah keputusan bersama. Indonesia bukan hanya satu secara politik dalam ikrar kemerdekaan, tetapi harus menjadi masyarakat Pancasila yang satu.
Artinya kita tidak boleh lagi berdebat mengenai kesatuan Indonesia yang kita ikrarkan, sebaliknya kita harus terus menjaga kesatuan dalam seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangan setiap orang Indonesia adalah perjuangan untuk semua, dan perjuangan Indonesia (semua) untuk satu. Dalam Indonesia merdeka semua individu memiliki hak untuk mengalami kemerdekaan dan dimerdekakan. Jika ini terjadi, maka semua orang Indonesia pasti akan meneteskan air mata mengenang perjuangan para pahlawan yang tanpa pamrih, rasa kebangsaan kita makin kokoh, kejayaan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu saja. Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya.
Sejarah Indonesia melaporkan, perang sesama rakyat Indonesia telah terjadi menjelang pengakuan kedaulatan. Keberhasilan pemerintah memadamkan pemberontakan juga tidak menghentikan pertikaian dalam bentuk lain. Munculnya komunalisme suku, budaya dan agama yang nyata dalam kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, misalnya perang antarsuku, merupakan bukti bahwa kita sering lupa bahwa waktu menyeberangi jembatan emas itu kita harus melakukannya bersama-sama, bahkan saling berpegangan erat.
Telah terbukti para pendahulu kita berjuang bersama dalam perang-perang gerilya mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa tersebut terjadi ketika menyeberangi jembatan emas. Seandainya kita selalu mengingat semangat kebersamaan para pendahulu kita pada waktu menyeberangi jembatan emas itu, kita pasti berbeda dengan kondisi sekarang. Waktu masih panjang, kita belum terlambat. Mudah-mudahan peringatan hari kemerdekaan ini membuat kita tidak lagi lupa dengan kenangan melewati jembatan emas kemerdekaan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
Copyright © 2010. All rights reserved.
Developed by Proweb Indonesia
Kasus Korupsi Semarakkan HUT Kemerdekaan
Perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-66 sekarang ini terasa ironis karena itu terjadi di tengah terkuaknya sejumlah elite yang korup, sedang di sisi lain masyarakat masih banyak yang didera kesulitan hidup. Perayaan kemerdekaan kali ini juga diwarnai tawuran pelajar, tawuran antar kelompok masyarakat, serta kecemasan mengenai masa depan negeri ini.
Transparency International memberikan skors indeks persepsi korupsi 2,0 untuk Indonesia pada tahun 2004, dan membaik menjadi 2,8 pada 2010. Menurut Todung Mulya Lubis kenaikan indeks korupsi yang kecil yang terjadi dalam beberapa tahun itu membuktikan bahwa, Indonesia sangat lambat dalam memberantas korupsi. Menurut Todung, indeks korupsi Indonesia pada tahun ini akan turun karena begitu banyak kasus korupsi yang diungkapkan di media.
Di depan sidang bersama Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan rakyat yang dihadiri tokoh masyarakat (16/8), Presisden Susilo bambang Yudoyono mengungkapkan, Lembaga-lembaga anti korupsi seperti komisi pemberantasan Korupsi, pengadilan tindak pidana korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, harus terus diperkuat dan didukung efektivitas kerjanya.
Presiden juga mengakui bahwa efektivitas pemberantasan korupsi masih harus ditingkatkan, regulasi anti korupsi perlu terus disempurnakan. Upaya untuk melemahkan KPK harus dicegah. Semua upaya tersebut jelas membutuhkan keterlibatan seluruh komponen bangsa ini. Negeri ni sekarang sedang dijajah atau dibajak oleh elite politik yang korup, yang bukan mustahil jika dibiarkan akan membuat Indonesia menjadi negara gagal.
Ironisnya, meski di negeri ini korupsi tergolong dalam kejahatan luarbiasa, dan pemberantasannya menjadi bagian dalam perjuangan reformasi, dan perjuangan pemberantasan korupsi itu juga telah melewati satu dekade reformasi, hasilnya tetap belum menggembirakan, bahkan Indonesia kini sedang memasuki masa paling kelam dalam pemberantasan korupsi, bukan hanya karena benturan yang terjadi antar lembaga pemberantasan korupsi yang kerap terjadi, tetapi juga karena makin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga anti korupsi, khususnya terhadap KPK yang sampai mengalami ancaman pembubaran.
Apabila sebelum kemerdekaan, rakyat Indonesia bersatu untuk terbebas dari penjajahan kolonial Belanda, maka setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, perjuangan seluruh rakyat Indonesia adalah untuk terjaminnya persatuan dan kesatuan negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik. Saat ini rakyat Indonesia harus bersatu padu untuk membebaskan bangsa, negara dan rakyat dari cengkeraman elite yang korup yang menjadi penjajah baru negeri ini.
Nasionalisme elit
Reinhold Niebuhr berkomentar bahwa kemauan untuk berkuasa (will to power), yang tidak hanya puas pada kemauan untuk hidup (will-to live) berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Bagi Niebuhr kemauan untuk hidup merupakan sumber kreativitas manusia, sedang kemauan untuk berkuasa sifatnya destruktif. Baik yang kreatif maupun destruktif itu sama-sama hadir dalam kehidupan manusia, dan yang destruktif itu harus diminimalkan, sedang yang kreatif harus terus dikobarkan.
Sayangnya, keinginan untuk berkuasa (sifat destruktif) itulah yang terus menerus dikobarkan oleh para elite negeri ini, akibatnya kemauan untuk hidup bersama diabaikan, ini mengindikasikan bahwa nasionalisme elite di negeri ini kian luntur. Terbukti, sebagian dari mereka memegang jabatan eksekutif, legislatif atau yudikatif tidak untuk memperjuangkan agenda kemajuan bangsa dalam hidup bersama, tetapi demi mengeruk keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok. Degradasi nasionalisme elite mengakibatkan korupsi merajalela. Kehidupan bersama di negeri ini pun mengalami ancaman
Epictetus dan Seneca jauh-jauh hari telah mengingatkan, bahwa kebutuhan itu elastis sehingga bisa berkembang jika kaidah moral tidak merintanginya., itulah yang diabaikan para elite. Kemauan berkuasa yang didukung oleh kebutuhan dalam diri seseorang dengan menafikan moralitas ketika bertemu akan menyuburkan korupsi dan kejahatan, yang kemudian menghadirkan kekuasaan sebagai sesuatu yang menakutkan. Namun, apabila nasionalisme elite terjaga dengan baik, itu akan menghindarkan mereka untuk dikuasai nafsu keserakahan dengan mengabaikan tugas pembangunan bangsa.
Paul Marshall benar bahwa, Pemerintah-pemerintah bukan dipanggil untuk menjadi penguasa mutlak, namun untuk menjadi hamba. Mereka tidak dipanggil untuk menjadi kekuatan-kekuatan yang egosentrik, namun sebaliknya harus menjadi hamba yang melayani, demi kebaikan seluruh rakyat. Sebagaimana di ingatkan oleh Paul Quentin Hirst, “Kedaulatan adalah konsep cacat” jadi, kedaulatan tidak boleh ada pada lembaga, eksekutif, legislatif, maupun Yudikatif.
Elite yang merasa berdaulat harus mencamkan kebenaran ini. “Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai panggilan (calling) untuk melayani.” Elite yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuan. Nasionalisme elite dalam hal ini menjadi taruhannya.
Merdeka dari Korupsi
Kekuasaan hanya patut untuk menegakkan keadilan, dan kekuasaan yang berasal dari rakyat dan milik rakyat itu hanya bisa lestari jika kekuasaan itu dipergunakan untuk seadil-adilnya bagi kepentingan rakyat. Kekuasaan pemerintah adalah untuk memerdekakan rakyat dari belenggu kemiskinan dengan jalan membebaskan negeri ini dari belenggu elite yang korup.
Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia memang harus berjuang untuk memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Itulah yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur. Amanat konstitusi tersebut tak mungkin terlaksana jika negeri ini terus dijajah elite yang korup.
Di negeri ini, masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, bahkan banyak yang tak mampu berobat ke rumah sakit karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Untuk membeli beras saja rakyat banyak yang tak mampu, busung lapar masih menjadi momok, bukan hanya pada daerah pedesaan, tapi juga di kota-kota besar sekalipun, belum lagi dengan semakin melangitnya biaya pendidikan. Rakyat banyak yang kepayahan untuk hidup sederhana sekalipun. Karena itu elite yang membiarkan rakyat terus hidup dalam kemiskinan, dan sebaliknya, mereka terus berburu untuk mendapatkan fasilitas mewah adalah suatu langkah yang salah, dan itu juga berarti mereka telah berlaku tidak adil terhadap rakyat dan bangsa ini, yaitu memanfaatkan jabatan publik bagi pemuasan syahwat mereka. Seluruh rakyat Indonesia harus bersatu melawan penjajahan elite yang korup dan memerdekakan rakyat dari kemisikinan.
Jabatan publik adalah mulia, apabila itu didedikasikan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tugas untuk memerdekakan rakyat dari kemiskinan adalah suatu tugas mulia, sebaliknya menggadaikan kemerdekaan pada para koruptor adalah sebuah penghianatan kepada rakyat , dan itu tak akan terjadi jika nasionalisme dikalangan elite tidak terdegradasikan.
Binsar A. Hutabarat
Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society (RCRS)
Merdeka dari kemiskinan
Apapun standar atau ukuran yang dipakai, jumlah orang miskin di Indonesia masih tetap banyak dan tingkat kesejahteraan pun masih jauh dari makmur. Tak ada resep instan kecuali semua anak-anak bangsa ini harus bersatu padu berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya.
Bank dunia membuat garis kemiskinan absolut US$ 1 dan US$ 2 PPP (Purchasing in power parity/ paritas daya beli) perhari. Sementara itu, garis kemiskinan versi BPS (Badan Pusat Statistik) berdasarkan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.
BPS hanya membuat tolok ukur yang minimal. Karena itu kalau kategori miskin dinaikkan menjadi orang yang berpenghasilan US$ 1 per hari, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 25-30 %, dan jika menggunakan standar bank dunia, 50 % penduduk Indonesia tergolong miskin.
Pada peringatan Kemerdekaan Indonesia tahun ini, kita sepantasnya kembali menanmkan tekad bagaimana pemerintah dan rakyat harus dapat bersama-sama mampu menjawab tantangan kemiskinan yang ada saat ini. Pemerintah harus berhenti mencari pembenaran untuk melarikan diri dari tanggung jawab tersebut.
Mandat Konstitusi
Pasal 34 UUD 1945. Konstitusi juga menetapkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur. Bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar nya bagi kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian jelaslah, konstitusi negeri ini memberikan mandat kepada pemerintah mengusahakan kesejahteraan rakyat Indonesia, dan membawa rakyat Indonesia pada kehidupan yang adil dan makmur sebagaimana cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pemerintah yang membiarkan rakyatnya terus hidup dalam kemiskinan adalah bersalah dan berlaku tidak adil. Setiap orang di negeri ini berhak untuk merdeka dari kemiskinan.
Karena itu pemerintah harus memiliki keberpihakan pada mereka yang miskin. Karena memperlakukan orang kaya dan orang miskin secara sama adalah tidak adil, karena orang miskin dan orang kaya adalah berbeda dan mesti diperlakukan secara berbeda. Apabila pemerintah memperlakukan orang miskin sama dengan orang kaya, maka itu akan membuat orang miskin terus menerus menjadi korban, orang miskin tidak mungkin mampu berkompetisi dengan mereka yang kaya.
Tindakan memperlakukan orang miskin berbeda dengan mereka yang kaya sesungguhnya bukanlah tidak adil, karena keadilan berarti memperlakukan yang berbeda secara berbeda, dan memperlakukan yang sama secara sama.
Jadi, pemberian fasilitas khusus pada mereka yang miskin untuk dapat hidup dengan baik, berupa pemberian jaminan kesehatan, pendidikan, kebutuhan dasar untuk hidup dll bukanlah sebuah ketidak adilan, tetapi sebaliknya justru merupakan keadilan. Program reforma agraria yang sangat menolong petani-petani tanpa tanah garapan adalah tepat.
Solidaritas nasional
Keadilan meminjam istilah John Rawls sesungguhnya menyangkut sebuah sikap hati, sebuah keutamaan dalam diri seseorang, ini hanya mungkin terwujud apabila ada solidaritas terhadap sesama. Perasaan solidaritas ini memungkinkan seseorang peduli terhadap sesamanya yang tidak beruntung, miskin, dan menderita. Rasa solidaritas inilah yang memungkinkan rakyat Indonesia bahu-membahu melawan penjajah, dan ini menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengusir penjajah.
Sikap adil pada puncaknya sesungguhnya adalah terkait sebuah kebaikan hati, apabila sikap ini terus bertumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan akan menjadi perjuangan bersama seluruh masyarakat Indonesia.
Kebaikan hati akan membuat mereka yang beruntung mau menolong mereka yang berada dalam kemiskinan dan penderitaan, pada kondisi ini tidak akan ada individu yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Kebaikan hati ini sesungguhnya menjadi puncak kemanusiaan, sebuah nilai tertinggi dari kemanusiaan, kualitas puncak dari kemanusiaan.
Dengan demikian jelaslah, sebuah bangsa harus bersatu padu berjuang untuk mensejahterakan bangsa tersebut. Komandan utama dari tugas ini adalah pemerintah yang berkuasa. Ini menjadi mandat konstitusi Indonesia. Hadirnya pemerintahan yang profesional melecutkan semangat baru untuk membangun bangsa. Lihat saja Korea Selatan, Taiwan dan Singapura yang pada akhir perang dunia II masih menjadi negara tak punya apa-apa toh kini masuk dalam deretan negara maju.
Apabila pemerintah yang profesional itu berusaha melakukan yang terbaik bagi rakyat, maka dukungan dari rakyat akan mengalir deras. Kebersamaan yang yang terjalin erat antara pemerintah dan rakyat itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam pembangunan ekonomi sebuah negara.
Solidaritas yang kuat, yang tercermin lewat kebaikan hati rakyat Indonesia terhadap sesama warga bangsa pada masa perang merebut kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terkenal dengan semangat gotong royongnya mestinya kembali digelorakan dalam perjuangan mengentaskan kemiskinan, untuk memerdekakan semua rakyat Indonesia dari kemiskinan, ini adalah nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang amat penting bagi perjuangan memerdekakan orang Indonesia yang hidup dalam penjajahan kemiskinan, dan bukan untuk menyingkirkan orang Indonesia yang miskin.
Karena itu pembangunan ekonomi Indonesia mestinya menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dan utamanya pada mereka yang tergolong miskin. Pemerintah harus memenuhi amanat konstitusi membawa masyarakat Indonesia yang merdeka pada keadilan ekonomi untuk memberikan kemakmuran pada seluruh rakyat Indonesia.
Ini menjadi perjuangan semua rakyat Indonesia, mengutip kata-kata Sukarno, founding father, “Indonesia adalah negara semua buat semua, semua buat satu, satu untuk semua.”
Binsar A. Hutabarat
Peneliti Reformed Center for Religion and Socity (RCRS)
Gerakan Nasional Pendidikan Karakter
Tema hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah ”Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Nasional.”Pada peringatan hardiknas tersebut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh juga menetapkan bahwa pendidikan karakter akan semakin dikuatkan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi, dan implementasi ketetapan tersebut akan dimulai sejak tahun ajaran baru 2011/2012, yang dimulai Agustus nanti.
Pendidikan karakter tersebut akan dimasukkan ke setiap mata pelajaran dan kegiatan sekolah ekstrakurikuler, dan tidak lagi terfragmentasi dalam bentuk pelajaran khusus sekolah. Rencana tersebut, menurut Nuh, sudah disiapkan sejak 2010, jadi bukan karena sedang maraknya paham radikal di sekolah dan kampus yang memunculkan tindakan terorisme, meski ia juga mengakui bahwa itu merupakan salah satu cara untuk mencegah penyebaran pemikiran radikalisme yang kini mejadi momok bagi negeri ini, karena pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar terhadap perkembangan aktual, yakni munculnya perilaku destruktif, anarkistis dan radikal.
Gerakan nasional pendidikan karakter tentu saja penting bagi lahirnya kader-kader bangsa yang berkualitas, tapi itu tidak boleh mengabaikan kebutuhan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan serta kualitas guru. Gerakan pendidikan karakter yang dicanangkan Nuh bisa dikatakan meneguhkan bahwa bangsa ini sedang mengalami kemerosotan karakter yang amat memperihatinkan, dan karena itu gerakan tersebut patut didukung oleh semua elemen bangsa ini demi kelangsungan negara yang kita cintai ini.
Keutamaan pendidikan karakter
Kejatuhan politik sebagaimana terjadi pada lengsernya penguasa orde baru, hanya mengakibatkan Indonesia sesaat kehilangan penguasa, demikian juga kejatuhan ekonomi, hanya mengakibatkan keterpurukan ekonomi sesaat, namun apabila sebuah bangsa mengalami kejatuhan karakter maka bangsa itu akan kehilangan segala-galanya. Pengabaian pembangunan karakter akan mengakibatkan Indonesia menjadi negara gagal.
Pendidikan karakter sesungguhnya sebuah keniscayaan bagi anak didik, tanpa pendidikan karakter “keburukan”akan mendominasi, karena keburukan jauh lebih mudah berkembang dibandingkan kebaikan, mengabaikan pendidikan karakter sama saja dengan memberikan persemaian yang subur bagi keburukan, akibatnya, keburukan akan menguasai dunia dimana kita berada.
Ironisnya, pendidikan di negeri ini selama ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika disekolah-sekolah saat ini seperti apa yang dikatakan Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan tidak pernah memerhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang, itulah cacat terbesar pendidikan kita sehingga pendidikan gagal untuk menjadi benteng terhadap radikalisme.
Pendidikan mestinya mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, itu mungkin, karena manusia dapat dididik, manusia adalah “animal seducandum” artinya, manusia ialah binatang yang harus dan dapat dididik. Menurut Aristoteles, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan pentingnya mendidik good habits (melakukan kebiasaan berbuat baik), akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk. Bangsa yang mengabaikan pendidikan karakter, mengabaikan arti penting perjuangan untuk menumbuhkembangkan kebaikan, tidak akan memiliki masa depan.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “menandai”, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Seseorang perlu mendapatkan pendidikan karakter sebagaimana dikatakan Thomas Lickona (1991), pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dll.
Jika kita berbicara mengenai pendidikan karakter bangsa Indonesia, itu berarti sebuah proses penanaman nilai-nilai karakter bangsa kepada anak didik, yaitu nilai-nilai karakter bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Jadi tujuan pendidikan karakter nasional adalah menjadikan siswa sebagai manusia Indonesia yang berkarakter Pancasilais.
Menghapal sila-sila dalam Pancasila tidak menjamin bahwa siswa menghidupi sila-sila dari Pancasila itu, tapi tanpa menghapal ke lima sila Pancasila tersebut, bagaimana mungkin ada pemahaman yang benar tentang nilai-nilai karakter bangsa. Tidak cukup dengan menghapal ke lima sila Pancasila, siswa harus memahami ke lima sila itu dengan baik, dan juga di dorong untuk menghidupinya, teladan guru dalam hal ini memiliki posisi yang penting.
Pendidikan karakter memang bukan monopoli sekolah, peran orang tua dan pemerintah dalam hal ini tidak boleh dikesampingkan. Karakter kader bangsa itu bisa terbentuk dengan baik jika ketiga lembaga tersebut bekerja bersama-sama untuk memberikan iklim yang kondusif bagi terbentuknya karakter anak bangsa yang handal.
Orang tua berkewajiban memberikan pendidikan karakter bagi anak-anak mereka karena, anak-anak adalah penerus mereka, demikian juga pemerintah atau negara, karena anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Orang tua harus menyerahkan anak-anak mereka pada pendidikan di sekolah yang berkualitas, dan negara bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas. Hadirnya generasi bangsa yang berkarakter jelas amat bergantung pada kehadiran lembaga-lembaga yang berkualitas tersebut.
Nilai-nilai moral dan budaya harus ditanamkan orang tua kepada anak mereka, demikian juga budaya bangsa harus ditanamkan pada anak didik di sekolah. Nilai-nilai keluarga dan bangsa yang berkualitas tersebut ditanamkan dalam pendidikan di sekolah. Nilai-nilai tersebut bukan hanya terkandung dalam pengajaran, tetapi juga teladan dari guru-guru yang mengajar di sekolah. Menerapkan pendidikan karakter di sekolah berarti tidak memisahkan antara pengajaran dan kehidupan sehari-hari.
Itulah sebabnya tersedianya sarana dan prasarana serta guru yang berkualitas tak dapat dipisahkan dalam gerakan nasional pendidikan karakter.
Strategi jangka panjang
Gerakan Pendidikan Karakter sebagai suatu strategi merupakan suatu usaha jangka panjang, dan hasilnya baru dapat dilihat sekurangh-kurangnya satu generasi setelah usaha itu dimulai. Makin lambat usaha itu dimulai, makin lambat pula diharapkan perubahan masyarakat Indonesia. Apabila kita ingin negeri ini tidak terperangkap menjadi negara gagal, maka pendidikan karakter bangsa harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Saat ini kita telah menuai akibaty buruk dari pengabaian pendidikan karakter yang terjadi selama ini, yaitu maraknya perlawanan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Binsar A. Hutabarat
Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society (RCRS)
Kaderisasi Koruptor
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga super di negeri ini kinerjanya ternyata tak sebanding dengan kaderisasi koruptor. Kita tentu berharap pemimpin-pemimpin KPK yang baru saja terpilih bisa memperbaiki kinerja KPK pada masa mendatang, setidaknya dalam menghambat melesatnya kaderisasi koruptor untuk menghadirkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Apabila pada era sebelumnya korupsi didominasi para politisi, maka sekarang ini korupsi juga diikuti secara masal oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda. Fenomena lonjakan kekayaan PNS muda menjadi sorotan publik karena berdasarkan dasar gaji mustahil PNS muda tersebut menghimpun kekayaan di atas satu milyar dalam setahun. Penemuan rekening gendut PNS-PNS muda membuktikan bahwa kaderisasi koruptor di negeri ini berjalan dengan sangat baik.
Kita tentu paham, reproduksi korupsi melalu hadirnya koruptor-koruptor muda hanya akan menggelapkan masa depan bangsa. Korupsi menghancurkan kehidupan bangsa, mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, dan membunuh banyak orang yang semestinya bisa ditolong. Negara wajib memberantas tikusi-tikus yang menghambat hadirnya kesejahteraan bagi rakyat banyak itu.
Memang, tak ada negara di dunia ini yang sama sekali bebas dari korupsi. Tapi, harus diakui bahwa pemberantasan korupsi yang serius pada sebuah negara telah memberikan andil besar bagi hadirnya kesejahteraan sebuah bangsa. Negara gagal menjadi akhir paling buruk masa depan bangsa yang tak mampu memutus mata rantai kaderisasi koruptor. Itulah sebabnya, setiap bangsa yang ingin tetap eksis harus berjuang keras memberantas korupsi dalam segala bidang kehidupan.
Kaderisasi koruptor
Seyogyanya semua penghuni bumi ini wajib menjamin dunia fisik ini sedemikian rupa hingga kondisi-kondisi keberadaan itu tetap dan tidak mengakibatkan kemalangan bagi siapapun, demikian juga bagi generasi selanjutnya. Tepatlah apa yang dikatakan Levinas, Respon deo ergo sum, (aku bertanggung jawab, jadi aku berada). Manusia bukan lagi manusia jika tak memiliki tanggung jawab atas sesamanya. Melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan sesama adalah prinsip utama etika, "berbuat baiklah terhadap sesama dan janganlah berbuat jahat terhadap sesama." Jadi, kaderisasi koruptor yang menyengsarakan sesama adalah tidak etis.
Kaderisasi koruptor yang salah satunya terindikasi dalam rekening gendut PNS muda merupakan fakta bahwa di negeri ini telah terjadi involusi budaya atau pembusukan budaya. Kaderisasi koruptor tidak mengandung nilai-nilai bermutu yang memanusiakan manusia, sebaliknya malah merendahkan sesama manusia. Korupsi adalah manifestasi dari apa yang Thomas Hobbes sebut, “manusia adalah serigala atas sesamanya.”
Manusia beretika mestinya menyadari akibat buruk perbuatannya pada orang lain, baik pada masa kini maupun generasi selanjutnya. Manusia beretika harusnya bertekad seperti apa yang dikatakan Aristoteles, “lebih baik menderita daripada melakukan kejahatan.” Hans Jonas, seorang filosof Jerman-Amerika, secara lebih luas mengungkapkan, Bertindaklah sedemikian rupa hingga akibat-akibat tindakan kita dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.”Manusia wajib hidup damai dengan sesama dan hidup damai dengan alam.
Bayangan buruk dari akibat perbuatan jahat pada masa kini terhadap masa mendatang harusnya membuat kita berusaha bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang kita lakukan. Kaderisasi koruptor dengan alasan apapun harus disudahi oleh segenap rakyat di negeri ini jika memang kita ingin tetap berada dalam Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Negara gagal adalah bayangan buruk dari kaderisasi koruptor yang tak terhindarkan. Dipandang dari sudut manapun, kaderisasi koruptor tak memiliki pijakan kemanusiaan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Korupsi mestinya menjadi musuh semua umat manusia yang beradab.
Perlu kaidah moral
Epictetus dan Seneca jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa kebutuhan itu elastis sehingga bisa berkembang jika kaidah moral tidak merintanginya. Kemauan berkuasa yang didukung oleh kebutuhan dalam diri seseorang dengan menafikan moralitas ketika bertemu akan menghadirkan pemerintahan yang menakutkan. Selaras dengan hal itu, Thomas Hobbes telah mengingatkan bahwa, “manusia sejak saat kelahiran mereka secara alamiah selalu memperebutkan segala sesuatu yang mereka inginkan, jika mungkin, mereka ingin agar seluruh dunia takut dan takluk kepada diri mereka. Pemerintahan tanpa kaidah moral adalah bagaikan Leviathan.
Reinhold Niebuhr menegaskan bahwa kemauan untuk berkuasa (will to power), yang tidak hanya puas pada kemauan untuk hidup (will-to live) berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Bagi Niebuhr kemauan untuk hidup merupakan sumber kreativitas manusia, sedang kemauan untuk berkuasa sifatnya destruktif. Baik yang kreatif maupun destruktif itu sama-sama hadir dalam kehidupan manusia, dan yang destruktif itu harus diminimalkan, sedang yang kreatif harus terus dikobarkan.
Pemerintah bisa dikatakan valid secara etis apabila pemerintah yang ada itu menghadirkan kesejahteraan rakyat banyak, dan bukannya menoleransi kesenjangan sosial. Bagi Aristoteles Ekonomi adalah seni memenuhi kebutuhan rumah tangga (oikos) dan nomos (aturan). Adam Smith memperkembangkannya menjadi suatu ilmu yang menyelidiki hakikat dan penyebab dari kemakmuran suatu negara. Karena itu pejabat publik yang hidup dengan memamerkan kemewahan dengan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan adalah tidak etis.
Setiap orang yang menduduki jabatan publik harus mencamkan kebenaran ini. “Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai panggilan (calling) untuk melayani.” Hanya dengan kesadaran itulah mereka bisa waspada untuk tidak dikuasai napsu untuk berkuasa, dan menghalalkan segala cara. Elite yang memahami jabatan sebagai pusat pelayanan, tentu akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuan.
Elite di negeri harus mampu menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah dalam hal ini adalah lembaga yang paling bertanggung jawab memimpin pemberantasan korupsi, dan itu tidak boleh hanya menjadi politik pencitraan. Tanpa kaidah moral, mereka yang telah menduduki jabatan publik akan terus haus kekuasaan, repotnya siapapun yang berkuasa tidak pernah yakin akan kekuatan dan keefektifan kekuasaannya, maka mereka yang haus kekuasaan itu selalu saja akan terus memperkuat kekuasaannya dengan cara apapun. Ini adalah bahaya yang harus dujauhkan dalam kehidupan elite negeri ini.
https://www.binsarinstitute.id/2023/02/potret-buram-indonesia.html
No comments:
Post a Comment