Tuesday, November 28, 2023
Monday, November 27, 2023
Sunday, November 26, 2023
Saturday, November 25, 2023
Friday, November 24, 2023
Thursday, November 23, 2023
Wednesday, November 22, 2023
Tuesday, November 21, 2023
Monday, November 20, 2023
Sunday, November 19, 2023
Saturday, November 18, 2023
Wednesday, November 15, 2023
Tuesday, November 14, 2023
Monday, November 13, 2023
Sunday, November 12, 2023
Saturday, November 11, 2023
Menakar Visi, Misi Anies
Sewaktu mendengar paparan awal Visi, Misi calon Presiden Anies Baswedan saya sempat terkagum-kagum, tapi ketika Visi, Misi itu berusaha di operasional kan saya berpikir ulang, Program yang diturunkan dari Visi, Misi itu menurut saya masih berada pada tataran ide, atau janji-janji kampanye yang tak menjamin mewujud.
Pemaparan Visi, Misi Anies Baswedan disertai tanya jawab di lembaga riset CSIS baru-baru ini yang disiarkan melalui Televisi memang indah, apalagi pada awal pemaparannya. Tentu saja sebagai seorang yang pernah menjabat rektor di sebuah universitas Anies paham betul bagaimana mekanisme merumuskan Visi,Misi.
Rumusan Visi, Misi Anies bagi saya keren, secara khusus peran internasional Indonesia baik pada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam hubungan antar negara, seperti peran yang bisa dimainkan Indonesia dalam mengusahakan damai di Palestina.
Sayangnya, ketika Visi,Misi itu dioperaional kan, saya kecewa karena masih berada pada tataran ide. Tentu saja saya menghargai ide kreatifnya, misalnya menjadikan warga Indonesia tamu yang baik di negeri orang untuk mempromosikan Indonesia, atau untuk Indonesia dapat menancapkan pengaruhnya pada negara-negara lain.
Mengapa saya kecewa dengan operasionalisasi Visi,Misi Anies? Visi, Misi Anies layaknya Visi Misi banyak perguruan tinggi yang hanya berada pada tataran dokumen. Tidak diturunkan secara baik dalam program yang meyakinkan dan dapat dilakukan, tentunya berdasarkan evaluasi program-program terkait, yang kemudian menjadi program pengembangan. Artinya program itu mestinya juga memiliki kaitan dengan program-program yang telah dikembangkan Indonesia, atau juga pada negara-negara lain yang tentunya membutuhkan penyesuaian konteks.
Ide menjadikan warga Indonesia tamu di luar negeri untuk memajukan Indonesia, serta peran Indonesia pada dunia internasional perlu didasari pada evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang relevan dengan program yang akan dikembangkan. Jangan seperti perubahan kurikulum yang merepotkan pendidikan tinggi, dan tanpa evaluasi memadai. Itulah sebabnya kebijakan kurikulum yang seharusnyaa sudah bisa diterapkan tiga tahun setelah dikeluarkan, hingga belasan tahun belum juga sukses.
Bisa saja ide kreatif Anies itu muncul dari pengalaman keluarga besarnya, yang dianggap menjadi tamu yang baik di Indonesia, bahkan orang tua Anies berperan penting dalam pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia secara internasional, tapi itu belum bisa digenaralisasi memiliki dampak perubahan besar bagi Indonesia, meski Anies menyebut kiprah Sri Mulyani dll.
Saya percaya negeri ini menunggu program-progrma Capres yang bukan hanya janji-janji, tapi bisa memajukan Indonesia.
Friday, November 10, 2023
Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik
Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik
Opini publik sukses memenjarakan Ahok, Yessica dan
kini menelan korban baru, Panglima penjaga konstitusi Indonesia, ketua Mahkamah
Konstitusi Anwar Usman.
Keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman selaku ketua
MK yang memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40
tahun atau pernah dan sedang menjabat jabatan publik secara cepat membentuk
opini yang menuduh Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika MK
menetapkan keputusan itu. Lucunya yang menjadi sasaran hanyalah Anwar Usman.
Opini publik yang menghakimi bahwa Anwar Usman
terlibat konflik kepentingan itu beredar liar, entah siapa yang menciptakannya,
padahal tuduhan-tuduhan itu minim bukti kecuali memang Anwar Usman memiliki
hubungan keluarga dengan Gibran, meski keputusan itu tidak hanya menguntungkan
Gibran.
Saya tidak tahu siapa yang menciptakan opini publik itu,
sayangnya opini public yang liar itu dan hanya menyasar Anwar Usman kemudian menyandra
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK yang menyatakan
Anwar Usaman melakukan pelanggaran etik berat, tapi tidak dipecat sebagai
anggota MK mengindikasikan adanya tekanan opini publik. Data media yang menjadi
dasar keputusan MKMK, serta kekuatiran konon akan ada chaos pada pemilu 2024
telah menyandra MKMK.
Anehnya lagi, publik seakan terpuaskan dengan
pelengseran Anwar Usman yang mendapatkan hukuman berat dibandingkan
rekan-rekannya sesama anggota MK. Yang tak masuk nalar adalah Anwar Usman dinyatakan
terbukti melakukan lobi-lobi memengaruhi keputusan MK.
Apakah betul anggota MK itu begitu lemahnya sehingga
terbius nyanyian Anwar Usman untuk mendukung keputusannya? Bukankah mahkamah konstitusi itu bersifat kolegial,
dan mereka semua adalah pendekar hukum di negeri ini?
Anehnya lagi, kenapa Anwar Usman bukan hanya tidak
diberhentikan sebagai ketua MK, bukan sebagai anggota MK sebagaimana dissenting
opinion Bintan Saragih. Alasan Jimly bahwa MKMK kuatir Anwar Usman melakukan banding
dan mengakibatkan keputusan MKMK tidak memiliki kekuatan hukum, menunjukkan
bahwa hukum, aturan tidak bisa memuaskan semua. Pertanyaannya kemudian, siapa
yang dipuaskan dengan keputusan MKMK?
Publik ternyata juga tidak peduli mengapa hakim MK
lainnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan Anwar Usman, padahal
menurut MKMK semua hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik. Suara publik
ini suara siapa?
Apakah ini mengindikasikan rakyat Indonesia sudah
kuat, dan negara kian lemah? Jika demikian suara rakyat itu suara siapa? Apakah
mayoritas diam di negeri ini yang mengidolakan Jokowi telah beralih secara
diam-diam?
Menurut saya tuduhan liar yang hanya menyasar Anwar Usman itu mendapatkan tempatnya pada opini yang beredar liar bahwa telah hadir
politik dinasti Jokowi yang menghadirkan Gibran sebagai Calon wakil Presiden. Padahal,
tidak ada politik dinasti di negeri ini.
Kita mengakui ada dinasti Megawati, dinasti Susilo Bambang
Yudoyono, dan dinasti Jokowi, tapi tak ada pemerintahan bentuk kerajaan di
negeri ini. Opini publik terkait politik dinasti Jokowi bergerak liar, seakan
itu sungguh terjadi dengan beragam cerita dan keudian menyandera keputusan
MKMK.
Benarlah ungkapan yang mengatakan barang siapa menguasai informasi akan
menguasai dunia, siapa yang mampu menciptakan keinginannya menjadi opini publik
akan mampu memaksakan kehendaknya pada ruang publik.
Demokrasi adalah sebuah perjalanan, demokrasi ibarat
sebuah permaianan, Tarik menarik antara para pemain untuk memenangkan permainan
kerap terjadi. Repotnya aturan atau hukum yang adil itu sendiri tak pernah ada.
Aturan permaianan kerap dikuasai kelompok yang kuat. Demokrasi di Indonesia
saat ini dikuasai oleh mereka yang memainkan opini publik. Demokrasi Indonesia
saat ini sedang tersandra opini publik, rakyat perlu waspada terhadap mereka
yang memainkan opini public untuk memaksakan kehendaknya, termasuk media-media
asing yang saat ini seakan mempropagandakan telah hadir politik dinasti di Indonesia.
https://www.binsarinstitute.id/2023/11/demokrasi-indonesia-tersandera-opini.html
Thursday, November 9, 2023
Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?
Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?
Atas nama stabilitas politik, Tito Karnavian melabrak ketetapan pendahulunya dengan menempatkan salah seorang Cagub Jakarta menjadi tersangka.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa menjadi preseden buruk pada Pemilihan Kepala Daerah yang sedang masuk masa kampanye.
Polisi bisa disibukkan dengan
banyaknya tuntutan kelompok-kelompok dengan tujuan memenangkan
“jagoannya”.
Kebijakan itu sesaat memang mujarab, karena berhasil meredam aksi demo besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meski disinyalir, demo besar-besaran itu terkait hiruk-pikuk pertarungan perebutan kursi Gubernur.
Mungkin ada benarnya, dilihat dari perspektif pengelompokkan partai politik pendukung pasangan calon, Kompetisi politik di di DKI Jakarta adalah proxy pertarungan Pemilihan Presiden tahun 2019.
Kebijakan Kapolri tampaknya selaras dengan model perumusan kebijakan teori kelompok. Pada model ini kebijakan diandaikan sebagai titik keseimbangan kelompok (equilibrium).
Harus diakui, kebijakan itu tepat sasaran. Kegaduhan memang masih terjadi, namun interaksi antar kelompok untuk memengaruhi kebijakan dapat diatur lewat penegakkan hukum, dan semua kelompok mendapatkan kesempatan yang sama.
Kelompok-kelompok berhasil digiring kedalam interaksi antar kelompok yang “fair” dengan setiap kelompok mendapatkan independensinya.
Kelompok-kelompok suka atau tidak suka digiring kedalam “model permainan,”setiap kelompok berada pada pilihan yang sama-sama bebas.
Istilah ‘game’ mengandung arti pembuat
kebijakan harus memutuskan kebijakan yang hasilnya tergantung pada pilihan
aktor yang terlibat.
Kondisi independen kelompok-kelompok itu kemudian menimbulkan kegaduhan baru. Atas nama hukum, secara independen satu kelompok kemudian menuntut kelompok lain yang mengancam eksistensinya.
Karena kelompok independen itu cukup banyak, fenomena saling melaporkan menjadi budaya baru di negeri ini.
Secara bersamaan pemerintah harus memahami, hukum bisa jadi instrumen untuk
kepentingan tertentu, dan jauh dari semangat untuk memberikan keadilan untuk
semua.
Fenomena saling melapor yang ada saat ini tidak boleh diselesaikan dengan jalan tebang pilih, pemerintah harus menegakkan hukum untuk menciptakan kondisi nyaman kembali menaungi negeri ini.
Apalagi, kegaduhan politik saat ini
mulai memasuki masa mencemaskan, setidaknya para investor harus berpikir ulang
untuk menempatkan dananya di negeri ini.
Mengakhiri kegaduhan
Stabilitas politik yang dijanjikan pemerintah menanggapi
kecemasan masyarakat atas kegaduhan politik saat ini mestinya mengadopsi
cara-cara demokrasi, bukannya cara-cara lama, yang sempat dihembuskan
aktor-aktor politik terkait “isu makar.”
Harus diakui, hukum di negeri ini belum menjadi panglima. Ketidakadilan dalam penegakkan hukum bisa dilihat pada sejarah perjalanan panjang negeri ini.
Hukum kerap hanya tajam ke bawah, untuk mereka yang lemah, dan tumpul ke atas bagi mereka yang mempunyai kekuasaan.
Wajar saja jika fenomena saling melapor dicurigai membuktikan bahwa hukum masih menjadi alat untuk memaksakan kehendak kelompok tertentu, bukannya menyemaikan keadilan untuk semua.
Terlebih
lagi dalam kondisi kompetisi antar kelompok di negeri ini sangat kuat, ditambah
lagi, persaingan politik pemilihan kepala daerah yang kian memanas.
Untuk mengakhiri kegaduhan politik yang terjadi saat ini mustahil mengadopsi cara memuaskan semua kelompok, karena dalam permainan pasti ada yang kalah dan ada yang menang.
Pemerintah harus berpegang pada
aturan hukum, dan menjadikan hukum sebagai panglima, bukannya berpihak pada
kelompok yang bersuara keras, atau menggerakan massa besar.
Tiap kelompok independen boleh saja menuntut lahirnya kebijakan
yang adil untuk mereka, tapi kebijakan itu belum tentu baik untuk semua,
apalagi dengan persaingan antar kelompok yang saling menuntut dominasinya, kebijakan rasional tidak mungkin bisa dihadirkan.
Berharap kegaduhan politik dinegeri ini tenang dengan sendirinya adalah mustahil. Kelompok independen, apalagi yang tak perduli dengan cita-cita negeri ini yang di dasarkan pada Pancasila, tentu saja akan merongrong pembangunan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat.
Tidak mustahil, di negeri ini ada kelompok-kelompok yang tidak menginginkan hadirnya pemerintah yang kuat, sehingga bertindak semaunya.
Pemerintah harus bertindak tegas menegakkan kebijakan yang telah dirumuskan untuk kemuliaan bangsa dan negara ini.
Tindakan
nyata pemerintah menenangkan kegaduhan untuk memberikan kenyamanan menjadi harapan
semua rakyat Indonesia yang mencintai negeri ini, yang tersohor dengan
keramahtamahannya.
Dr. Binsar A. Hutabarat
https://www.binsarinstitute.id/2020/11/kapan-kegaduhan-akan-berakhir.html
Wednesday, November 8, 2023
Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah dan melakukan pelanggaran berat, namun tidak mencopotnya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi dan hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menurut saya adalah penerapan dari politik rekonsiliasi.
Alasan Jimly jelas, agar Anwar Usman tidak dapat melakukan banding, maka Anwar Usman tidak dipecat sebagai anggota mahkamah konstitusi, yang mengakibatkan tidak berlakunya keputusan majelis kehormatan mahakamah konstitusi. Lebih jauh Jimly mengatakan, keputusan itu untuk mengamankan pemilu tahun 2024, agar ada kepastian hukum.
Disenting opinion yang dinyatakan Bintan Saragih meneguhkan hal itu, karena jika memang Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, seharusnya Anwar Usman dilengserkan dari jabatannya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi.
Keputusan itu pun membuat Anwar Usman meradang. Ternyata politik rekonsiliasi bisa meminggirkan individu tertentu. Apa untungnya untuk Anwar Usman tidak dipecat dan dijadikan tontonan masyarakat Indonesia dengan tetap bertengger di Mahkamah Konstitusi?
Pada konteks keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saya melihat adanya keterbatasan hukum. Jika kita ibaratkan hukum sebagai peta untuk menuju kehidupan damai dalam kehidupan bersama, maka hukum yang adalah produk manusia yang terbatas itu kadang tak mampu memberikan kebaikan bersama.
Ketika kita melihat kehidupan publik dalam perpektif kebijakan “game theory” , hukum, kebijakan sebagai aturan permainan yang adil tetap saja tidak memuaskan semua. Bukan hanya hukum yang mampu memuaskan semua pihak itu tidak ada, tetapi Individu atau kelompok-kelompok yang ada diruang publik itu kerap berusaha memaksakan pandangannya yang diklaimnya absolut, demi mempertahankan eksistensinya. Ibarat pertarungan kejahatan dan kebenaran yang tak pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini.
Demokrasi ternyata bisa menghadirkan individu atau kelompok-kelompok yang kerap ingin menunjukkan hegemoninya. Demokrasi yang dimimpikan dapat memberikan keadilan kepada semua pihak, layaknya sebuah permainan, ternyata hanya utopia.
Ada yang mengatakan keputusan MK berpihak kepada Gibran, padahal hukum berlaku untuk semua orang. Kemudian Keputusan MKMK berpihak kepada siapa? Apakah tidak mungkin keputusan MKMK hanyalah hasil dari tekanan publik? Pertanyaannya kemudian, siapa publik yang ingin dipuaskan dengan mengorbankan Anwar Usman?
Politik rekonsiliasi dalam keterbatasan aturan dan hukum memang tak bisa memberikan kepuasan kepada semua elemen bangsa ini. Apakah masih ada diantara kita yang merasa memiliki solusi tunggal untuk negeri ini?
https://www.binsarinstitute.id/2023/11/politik-rekonsiliasi-majelis-kehormatan.html
Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik
Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...
-
Indiferentisme vs Non-Indiferentisme Hari ini saya akan menjawab tuduhan Patris Allegro yang diterbitkan pada t...
-
KLIK DISINI! Memahami pluralisme agama secara baru Pluralisme agama menurut saya lebih baik dipahami sebagai pengakuan bahwa aga...
-
Mengungkap Kejahatan Pendidikan Saya setuju pendidikan tinggi merupakan institusi tercepat yang dapat menghadirkan perubahan dal...