Mencari Tuhan
Manusia yang mencari
Tuhan akan menemukan Tuhan, tapi pada sisi lain manusia yang mencari Tuhan itu sedang meninggalkan Tuhan. Bukankah Adam dan Hawa menyembunyikan diri dari Tuhan yang mencari manusia berdosa. Ini tentulah sebuah paradoks menurutku.
Bagaimana mungkin manusia yang menyembunyikan diri dari Tuhan itu berkeinginan mencari Tuhan? Sebuah paradoks yang tak mudah memahaminya.
Sejak kecil aku dibimbing orang tua untuk mencari Tuhan, atau setidaknya belajar mengenal Tuhan, itu sebabnya aku di bawa orang tua ke gereja.
Tapi herannya, Ayah tak
rajin ke gereja, beliau pergi ke gereja pada hari-hari tertentu, biasanya pada
acara Natal dan Tahun Baru. Tapi aku belajar banyak terkait idealisme dan
dedikasi pada pekerjaan yang tak banyak kujumpai dari mereka yang rajin beribadah sekalipun.
Pada tahun 1986 saat itu aku berada pada semester akhir perkuliahan, aku sedang gundah gulana, karena tak tahu apa yang menjadi capaian masa depan. Pada saat genting itu hadirlah beberapa teman SMA yang sangat bergairah bersaksi bahwa mereka telah menemukan Tuhan yang sejati.
Beberapa teman yang bersaksi itu tak memiliki pengetahuan agama yang luar biasa, tapi mereka mengatakan telah menemukan Tuhan yang sejati, dan menerimanya dalam hati mereka.
Lagi-lagi sebuah paradoks, Allah hadir dimana-mana, karena dia maha hadir, menurutku wajar saja jika Allah itu hadir pada hidup temanku itu, tapi sebelumnya dia mungkin tak menyadari kehadiran Yang Maha Hadir.
Ketika pertama kali mendengar istilah menemukan Tuhan itu aku juga bingung, apalagi ketika mereka menyaksikan pengalaman-pengalaman baru yang membahagiakan hidup mereka.
Karena ingin menghargai teman-teman yang baik dan rajin mendoakan agar aku menemukan Tuhan seperti mereka, dalam arti mengalami perubahan hidup, aku ikut saja apa yang mereka katakan, jadilah aku layaknya murud mereka.
Kesaksian mereka aku telan bulat-bulat dalam arti aku percaya mereka jujur, tapi aku bingung karena itu kan pengalaman pribadi, Sering aku berpikir, apa perlu dipaksakan pada yang lain, atau tepatnya, apa perlu semua orang mengalami hal yang sama dengan teman ku itu?
Beberapa bulan kemudian, aku pun mengalami pengalaman seperti mereka, aku merasa ada perubahan hidup yang dapat ku lihat secara nyata, dari orang yang biasa minum-minuman keras, merokok dan beberapa kebiasaan buruk, aku bisa terbebas. Aku menemukan Tuhan!
Perjalanan menemukan Tuhan ternyata tidak pernah final, aku terus menyusuri jejak Tuhan, dan jejak Tuhan itu kerap kulihat hilang dari mereka yang menyaksikan menemukan Tuhan.
Aku mulai berpikir, mengapa jejak-jejak Tuhan itu tidak semakin jelas,
bahkan pada kebanyakan mereka yang bersaksi menemukan Tuhan jejak Tuhan tidak lagi terlihat.
Dengan belajar teologi aku mulai mencari jawab, bukan manusia yang mencari Tuhan, tetapi Tuhan yang mencari manusia. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanNya?
Bukankah Tuhan menyatakan diri secara umum kepada semua manusia, dan juga secara khusus kepada siapapun yang Tuhan ingin jumpai?
Siapa yang menjamin Tuhan hanya akan menjumpai orang-orang tertentu, atau orang-orang dalam agama tertentu?
Perjumpaan Tuhan secara khusus itu kerap diklaim sebagai perjumpaan yang nyata, obyektif, dan berarti absolut. Padahal, jika manusia tidak tahu segala sesuatu, maka manusia tidak bisa mengklaim pernyataannya adalah benar, tanpa salah. Klaim kita hanya benar sebatas argument atau data serta fakta yang mendasari argument itu.
Aku mencari Tuhan, semua agama mencari Tuhan, tapi bagaimana yang transenden bisa dijumpai manusia? Bagaimana manusia yang terbatas bisa mengklaim perjumpaan dan pengalamannya dengan Tuhan adalah pengalaman yang sempurna?
Bukankah kita masih berada dalam perjalanan mencari Tuhan, dan secara bersamaan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan melalui anugerah penyingkapan diri Tuhan?
Jangan menghakimi!
No comments:
Post a Comment