SINOPSIS DISERTASI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
Binsar Antoni Hutabarat
binsarantonihutabarat@yahoo.com
Abstract: The dissertation entitled "Policy Evaluation Indonesian National Qualifications Framework (KKNI) Field of Higher Education" is focused on the evaluation of higher education KKNI formulation. So far there has been no research related to corruption policy evaluation in higher education. This study examined the law in addition to the policies set KKNI also examined the response to the policy KKNI college conducted at three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interview, observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The results of this study indicate that policy formulation KKNI using incremental model and elitist models that do not fit with the system of democratic countries should be more use of public choice model. That is why the socialization of this policy requires a long time and seen the results of research in the field.
Keywords. Public policy, policy evaluation, the Indonesian national qualifications framework.
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION
Binsar Antoni Hutabarat
binsarantonihutabarat@yahoo.com
ABSTRAK
Disertasi yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Bidang Pendidikan Tinggi” ini fokus pada evaluasi perumusan KKNI bidang pendidikan tinggi.
Penelitian ini selain meneliti undang-undang dimana kebijakan KKNI ditetapkan juga meneliti respon perguruan tinggi terhadap kebijakan KKNI yang dilakukan di tiga universitas di Jakarta dan Tangerang. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, pemberian kuesioner dan observasi dokumen, serta beragam sumber.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi kebijakan KKNI menggunakan model inkremental dan model elitis yang tidak sesuai dengan sistem negara demokratis yang mestinya lebih menggunakan model pilihan publik. Itulah sebabnya sosialisasi kebijakan ini membutuhkan waktu yang lama dan terlihat dari hasil penelitian di lapangan.
Kata kunci. Kebijakan publik, evaluasi kebijakan, kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kebijakan pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya menempati posisi yang sentral bagi usaha memajukan bangsa Indonesia. Apabila pemerintah Indonesia gagal membuat kebijakan yang unggul dalam bidang pendidikan, maka taruhannya adalah kerusakan dan kehancuran kehidupan bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan yang buruk akan berdampak panjang. Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang unggul jika kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan-kebijakan yang unggul dan tentu saja dapat diimplementasikan (Nugroho, 2009).
Pendidikan tinggi Indonesia memasuki sebuah dekade baru setelah pemerintah Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian dan komitmen global (AFTA, WTO, GATTS). Pemberlakuan berbagai kesepakatan internasional nyata dalam hal seperti diberlakukannya berbagai macam parameter kualitas untuk menstandarkan kualitas dan mutu perguruan tinggi berikut lulusannya. Tahun 2013, ASEAN Economic Community mempersiapkan AFTA (ASEAN Free Trade Association Area) 2012. Sedang WTO (World Trade Organisation) merupakan satu organisasi internasional yang berperan untuk mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggotanya terbentuk tahun 1995. WTO sebenarnya sudah memiliki dasarnya pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. WTO mengatur beberapa hal mengenai perdagangan barang (goods), jasa (service) dan kekayaan intelektual (property rights). Dengan kehadiran organisasi-organisasi internasional itu, maka kesepakatan dan kesepahaman antarnegara-negara di ASEAN mulai ditetapkan. Peta pengembangan (Road map) mobilitas bebas tenaga kerja profesional antarnegara di ASEAN mulai dibentangkan (Sailah, 2014).
Ancaman pendidikan era global untuk pendidikan di Indonesia semakin terasa ketika diperhadapkan dengan mutu pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia bukan berarti bahwa pendidikan di Indonesia tidak mengalami pertumbuhan sama sekali, namun arus globalisasi yang membuka sekat-sekat antarnegara mengakibatkan persaingan antar negara menjadi jauh lebih terbuka, karena itu harus diakui, “mutu pendidikan di Indonesi secara umum memiliki standar yang lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, khususnya terhadap negara-negara maju (Tilaar, 2006).
Kondisi tersebut di atas membuat pemerintah Indonesia harus menyusun strategi pengembangan pendidikan Indonesia yang relevan dalam menyongsong era globalisasi. Karena itu, perubahan mendasar pada bidang pendidikan tinggi di Indonesia tak dapat dihindari. Pendidikan tinggi di Indonesia pada era global kemudian diarahkan menjadi lembaga pembelajaran dan sumber pengetahuan yang memiliki interaksi dengan perubahan pasaran kerja, disamping sebagai tempat pengembangan budaya dan pembelajaran terbuka untuk masyarakat, maupun wahana kerjasama internasional (Kunaefi, 2008).
Kondisi persaingan global dalam area pendidikan kemudian secara khusus direspon oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan meluncurkan sebuah booklet tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi tentang implikasi dan strategi implementasi KKNI pada tahun 2010/2011. Hasil perumusan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi itu kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) tahun 2012. Kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi ini kemudian mendapatkan landasan hukum yang kuat pada UU Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Untuk melaksanakan kebijakan KKNI yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden 2012, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, sebagaimana juga menjadi tujuan penetapan KKNI pada sektor pelatihan kerja nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja nasional. Penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi dan sektor pelatihan kerja akan menjadi peta jalan peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Penetapan KKNI sebagai kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi kerja dalam pelatihan kerja ditetapkan juga sebagai acuan kualifikasi kemampuan lulusan perguruan tinggi. Tujuannya adalah agar terdapat integrasi antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
Menurut penelitian awal, kebijakan penerapan KKNI di bidang pendidikan tinggi ini telah menimbulkan kontroversi. Karena kebijakan KKNI oleh sebagian dosen dianggap mereduksi Visi, Misi, perguruan tinggi menjadi sekadar institusi pemasok “tenaga kerja”, untuk kebutuhan industri. Pada sisi lain, sebagian dosen setuju dengan kebijakan penerapan KKNI karena selama ini belum ada acuan kualifikasi untuk lulusan pendidikan formal. Mereka yang setuju terhadap kebijakan KKNI berpendapat, sebagaimana pendidikan kerja telah menggunakan KKNI sebagai acuan kualifikasi lulusan pelatihan kerja, maka pendidikan tinggi juga harus mempunyai acuan yang sama agar lulusan perguruan tinggi dapat diterima pada dunia kerja, terlebih lagi dengan persaingan global pada bidang pendidikan tinggi.
Terkait dengan kebijakan KKNI tersebut hingga saat ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi. Karena itu, perlu dilakukan penelitian evaluasi kebijakan KKNI untuk mengetahui bagaimanakah struktur dan rumusan kebijakan KKNI serta kondisi perguruan tinggi sebagai sasaran kebijakan tersebut. Apakah kebijakan KKNI merupakan jawaban terhadap kebutuhan perguruan tinggi dalam menghadapi ancaman global di bidang pendidikan, dan apakah kebijakan dapat diterima perguruan tinggi sebagai sebuah alternatif kebijakan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinmggi di Indonesia. Berdasarkan Time Line pengembangan KKNI, kebijakan itu akan diterapkan tahun 2016 pada perguruan tinggi di Indonesia (Sutrisno dan Suyadi, 2016.
Penelitian kebijakan KKNI ini ditekankan untuk mendapatkan informasi tentang bagaimanakah perumusan kebijakan tersebut dan bagaimanakah isi kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi. Penelitian ini lebih kepada evaluasi rumusan dari kebijakan KKNI. Apakah perumusan kebijakan KKNI itu telah melalui tahapan-tahapan yang seharusnya dilakukan dalam perumusan kebijakan dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
B. Fokus dan Sub Fokus Penelitian
Berdasarkan penjelasan latar belakang tersebut di atas, maka fokus penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana perumusan Kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi itu telah dilakukan. Sedang sub fokus penelitian ini adalah:
1. Struktur Kebijakan KKNI.
2. Rumusan kebijakan KKNI.
3. Kondisi perguruan tinggi di Indonesia sebagai sasaran kebijakan KKNI.
4. Dampak Kebijakan KKNI.
C. Rumusan Masalah
Untuk lebih operasional, fokus dan sub fokus penelitian ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan penelitian:
1.Bagaimanakah struktur kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)?
2.Bagaimanakah rumusan kebijakan KKNI?
3.Bagaimanakah kondisi perguruan tinggi di Indonesia dalam menghadapi kebijakan KKNI ?
4.Bagaimanakah dampak kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi ?
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang struktur kebijakan KKNI dan bagaimana rumusan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi. Dengan dipahaminya hal tersebut diharapkan maka para pengelola perguruan tinggi, kepala program studi di perguruan tinggi, Dosen dapat memahami kepentingan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi, dan dapat mendorong agar perguruan tinggi di Indonesia dapat merespon secara tepat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan, sehingga dengan demikian akan dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana tujuan dari rumusan kebijakan KKNI.
KAJIAN TEORETIK
A. Konsep Evaluasi Kebijakan
1. Kebijakan publik
Mengenai Istilah “kebijakan” dan “kebijakan publik” para ahli memiliki pendapat yang beragam.
Wayne Parsons berujar, kebijakan (policy) adalah istilah yang tampaknya banyak disepakati bersama, namun menurut Parsons, dalam penggunaan yang umum, “istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang ‘lebih besar’ ketimbang keputusan tertentu, tetapi lebih kecil ketimbang gerakan sosial (Parsons, 2006).
Sejalan dengan Parsons, mengenai istilah “kebijakan”, Budi Winarno berpendapat, secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu (Budi Winarno, 2007). Selanjutnya Winarno sejalan dengan Parsons menjelaskan, pengertian kebijakan hanya memadai untuk keperluan pembicaraan biasa atau umum, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik (Winarno, 2007).
Makna kata kebijakan harus dipahami dalam konteks historis, makna kebijakan yang senantiasa berubah menunjukkan perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan. Parsons lebih lanjut mengungkapkan demikian:
Di Inggris, (policy) mengandung makna yang kompleks dan beragam . Dalam karya Shakespeare, misalnya kita menjumpai empat makna yang berbeda: kehati-hatian, sebentuk pemerintahan, tugas, dan administrasi, serta sebagai ‘‘Machiavellianisme. Kebijakan mencakup seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan, penampilan luar dan tipuan (illusion) adalah beberapa unsur yang membentuk kekuasaan (power). Shakespeare menggunakan istilah filsafat Machiavellian; dan policy menunggangi kesadaran, demikian dikatakan sang penyair dalam Timon of Athens (Parsons, 2006).
Pada awalnya istilah “kebijakan” atau pokok-pokok platform menjadi rasionalitas politik. Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi. Selanjutnya, dengan berkembangnya sistem partai dan pemilu modern di masyarakat industri, diskursus kebijakan kemudian menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan “politik” dan persaingan elite politik. Dalam konteks tersebut di atas, politisi dituntut memiliki “kebijakan” sebagaimana halnya sebuah toko mesti mempunyai barang dagangan. Dalam area itu, kebijakan merupakan “mata uang” penting dalam perdagangan demokratik (Parsons, 2006).
Kebijakan adalah sebuah produk. Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau “prinsip” kemudian berkembang menjadi istilah dalam konotasi netral seperti dinyatakan oleh Lasswell: “Kata “kebijakan”(policy) umumya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat (Parsons, 2006).” Berdasarkan penjelasan Lasswell dapat dipahami, bahwa Lasswell tidak membatasi penggunaan istilah kebijakan hanya dalam area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna “keberpihakan” dan korupsi (Parsons, 2006). Tidak berbeda dengan definisi-definisi di atas, kajian ini menetapkan istilah kebijakan publik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah seperti berikut:” Kebijakan adalah keputusan yang dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan atau organisasi dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut.
Menurut Tilaar dan Nugroho (2009) istilah kebijakan publik mempunyai banyak pemahaman teoritis, yang dirumuskannya demikian:
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Berdasarkan definisi di atas jelaslah bawa kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Thomas R. Dye merangkum dari definisi-definisi mengenai kebijakan publik demikian: “Public policy is whatever governments choose to do or not to do (Dye, 1978). (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan (Dye, 1978). Bagi Dye pusat perhatian kebijakan publik tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah menurutnya juga mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang tidak dilakukan oleh pemerintah (Suntoro dan Hariri, 2015).
2. Ciri-Ciri umum Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas yang khas, dalam arti mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh jenis kebijakan lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik adalah kebijakan publik itu lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas dalam sistem politik, yakni mereka yang duduk pada jabatan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif, hakim, administrator). Mengingat posisi strategis para pejabat pemerintahan tersebut, maka mereka dianggap berhak untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu atas nama warga yang telah memilih mereka, dalam batas-batas koridor peran dan kewenangan mereka (Suntoro dan Hariri, 2015).
b. Proses Kebijakan Publik
Menurut William N. Dunn (2003) tahapan proses kebijakan publik sebagai berikut:
1). Penyusunan agenda. Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah pembuat keputusan memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik yang dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
2). Formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3). Adopsi/ legitimasi kebijakan. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah, namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota menolerir pemerintahan disonansi. legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4). Implementation/implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah yang memungkinkan, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program, atau dapat melalui turunan (derivate) dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang, menuntut adanya kebijakan turunan dalam bentuk peraturan pemerintah (Syafaruddin, 2008).
5). Penilaian/Evaluasi kebijakan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Secara garis besar proses kebijakan publik meliputi tahap-tahap seperti berikut(Lembaga Administrasi Negara, 2008):
1). Perumusan kebijakan publik. Tahap ini mulai dari perumusan masalah sampai dengan dipilihnya alternatif untuk direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. 2). Implementasi kebijakan publik. Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka kemudian kebijakan publik tersebut diimplementasikan (dilaksanakan). 3) Monitoring kebijakan publik. Monitoring kebijakan publik adalah proses kegiatan pengawasan terhadap implementasi kebijakan, yaitu untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh tujuan kebijakan itu tercapai. 4). Evaluasi kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik Ini bertujuan untuk menilai apakah perbedaan sebelum dan sesudah kebijakan, yaitu perbandingan antara sebelum dan sesudah diberlakukannya suatu kebijakan.
4.Prinsip Penyusunan Kebijakan Publik
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, prinsip penyusunan kebijakan publik adalah seperti berikut:
a. Benar dalam proses, yaitu bahwa prosesnya harus transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan melibatkan pihak yang seharusnya dilibatkan.
b. Benar secara isi, yaitu bahwa isi kebijakan: mengatur isu kebijakan yang harus diatur atau fokus pada isu kebijakan;bukan merupakan kompromi politik dana tau ekonomi;langsung pada masalah yang diatur; tidak bertentangan dengan kebijakan yang lebih tinggi atau setara, dan pasal-pasalnya sinkron (tidak ada pertentangan satu sama lain). Isi kebijakan, antara lain memuat: pasal-pasal yang mengatur isi kebijakan (seperti aturan, batasan, larangan, insentif, dan sanksi dari pelanggaran kebijakan), waktu, proses, dan cara implementasi, termasuk di dalamnya kerangka acuan diskresi bagi pelaksana kebijakan apabila menghadapi situasi yang luar biasa, sehingga memerlukan tindakan diskresi kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan waktu untuk evaluasi (termasuk di dalamnya pasal tentang penyempurnaan kebijakan).
c. Benar secara politik-etik, yaitu mengakomodasi para pihak yang terkait secara langsung dengan kebijakan, menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam good governance, sebagaimana dimuat pada Huruf “a”, yaitu proses, dan memerhatikan kaidah-kaidah moralitas dalam pembuatan kebijakan.
d. Benar secara hukum, yaitu bahwa kebijakan ini benar-benar merupakan kaidah hukum, karenanya kebijakan publik bukan himbauan, melainkan memberikan batas-batas aturan serta mencantumkan sanksi yang tegas bagi pelanggaran atasnya, dan memberikan keadilan dan kesamaan di depan hukum bagi publik.
e. Benar secara manajemen, isi dari kebijakan bersifat sistematis, dapat dilaksanakan, meskipun pelaksanaannya bukan oleh pemerintah, namun pemerintah dapat mengendalikan secara efektif, dan mempunyai manfaat dan (impact) yang terukur.
f. Benar secara Bahasa, yaitu bahwa setiap kebijakan publik di Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, meskipun kebijakan itu hasil kerja sama dengan asing, dan kemudian seandainya perlu, diterjemahkan ke Bahasa asing atau daerah; Bahasa tersebut harus baik, yaitu Bahasa yang dapat dipahami publik dalam satu makna, dan benar, yaitu tidak terdapat penyimpangan terhadap logika Bahasa.
5. Model-model Perumusan Kebijakan Publik
a. Model Institusional
Model Institusional/kelembagaan menurut Wahab, merupakan model yang dikembangkan oleh pakar ilmu politik yang memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Struktur-struktur dan lembaga-lembaga pemerintahan sejak lama menjadi pusat perhatian ilmu politik , bahkan ilmu politik sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari lembaga-lembaga pemerintah (Wahab, 2008).
Dari sudut pandang model kelembagaan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh warga negara, baik secara perorangan maupun secara berkelompok pada umumnya terkonsetrasi dan tertuju pada lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan publik menurut model kelembagaan ini ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga pemerintah. Dengan perkataan lain, menurut model ini terdapat hubungan yang erat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan apapun tidak akan menjadi kebijakan publik kalau tidak diterima, diimplementasikan, dan dipaksakan pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga pemerintah (wahab, 2008).
b. Model Elite Massa
Model teori elite berkembang dari teori politik elite massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa se-demokratis apapun, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite (Nugroho, 2009).
Model ini merupakan abstraksi dari suatu proses pembuatan kebijakan di mana kebijakan publik itu bisa dikatakan identik dengan perspektif elite politik. Dalam model ini kehidupan sosial terdiri atas dua lapisan, yakni lapisan atas yang disebut elite dengan jumlah sangat kecil yang selalu mengatur, dan lapisan bawah dengan jumlah sangat besar sebagai pihak yang diatur. Jadi dalam model ini terlihat kebijakan negara mencerminkan kehendak atau nilai-nilai elite atau sekelompojk kecil orang yang berkuasa (Wibawa, 1994).
c. Model Kelompok
Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Perumusan kebijakan pada model ini terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negosiasi, dan kompromi. Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh itu dikelola dengan model ini (wibawa, 1994).
Interaksi kelompok pada hakekatnya merupakan kenyataan politik. Individu yang memiliki kepentingan sama meningkatkan secara formal ataupun informal dalam kelompok kepentingan (interest group), yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori kelompok, kebijakan publik merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut tugas atau peran sistem politik adalah menengahi konflik yang terjadi di antara kelompok tersebut (Anggara, 2014).
Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan publik pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Suatu kelompok dalam hal ini merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Kelompok-kelompok itu mempertahankan dan membela tujuan-tujuan mereka dalam persaingannya vis-à-vis kelompok-kelompok lain. Bila suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Pada akhirnya “social equilibrium” dicapai pada waktu pola-pola interaksi kelompok dikarakteristikkan oleh suatu tingkat stabilitas yang tinggi (Winarno, 2007).
f. Model Rasional
Pembuatan kebijakan publik rasional (rational public policy making) dapat dilacak pada karya Herbert Simon berjudul Administrative Behavior. Untuk pertama kalinya buku ini diterbitkan pada tahun 1945. Karya Simon ini boleh dikatakan merupakan sebuah karya teoritik monumental pertama dalam ilmu administrasi publik yang banyak memberikan sumbangan pemikiran mengenai proses pengambilan keputusan (decision-making process) dalam organisasi. Dalam buku karyanya tersebut Simon di antaranya menyatakan bahwa teori-teori administrasi (administrative theories) haruslah menempatkan pengambilan keputusan dalam posisi strategis, sebagai pusat perhatian utamanya (Winarno, 2007).
Simon menyatakan bahwa pilihan rasional itu mencakup pemilihan alternatif-alternatif yang kondusif bagi tercapainya tujuan-tujuan yang telah dipilih sebelumnya. Adanya tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dalam organisasi merupakan sesuatu yang penting dan fundamental dalam memberikan makna terhadap perilaku administrasi (Winarno, 2007).
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Semakin rendah nilai pengorbanan dan semakin tinggi tingkat pencapaiannya maka suatu kebijakan dianggap baik, dengan kata lain model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi maupun ekonomis (Wibawa, 1994).
g. Model Inkremental
Model inkremental pada hakikatnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah di masa lampau, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya. Model inkremental ini pertama kalinya dikembangkan oleh ekonom Charles E. Lindblom, sebagai kritik terhadap model rasional komprehensif dalam pembuatan kebijakan public (Wahab, 2008).
Lindblom sebagaimana dikutip Thomas R Dye menjelaskan bahwa para pembuat kebijakan publik tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya dengan cara misalnya: mengidentifikasi tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan, meneliti manfaat dan biaya dari tiap alternatif kebijakan dan membuat urutan-urutan prioritas dari tiap alternatif kebijakan, serta melihat rasio/nisbah antara manfaat dan biayanya , kemudian memilih alternatif terbaik. Tetapi justru hal sebaliknyalah yang dilakukan, terutama karena hambatan-hambatan baik dari segi waktu, kecakapan maupun biaya, sehingga para pembuat kebijakan enggan untuk mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan, berikut semua akibat-akibatnya (Dye, 1978).
h. Model Teori Permainan (Game Theory): Kebijakan Sebagai Pilihan Rasional dalam Situasi Kompetitif
Gagasan pokok dari kebijakan dalam teori permainan adalah, pertama, formulasi kebijakan publik berada dalam situasi kompetisi intensif. Kedua, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen. Sama seperti permainan catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas. Model ini mendasarkan pada formulasi kebijakan rasional, namun dalam kondisi kompetisi yang tingkat keberhasilannya ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, dan juga aktor-aktor lainnya (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Teori permainan merupakan varian dari model rasional dan merupakan studi mengenai pembuatan keputusan rasional dalam suatu keadaan di mana terjadi dua atau lebih partisipan yang mempunyai pilihan-pilihan atas kebijakan dan hasilnya tergantung pada pilihan mereka masing-masing. Istilah ‘game’ mengandung arti pembuat kebijakan harus memutuskan sesuatu yang hasilnya tergantung pada pilihan aktor yang terlibat. Para pemain harus saling menyesuaikan diri guna saling merefleksikan pertimbangan masing-masing bahwa efektivitas kebijakan bukan hanya bergantung pada keinginan dan kemampuan mereka, tetapi juga terhadap apa yang akan dikerjakan oleh partisipan lainnya (Tilaar dan Nugroho, 2009).
i. Model Pilihan Publik (Public Choice Model)
Model ini melihat perumusan kebijakan sebagai keputusan kolektif individu-individu. Model ini didasarkan pada teori ekonomi bahwa manusia adalah homo economicus yang mempunyai kebutuhan ekonomi dan perlu dipenuhi secara ekonomi. Peran kebijakan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perumusan kebijakan sama dengan mekanisme pasar di mana pembeli menemui penjual dan penawaran memenuhi permintaan. Model ini memberikan penjelasan mengapa pemenang pemilihan kadang-kadang gagal untuk memberikan kebijakan terbaik bagi bangsa (Nugroho, 2009).
Setiap kebijakan publik yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan publik yang menjadi pengguna. Artinya, proses formulasi kebijakan melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan sehingga model ini bersifat demokratis. Pilihan publik adalah studi ekonomi pengambilan keputusan nonmarket, khususnya penerapan analisis ekonomi untuk pembuatan kebijakan publik. Dalam ilmu politik, dipelajari perilaku dalam arena publik dan berasumsi bahwa individu-individu dipengaruhi oleh gagasan mereka sendiri dalam kepentingan publik. Jadi, terdapat versi-versi yang berbeda mengenai motivasi manusia yang dikembangkan dalam ilmu politik dan ekonomi: gagasan dari homo economics diasumsikan kepentingan pribadi seorang aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan pribadi, sedangkan homo politicus diasumsikan jiwa publik seorang aktor yang berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial (Nugroho 2009).
Teori pilihan publik ini berasumsi bahwa seluruh aktor politik, seperti pemilih, pembayar pajak, kandidat, legislatif, birokrat, kelompok kepentingan, partai, dan pemerintah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadi mereka dalam politik maupun dalam pasar. Menurut James Buchanan, bahwa individu-individu datang bersama-sama di dalam politik untuk kepentingan mereka bersama, sama seperti mereka datang bersama-sama di dalam pasar, dan melalui perjanjian (kontrak) di antara mereka sendiri yang mana mereka dapat meningkatkan sendiri kesejahteraan mereka. Dengan demikian, orang akan mengikuti kepentingan pribadi mereka baik di dalam politik maupun pasar, akan tetapi dengan motivasi diri sendiri mereka dapat saling menguntungkan melalui pengambilan keputusan kolektif (Nugroho, 2014).
j. Model Pengamatan Terpadu (Mixed Scaning)
Model Pengamatan Terpadu merupakan perpaduan model rasional-komprehensif dan Inkremental, karena kedua model ini sulit untuk diaplikasikan atau setidak-tidaknya masing-masing mempunyai kelemahan. Dalam model rasional-komprehensif untuk membuat suatu keputusan harus menganalisis semua alternatif yang ada sehingga akan menghasilkan sesuatu yang tidak efisien, sedang model inkremental cenderung mempertahankan status-quo, melupakan kebutuhan pihak-pihak yang tidak atau kurang mempunyai kekuasaan dan mengabaikan inovasi sosial. Model pengamatan terpadu intinya merupakan gabungan unsur-unsur kebaikan model rasional-komprehensif dan inkremental (Suntoro dan Hariri, 2015).
6. Model-model Implementasi kebijakan Publik
Model-model implementasi kebijakan sangat mempengaruhi efektivitas implementasi suatu kebijakan. Model implementasi kebijakan terbagi dalam tiga model, yaitu model rasional atas-bawah (top down), model rasional bawah-atas (bottom-up) dan model teori-teori sintesis (hybrid theories) (Suntoro dan Hariri, 2015).
a. Model rasional atas-bawah (top down)
Model rasional (top down) lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan. Model atas bawah menekankan terutama pada kemampuan pembuat keputusan untuk menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas dan pada pengendalian tahap implementasi (Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney, 2015). Model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Van Meter dan van Horn menyatakan bahwa standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka akan terjadi multi tafsir dan akan mudah menimbulkan konflik di antara para pelaksana sebagai implementor. Selain itu perlu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya manusia, maupun sumberdaya non-manusia. Selain sumberdaya, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan lembaga lain. Dengan demikian diperlukan koordinasi dan kerjasama antarlembaga untuk keberhasilan suatu program (Wibawa, 1994).
b. Model pendekatan bawah-atas (bottom-up)
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Kritik bawah-atas melihat birokrat lokal sebagai aktor utama dalam penyampaian kebijakan dan memahami implementasi sebagai proses negosiasi dalam jaringan pelaksana. Parsons mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom-up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur (Wibawa, 1994).
c. Model teori-teori hasil sintesis (Hybrid Theories)
Model rasional (top-down) memusatkan perhatian pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi perilaku. Sintesis ini disempurnakan melalui pendekatan policy subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan. Teori hibrida mencoba mengatasi kesenjangan antara dua pendekatan tersebut dengan menggabungkan unsur-unsur model atas-bawah, bawah atas dan model teoritis lainnya (Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney, 2015).
Untuk melihat bagaimana implementasi KKNI di perguruan tinggi tidak bisa semata-mata menggunakan model rasional (top down) atau model partisipasi (bottom up). Sebab, kebijakan KKNI merupakan kebijakan yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada perguruan tinggi sesuai dengan otoritas perguruan tinggi yang diakui pemerintah Indonesia. Meskipun pendidikan tinggi diberi kewenangan dalam menerapkan KKNI, tetapi dalam praktiknya pemerintah tidak lepas kontrol sama sekali terhadap proses penerapan KKNI di perguruan tinggi.
7. Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut William N Dunn, “Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal, pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis kebijakan arti satuan nilainya. Dalam arti spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan (Dunn, 2003). Hasil kebijakan menurutnya dikatakan mempunyai nilai, karena hasil kebijakan tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi (Dunn, 2003).
David Macmias menjelaskan evaluasi kebijakan sebagai: “Suatu pengkajian secara sistematik dan empiris terhadap akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut (Lembaga Administrasi Negara, 2008).
Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pola kegiatan yang berurutan, maka dapat dipahami bahwa evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun, secara umum evaluasi kebijakan sebagaimana dikatakan Winarno, sejalan dengan apa yang dikatakan David Macmias dapat dikatakan sebagai, “tindakan yang menyangkut estimasi atas penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Winarno, 2007).” Dengan demikian jelaslah bahwa evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan kebijakan sebagaimana juga dikatakan Leo Agustino, “evaluasi kebijakan sebenarnya juga membahas persoalan perencanaan, isi, implementasi, dan tentu saja efek atau pengaruh dari kebijakan itu sendiri (Agustino, 2008).” Selanjutnya, mengutip Laster dan Steward, Agustini menjelaskan, “Evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan (Agustino, 2008).
Evaluasi kebijakan memberikan informasi yang membolehkan stakeholders mengetahui apa yang terjadi berikutnya dari maksud kebijakan. Evaluasi juga memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan. Pada tingkat kompleksitas lebih besar, pelaksanaan yang dicapai sesuai sasaran. Akhirnya, evaluasi dapat memberikan pemahaman terhadap keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran kebijakan (Syafaruddin, 2008).
d. Model-model evaluasi kebijakan
Berdasarkan penjelasan tentang evaluasi kebijakan diketahui bahwa evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada tiap tahapan. Evaluasi kebijakan dapat dibedakan menjadi “evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan (Nugroho, 2006).” Namun, konsep “evaluasi” selalu terikat konsep ‘”kinerja’ sehingga evaluasi kebijakan publik pada ketiga wilayah itu bermakna kegiatan pasca. Jadi evaluasi kebijakan publik tidak hanya pada implementasi kebijakan, tetapi juga berkenaan dengan perumusan, implementasi, dan lingkungan kebijakan publik, atau seluruh tahapan kebijakan publik.
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
1). Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik yang berlainan;
2). Mengarah pada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah pada inti permasalahannya.
3). Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan (Nugroho, 2006).
Mengenai evaluasi implementasi kebijakan berdasarkan waktu dilakukannya evaluasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses. Evaluasi setelah kebijakan disebut evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh (outcome) kebijakan, atau sebagai evaluasi sumatif (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Sedang evaluasi lingkungan kebijakan menganalisis lingkungan implementasi kebijakan terkait dengan faktor-faktor lingkungan apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil diimplementasikan. Evaluasi lingkungan kebijakan penerapan KKNI ini penting karena peguruan tinggi sebagai sasaran kebijakan KKNI amat beragam, dan saat ini pendidikan tinggi di Indonesia sedang menghadapi ancaman persaingan global dalam bidang pendidikan, demikian juga luaran pedidikan tinggi harus menghadapi derasnya tenaga asing yang masuk ke Indonesia. Lahirnya kebijakan KKNI itu sendiri juga tidak terlepas dari usaha untuk menjawab persoalan persaingan global dalam bidang pendidikan tinggi, secara khusus luaran pendidikan tinggi yang harus berkompetesi dengan tenaga kerja luar negeri.
Obyek evaluasi dalam kajian ini adalah evaluasi kebijakan, maka fenomena yang akan dinilai terkait dengan kebijakan penerapan KKNI ini adalah berkaitan dengan tujuan, sasaran kebijakan, kelompok sasaran (target groups) yang ingin diintervensi, responsi dari lingkungan kebijakan, kinerja yang dicapai dan dampak yang terjadi. Selanjutnya untuk mengevaluasi komponen-komponen program kebijakan penerapan kebijakan KKNI tersebut akan dianalisis menggunakan evaluasi program yang sesuai dengan model kebijakan penerapan KKNI tersebut.
B.Deskripsi Konsep Kebijakan KKNI Bidang Pendidikan Tinggi
1.Konsep Kerangka Kualifikasi Nasional
Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework) tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada banyak negara di dunia. Kerangka kualifikasi nasional merupakan fenomena global, 70 negara di seluruh dunia saat ini sedang mengembangkan Kerangka kualifikasi nasional, baik itu negara-negara yang maju dalam industri dan perekonomiannya, negara-negara anggota Uni Eropa, dan juga negara-negara berkembang di Asia dan di Afrika. Kerangka kualifikasi nasional ini merupakan isu besar terkait dengan elemen pendidikan dan ketenagakerjaan. Mengenai Kerangka Kualifikasi Nasional, Gavin Heron & Pam Green Lister menjelaskan, bahwa “kerangka kualifikasi nasional dimaksudkan untuk memberikan pedoman cara mengkualifikasikan level-level pendidikan yang berbeda dan membandingkannya baik secara nasional maupun internasional dengan cara yang memungkinkan (Heron dan Lister, 2014).
Secara umum, kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai "deskripsi sistematis kualifikasi suatu sistem pendidikan (Heron dan Lister, 2014). Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional (Spudyte,Vengris, Misiunas, 2006). Lahirnya penetapan Kerangka Kualifikasi Nasional di seluruh belahan dunia ini tidak terlepas dari sebuah langkah yang paling penting dalam reformasi akademik yang dilakukan di Eropa, dinyatakan dalam Deklarasi Bologna yang menegaskan demikian:
We must look with special attention at the objective to increase the international competitiveness of the European system of higher education. The vitality and eficiency of any civilization is measured, in fact, by the attraction that its cultural system exerts on other countries. We need to ensure that the European system of higher education acquires in the world a degree of attraction equal to our extraordinary cultural and scientic traditions(Maruk C. Van Der Wend, 2000).
2. Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional di Indonesia
Perumusan kebijakan KKNI melewati jalan yang cukup panjang, sejak ditetapkannya KKNI pada bidang pelatihan kerja, yaitu dalam undang-undang tentang sistem pelatihan kerja nasional, dalam peraturan tersebut juga telah ditetapkan bahwa kebijakan KKNI untuk bidang pendidikan tinggi akan ditetapkan lewat peraturan Presiden. Periode waktu penetapan KKNI dalam peraturan Presiden juga membutuhkan waktu yang lama, sekitar enam tahun. Berarti sesungguhnya perumusan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi terbilang cukup lama.
Berdasarkan Booklet tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Nasional yang berisi Kajian tentang implikasi dan implementasi KKNI dapat dipahami bahwa rumusan kebijakan KKNI tersebut lahir dengan kajian yang mendalam dan melibatkan banyak policies stakeholder. Pada proses penyusunan konsep-konsep KKNI, studi banding juga telah dilakukan ke berbagai negara untuk dapat mengembangkan KKNI yang sebanding dengan kerangka kualifikasi negara-negara lain. Kesepadanan antara KKNI dengan kerangka kualifikasi negara-negara lain sangat diperlukan agar KKNI dapat dipahami dan diakui sebagai sebuah sistem kualifikasi yang handal dan terpercaya. Dengan adanya pengakuan dan kepercayaan KKNI maka kerjasama atau program penyetaraan kualifikasi ketenagakerjaan antara Indonesia dengan negara-negara lain akan lebih mudah diwujudkan, Jadi, pengembangan KKNI juga merujuk dan mempertimbangkan sistem kualifikasi negara lain seperti Eropa, Australia, Inggris, Scotlandia, Hongkong, dan Selandia baru.
5. Tujuan Kebijakan KKNI
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa, tujuan Sistem Pelatihan Kerja Nasional adalah, mewujudkan pelatihan kerja nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja. Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 1 diterangkan bahwa dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai yang tertinggi. Jadi, jelaslah dapat diketahui bahwa tujuan kebijakan KKNI adalah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Tujuan kebijakan KKNI dalam Peraturan Presiden yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 memiliki tujuan yang sama sebagai kerangka penjenjangan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 pasal 1 menerangkan, “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.” Bunyi pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 ini tidak berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012. Kemudian dalam istilah yang tidak berbeda pernyataan tersebut ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bagian kelima dari undang-undang tersebut pasal 29 menjelaskan tentang KKNI seperti berikut: (1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan “kompetensi kerja” sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. (2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan “kompetensi lulusan” pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. (3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat diketahui penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi bertujuan agar tamatan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang sesuai dengan struktur pekerjaan yang tersedia, sehingga ada kesesuaian antara luaran pendidikan tinggi dan kebutuhan tenaga kerja. Menurut kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional serta sistem penilaian kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) nasional, yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia nasional yang bermutu dan produktif.
C. Model Evaluasi Kebijakan KKNI
Tujuan penelitian ini adalah meneliti kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi. Fenomena yang dievaluasi adalah substansi kebijakan KKNI di jenjang perguruan tinggi. Model evaluasi kebijakan KKNI ini akan meneliti struktur kebijakan KKNI, substansi rumusan kebijakan KKNI sebagai kebijakan bidang pendidikan tinggi, serta prosedural perumusan kebijakan KKNI dilihat dari pihak-pihak yang terlihat dalam perumusannya (Policies Stakeholders). Pembuatan suatu kebijakan publik meskipun ada Instansi/Organisasi Pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya, misalnya Undang-undang tentang Pendidikan, yang berwenang membuat adalah Departemen Pendidikan Nasional, tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya, banyak instansi/ organisasi pemerintah ataupun organisasi bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR, Departemen Hukum & HAM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Presiden yang mengesahkan Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/organisasi-organisasi yang terlibat tersebut disebut policy Stakeholders (Lembaga Administrasi Negara, 2008).
Dalam penelitian ini jenis evaluasi yang digunakan adalah jenis evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan yang sedang berjalan dan hasil evaluasinya akan berfungsi sebagai umpan balik dan pemberian penilaian atau masukan untuk kemajuan dan efektivitas dari kebijakan KKNI tersebut, sedangkan secara terminonologi, model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi deskriptif yang terdiri atas seperangkat pernyataan generalisasi yang mendeskripsikan, memprediksi atau menjelaskan aktivitas evaluasi.
Penelitian ini akan akan menggunakan pendekatan evaluasi kualitatif. Evaluasi kualitatif dalam hal ini lebih menekankan pada pengembangan kronologi perumusan kebijakan KKNI dengan semua komponen-komponen yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode qualitatif ini digunakan dengan alasan karena masalah-masalah penelitian perlu di gali untuk mendapatkan sebuah pengertian yang mendalam (Creswell, 2007). Lebih jauh Creswell menjelaskan: This exploration is needed, in turn, because of a need to study a group of population, identify variable that can then be measured, or hear silenced voices.(Creswell, 2007.”
Data kualitatif bisa berupa dokumen atau catatan dari interview, catatan observasi lapangan, hasil kuesioner, hasil foto, video, email dan hasil pertemuan dengan responden Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, dalam Joseph S. Wholey, et.al., 2010). Data kualitatif ini memungkinkan pembaca mendapatkan pemahaman yang melampaui angka-angka dan statistik inferensi (Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, dalam Joseph S. Wholey, et.al.,2010). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik kondisi yang alami, sumber data primer, dan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi ( Ghony dan Almanshur, 2012). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian evaluasi ini adalah wawancara (interview) untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari respondenm (Sugitono, 2012). Teknik yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam.
Teknik analisis data kualitatif secara tipikal mengikuti langkah-langkah pengumpulan data yang dikumpulkan kedalam kategori-kategori informasi yang disusun. Teknik pengumpulan data secara kualitatif menggunakan teknik triangulasi artinya pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus sampai mendapatkan data jenuh (Sugiyono, 2012).
Selanjutnya, mengenai teknik analisis data kualitatif ini dilakukan dengan menyusun data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sitematis agar temuan tersebut dapat menjadi bahan informasi. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir data berupa informasi itu, menjabarkannya dalam unit-unit dengan melakukan sintesa, kemudian menyusun dalam pola, memilih yang penting untuk dipelajari, dan kemudian dibuat kesimpulan (Sugiyono, 2012).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Evaluasi kebijakan KKNI di perguruan tinggi ini meneliti struktur kebijakan KKNI, rumusan, kondisi perguan tinggi sebagai pelaksana kebijakan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kebijakan KKNI. Evaluasi kebijakan penerapan KKNI ini juga akan menilai struktur kebijkaan KKNI, bagaimana proses perumusan dan pembuatan kebijakan KKNI. Karena bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau kebijakan tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan tidak akan tercapai (Widodo, 2006). Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Parsons, pembuatan kebijakan tidak mencapai tujuan sering kali disebabkan karena kebijakan itu tidak didefiniskan dengan baik (Parsons, 2006).
Bagian pembahasan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dituangkan dalam rumusan masalah.
1. Evaluasi Struktur Kebijakan KKNI
Untuk memahami dengan baik mengenai struktur kebijakan KKNI, bagian ini akan memaparkan mengenai undang-undang yang menetapkan kebijakan KKNI beserta isi rumusan kebijakan yang ditetapkan. Paparan mengenai data-data tersebut dituangkan dalam bentuk tabel yang terdiri dari kolom mengenai undang-undang atau peraturan yang memuat ketetapan KKNI, kolom isi rumusan ketetapan KKNI dan keterangan yang merupakan penjelasan.
Berdasarkan penjelasan mengenai model-model perumusan kebijakan KKNI yang dipaparkan dalam bab 2 dapat dipahami bahwa model yang digunakan dalam perumusan kebijakan KKNI adalah model campuran, yakni antara model elite, model rasional dan model publik. Model elite lebih dominan dibandingka kedua model lain. Hal ini dapat diketahui karena Peraturan Presiden ditetapkan mengacu pada Undang-undang Tenaga kerja tahun 2006.
Peraturan Presiden semestinya ditetapkan untuk melaksanakan undang-undang, pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden tentang KKNI belum ada undang-undang pendidikan tinggi yang mengatur tentang KKNI, maka untuk mendapatkan landasan Peraturan Presiden tentang KKNI ditetapkanlah Undang-undang Pendidikan Tinggi tahun 2012. Dengan demikian jelaslah bahwa penetapan KKNI merupakan inisiatif eksekutif. Petunjuk pelaksanaan ketetapan KKNI ini dalam permendikbut 2013 tentang KKNI baru ditetapkan setelah lahirnya Undang-undang Pendidikan tinggi yang memuat ketetapan tentang KKNI. Dengan demikian tepatlah jika dikatakan bahwa kebijakan ini “merupakan produk elite, dan bisa dikatakan merefleksikan nilai-nilai elite untuk penguatan kepentingan-kepentingan mereka (Winarno, 2007).
2. Evaluasi Rumusan KKNI
Selanjutnya, karena Peraturan Presiden Tahun 2012 tentang KKNI ini ditetapkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah no 32 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional maka model rumusan kebijakan KKNI dalam Peraturan Presiden ini bisa dikelompokkan ke dalam model inkremental, yakni model perumusan kebijakan yang melihat kebijakan publik pada hakikatnya sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah di masa lampau. Jadi model inkremental kebijakan hanya menghasilkan rumusan kebijakan berupa perubahan-perubahan seperlunya (Wahab, 2008). Kelemahan kebijakan inkremental ini terlihat dari alasan yang mendasari digunakannya model ini, antara lain pembuat kebijakan tidak memiliki waktu, intelektualitas maupun biaya memadai untuk penelitian terhadap nilai-nilai yang merupakan landasan bagi perumusan kebijakan (Wibawa, 1994).
Berdasarkan proses perumusannya, dapat diketahui bahwa kebijakan KKNI merupakan hasil interaksi di antara institusi-institusi negera, seperti layaknya jenis kebijakan Kontinentalis. Berbeda dengan kebijakan Anglo-saxon yang memahami kebijakan publik sebagai turunan politik demokrasi, dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah interaksi antara negara rakyat (Wibawa, 1994). Dengan demikian dapat dipahami bahwa model perumusan kebijakan KKNI yang elitis, inkrementalis ini, tidak sesuai dengan konstitusi negeri ini yang menetapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Mestinya model rumusan pendidikan sebuah negara demokratis seperti Indonesia mengadopsi model kebijakan publik yang demokratis.
Rumusan kebijakan KKNI semestinya mudah dipahami oleh pendidikan tinggi jika perumusannya melibatkan perguruan tinggi (model pilihan publik), dan sebelum rumusan itu ditetapkan, sosialisasi terhadap rumusan kebijakan KKNI telah dilakukan pada setiap perguruan tinggi dengan alokasi waktu yang memadai, Pemerintah selayaknya memberi kesempatan perguruan tinggi memberikan revisi-revisi agar kebijakan KKNI dapat diterapkan di perguruan tinggi, karena persoalan pengelolaan pendidikan tinggi, yang lebih memahami adalah aktor-aktor yang berada di perguruan tinggi, dan itu sesuai dengan otonomi perguruan tinggi yang juga telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan tinggi.
Secara rasional, sulit dipahami bagaimana pemerintah bisa merasa lebih tahu, bahwa solusi terbaik untuk menjadikan perguruan tinggi lebih berkualitas ada pada birokrasi, padahal aktor-aktor diperguruan tinggi sesungguhnyalah yang lebih paham perihal bagaimana menjadikan perguruan tinggi dapat menghasilkan luaran perguruan tinggi yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Itulah sebabnya, Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi pasal 22 ayat 1 menetapkan, bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi pengelolaan perguruan tinggi terdiri dari otonomi di bidang akademik, yakni dalam hal penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi perguruan tinggi tersebut jelaslah, bahwa Peraturan Presiden tentang kebijakan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.
Perumusan kebijakan KKNI yang elitis ini kurang memperhatikan bahwa suatu kebijakan yang dipandang baik oleh pemerintah, boleh jadi tidak baik bagi kalangan perguruan tinggi. Keberhasilan kebijakan sesungguhnya terkait erat dengan strategi kebijakan yang tepat, yang mampu mengakomodasi berbagai pandangan serta kepentingan yang beragam (Abidin, 2016).
Isi peraturan Presiden tahun 2012 tentang KKNI, hanya memuat hal-hal yang sedikit berbeda dengan ketentuan KKNI dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Kerja Nasional. Perbedaan utamanya hanyalah, jika pada peraturan sistem kerja nasional KKNI ditetapkan sebagai kualifikasi untuk lulusan pelatihan kerja, maka dalam Peraturan Presiden KKNI mencakup kualifikasi kompetensi lulusan untuk semua jenis pendidikan, baik itu pelatihan kerja (pendidikan nonformal), pendidikan formal, dan pendidikan Informal.
Persoalan lain yang mengemuka tentang isi kebijakan KKNI menurut temuan adalah perihal kontroversi penggunaan istilah “kompetensi”(lihat pembahasan dalam tabel tentang istilah kompetensi). Pada sistem pelatihan kerja digunakan istilah, kompetensi kerja, dan kata kompetensi ini juga digunakan untuk kompetensi lulusan. Berdasarkan buku Panduan Penyusunan Kurikulum yang mengacu pada permendikti 2015 dikatakan, bahwa, kompetensi kerja, berbeda dengan “kemampuan lulusan”, kemampuan lulusan tidak tepat menggunakan kompetensi lulusan, karena kompetensi adalah bagian dari kemampuan lulusan. Penggunaan istilah “kompetensi lulusan” kemudian dimaknai bahwa kompetensi lulusan harus selaras dengan kompetensi kerja, pemaknaan tersebut otomatis melahirkan pandangan bahwa visi, misi institusi pendidikan di reduksi hanya untuk menjadi pemasok tenaga kerja. Berdasarkan hal tersebut di atas jelaslah bahwa kebijakan penerapan KKNI belum menggunakan bahasan yang dapat dipahami secara sama oleh semua pelaksana kebijakan, dan belum dikomunikasikan dengan baik oleh pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan, akibatnya kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi ini menimbulkan keragaman pemahaman.
Tujuan KKNI untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia tidak tersosialisasi dengan baik karena terjadinya keragaman pemahaman terhadap isi kebijakan KKNI, akibatnya penerapan KKNI tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Pemerintah dalam hal ini sepatutnya memahami, informasi kebijakan publik perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah kebijakan agar pelaksana kebijakan dapat melaksanakan kebijakan KKNI, dan agar tujuan dan sasaran kebijakan KKNI untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat tercapai. (Widodo, 2006).
KKNI sebagai sebuah kebijakan publik pendidikan, belum diakui semua dosen proses perumusan kebijakan KKNI melibatkan perguruan tinggi secara konsisten. Bahkan kebijakan penerapan KKNI itu telah masuk dalam proses penerapan ketika belum semua dosen memahami kebijakan KKNI.
Berdasarkan temuan yang dipaparkan di atas jelaslah bahwa dosen perguruan tinggi masih belum semua memamahi struktur kebijakan KKNI,isi rumusan kebijakan, landasan , tujuan dan manfaat dari kebijakan penerapan KKNI. Berdasarkan temuan tersebut diketahui bahwa faktor –faktor itu berpengaruh terhadap hasil kebijakan penerapan KKNI.
3. Evaluasi Lingkungan Implementasi Kebijakan
Data wawancara mengenai lingkungan eksternal kebijakan perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan era global menjelaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk bertahan dalam persaingan global. Tuntutan untuk dapat berkompetensi dengan pendidikan di negara-negara maju menjadi lebih terbuka. Kondisi persaingan global itu menurut responden menjadi salah satu pendorong mengapa perguruan tinggi berusaha menerapkan KKNI dalam kondisi keterbatasan pemahaman atas kebijakan tersebut.
Jadi, keyakinan dosen yang tinggi dari manfaat penerapan kebijakan KKNI tersebut bukan efek langsung dari pemahaman akan rumusan KKNI, tetapi karena efek persaingan global yang harus dihadapi pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi menerapkan KKNI berharap dapat mengatasi persaingan dalam dunia pendidikan, bahkan untuk perguruan tinggi itu menjadi kesempatan untuk meningkatkan kualitasnya dengan membangun kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Perguruan tinggi sebagai pelaksana penerapan kebijakan KKNI memiliki karakteristik yang berbeda-beda, karena itu pelaksana kebijakan dalam hal ini perguruan tinggi perlakuan pemerintah terhadap perguruan tinggi yang beragam itu harus sesuai dengan karakteristik pergururan tinggi yang ada.
lingkungan eksternal kebijakan perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan era global menjelaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk bertahan dalam persaingan global. Tuntutan untuk dapat berkompetensi dengan pendidikan di negara-negara maju menjadi lebih terbuka. Kondisi persaingan global itu menurut responden menjadi salah satu pendorong mengapa perguruan tinggi berusaha menerapkan KKNI dalam kondisi keterbatasan pemahaman atas kebijakan tersebut.
Rumusan kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi belum memperhatikan lingkungan eksternal kebijakan secara komprehensif, akibatnya, kebutuhan perguruan tinggi terhadap alternatif kebijakan, belum dimanfaatkan sebagai pendorong agar perguruan tinggi bergairah untuk menerapkan kebijakan KKNI. Pengaruh lingkungan ini juga penting dalam pembuatan kebijakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi (Dunn, 2003).
Kebijakan KKNI belum diterima sebagai alternative kebijakan pendidikan tinggi dalam mengahadapi ancaman global bidang pendidikan tinggi oleh karena kurangnya pemahaman lingkungan kebijakan KKNI oleh pemerintah. Ancaman pendidikan era global seharusnya menjadi perjuangan bersama antara pemerintah dan pendidikan tinggi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kebijakan KKNI diperguruan tinggi belum memperhatikan lingkungan eksternal kebijakan secara komprehensif, akibatnya dukungan lingkungan terhadap kebijakan itu tidak dapat dimanfaatkan untuk menjadikan KKNI sebagai sebuah alternatif kebijakan untuk perguruan tinggi dapat menghadapi ancaman persaingan global.
3. Evaluasi Dampak Kebijakan KKNI
Berdasarkan data penelitian penerapan KKNI diperguruan tinggi terlihat bahwa kinerja penerapan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan. Kinerja kebijakan penerapan KKNI diperguruan tinggi utamanya dipengaruhi oleh faktor pelaksana kebijakan, dalam hal ini terkait dengan sumberdaya manusia, dana, dan akses informasi.
Faktor kerjasama antar lembaga pelaksana kebijakan, yang kemudian mempengaruhi komitmen pelaksana untuk menerapkan KKNI menurut data belum terjalin dengan baik. Tidak memadainya faktor sumber daya manusia, terlihat dengan masih adanya dosen yang belum memahami rumusan kebijakan KKNI, faktor-faktor itu membuat aktivitas implementasi kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan.
Demikian juga hal nya dengan kebutuhan dana, dan akses informasi yang masih belum tersedia dengan cukup dan secara konsisten. Akibatnya, faktor-faktor tersebut mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan KKNI di perguruan tinggi. Mengutip Edward III, Joko Widodo menjelaskan, bagaimanapun jelas kebijakan tersebut, jika para pelaksana kebijakan kurang mempunyai sumber daya, baik sumber daya manusia, dana, dan akses informasi untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut juga tidak akan efektif (Widodo, 2008).
Proses implementasi program KKNI yang belum berjalan sesuai harapan dalam mencapai sasaran yang diharapkan juga diakui dalam penelitian Lili Marliyah, menurutnya, keterjangkauan proses implementasi awal melalui saluran komunikasi media masa masih terbatas baik secara kuantitatif dan kualitatif (Marliyah, 2015). Faktor lingkungan implementasi kebijakan menurut data belum mendapat perhatian secara komprehensif. Berdasarkan kondisi faktor-faktor tersebut di atas jelas, kebijakan KKNI tersebut penerapannya pun tidak mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan.
Belum maksimalnya penerapan kebijakan KKNI, tepat seperti apa yang dikatakan Parsons, Sebuah kebijakan dinilai dari segi pembuat kebijakannya ketimbang dari segi implementasi dari para pembuat kebijakan lokal dan nasional (Parsons, 2006). Penerapan kebijakan KKNI ini tampaknya masih melandasi perumusan dan implementasi kebijakan, seperti apa yang dikatakan Parsons, mengutip Emile karya Rousseau, “Segala sesuatu adalah baik, jika dirahkan ke tangan pencipta. Segala sesuatu buruk di tangan manusia.” Itulah sebabnya, penerapan KKNI bergantung pada kontrol pemerintah, sebagaimana layaknya, model atas-bawah. Di mana Implementasi kebijakan mulai dengan keputusan yang dibuat pemerintah pusat (Frank Fischer, Gerald J Miller, Mara S. Sidney, 2015). Model atas-bawah ini menurut Parsons, menunjukkan bahwa studi ini di dasarkan pada “model kotak hitam” Proses kebijakan yang terinspirasi oleh analisis sistem (Frank Fischer, Gerald J Miller, Mara S. Sidney, 2015). Model ini mengasumsikan hubungan sebab akibat langsung antara kebijakan dan hasil yang diamati cenderung mengabaikan dampak pelaksana dalam penyampaian kebijakan (Frank Fischer, Gerald J Miller, Mara S. Sidney, 2015).
Belum memadainya penerapan KKNI di perguruan tinggi, meski waktu pelaksanaan telah cukup lama, yakni sejak ditetapkannya Peraturan Presiden 2012, disebabkan karena implementasi kebijakan KKNI itu belum direncanakan dengan baik, pasal tetang penerapan KKNI dalam peraturan Presiden masih belum jelas, sehingga harus dijelaskan dalam permendikbud 2013 tentang pelaksanaan KKNI di perguruan tinggi. Padahal, implementasi kebijakan sesungguhnya merupakan hal yang penting bahkan lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Tanpa implementasi, kebijakan-kebijakan hanya berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip (Lembaga Administrasi Negara, 2008). Akibatnya, pada masa penerapan KKNI belum disertai sanksi, ditemukan data bahwa belum semua perguruan tinggi mempunyai komitmen untuk menerapkan KKNI, setidaknya itu terlihat dari belum tersedianya produk yang diharapkan dari hasil penerapan kenijakan KKNI, apalagi tujuan kebijakan KKNI itu sendiri belum dianggap menjadi tujuan pendidikan tinggi.
Pelaksanaan penerapan KKNI bisa juga dikatakan dilaksanakan dengan pendekatan bawah-atas, karena pelaksana dalam hal ini perguruan tinggi menjadi faktor utama, pendekatan model ini bergantung pada komitmen perguruan tinggi. Bisa dikatakan, kuat tidaknya komitmen perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI memiliki hubungan linier dengan kinerja implementasi kebijakn KKNI. Namun, karena faktor-faktor terkait dengan sumberdaya manusia, dana, akses informasi yang berpengaruh langsung terhadap komitmen perguruan tinggi belum mecukupi, maka penerapan kebijakan KKNI belum sesuai dengan harapan.
Model campuran tampak menjadi model implementasi kebijakan KKNI di perguruan tinggi, karena itu semua faktor yang mempengaruhi kinerja KKNI itu harus ditingkatkan. Data menunjukkan, aktivitas KKNI belum berjalan dengan baik. Karena itu dapat diduga, bahwa ada yang terabaikan dalam perumusan kebijakan KKNI itu.
Kinerja pelaksanaan penerapan KKNI berdasarkan temuan penelitian terhambat karena faktor-faktor penting yang mempengaruhi penerapan KKNI di perguruan tinggi tidak tersedia dengan baik, dan secara konsisten. Masih adanya dosen yang belum memahami kebijakan KKNI dan adanya variasi pemahaman terhadap kebijakan KKNI membuktikan bahwa kurangnya pemahaman terhadap kebijakan KKNI, tujuan serta manfaatnya, otomatis akan mempengaruhi komitmen dosen dan perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI. Faktor komunikasi pemerintah dan perguruan tinggi terlihat jelas dalam proses sosialisasi yang tidak tuntas, baik dalam proses perumusan, maupun dalam proses setelah adopsi kebijakan, untuk kemudian diimplementasikan.
Kinerja implementasi belum sesuai dengan harapan oleh karena kurangnya pemahaman lingkungan kebijakan penerapan KKNI oleh pemerintah. Ancaman pendidikan era global seharusnya menjadi perjuangan bersama antara pemerintah dan pendidikan tinggi, hal itu juga seharusnya menjadi tanggung jawab media. KKNI hanya akrab didiskusikan dalam kalangan birokrat dan belum menyentuh kelompok besar dosen perguruan tinggi.
Temuan data wawancara dan kuesioner menyatakan bahwa kualitas perguruan tinggi di Indonesia tergolong rendah, ini diteguhkan oleh laporan tentang jumlah institusi perguruan tinggi yang telah terakreditas. Lebih dari 50% institusi perguruan tinggi di Indonesia terakreditasi C dan belum terakreditasi. Kondisi lingkungan implementasi kebijakan KKNI ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja implementasi KKNI di perguruan tinggi (Wibawa, 1994).
Kondisi lingkungan perguruan tinggi yang beragam tersebut membutuhkan cara-cara pelaksanaan penerapan KKNI yang beragam, namun realita menunjukkan bahwa penerapan KKNI pada perguruan tinggi yang beragam itu dilaksanakan dengan pendekatan yang sama. Hal itu terjadi karena perumusan kebijakan kurang memperhatikan kebijakan. Lingkungan kebijakan yang sesungguhnya memberikan pengaruh kuat pada rumusan kebijakan. Tanpa pemahaman lingkungan kebijakan yang menyeluruh, maka rumusan kebijakan tidak akan menjawab kebutuhan sasaran kebijakan yang berada dalam lingkungan itu (Nugroho, 2014).
Untuk perguruan tinggi berkualitas, menyelenggarakan workshop atau pelatihan secara mandiri tentu saja bukan masalah berat, namun bagi perguruan tinggi yang terbilang kurang sumber daya, pelatihan atau workshop untuk menerapkan KKNI menjadi tidak mudah, apalagi bagi mereka yang minim akses informasi tentang KKNI. Apabila perumusan kebijakan KKNI memperhatikan assesmen terhadap lingkungan di mana kebijakan KKNI itu di implementasikan, yakni lingkungan keragaman mutu pendidikan tinggi di Indonesia secara komprehensip maka itu akan berpengaruh terhadap kinerja penerapan KKNI di perguruan tinggi (Nugroho, 2015). Mengenai pengaruh lingkungan terhadap kebijakan ini juga diakui oleh Willam N, Dunn, yang berujar, bahwa konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekeliling isu isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri (Wibawa, 1994).
Temuan penelitian menjelaskan bahwa lingkungan ancaman era global terhadap pendidikan tinggi adalah realitas yang harus dihadapi perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap komitmen perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI. Apabila, kondisi itu dipahami dengan baik, maka pemerintah seharusnya dapat menggunakan kesempatan itu untuk meningkatkan sosialisasi kebijakan KKNI. Tujuan kebijakan KKNI untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sesungguhnya selaras dengan Visi, Misi pendidikan tinggi. Namun, karena faktor-faktor itu kurang diperhatikan, maka kinerja penerapan KKNI itu tidak menjawab kebutuhan tinggi di Indonesia.
Kelemahan Model kebijakan inkremental ternyata terkait dengan kebijakan penerapan KKNI, dan itu terlihat pada penerapan kebijakan tersebut yang belum sesuai dengan harapan. Kebijakan penerapan KKNI menurut temuan belum memadai untuk menjawab tantangan pendidikan era global, yang memunculkan tuntutan-tuntutan baru bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk dapat bersaing atau setidaknya bertahan hidup (Wibawa 1994).
Pemerintah dalam hal ini, mungkin tepat seperti yang dikatakan Solichin Abdul wahab, melandasi pembuatan kebijakan KKNI tersebut sebagai jalan aman karena Peraturan Presiden tentang KKNI hanya memodifikasi program KKNI yang sudah ada dalam Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Kerja Nasional (Wahab, 2008).
Penilaian terhadap hasil kebijakan penerapan KKNI adalah untuk memperkirakan apakah intervensi melalui penerapan kebijakan KKNI itu sesuai dengan harapan atau tidak. Apakah intervensi pemerintah kepada sasaran kebijakan penerapan KKNI itu telah mencapai hasil yang diharapkan, yaitu untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia dengan meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi, serta mendekatkan pendidikan tinggi dengan dunia kerja, dan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam persaingan dengan tenaga kerja asing melalui penetapan acuan kualifikasi kemampuan lulusan perguruan tinggi yang menjadi sasaran kebijakan KKNI (Parsons, 2006).
Sedang tujuan dasar penilaian dampak adalah untuk memperkirakan efek bersih dari kebijakan penerapan KKNI, yaitu perkiraan dampak yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses dan kejadian lain yang mungkin mempengaruhi sikap pelaksana, atau sasaran kebijakan penerapan KKNI yang sedang di evaluasi (Parsons, 2006). .
Melihat kerja sama antarinstitusi pelaksana yang belum berjalan dengan baik, dan belum semua program studi memiliki asosiasi program sejenis, dengan sendirinya hasil yang di dapat tidak sesuai dengan harapan. Laporan data mengenai pemahaman dosen dan perguruan tinggi terhadap tujuan dan sasaran kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi di mana belum semua perguruan tinggi memenuhi kompetensi sesuai dengan kriteria berakibat tujuan dan sasaran penerapan kebijakan KKNI tidak sesuai dengan harapan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Kebijakan KKNI yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Pada kedua perundang-undangan itu, KKNI ditetapkan sebagai acuan dalam penetapan kualifikasi tenaga kerja Indonesia, dan luaran pendidikan tinggi. Acuan yang sama itu diharapkan dapat mengintegrasikan lulusan pelatihan kerja dan luaran pendidikan tinggi. Perbedaan pada kedua perundang-undanagan itu adalah, Peraturan Presiden No 8 Tahun 2012 menetapkan KKNI pada semua jenis pendidikan baik formal, nonformal, dan informal. Sedang dalam Peraturan Pemerintah tentang isstem kerna nasional, KKNI hanya menjadi acuan bagi lulusan pelatihan kerja.
Kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi kemudian juga ditetapkan dalam undang-undang pendidikan tinggi tahun 2012. Penetapan itu bertujuan untuk mendapatkan landasan yang kuat dari Peraturan Presiden tentang KKNI, karena peraturan Presiden selayaknya adalah untuk melaksanakan undang-undang. Dengan dasar itulah maka ketetapan tentang KKNI ditetapkan dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi tahun 2012. Setelah Peraturan Presiden tentang KKNi memiliki dasar hukum yang kuat dalam undang-undanmg pendidikan tinggi kemudian petunjuk pelaksanaan KKNI yang ditetapkan dalam KKNI ditetapkan dalam Permendikbud 2013 tentaang Penerapan Kebijakan KKNI bidang pendidiikan tinggi.
Kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi berdasarkan struktur kebijkan menganut model elite, sebuah kebijakan yang mencerminkan kepentingan elite. Model kebijakan ini tidak tepat dalam negara Indonesia yang menganut demokrasi, mestinya kebijkan ini disusun sesuai dengan model pemerintahan demokrasi, yang lebih sesuai adalah model kebijakan pilihan publik, dalam hal ini pilihan perguruan tinggi di Indonesia yang amat beragam, demikian juga dengan stakeholder pendidikan tinggi.
Formulasi kebijakan KKNI dalam beberapa ketetapan tentang KKNI terdapat penggunaan istilah yang multi tafsir, seperti penggunaan kata “Kompetensi” yang menimbulkan tafsiran beragam. Istilah “Kompetensi kerja” untuk lulusan pelatihan kerja, dengan “Kompetensi lulusan”, untuk lulusan perguruan tinggi seakan tidak ada perbedaan. Untuk membedakannya istilah “Kompetensi lulusan” dalam Buku Panduan Penyusunan Kurikulum 2016 menggunakan “Kemampuan lulusan” Ketidaktepatan dalam penggunaan istilah tersebut telah menimbulkan tafsiran beragam terhadap rumusan KKNI.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kebijakan penerapan KKNI belum tersedia dengan cukup dan konsisten, akibatnya hasil kebijakan KKNI bisa tidak sesuai dengan input kebijakan KKNI. Berdasarkan hasil penelitian di tiga sampel perguruan tinggi terkait kinerja kebijakan KKNI di perguruan tinggi, kebijakan KKNI belum menghasilkan produk sesuai dengan yang diharapkan, karena masih ada pergguruan tinggi yang belum menghasilkan produk yang diharapkan dari hasil penerapan KKNI antara lain produk kurikulum yang mengacu pada KKNI.
Penerapan KKNI di perguruan tinggi utamanya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti rumusan kebijakan KKNI yang belum dipahami dengan baik oleh semua perguruan tinggi, dan itu terbukti dengan adanya variasi pemahaman tentang KKNI. Faktor lainnya adalah terkait dengan sumber daya manusia, dana dan akses informasi. Karaktersitik pendidikan tinggi di Indonesia yang pada umumnya masih rendah, diukur dari tingkat akreditasi institusi yang pada umumnya terakreditasi C dan belum terakreditasi mempengaruhi komitmen pelaksana untuk menerapkan kebijakan KKNI di perguruan tinggi.
Kinerja kebijakan KKNI diperguruan tinggi juga dipengaruhi kerjasama antarlembaga pelaksana yang belum sesuai dengan harapan. Hal ini dapat didukung data bahwa kebijakan KKNI yang bersifat elitis dalam perumusannya kurang melibatkan perguruan tinggi, itu terlihat dari kegagalan sosialisasi KKNI dimana belum semua dosen memahami dengan baik isi kebijakan KKNI.
Berdasarkan hasil evaluasi dampak kebijakan penerapan KKNI diperguruan tinggi ditemukan, bahwa penerapan KKNI di perguruan tinggi menurut pengakuan dosen pada umumnya belum menghasilkan dampak yang signifikan bagi peningkatan kualitas lulusan, demikian juga untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, serta mendekatkankan antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja.
Kebijakan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai harapan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi adalah karena tidak tersedianya sumber daya manusia, dan dan akses informasi. Pengaruh lainnya adalah kurangnya kerja sama antarpelaksana penerapan KKNI, demikian juga lembaga-lembaga lain yang memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas perguruan tinggi. Tidak tersedianya faktor-faktor input itu secara cukup dan konsisten kemudian mempengaruhi sikap pelaksana yang akhirnya mempengaruhi kinerja penerapan KKNI di perguruan tinggi.
Tujuan kebijakan penerapan KKNI sebagai acuan untuk penyetaraan lulusan perguruan tinggi dengan lulusan pelatihan kerja pada pelaksanaannya belum sesuai dengan harapan, karena penetapan KKNI sebagai acuan luaran pendidikan tinggi belum diterapkan pada semua pendidikan tinggi..
Kebijakan penerapan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi yang diakui dalam undang-undang. Karena tumpang tindih kebijakan itulah menurut temuan, pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Rekomendasi
Kebijakan KKNI di perguruan tinggi di rekomendasikan untuk dilanjutkan dengan perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan klarifikasi atas istilah “kompetensi” dalam penggunaan pada kompetensi kerja dan kompetensi lulusan, yang kemudian untuk istilah kompetensi lulusan dirubah menjadi kemampuan lulusan. Sosialisasi kebijakan KKNi perlu ditingkatkan untuk mendapatkan pemahaman yang sama terhadap struktur dan rumusan kebijakan KKNI.
Acuan KKNI sebagai kualifikasi lulusan perguruan tinggi harus tetap terbuka pada perkembangan ilmu pengetahuan, dan penyetaraan antara dunia kerja dan dunia pendidikan dan diserahkan kepada perguruan tinggi dengan otonominya.
Bagi pemerintah
pemerintah harus terus meningkatkan sosialisasi kebijakan KKNI agar semua dosen di perguruan tinggi memahami kebijakan penerapan KKNI, karena keragaman respon terhadap KKNI lebih disebabkan pada ketidakpahaman tentang KKNI, namun pemerintah juga tidak perlu menentukan batas waktu yang sama untuk perguruan tinggi dalam melakukan perubahan kurikulum, karena jika perubahan kurikulum yang menjadi tujuan utama, tanpa peningkatan kualitas SDM perguruan tinggi, yang terjadi hanyalah perubahan dokumen kurikulum tanpa peningkatan kualitas.
Pemerintah wajib memfasilitasi agar kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi melibatkan stakeholder sehingga usaha mendekatkan perguruan tinggi dengan dunia kerja dapat terlaksana. Pemerintah tidak perlu menetapkan batas waktu untuk setiap perguruan tinggi menghasilkan produk berupa kurikulum mengacu KKNI, pemerintah cukup menginfomasikan kepada masyarakat perguruan tinggi dan masyarakat luas mengenai kurikulum sebuah perguruan tinggi sebagai akses informasi bagi perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI.
Bagi Pendidikan Tinggi/Pengelola Pendidikan
Pendidikan tinggi seharusnya berusaha keras menghadirkan dirinya sebagai pendidikan yang berkualitas, apalagi pendidikan tinggi dijadikan tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan luaran dengan kualitas yang tinggi, untuk dapat diserap dunia kerja. KKNI sebagai acuan kualifikasi luaran perguruan tinggi perlu dipahami dengan baik agar penerapannya di perguruan tinggi tidak mereduksi Visi, Misi perguruan tinggi dan program studi yang ada.
Karena untuk menghadirkan pendidikan tinggi yang berkualitas pemerintah telah menetapkan KKNI sebagai acuan kualifikasi luaran perguruan tinggi maka perguruan tinggi harus aktif mempelajari kebijakan KKNI yang perumusannya juga telah mengundang perguruan tinggi dalam uji publik. Perguruan tinggi harus memberikan masukan kepada pemerintah sebagai pembuat regulasi tentang hal-hal yang diperlukan untuk penerapan KKNI, karena kurikulum sebuah perguran tinggi tidak pernah stagnan, dan selalu dinamis sesuai dengan perkembangan jaman.
Bagi Dosen
Dosen sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan tinggi harus terus meningkatkan kemampuan dirinya, baik dalam hal meningkatkan pengetahuan keilmuannya, demikian juga dalam pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI. Dosen harus berusaha untuk memahami isi kebijakan KKNI dengan baik, terlebih lagi dalam mengintegrasikan luaran pendidikan tinggi dan dunia kerja. Workshop-workshop terkait dengan penerapan KKNI harus diikuti oleh setiap dosen, demikian juga pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dosen dalam menerapkan KKNI. Pada saat yang sama dosen dapat memberikan masukan-masukan bagi pengembangan kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. (2016), Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika..
Agustino, Leo. (2008), Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: AlfaBeta.
Anggara, Sahya. (2014), Kebijakan Publik. Bandung: Pustaka Setia.
Creswell, John W. (2012), Educational Research, Boston: Pearson.
Creswell, John W. (2007), Qualitatif Inquiry and Research Design, London: Sage Publication.
Dunn, William N. (2013), Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Dye, Thomas R. (1978), Understanding Public Policy. Florida: Euglewood Cliffs.
Fernie, Scott. Nick Pilcher & Karen L. Smith. (2013),“The Scottish Credit and Qualifications Framework: what’s academic practice got to do with it?” European Journal of Education, Vol. 49, No. 2.
Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015), Hanbook Analisis Kebijakan Publik. penerjemah Imam Baihaqie, Bandung: Nusa Media.
Ghony M Djunaidi, dan Fauzan Almanshur. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Heron, Gavin & Lister, Pam Green. (2014) “Influence of National Qualifications Frameworks in Conceptualising Feedback to Students,” Social Work Education, Vol. 33, No. 4.
Irma Spûdytë, Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas. (2006), “Qualification of Higher Education in The national Qualification Framework,” Vocational education: Research and reality.
Madaus, George F. et all (2000) Evaluation Models, New York: Kluwer Academic Publisher.
Nugroho, Riant.(2014), Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. (2009) Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Nugroho, Riant. (2015), Kebijakan Publik di Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. (2006), Kebijakan Publik. Jakarta: PT Gramedia.
Parsons, Wayne. (2006), Public Policy. Jakarta: Kencana.
Sailah, Illah. dkk, (2014), Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Situmorang, Chazali H.(2016), Kebijakan Publik. Depok: Social Security Development Institutte.
Stufflebeam, Daniel L dan J. Anthony. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, & Applications. San fransisco: John Willey & Sons, Inc., 2007.
Sugiyono. (2012) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Suntoro, Irawan dan Hariri, Hasan. (2015), Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sutrisno, H, dan Suyadi. Desain Kurikulum Perguruan Tinggi .Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016.
Syafaruddin. (2008) Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. (2011), ”Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia, dalam Pedagogik Kritis,” ed. H.A.R Tilaar. dkk., dalam Pedagogik Kritis. Jakarta: Rineka..
Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. (2008) Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Tresina, Novita. Rasionalitas dan Pembuatan Keputusan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.
7.
Van Der Wend, Maruk C. (2000), ”The Bologna Declaration: Enhancing the Transparency and Competitiveness of European Higher Education”. Higher Education in Europe, Vol. XXV, No. 3.
Wahab, Abdul Solichin. (2008), Pengantar Analisis Kebijakan. Malang: UMM Press.
Wholey, Joseph S. Harry P. Hatry, Kathryn E. (2010), Newcomer. Handbook of Practical Program Evaluation . San Francisco: Jossey-Bass.
Wibawa, Samodra. (2006), Kebijakan Publik. Jakarta: Intermedia.
Widodo, Joko.(2006) Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.
Winarno, Budi. (2007), Kebijakan Publik: Teori, Proses, Kasus. Jakarta: Center of Academic Publishing Serivice.
Wirawan. (2012), Evaluasi. Depok: Rajawali Pers.
RIWAYAT HIDUP
Binsar Antoni Hutabarat, dipanggil Binsar, lahir di Jakarta, pada tanggal 19 November 1963. .Anak ketiga dari 9 bersaudara, dari pasangan S.P Hutabarat (alm) dan Sri Ruwijati (alm). Menikah dengan Mariana Maritje Klaas, dan telah mempunyai 2 putra: Theodorus Agustinus Hasiholan, Imanuel Calvin Hasian. Pendidikan: tamat SDN Tomang, Jakarta Barat 1976, SMPN 61 Jakarta Barat, Tamat SMA Negeri 23 Tomang Jakarta Barat Tahun 1983. Melanjutkan ke Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen Perindustrian RI (1983-1986), Tamat S-1 Teologi di STT I-3 Batu, Jawa Timur, Tahun 1995. Tamat S-2 Teologi di STTRII Jakarta Tahun 2006. Studi S-3 di Prodi PEP Pascasarjana UNJ, masuk Februari 2014.
Saat ini menjabat sebagai peneliti senior Reformed Center for Religion and Society (RCRS), Editor Eksekutif Jurnal Societas Dei (Jurnal agama dan Masyarakat), dan juga Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Internasional (STTRII) Jakarta. Aktif sebagai penulis di koran-koran ibu kota, Jurnal dan Majalah.
https://www.binsarinstitute.id/2024/12/national-qualifications-framework.html
Friday, December 20, 2024
NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
Monday, December 16, 2024
Apologetika untuk kemuliaan Tuhan
Apologetika untuk kemuliaan Tuhan, Katolik VS Protestan Perlu Tahu
Apologet-apologet Protestan Tentu akan mengatakan bahwa penjelasan mereka tentang doktrin yang digugat oleh lawan mereka adalah untuk kemuliaan Tuhan. Pertanyaannya, kemudian mengapa Pertarungan apolet Protestan itu tidak jarang saling menghakimi dan menhina para lawannya?
Benarkah bahwa usaha apologet Protestan dan Katolik itu untuk kemuliaan Tuhan?
1. Jika apologet-apologet itu memberitakan kebenaran doktrin itu untuk kemuliaan Tuhan, tentu mereka akan menggunakan cara-cara yang memuliakan Tuhan. Jika pertarungan apologetika Katolik dan Protestan itu untuk kemuliaan Tuhan, maka kita akan melihat cahaya kemuliaan Tuhan dalam diskusi mereka. Youtube bukan dipenuhi penghakiman untuk saling menjatuhkan satu sama lain, karena yang diungkapkan mereka adalah kemuliaan Tuhan.
2. Apologetika bagi kemuliaan Tuhan tidak akan menggunakan cara-cara yang tidak baik, apalagi sekadar membela diri dari ketidaktahuan untuk menjawab pertanyaan lawan. Segala cara yang tidak memuliakan Tuhan, dan menistakan martabat kemanusian pasti dihindari.
3. Apologet Katolik dan Protestan tentu bukan sedang membela Tuhan, apalagi secara bersamaan kemudian menghina sesamanya, tapi apologet Protestan dan katolik menjawab apa yang mereka Imani dengan mengharapkan pembelaan Tuhan, mengharapkan kemuliaan Tuhan dinyatakan, serta memuliaan sesama manusia.
4.Apologetika Kristen dan Protestab perlu menujukkan kelemahlembutan dan hormat terhadap sesama, bukannya sikap arogan yang menghina sesama. Aploget Katolik dan Protestan perlu menjawab apa yang mereka percaya dan mengapa mereka percaya dengan cara-cara Kasih, untuk Apologet Katolik dan Protestan bersama-sama memuliaka Tuhan, dan makin mengenal Tuhan.
Apabila apologet Katolik dan Prrotestan memiliki tujuan untuk kemuliaan Tuhan, Maka ruang apologet di Youtube ini akan membawa semua penontonnya melihat kemuliaan Tuhan, dan kemudian membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Rukun Beragama.
https://www.binsarinstitute.id/2024/12/apologetika-untuk-kemuliaan-tuhan.html
NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...
-
Indiferentisme vs Non-Indiferentisme Hari ini saya akan menjawab tuduhan Patris Allegro yang diterbitkan pada t...
-
KLIK DISINI! Memahami pluralisme agama secara baru Pluralisme agama menurut saya lebih baik dipahami sebagai pengakuan bahwa aga...
-
Penistaan Agama, Belajar dari Kasus Roni Simamora Medsos bisa menampilkan siapa saja jadi pakar, secara khusus Pakar penciptaan ke...