Showing posts with label Agama dan Negara. Show all posts
Showing posts with label Agama dan Negara. Show all posts

Thursday, September 19, 2024

Nilai eksklusive agama

Satu Tuhan banyak agama

Soal nilai-nilai eksklusive agama

 

Dialog agama sejatinya tak boleh meminggirkan nilai-nilai eksklusive agama. Menurut saya dialog yang hanya berada pada tataran nilai-nilai inklusive agama adalah dialog yang semu, dan tak akan membawa pemahaman yang baik terhadap keragaman agama-agama.

Nilai-nilai eksklusive agama perlu dibuka dengan jujur pada dialog antar agama, karena nilai-nilai eksklusive itulah yang membedakan agama-agama. Saya setuju apa yang dikatakan Paus Fransiskus, bahwa keragaman agama-agama adalah sebuah anugerah Tuhan.

Mengapa niai-nilai ekklusive agama-agama perlu diungkapkan dalam dialog antar agama?

Dialog antar agama itu mungkin karena ada keyakinan satu Tuhan banyak agama, sehingga pluralisme diartikan sebagai perjalanan agama-agama yang berbeda itu untuk mendapatkan titik pijak bersama tanpa menihilkan identitas agama-agama yang berbeda.

Melepaskan nilai-nilai eksklusive agama sama saja dengan menyeragamkan agama-agama, dan tidak mungkin terjadi perjumpaan agama-agama yang jujur.

Nilai-nilai ekklusive agama sesungguhnya adalah anugerah Tuhan, yang Maha kuasa itu berkenan dikenal oleh agama-agama dengan segala keterbatasannya. Bahkan nilai-nilai eksklusive agama-agama itu merrupakan perekat individu dan komunitas agama tertentu.

Individu menemukan identitasnya dalam komunitasnya. Sehingga agama yang berbeda itu dapat bersama-sama individu-individu dalam suatu komunitas membangun identitas komunalnya.

Nilai-nilai ekslusive agama itu pada sisi yang lain dapat menguatkan kebersamaan individu dalam satu komunitas, dan nilai-nilai eksklusive bersama pada komunitas agama itu akan membenyuk identitas eksklusive agama.

Niai-nilai eksklusive akan menguatkan individu yang disatukan dalam komunitas yang satu, dalam komunitas itulah individu itu memiliki identitasnya, untuk selanjutnya  dapat memberikan peran positifnya dalam ruang public. Ruang agama-agama yang berbeda itu saling belejar dan bekerja sama untuk membangun dasar bersama , membangun dunia sejahtera bersama dalam dunia milik Tuhan yang satu.

Mengabaikan nilai-nilai eksklusive agama sama saja dengan menyangkali keberagaman agama-agama, sebaliknya menghargai nili-nilai eksklusive agama akan memperkaya pemahaman agama-agama tentang yang lain, dan tentu saja agama itu sendiri.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/09/nilai-eksklusive-agama.html 

Wednesday, September 18, 2024

Pluralisme agama

 

 

Memahami pluralisme agama secara baru

 

Pluralisme agama menurut saya lebih baik dipahami sebagai pengakuan bahwa agama-agama itu pada realitasnya berbeda, tetapi sama-sama mengakui adanya Tuhan yang satu, untuk Indonesia istilah Pluralisme agama itu dinyatakan dalam pernyataan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Agama-agama yang berbeda itu berjalan bersama di atas dasar niai-nilai agama yang eksklusif dan inklusif, dan terus memperkaya diri dalam perjumpaan-perjumpaan yang saling memperkaya diri dengan berpegang pada nilai-nilai inklusif agama, dan secara bersamaan menguatkan nilai-nilai eksklusif agama yang berbeda itu.

Perjumpaan agama-agama yang jujur menurut saya adalah keterbukaan akan adanya nilai-nilai eksklusif agama, dan secara bersamaan juga dapat bergaul dengan jujur dengan agama-agama yang berbeda karena semua agama-agama itu pada realitasnya memang memiliki nilai-nilai inklusif.

Nilai-nilai eksklusif agama perlu diakui dengan jujur, karena itu adalah perjumpaan khusus individu atau komunitas agama tertentu dengan Tuhan. Namun perlu diakui bahwa nilai-nilai itu absolut untuk diri individu atau komunitas agama itu , dan tidak perlu dipaksakan kepada yang lain.

Nilai-nilai agama itu absolut relative, absolut karena merupakan pengalaman nyata perjumpaan individu ata komunitas agama itu, tapi tak dapat digeneralisasi apalagi dipaksakan untuk semua. Pengalaman subyektif hanya benar untuk mereka yang mengalaminya, namun agama yang berbeda tidak perlu menjadi hakim mana agama yang benar dan mana yang salah.

Biarlah Yang Maha Kuasa itu yang akan menghakimi mana agama yang benar, bukan manusia yang terbatas. Cerita Natan yang bijaksana mungkin perlu diangkat kembali untuk memperkaya perjumpaan agama-agama pada saat ini.

Menurut saya pemahaman terkait pluralism agama menjadi penting untuk menghadirkan perjumpaan agama-agama dalam menghadirkan nilai-nilai bersama yang menjadi pijakan bersama agama-agama yang berbeda itu untuk bergaul dengan saling menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/09/pluralisme-agama.html

Tuesday, September 10, 2024

Perdamaian maha karya keadilan


 


Perdamaian adalah mahakarya keadilan

 

Perdamaian adalah mahakarya keadilan merupakan pernyataan yang agung dari mereka yang menjadi penegak keadilan, dan sekaligus pejuang perdamaian.

Perdamaian sebagai mahakarya keadilan secara sederhana dapat dipahami dengan usaha-usaha menghadirkan kebijakan unggul untuk menghadirkan kehidupan yang damai. Sebuah kebijakan unggul adalah kebijakan yang berlandaskan keadilan, dan ketika kebijakan itu dilaksanakan, maka yang hadir adalah keadilan yang memberikan kebaikan bagi semua. Secara bersamaan itu akan menghadirka  perdamaian.

Pernyataan Paus Fransiskus yang tersohor, Perdamaian adalah mahakarya keadilan” bukanlah slogan kosong, tetapi itulah yang dihidupi dan diperjuangkan. Sebuah keyakinan yang bukan hanya dinyatakan dalam komunikasi verbal, tapi juga dihidupi, dan hasilnya dirasakan banyak orang. Tidak heran jika kehadiran Paus Fransiskus begitu memesona. Keadilan adalah inti kasih, mereja yang menegakkan keadilan, tanpa perlu menjadi hakim, akan memancarkan sinar kasih.

Cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk menghadirkan masyarakat adil dan makmur tepat sekali, bumi Indonesia yang kaya dengan sumber alamnya hanya bisa memberi kemakmuran bagi semua jika pemerintah mengelolanya dengan adil. Demikian juga mereka yang mendapatkan hak pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah, patut menyelenggarkan usaha-usaha yang berlendaskan keadilan.

Apabila setiap individu dan komunitas di negeri ini bekerja bersama untuk mencapai kehidupan masyarakat adil dan makmur dengan dinakhodai pemerintah yang adil, maka masyarakat adil dan makmur bukan utopia. Sebagaimana alam bisa memberikan kehidupab pada segala mahkluk, sejatinya alam juga dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama umat manusia.

Dalam perjuangan keadilan kita akan menemukan kebaikan bersama, dan jika kita hidup adil dan memberikan kebaikan bersama, maka yang hadir adalah perdamaian antar sesame, itu semua merupakan mahakarya keadilan.

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/09/perdamaian-maha-karya-keadilan.html 

Wednesday, May 8, 2024

Tindakan kriminal atas nama agama

 


 

 Tindakan kriminal atas nama agama sebagaimana terjadi di Tangerang Selatan baru-baru ini perlu tindakan tegas pemerintah.

Penyerangan terhadap mereka yang beribadah atas nama apapun tak bisa ditolerir. Pemerintah perlu menindak tegas sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Semangat beragama untuk menghadirkan kedamaian sebagaimana di promosikan pemerintah dalam aksi moderasi beragama tampaknya belum sampai padakesadaran masyarakat.

Tentu sajausaha mempromosikan moderasi beragama perlu mendapatkan dukungan semua pihak, itulah sebabnya Indonesia memberikan perlakuan yang sama terhadap semua agama untuk beribadah secara pribadi dan secara komunal.

 https://www.binsarinstitute.id/2024/05/tindakan-kriminal-atas-nama-agama.html

 


Tuesday, January 30, 2024

Agama dan Fanatisme Agama

 “Wajah Ganda Agama Dan Fanatisme Agama ”



 Agama pada satu sisi dapat menjadi agen pembawa damai, namun pada sisi lain juga menampilkan wajah garang yang tampil dalam koflik agama. 

Umat beragama di Indonesia, termasuk umat Kristen perlu mewaspadai fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama yang kerap menampilkan kekerasan agama.

Radikalisme tidak identik dengan terorisme, namun, upaya preventif agar mereka yang memiliki paham radikal itu  tidak terkooptasi menjadi teroris harus dikerjakan secara bersama.


Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. 

Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secara global.  Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci dan agama itu sendiri.


Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu gemar memaksakan kehendaknya seolah-olah menjadi Tuhan atas semua orang.


Kaum radikalisme agama memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. 


Kelompok Radikalisme agama ini kerap  mengumandangkan  penolakannya untuk memberikan proteksi terhadap  kebebasan beragama yang ditetapkan dalam konstitusi negeri ini.


 “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” 


Meningkatnya intoleransi agama tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus meningkat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu sebaliknya makin melemah. 


Dampak Fanatisme Agama 


Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let live). Bahkan  pada beberapa tempat di negeri ini hubungan antarumatt beragama itu sedemikian buruk yakni sudah pada taraf menampilkan hegemoni agama yang menjurus pada kekerasan agama (live and let die). 


Pertumbuhan sebuah agama kerap diringi dengan pembelengguan kebebasan beragama pada agama-agama yang berbeda. Lahirnya perda-perda bernuansa agama, baik perda syariah maupun raperda Injil meneguhkan hubungan antar agama yang amat memperihatinkan itu.


Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai  bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Kondisi terancam itu membuat agama-agama kehilangan kesadaran interdepedensi satu dengan yang lainnya, yang ada hanyalah usaha bagaimana agama-agama itu mempertahankan eksisitensinya tanpa memedulikan akibatnya pada yang lain, atau dengan sengaja menekan pertumbuhan agama yang lain.


Radikalisme dan fanatisme keagamaan yang semakin subur di negeri ini ternyata berdampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang lama bersemayam di negeri ini. Deradikalisasi agama menjadi persoalan penting yang harus dikerjakan dengan serius jika memang kita ingin melihat agama-agama di negeri ini terus menebarkan wajah perdamaian.



Mewaspadai Wajah Ganda Agama


 Di satu sisi, secara unik dan inheren agama hadir dengan berbagai sifat eksklusif, partikularis, dan primordial. Namun di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, ia kaya dengan identitas yang berelemen inklusif, universalis, transendental. Kedua sisi ini datang silih berganti  secara simultan. Itu sebabnya mengapa agama berpotensi menampakkan wajah kekerasan dan wajah perdamaian.


Karena itu penggambaran agama yang melulu penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap.   Karena banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.


Untuk Indonesia, konflik agama terbilang relatif kecil pada era orde lama maupun orde baru. Pada era tersebut, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. 


Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama. 


Jadi konflik agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Bahkan, posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini awalnya telah mempopulerkan Indonesia  sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Perjalanan sejarah negeri ini menyaksikan bahwa agama bukan sumber masalah, dan kontribusi positif agama-agama sangat dibutuhkan. 



Betapapun universalnya suatu agama dan  betapapun kekalnya doktrin-doktrin agama itu, kepercayaan-kepercayaan ini tidak bisa menjadi prinsip ideologis formal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.  


Negara yang  membiarkan agama tertentu menjadi alat penentu untuk memperlakukan para warga negara secara berbeda, sama saja dengan  mengabaikan prinsip-prinsip inklusifitas dan non-diskriminasi yang terdapat di dalam Pancasila. 


Ketika politik mengizinkan dirinya dikooptasi oleh agama, seketika itu juga ia kehilangan fungsinya yang paling luhur, mengayomi dan memperlakukan warganya secara adil, tanpa diskriminasi.


Lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa agama meski dengan alasan demi merukunkan antarumat beragama justru telah membuat kehidupan antarumat beragama menjadi tidak rukun, dan penuh konflik, karena kehadiran undang-undang bernuansa agama tak terbantahkan sarat dengan politisasi agama. 


 Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme keagamaan adalah buah dari cara-cara beragama yang salah tersebut.


Konteks Kristen


Radikalisme agama ada pada semua agama, termasuk dalam kekristenan. Karena itu umat Kristen Indonesia harus mewaspadai hal itu. Khusunya Fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama.


Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga.Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan  membuat pemeluk agama melihat agama lain dari kacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atautafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka.


Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. 

Fanatisme adalah sikap terlampau kuat atau berlebihan menyakini ajaran agama. Akibatnya, sering kali melahirkan tindakan yang anti keberagaman. 

Fanatisme cenderung melahirkan arogansi, menebar kebencian, anti perbedaan, dan dekat dengan kekerasan. “Fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Artinya, dimana fanatisme tumbuh dengan subur, di situ pastilah terjadi pemasungan kebebasan beragama.


Dr. Binsar A. Hutabarat

Perang keadilan

 




Menggugat Teori Perang Keadilan

Amerika adalah korban konsep war of justice, yang kemudian menjadi teori yang dianggap absolut bahwa untuk ada damai perlu ada peperangan.

Teori perang keadilan itu menjadi instrumen yang memosisikan Amerika sebagai polisi dunia, sebuah kesombongan yang mengerikan, dan kesombongan itu mendahulu kejatuhan. Amerika bukannya menghadirkan perdamaian dunia, sebaliknya pencipta perang di berbagai penjuru dunia. 

Ketika Amerika menjadi polisi dunia dengan segala hak veto yang dimiliki menetapkan perang demi keadilan untuk hadirnya perdamaian, pada konteks tertentu, ternyata perang tidak dibutuhkan untuk hadirnya perdamaian. 

Kejahatan Amerika sebagai polisi dunia, atau yang menempatkan diri menjadi polisi dunia dengan segala fasilitas hak veto untuk menetapkan perang telah menjadikan Amerika seperti hakim yang tidak adil, seperti juga kejahatan yang terjadi di pengadilan. 

Usaha-usaha restoratif justice yang diusahakan untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan adalah usaha untuk memberi keadilan kepada yang berkonflik di luar pengadilan. Pengadilan bukan solusi bagi penyelesaian segala konflik yang ada, apalagi ketika pengadilan itu sendiri tidak jarang memproduksi ketidakadilan.

Perang keadilan ini konsep Kristen yang perlu hati-hati digunakan, biasanya teori ini dicetuskan berdasarkan konsep Perjanjian Lama (PL) yang memerangi bangsa-bangsa untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. Israel yang merasa menjadi bangsa yang paling hebat bukan hanya tidak mampu menghadirkan perdamaian untuk bangsa-bangsa, tetapi juga dalam kehidupan mereka berbangsa. Itulah sebabnya Israel di buang Tuhan.

Menurut saya semua teori-teori yang kita terapkan sebagai landasan dalam mengambil keputusan perlu terus dikaji dan diuji untuk hadirnya landasan yang lebih baik. Sebuah kebijakan yang unggul, atau alternatif teori akan menghadirkan kehidupan bersama yang damai, tapi tidak ada landasan bersama yang sempurna yang dibangun manusia yang tidak sempurna, apalagi manusia yang menerapkannya juga tidak sempurna. 

Keyakinan diri paling hebat, paling tahu, paling menguasai kebenaran hanya akan menghadirkan alternatif kebijakan yang buruk  yang kemudian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Bukankah ini terjadi antar denominasi gereja yang tak pernah bisa rukun, saling menyesatkan, merasa denominasinya paling baik, paling suci, paling kudus, dan tak bisa hidup bersama secara baik untuk membangun hidup bersama yang lebih baik.

Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarinstitute.id/2023/09/perang-keadilan.html

Nilai eksklusive agama

S atu Tuhan banyak agama Soal nilai-nilai eksklusive agama   Dialog agama sejatinya tak boleh meminggirkan nilai-nilai eksklusive agam...