Showing posts with label Artikel isu-isu Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Artikel isu-isu Pendidikan. Show all posts

Wednesday, August 28, 2024

Kelas jauh dan PJJ di STT

 


Bagaimana praktek pendidikan Kelas Jauh dan Pendidikan Jarak Jauh di Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen / Sekolah Tinggi Teologi

 

SURAT EDARAN NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DIPERGURUAN TINGG menjelaskan surat Direktur Kelembagaan, Departemen Pendidikan Nasional Nomor

595/D5.1/T/2007 tanggal 27 Februari 2007 perihal Larangan "Kelas Jauh" dinyatakan tidak

Berlaku.

Artinya larangan  kelas jauh melalui Surat Edaran Nomor 2 tahun 2022 tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi dicabut, demikian juga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak mengenal penyelenggaraan 'kelas malam dan atau kelas akhir pekan'. Seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat terhadap akses pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan pembelajaran baik secara tatap muka, daring, maupun tatap muka dan daring (bauran).

Kelas jauh adalah perkuliahan di luar kampus utama yang tidak melebih 50 %, sedangkan Pendidikan Jarak jauh adalah pendidikan di luar kampus utama yang melebih 50% dan ini dapat diselenggarakan dengan lebih dulu mendapatkan injin. Ijin penyelenggaraan pendidikan jarak  jauh ini dapat diselenggarakan oleh program studi  yang terakreditasi unggul.

Program studi PJJ adalah program studi yang melaksanakan seluruh proses pembelajaran secara jarak jauh menggunakan berbagai media komunikasi dengan ketentuan sebagai berikut:

program studi PJJ diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang telah memiliki izin pendirian perguruan tinggi; perguruan tinggi penyelenggara progam studi PJJ memiliki Pusat Belajar Jarak Jauh (PBJJ) yang berfungsi memberikan dukungan pelayanan bagi mahasiswa di luar kampus;

 progam studi penyelenggara PJJ memiliki bahan ajar sebagai bahan belajar mandiri yang digunakan mahasiswa untuk mencapai capaian pembelajaran;

 capaian pembelajaran dalam program studi PJJ sama dengan capaian pembelajaran pada program studi yang diselenggarakan dalam bentuk tatap muka;

 beban studi minimum dalam program studi PJJ sama dengan studi minimum pada program studi tatap muka; perguruan tinggi penyelenggara PJJ dapat mengakui perolehan satuan kredit semester

 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan perguruan tinggi penyelenggara PJJ menjamin terlaksananya proses pembimbingan dan ujian pencapaian akhir pembelajaran dengan bukti yang transparan dan akuntabel.

Lantas bagaimana dengan sekolah tinggi teologi yang menyelenggarakan pendidikan di luar kampus utama dengan tidak memiliki ijin karena memang belum bisa mengajukan ijin PJJ karena prodi belum unggul? Mereka bisa melakukan kelas jauh, namun tidak boleh melebihi 50% dari beban pembelajaran yang ada untuk program sarjana.

Sebuah program pendidikan sejatinya dapat mengukur luarannya untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan profil lulusan yang ditetapkan, tentu saja Perguruan tinggi perlu belajar mengelola pendidikan dengan baik, sehingga bukan hanya penjualan ijazah tanpa kompetensi.

Kecenderungan penjualan ijazah tanpa kompetensi melalui PJJ ini terjadi pada saat covid, meski untuk sekolah tinggi teologi itu sudah terjadi sebelum era covid. Pendidikan jarak jauh biasanya dilakukan pada program magister, pada program magister ini pembelajaran di luar kampus utama bisa mencapai 79 %, tapi tidak jarang ditemukan pembelajaran dilakukan 100 % di luar kampus utama. Sayangnya lagi, banyak tamatan magister ini tidak memiliki kompetensi yang memadai, sehingga tidak beda seperti penjualan ijazah.

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/08/kelas-jauh-dan-pjj-di-stt.html

Saturday, August 24, 2024

Pendidikan formal dan non formal

 


 

Integrasi Pendidikan Tinggi Teologi Dan Pendidikan Warga Gereja: Alternatif Meningkatkan Kompetensi Pelayan Kristen.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

Abstrak.

Pentingnya pendidikan warga gereja menjadi keprihatinan para pendidik Kristen, warga gereja dengan pemahaman teologi yang baik merupakan motor penggerakan pengembangan dan pertumbuhan gereja. Namun integrasi pendidikan tinggi Keagamaan Kristen dengan pendidikan warga gereja yang mendapatkan pijakannya pada Sistem pendidikan nasional 2003, yang kemudian diteguhkan dalam Peraturan Presiden tentang Kerangka kualifikasi nasional Indonesia belum mendapatkan perhatian khusus. Orasi ilmiah ini secara khusus memaparkan pentingnya integrasi pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen sebagai alternative meningkatkan kompetensi pelayan Kristen.

 

 

 

Pendahuluan.

Integrasi pendidikan informal, non formal dan formal merupakan amanat Sistem pendidikan nasional tahun 2003. Integrasi pendidikan itu perlu mewujud dalam kurikulum pendidikan tinggi keagamaan Kristen (pendidikan formal), dan pendidikan warga gereja (Pendidikan informal). Lemahnya integrasi pendidikan informal (pendidikan agama dalam keluarga) Pendidikan non formal (Pendidikan warga gereja), dan Pendidikan pada Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen menyebabkan teologi gereja yang dinyatakan dalam Tata dasar dan tata gereja tidak mengalami perkembangan teologi berarti, demikian juga sebaliknya luaran-luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak mendapatkan tempat yang tepat di gereja. Kehadiran para tokoh gereja yang mengaku tak mengenyam pendidikan teologi merupakan sebuah sindiran terhadap pentingnya pendidikan tinggi keagamaan Kristen, secara bersamaan juga menyiratkan bahwa luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tak memiliki sumbangsih berarti bagi pengembangan dan pertumbuhan gereja. Pada sisi lain tokoh-tokoh pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak banyak yang hadir dalam diskusi-diskusi teologi gereja, kecuali mereka yang merangkap jabatan sebagai dosen dan secara bersamaan juga sebagai pendeta jemaat.

Orasi ilmiah ini akan menawarkan strategi integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia.

 

Pendidikan Warga Gereja

Tri tugas Gereja (Koinonia, Diakonia, Marturia) secara tegas menyatakan bahwa warga gereja perlu bertumbuh dalam pengenalan akan firman Tuhan yang baik, untuk hidup saling melayani, dan kemudian secara bersama menjadi saksi Kristus. Pendidikan Warga gereja secara khusus dalam hal ajaran gereja (Firman Tuhan) perlu menjadi perhatian gereja, secara khusus dalam era global dengan kemajuan tekonoli komunikasi yang membuat informasi apapun dapat menembus ruang-ruang yang dulunya privat. Pentingnya pendidikan warga gereja ini telah dibahas dalam jurnal-jurnal ilmiah teologi dan jurnal-jurnal pendidikan agama Kristen.

Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen

Pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada awalnya biasa disebut sekolah teologi dan sekolah tinggi teologi. Sekolah teologi telah ada dalam banyak gereja dengan tujuan memberikan pengetahuan teologi kepada jemaat untuk dapat melayani dengan baik untuk mengerjakan Tri Tugas Gereja yang diselenggarakan  oleh gereja secara eksklusif, dan juga kerja sama antara gereja dan sekolah tinggi teologi, dan pada umumnya belum ada integrase antara pendidikan warga gereja dan sekolah tinggi teologi. Itu terlihat bahwa parau lulusan sekolah teologi di  gereja ketika berkeinginan atau terpanggil sebagai calon pendeta perlu mengulang seluruh mata kuliah yang ada di Sekolah Tinggi Teologi dengan alasan bahwa mata kuliah yang di dapat di sekolah teologi memiliki kualifikasi yang berbeda dengan yang ada di sekolah tinggi teologi.

Pendidikan tinggi teologi kerap dianggap sebagai orang khusus yang terpanggil untuk menjadi pemimpin gereja, sedangkan pendidikan warga gereja adalah calon-calon pelayan jemaat yang terbatas untuk membantu pimpinan gereja dalam memenuhi Tri Tugas Gereja.

 

Landasan Integrasi Pendidikan Warga Gereja dan Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen.

Landasan Teologi

Menurut pandangan Kristen, dari sudut realitas rohani, manusia selalu mengaktualisasikan diri dalam relasi dengan Tuhan. Dalam hal ini jelas, agama adalah suatu dimensi dalam kehidupan rohani manusia. Manusia adalah mahkluk yang beragama. Paul Tillich mengatakan bahwa agama terletak pada kedalaman hati manusia yang lehadirannya tidak bisa ditolak.[1] Semua manusia pada hakikatnya adalah manusia yang beragama.

            Adanya dimensi rohani itu maka manusia mempunyai tugas dari Sang Pencipta yakni tugas pemeliharaan ciptaan Tuhan, dan pemenuhan tugas itu berorientasi pada tiga arah yakni Tuhan, diri sendiri dan dunia atau alam. Jadi manusia harus mengembangkan kreativitas budaya, dan relasi dengan alam karena manusia berkedudukan sebagai tuan atas alam, dan pemelihara  alam, dan pekerjaan ini dilakukan bekerja sama dengan sesamanya. Manusia diciptakan begitu mulia, semua manusia tak terkecuali memiki martabat yang sama, yaitu sebagai ciptaan yang mulia.

            Maka manusia bukan hanya memiliki kedalaman dengan Tuhan, tapi juga harus mengembangkan bakat-bakat yang diberikan untuk kesejahteraan umat manusia. Untuk itu perlu ada pendidikan, dalam hal ini pendidikan bukan hanya persoalan pengajaran agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupan manusia serta pemeliharaan alam.

 

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework) tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada banyak negara di dunia. Kerangka kualifikasi nasional merupakan fenomena global[2] 

Secara umum, kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai "deskripsi sistematis kualifikasi suatu sistem pendidikan.”[3] Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional.[4]

Kerangka Kualifikasi Nasional telah dikembangkan dan digunakan diseluruh dunia. Di Eropa, bahkan ada 'meta' kerangka, Eropean Qualification Framework (EQF) yang mencoba untuk menyelaraskan dan mengkonsolidasikan beberapa kerangka kerja nasional ke satu titik acuan.[5]

The European Qualifications Framework (EQF) acts as translation device to make national qualifications more readable across Europe, promoting workers and learners mobility between countries and facilitating their lifelong learning. The EQF aims to relate different countries’ national qualifications systems to a common European reference framework. Individuals and employers will be able to use the EQF to better understand and compare the qualifications levels of different countries and different education and training systems.[6]

 

Output dari EQF adalah sebagai berikut:

(1) Increased consistency of qualifications, (2) Better transparency for individuals and employers, (3) Increased currency of single qualifications, (4) A broader range of learning forms are recognized  (5) A national/external reference point for qualifications standards (6)Clarification of learning pathways and progression (7) Increased portability of qualifications (8)Acting as a platform for stakeholders for strengthening cooperation and commitment (9)Greater coherence of national reform policies (10)A stronger basis for international co-operation, understanding and comparison.[7]

 

Kerangka Kualifikasi Nasional untuk Australia,  Australia Qualification Framework (AQF) diperkenalkan pada tahun 1995 untuk mendukung sistem kualifikasi nasionalnya.[8]

Milestone penting dalam perjalanan pengembangan KKNI di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud dengan pelatihan kerja nasional  adalah: 1). pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 2). sistem Pelatihan Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat Sislatkernas, adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan kerja nasional. 3). lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. 4). kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 5). standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6). sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus. 7). sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan SKKNI. 8). Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. 9). pelatihan berbasis kompetensi kerja adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja.[9]

Berdasarkan pasal satu ayat 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dijelaskan, bahwa KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.[10]

Selanjutnya pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional juga menegaskan: 

(1) Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai yang tertinggi. (2) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 9 (sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi sertifikat 1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan).(3) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.[11]

Jadi jelaslah, dasar dari lahirnya kebijakan KKNI dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagaimana juga ditetapkan dalam bagian pembukaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang menerangkan, bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Selanjutnya, Peraturan Presiden tentang KKNI itu mendapatkan pijakan yang lebih tinggi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Karena Peraturan Presiden merupakan kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan undang-undang dalam hal ini, undang-undang pendidikan tinggi. Lebih jelasnya, bagian kelima dari undang-undang pendidikan tinggi tahun 2012 pasal 29 menjelaskan tentang KKNI seperti berikut: (1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. (2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. (3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi Tahun 2012 jelaslah bahwa petunjuk pelaksanaan penerapan KKNI itu kemudian ditetapkan oleh Menteri. Dan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan Tinggi, selanjutnya petunjuk teknis penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi ditetapkan dalam Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi 2014. Dengan terjadinya perubahan SNPT 2015, maka buku panduan penyusunan kurikulum mengacu pada KKNI pun mengalami perubahan yang ditetapkan dalam Buku panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2016.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013 ditetapkan bahwa tugas pendidikan tinggi dalam menerapkan KKNI adalah: a. Setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang. b. Setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang berbunyi: Dalam menerapkan KKNI di bidang kurikulum pendidikan tinggi, direktorat jenderal mempunyai tugas dan fungsi menyususn kebijakan, regulasi, dan panduan  tentang penyusunan kurikulum program studi yang mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi. c. Setiap program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program studi.

 

Merdeka Belajar kampus Merdeka

Landasan lain dari integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat dibaca pada Pedoman kurikulum merdeka belajar kampus merdeka tahun 2020, yang kemudian dikembangkan dalam permendikbudristek dikti nomor 53 tentang penjaminan mutu, serta pedoman yang ditetapkan baik terkait penjaminan mutu maupun kurikulum merdeka belajar kampus merdeka  merupakan kebijakan pemerintah yang mendasari pendidikan formal seperti Pendidikan Tinggi keagamaan Kristen untuk merumuskan integrase pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen.

 

Alternatif meningkatkan kompetensi pelayan Kristen.

Warga gereja adalah input bagi Pendidikan Tinggi Teologi, secara khusus mereka yang telah mengikuti pendidikan warga gereja (non formal) yang bekerjasama dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi pendidikan warga gereja akan mengakibatkan kualitas input pendidikan tinggi keagamaan Kristen menjadi lebih baik. Pada sisi lain pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan kegiatan belajar yang ada pada pendidikan warga gereja dengan melakukan equivalensi terstruktur dan equivalensi tidak terstruktur sebagaimana juga dijelaskan dalam kurikulum merdeka dan merdeka belajar.

Pada sisi lain, pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu menyadari bahwa Gereja adalah pengguna lulusan pendidikan tinggi teologi, pada semua program studi, sehingga kemampuan pelayanan yang dikemangkan dalam gereja perlu menjadi mata kuliah pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi itu akan membuat pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat memahami kebutuhan gereja, sehingga kontribusi pendidikan tinggi teologi menjadi tepat sasaran.

Menurut penelitian saya sebagai Pembina pada banyak pendidikan tinggi teologi, baik ketika berada sebagai ketua bidang penelitian Perkumpulan Dosen dan Perguruan Tinggi Kristen (PDPTKI), Ketua Umum Asosiaso Program Studi Ilmua Keagamaan (APSIK), juga sebagai asesor lembaga akreditasi mandiri kependidikan (LAMDIK), serta pernah menjadi narasumber  perumusan kurikulum mengacu KKNI pada tahun 2017, terlihat jelas bahwa Perguruan Tinggi kegamaan Kristen belum mampu melakukan integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Salah satu persoalannya adalah pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada umumnya belum mampu merumuskan kurikulum mereka dengan baik, sehingga tidak memiliki rencana yang baik bukan hanya untuk luarannya, tapi juga seleksi input, dan kemudian tentunya mengakibatkan proses untuk mencapai profil lulusan tidak dapat dipetakan dengan baik.

Kurikulum adalah sebuah rencana, tanpa sebuah rencana yang baik tidak dapat diharapkan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu rencana yang perlu dirumuskan dengan baik adalah perumusan kurikulum dan pengembangan kurikulum untuk merepons perubahan.

 

Penutup

Integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen memiliki pijakan yang kuat, karena itu gereja dan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Kristen, perlu membangun kemitraan bukan hanya pada gereja-gereja sealiran dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen, tetapi juga kemitraan dengan gereja-gereja yang beragam aliran untuk bersama meningkatkan kompetensi tenaga pelayan Kristen.

 



[1]              Religion is the aspect of the depth in totality of human spirit. It means that the religious aspect points to what is ultimate, infinite, unconditional in man's spiritual life. Religion, in the largest and the most basic sense of the world, is ultimate concern. And ultimate concern is manifest in all creative functions of human spirit.Yonathan Wijaya Lo, “Iman Kristen dan Mandat Budaya,”dalam Benyamin F. Intan (ed), God's Fiery Challenger for Our Time (Jakarta: RCRS, 2007), h. 351.

[2] Gavin Heron & Pam Green Lister, “ Influence of National Qualifications Frameworks in Conceptualising Feedback to Students” Social Work Education,  Vol. 33 (4),  2014, hh.  420–434,

[3] Ibid.

[4] Irma Spûdytë, Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas, “Qualifications of Higher education in The National Qualifications Framework” Vocational Education: Research and reality ,2006, h. 23.

[5]    Scott Fernie, Nick Pilcher & Karen L. Smith, “The Scottish Credit and Qualifications Framework: what’s academic practice got to do with it?” European Journal of Education, Vol. 49, No. (2) 2013, h. 233.

[6]    Roslyn Cameron “Developing a qualifications structure for the finance services industry in Malaysia and beyond,” Australian Journal of Adult Learning, Volume 54, Nomor (3), 2014, h. 344.

[7] Aileen Ponto, “Qualifications transfer?” Frameworks in the UK: Do they support credit , International Journal of Continuing Education and Lifelong Learning, Volume 6 (1), 20

[8] Tom Karm ,”Learning from Successful Skills Development Systems: Lessons from Australia,” UNESCO IBE , 2014, h. 235.

[9] Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pasal 1 ayat 1. h. 3.

[10] Ibid.

Saturday, March 9, 2024

Menuju Konferensi kurikulum APSIK

 

 Menuju Konferensi Kurikulum APSIK



Webinar penyemaan persepsi tentang pengembangan kurikulum program studi rumpun ilmu keagamaan, secara khusus Program Studi Teologi dan Program Studi Pendidikan Agama Kristen yang berada dalam adah Asosiasi Program Studi Ilmu Keagamaan (APSIK) telah berlangsung dengan baik pada 7 Maret 2024. 

Peserta yang mendaftar berjumlah sekitar seratus orang, namun yang berhasil masuk ruang zoom berjumlah 65 peserta. Ada banyak alasan mereka yang tidak dapat masuk ruang zoom webinar, dan semuanya itu telah diinformasikan kepada panitia untuk mengambil langkah-langkah penting berupa arahan agar mereka yang ingin ikut dalam webinar pengembangan kurikulum rumpun ilmu keagmaan itu dapat ikut serta. secra khusus pada acara Konferensi Kurikulum yang akan diadakan pada tanggal 3-4 April 2024.

 Webinar penyemaan persepsi menuju  konferensi kurikulum 3-4 April 2024 itu boleh dikatakan sukses menjawab harapan para peserta yang berasal dari berbagai STT di Indonesia untuk dapat memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum pada Perguruan tinggi mereka, secara khusu pada setiap prodi yang ada pada perguruan tinggi itu.

Webinar tanggal 7 Maret 2024 yang mempresentasikan hal-hal apa yang perlu dilakukan penyemaan persepsi seperti terkait Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)pada setiap level program studi, rekonstruksi mata kuliah, serta implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MB-KM) dihadiri banyak penanggap, serta peserta yang terlibat aktif.

Doakan dan mari terlibat dalam konferensi kurikulum 3-4 April 2024 yang akan diselenggarakan di Bekasi dengan target peserta berjumlah 500 Peserta. Pada Konferensi Kurikulum itu APSIK juga akan mempromosikan pentingnya integrasi pelayanan dan pelatihan dalam gereja dengan pendidikan tinggi teologi. Itulah sebabnya pada acara itu juga akan diundang pendeta-pendeta dari berbagai gereja untuk dapat mendengarkan terobosan APSIK terkait integrasi pendidikan formal dan non formal untuk meningkatkan sumber  daya  pelayan gereja di Indonesia.

https://www.binsarinstitute.id/2024/03/menuju-konferensi-kurikulum-apsik.html

Wednesday, February 7, 2024

Soal Perjokian Guru Besar

 Penelusuran Kompas terkait perjokian di pendidikan tinggi untuk mendapatkan Guru Besar tentu sangat memprihatinkan. Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk memutus rantai perjokian Guru Besar yang memang sangat merugikan masyarakat, bangsa dan negara.




Jabatan guru besar sesungguhnya penghargaan pemerintah terhadap kontribusi kecendikiawanan seorang Guru Besar. Karya-karya Guru Besar sejatinya memiliki dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat yang menjadi tugas pemerintah, itu sebabnya pemerintah berterima kasih terhadap sang Guru Besar itu dan memberikan jabatan dan honor atas jabatan Guru Besar yang telah membantu tugas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Karena Guru Besar memiliki kontribusi penting bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, pembangunan masyarakat Idonesia yang adil dan sejahtera, maka pelaksana kebijakan yang menjalankan mekanisme yang ditetapkan untuk menjadi Guru Besar mestinya tidak merepotkan calon Guru Besar, apalagi ada kabar bahwa untuk menjadi Guru Besar Dosen mesti mengeluarkan biaya mahal. Belum lagi untuk pengukuhan Guru Besar yang biasanya diadakan di Perguruan Tinggi, calon Guru Besar harus mengeluarkan biaya tidak sedikit. Persoalan yang ada daalam proses menjadi Guru Besar bukan hanya masalah perjokian, tapi juga masalah birokrasi yang korup.



Terkait dengan perjokian, menurut saya masalahnya adalah minimnya kelompok riset pada perguruan tinggi. Banyak karya-karya ilmiah sekadar hadir pada Jurnal bereputasi bukan karya yang dihasilkan dari penelitian yang mendalam. Publikasi karya ilmiah di jurnal jurnal internasional dan juga jurnal-jurnal nasional jika kita mengamati minim dengan temuan-temuan baru, karenamemang karya-karya itu hasil pengembangan tulisan-tulisan terdahulum, bukan pengembangan hasil riset terdahulu. Padahal Jurnal ilmiah mestinya adalah hasil penelitian, meski Jurnal ilmiah berbeda dengan laporan penelitian seperti Skripsi, Tesis, dan Disertasi.

Perguruan tinggi di Indonesia perlu menetapkan Road Map Penelitian, mengintegrasikan Penelitian dengan Pengabdian Masyarakat dan Pendidikan, pengajaran. Tapi, bagaimana itu bisa terjadi bila kelompok-kelompok riset yang merupakan pengembangan keilmuan itu tidak ada atau tidak aktif melaksanakan Penelitian? 

Herannya meski tanpa kelompok-kelompok riset artikel yang terbit di Jurnai internasional terus saja bertambah dan tentu saja kita tidak heran jika meningkatnya artikel di Jurnal Internasional dan Jurnal  nasional terindeks Sinta itu tanpa kontribus berarti bagi pengembangan keilmuan, apalagi bagi kesejahteran masyarakat Indonesia.

Nilai eksklusive agama

S atu Tuhan banyak agama Soal nilai-nilai eksklusive agama   Dialog agama sejatinya tak boleh meminggirkan nilai-nilai eksklusive agam...