Showing posts with label Hubungan Agama dan Masyarakat. Show all posts
Showing posts with label Hubungan Agama dan Masyarakat. Show all posts

Thursday, October 3, 2024

Indiferentisme vs Non-Indiferentisme

 

 

Indiferentisme vs Non-Indiferentisme

 

 Hari ini saya akan menjawab tuduhan Patris Allegro yang diterbitkan pada tanggal 3 Oktober 2024 yang secara langsung ditujukan kepada Dr. Binsar Hutabarat, tapi dalam  judul video nama saya ditulis Binsar Sitompul.

Patris Allegro mengatakan bahwa saya Dr. BinsarAntoni Hutabarat adalah relativisme yang melanggar prinsip agama. Patris Allegro mengingatkan saya agar tidak jatuh pada relativisme moral yang sama sekali saya belum pernah bahas di video.

Patris Allegro juga menuduh saya Indiferentisme yang menyamakan agama-agama, yang menurut Patris Allegro terungkap ketika dia mendengarkan video saya.

Pertama-tama saya juga berterima kasih kepada Patris Allgro yang menyatakan dia bukanlah peneliti empiris. Tapi lebih kepada peneliti agama atau teologi berdasarkan iman dengan menggunakan alat analisis filsafat.

Namun karena penelitian teologi juga menggunakan metode ilmiah, maka penelitian teologi itu bisa disebut teologi ilmiah, meskipun ada yang tidak setuju.

Generalisasi yang dirumuskan melalui analogi juga bergantung dari data, dan ujian rumusan doktrin juga berdasarkan data, yaitu data-data yang diimani bersumber dari Tuhan, utamanya kitab suci.

Pluralisme agama

 Pluralisme agama setidaknya terbagi dua yaitu pluralisme indiferentisme(pluralisme yang menyamakan agama-agama)  dan Pluralisme Non-Indiferentisme(Pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama).

Berdasarkan pandangan kedua itu, maka pluralisme indiferentisme (Pluralisme yang menyamakan agama-agama) biasanya dituduh sinkretisme (mencampurkan agama-agama), atau pluralisme yang liberal.

Tapi, menurut saya kaum Konservative perlu juga belajar pandangan liberal untuk bisa terus maju, dan tidak jatuh pada fundamentalisme yang selalu menganggap nilai-nilai lama itu yang terbaik, sehingga pakaian pun mereka menggunakan pakaian dulu yang dianggapnya paling baik dan menolak model-model pakaian terkini.

Tuduhan Patris Allegro bahwa saya adalah indiferentisme dan liberal tentu saja tidak tepat, apalagi ketika mengaitkannya dengan relativisme (segala sesuatu relative) termasuk Tuhan juga relative, sehingga tidak ada yang absolut.

Pluralisme Non-indifferentisme mengakui bahwa agama-agama itu berbeda, tapi secara bersamaan juga agama-agama itu kaya dengan nilai-nilai inklusif yang baik untuk semua, meski nilai-nilai inklusive juga eksklusif karena tidak menerima nilai-nilai yang tidak baik.

Jika kita menyebut Allah kebenaran, bisakah kita mengatakan bahwa semua kebenaran agama-agama itu bersumber dari Tuhan?

Pluralisme agama Non-indiferentisme itu adalah pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama, tapi percaya bahwa dalam agama-agama itu kaya dengan nilai-nilai inklusif, sehingga perjumpaan agama-agama adalah menemukan nilai-nilai yang dapat memiliki pijakan bersama.

Jadi pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama itu adalah sebuah perjalanan perjumpaan agama-agama untuk memiliki dasar bersama, namun dalam keterbatasan manusia akan tetap ada perbedaan, karena itu saya menolak agama global yang menyeragamkan agama-agama.

Bagi saya nilai-niai eksklusif agama-agama itu juga inklusif, universal, baik untuk semua, karena itu saya tidak menerima relativisme yang menyatakan segala sesuatu relative. Sebaliknya saya mengatakan nilai-nilai eksklusif agama yang berbeda itu, dan karena nilai-nilai itu benar, dan universal, maka itu absolut.

Nilai-nilai eksklusif agama dalam perpektif Tuhan itu universal dan absolut, tetapi manusia belum mampu mengetahui seluruh kebenaran, karena manusia belum tahu seluruh kebenaran, maka manusia perlu terus belajar kebenaran.  Dan karena ada yang absolut, maka manusia yang belum tahu segalanya itu perlu belajar dan mengikuti yang absolut, Dalam Kristen kita mengenal istilah menjadi seperti Kristus.

Kebenaran yang Tuhan berikan itu absolut, tapi dalam perpektif manusia yang terbatas pengetahuan yang absolut itu dikonstruksi dalam keterbatasan manusia.

Jika Romo Patris menyakini bahwa Katolik akan menjadi agama yang sempurna, silahkan saja. Dalam perektif Tuhan bisa saja dikatakan benar, tapi pada realitasnya keterbatasan manusia tidak dapat mewujudkannya.

Sejarah menunjukkan bahwa perjalanan Gereka Katolik sarat dengan kelemahan. Gereja itu Katholik, universal hanya dalam perpektif Tuhan yang sempurna, realitasnya masih dalam perjalanan mengenal yang absolut secara utuh.

https://www.binsarinstitute.id/2024/10/indiferentisme-vs-non-indiferentisme.html 

Tuesday, September 24, 2024

Label sesat pada yang berbeda?

 


Jangan memberikan label sesat

 

Memberikan lebel sesat pada yang berbeda, secara khusus terkait agama, merupakan bentuk menghakimi yang bebeda yang tak patut dilakukan tokoh-tokoh agama. Mereka yang memberikan label sesat kepada yang berbeda sama saja memberikan kesempatan kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama.

Pemberian lebel sesat kepada yang berbeda sama saja menempatkan diri sebagai pemilik kebenaran, dan menempatka diri pada posisi yang maha tahu, padahal tak da seorangpun yang tahu segalanya, maka tak seorang pun memiliki kemampuan menjadi hakim atas sesamanya.

Berhati-hatilah dengan cara labelisasi sesat yang kita lakukan pada yang lain, maka lebelisasi sesat yang sama akan dilebelkan kepada mereka yang gemar memberikan lebel sesat itu.

Seiring dengan kehadiran Paus Fransiskus yang memesona Indonesia dan juga negara-negara yang dikunjungi Paus Fransiskus, kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia seakan memberikan gairah baru Romo Katolik untuk memberikan label sesat pada kelompok Protestan yang gemar memberikan lebel sesat pada ajaran katolik.

Youtube terkait pelebelan protestan sebagai bidat katolik mulai marak, dan tidak tanggung-tanggung serangan kadang ada yang yeleneh, bukan nya pada penjelasan keyakinan Katolik semata, tetapi tidak sedikit serangan yang justru menimbulkan polemik berkelnjutan.

Menurut saya, untuk mencari kelemahan sebuah ajaran agama, atau denominasi itu tidak sulit, apalagi untuk mereka yan terbiasa melakukan penelitian, atau gemar melakukan olah pikir.

Yang terbatas tak mungkin menghasilkan yang absolut, artinya rumusan apapun tentang iman dan kepercayaan itu bisa saja dipertanyakan, tapi tak perlu jatuh pada sikap nyeleneh, yang memojokkan yang berbeda, cukup menjelaskan keterbatasan masingmasing, untuk kemudian dapat berdialog dan saling belajar.

Saling memaki sesat juga kerap dipertontonkan tokoh-tokoh agama dalam denominasi Kristen, mereka saling mengklaim ajaran mereka paling murni. Meski arti murni itu sendiri mereka kerap tidak memiliki definisi yang sama.

Marilah kita behenti memberikan label sesat pada yang berbeda, dan kemudian berdialog untuk lebih memahami satu dengan yang lain, dan juga memahami iman dan kepercayaan masing-masing secara lebih mendalam.

https://www.binsarinstitute.id/2024/09/label-sesat-pada-yang-berbeda.html 

Tuesday, September 17, 2024

Kemampuan berpikir kritis

 


Kemampuan berpikir kritis dalam mata kuliah critical thinking perlu diberikan bobot khusus pada sekolah-sekolah keagamaan. Kemampuan berpikir kritis itu penting dalam menempatkan Absolutisme relatif agama-agama dalam diskusi dan perjumpaan agama-agama.

Salah satu persoalan yang kerap menimbulkan perdebatan bahkan tidak jarag menimbulkan konflik adalah klaim agama-agama bahwa agama tertentu adalah absolut dan berasal dari Tuhan yang benar. Padahal, apapun klaim tentang absolutisme agama adalah klaim yang didasarkan dengan fakta atau data yang terbatas.

Klaim dikatakan benar, sebatas apabila klaim itu didukung atas data-data atau argumentasi memadai yang mendukung klaim itu. Itulah sebabnya kritik terhadap agama-agama yang berbeda sejatinya hanya boleh menunjuk pada persoalan koherensi antara klaim agama dan data-data pendukung yang terbatas. Pada kondisi ini peru kemampuan berpikir kritis untuk menganalisis klaim agama-agama itu.

Jika diskusi ataupun perdebatan agama berada pada tataran implementasi berpikir kritis, maka agama-agama bisa saling belajar, dan mendapatkan data-data yang lebih baik untuk mendukung klaimnya.

Itulah sebabnya tidak jarang kita mendengar bahwa dialog antar agama bukan hanya akan membuat kita makin mengenal agama-agama lain, tetapi juga pemeluk masing-masing agama agama memiliki pemahaman yang mendalam tentang agamanya melalui perjumpaan dengan yang berbeda agama.

Kemampuan berpikir kritis juga akan menolong mahasiswa tidak menerima begitu saja apa yang disampaikan dosen ataupun tokoh-tokoh agama. Apalagi pada sekolah-sekolah keagamaan yang didirikan oleh lembaga agama tertentu dan bertujuan untuk melindungi doktrin agama, atau untuk menjalankan misi agama.

Apabila mahasiswa sekolah keagamaan mampu berpikir kritis, maka doktrin-doktrin agama rumusan masa lampau yang eksklusif itu tidak akan dipaksakan, apalagi menuduh yang berbeda itu sesat. Bukankah mereka bisa saling belajar untuk mengembangkan doktrin agama yang lebih baik?

Pengembangan doktrin agama pada perguruan tinggi keagamaan itu akan membuat komunitas agama atau lembaga-lembaga keagamaan itu bisa menyelesaikan konflik masa lampau, dan menghadirkan kehidupan antaragama yang lebih baik.

Penelitian-penelitian pada perguruuan tinggi keagaman yang memiiki kemampuan kritis tentu akan sarat dengan hasil-hasil penelitian untuk membangun hidup antaragama yang lebih baik.

Tidak salah mengklaim memiliki pengalaman nyata keagamaan. Namun, karena itu pengalaman subyektif individu, jangan memaksakan pengalaman itu  perlu berlaku pada semua agama, ini sama saja menihilkan kemampuan berpikir kritis.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kemampuan-berpikir-kritis.html


Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...