Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts

Saturday, August 24, 2024

Kedaulatan rakyat

 

 


 

 Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) jelas merupakan produk elit DPR semata. Bukan hanya waktu untuk menggodok RUU Pilkada yang sangat singkat, yaitu hanya dalam hitungan jam, partisipasi masyarakat juga sangat minim.

Kebijakan publik dalam sebuah demokrasi sejatinya mengikutsertakan masyarakat, apalagi dalam kaitan pemilihan kepala daerah. Mereka yang terpilih sebagai kepala daerah perlu terseleksi dengan baik, sehingga kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama.

Apa jadinya jika sebuah kebijakan terkait pilkada justru membelenggu kader-kader unggul untuk hadir mengabdikan diri mereka bagi kesejahteraan rakyat?

Nafsu untuk berkuasa sejatinya perlu dikubur oleh para elit negeri ini, memang politik adalah persoalan kekuasaan, tapi kekuasaan itu perlu bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukannya merampok kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri, atau keluarga.

Mereka yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat akan dihukum oleh rakyat. Ingat, Rakyat adalah pemilik kedaulatan negeri ini!

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/08/kedaulatan-rakyat.html 

Friday, August 23, 2024

Ada apa dengan UU Pilkada?

 


 

Beberapa hari ini aku terkejut, bagaimana mungkin hanya karena napsu pribadi atau sekelompok orang Baleg DPR rela mengangkangi konstitusi negeri ini dengan merumuskan undang-undang Pilkada yang bertentangan dengan roh konstitusi.

Apakah teman-teman baleg DPR itu lupa bahwa sebuah kebijakan memiliki daya paksa, dan jika paksaan itu untuk menghancurkan konstitusi negeri ini, maka apa lagi yang dapat menjaga keutuhan negeri ini.

Kebijakan publik sejatinya dirumuskan dengan hati-hati dan melibatkan partisipasi elemen masyarakat yang tentunya menjadi target kebijakan. Baaimana mungkin dalam aktu singkat Lembaga yang terhormat sekelas DPR dapat menyusun kebijakan semaunya?

Apa yangsalah dengan pendidikan di negeri ini sehingga mereka yang memiliki jabatan tidak lagi menggunakannya untuk kesejahteraan msyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi nafsu serakah yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/08/ada-apa-dengan-uu-pilkada.html

Konstitusi menjaga kesatuan bangsa

  


 

Sepak terjang baleg DPR yang secara sengaja mengangkangi konstitusi dengan mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) telah menuai kemarahan massa.

Indonesia yang beragam hanya bisa dijaga dengan ikrar bersama yang dinyatakan dalam UUD 945, itulah sebabnya semua undang-undang perlu mengacu pada UUD. 

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang dipercayakan untuk menjaga, apakah semua undang-undang merupakan turunan dari UUD.

Jangan biarkan konstitusi negeri ini di kuatk-kutik oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. lawan dan jangan pernah lengah. 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/08/konstitusi-menjaga-kesatuan-bangsa.html

Menjaga Konstitusi, Menjaga Negara

 



Apa yang membuat gairah DPR membangkang pada konstitusi negeri ini?

Apakah karena haus kekuasaan DPR rela mengorbankan keutuhan bangsa?

Siapapun yang sadar konstitusi di negeri ini pasti akan turun kejalan atau melawan dengan cara apapun menentang kepongahan DPR yang mengabaikan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Meski massa yang turun ke jalan telah membuat keder para elit DPR, kita tidak boleh abai menjaga konstitusi di negeri ini. Mengangkangi Konstitusi sama saja meluluhlantakkan sebuah bangsa. 


https://www.binsarinstitute.id/2024/08/menjaga-konstitusi-menjaga-negara.html

Monday, March 11, 2024

Demokrasi Kalap

 Demokrasi Kalap



Konferensi pers di Rembang baru-baru ini yang dihadiri mereka yang menyebut tokoh-tokoh nasional di kediaman Gus Mus dengan lontaran kritikan tajam kepada pemerintahan Jokowi merupakan titik balik perpalingan mereka yang menyebut pejuang demokrasi pendukung Jokowi.

Saya masih ingat dalam acara pergantian pimpinan ICRP (Indonesian Conference on religion and Peace), pada waktu itu yang terpilih sebagai ketua ICRP adalah Ulil, seorang motor penggerak Jaringan Islam Liberal, yang kemudian menjadi Ketua Litbang Partai Demokrat. 

Pada acara akhir pelantikan pengurus ICRP yang dihadiri tokoh-tokoh nasional yang bertempat di Kantor Pusat PGI, jalan Salemba Raya, dikumandangkanlah tekat bahwa mereka akan berjuang dari dalam bersama Jokowi menguatkan toleransi beragama di Indonesia, Kebebasan beragama di Indonesia untuk menguatkan demokrasi Indonesia. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pemerintahan orde baru yang absolutis. Tekat para aktivis berjuang dari dalam pemerintahan itu membuat nurani saya tersentak, apakah mungkin kekuasaan yang memegang pedang itu tidak diawasi? Apakah mereka tahan berjuang dari dalam sambil menikmati kue kekuasaan yang amat lezat itu?

Masuknya Ulil ke partai demokrat menyebabkan Jaringan Islam Liberal yang kerap bersuara lantang dan disasar kelompok-kelompok garis keras tertentu itu meredup. Musdah Mulia adalah salah seorang petinggi ICRP dan pernah menjadi Direktur Megawati Institut.

Setelah meredupnya Jaringan Islam Liberal mereka yang biasa berkumpul di markas jaringan Islam Liberal itu sebagian besar bergabung di Salihara yang didirikan Gunawan Muhammad. Tempo dengan Saliharanya yang didirikan Gunawan Muhammad menjadi markas baru perjuangan mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi. 

Kita tentu berbesar hati dengan hadirnya pejuang-pejuang demokrasi itu. Tapi, pada arena pemilu kali ini, apakah tidak mungkin didalamnya juga ada niat menikmati kue kekuasaan bersama capres baru dukungan mereka.

Kita tentu heran, mengapa tiba-tiba pendukung Jokowi terdiam, dan yang tampil adalah pembenci Jokowi, setidaknya terbaca dari kekecewaan, kemarahan yang terkandung dalam kata-kata kotor yang memenuhi ruang publik.  

Penggunaan “Istilah bajingan” apakah layak dilontarkan untuk menghina orang nomor satu di Indonesia? Jika demokrasi di negeri ini mati, atau setidaknya jika itu terjadi pada era orde baru, apakah mereka masih bisa hadir di ruang publik?


Benarkah Demokrasi Indonesia telah mati?

Mengamati rentetan penyerangan terhadapa Jokowi yang sangat sistimatis, mengalir deras, teratur tentu saja ada sutradaranya. Bisa jadi sutradaranya adalah mereka yang kuatir Prabowo yang kian akrab dengan Jokowi akan memenangkan pilpres bersama Gibran. Dan tentunya juga ada dana besar yang mengalir, perjuangan menguasai ruang publik itu butuh dana besar.

Kalau demikian, dari mana dana mereka, apakah para pejuang demokrasi itu tidak terkait sama sekali dengan tim pemenangan pilpres yang lain? Apakah tidak ada campur tangan asing yang beriringan dengan perjuangan demokrasi itu. Tentu saja ada, setidaknya itu tersurat dan tersirat pada berita media-media asing yang mengarahkan tembakannya pada pribadi yang sama.

Kita tentu setuju pada era global bangsa-bangsa di dunia perlu menyatu untuk menciptakan damai di bumi. Tapi, jangan lupa negera-negara yang menyebut diri negara demokrasi kerap menciptkan perang. 

Masyarakat perlu hati-hati dengan niat tersembunyi dibalik perjuangan penegakkan demokrasi, apalagi demokrasi itu sendiri sebuah usaha bersama, bukan usaha individu atau kelompok tertentu. Dan jangan lupa pemilu adalah pesta demokrasi.

Mengamati kehadiran Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan salah satu pasangan capres tentu kita paham, Todung Mulya Lubis dengan yayasan TIFA kerap mendapat julukan peternak LSM, karna TIFA banyak memberikan dana hibah dalam dan luar negeri untuk LSM-LSM pejuang demokrasi, apalagi yang terkait dengan hak-hal asasi manusia? 

Tentu saja tidak salah PDIP memilih Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan pilpres, apalagi dengan gema jargon politik dinasti, Todung sebagai orang yang identik dengan pejuang HAM, secara khusus perjuangannya menolak hukuman mati di Indonesia, Todung merupakan orang yang tepat, dan jaringannya sangat luas, dalam dan luar negeri.

Sudah jamak tim pemenangan capres mendapatkan jabatan menteri ketika capres yang didukungnya berkuasa. Pertanyaannya kemudian, apakah benar bahwa mereka kuatir dengan kehadiran orde baru yang tampil dengan Pasangan Prabowo Gibran? Apakah tidak mungkin sesungguhnya mereka ingin terus  menikmati kue kekuasaan, dan takut kehilangan kesempatan menikmati kue kekuasaan setelah era Jokowi? 

Kita perlu hati-hati menganalisi hasil-hasil survey pilpres, apalagi yang berasal dari lembaga-lembaga survey yang terkait paslon tertentu, juga dengan kehadiran institusi survey dadakan, karena survey itu berbiaya mahal, 

Jargon politik dinasti yang beredar liar itu jangan-jangan terkait “kampanye negative” untuk mempromosikan barang dagangan “penegakkan demokrasi” partai tertentu.

Pejuang demokrasi tidak boleh kalap memperjuangan pemikirannya, apalagi jika menimbulkan kekacauan, rakyat yang akan dirugikan. Dalam alam demokrasi semua individu dan kelompok punya hak yang sama untuk berbicara.


Demokrasi Kalap

Kita tentu heran, bagaimana mungkin orang nomor satu di Indonesia, kader partai terbaik tak memiliki tempat di hati partainya. Presiden sebelumnya selalu saja hadir sebagai tokoh partai, contohnya Megawati, SBY, kecuali Gus Dur yang gagal karena terjegal Muhaimin. 

Wajar-wajar saja kehadiran Kaesang di PSI, tak ada salahnya, karena setahu saya kader-kader PSI seperti memiliki semangat baru untuk bisa masuk Senayan. Pemilu tahun lalu meski PSI memperoleh suara signifikan di daerah, mereka belum sukses menempatkan wakilnya di senayan.

Fuan Maharani, AHY mendapatkan karpet merah untuk mendapatkan posisi-posis penting di partai. Bisa saja kita menyebut dinasti Megawati, Dinasti SBY, dan Dinasti Jokowi. Tapi bukan politik dinasti. Ini masih negara demokrasi bukan!

Kita tentu setuju, dalam politik tidak ada teman sejati, dan tentunya juga tak ada musuh kekal, politik praktis tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, itu sah-sah saja, karena dalam perebutan posisi-posisi itu ada aturan permaian. 

Individu atau kelompok selalu saja berusaha untuk menghadirkan aturan yang berpihak pada individu atau kelompok tertentu, pada kondisi itu pemerintah perlu mengembalikannya pada aturan yang adil. Itulah sebabnya demokrasi perlu dipahami sebagai sebuah perjalanan, bukan hanya pencapaian. 

Kita tidak perlu mendeklarasikan demokrasi di negeri ini sudah kuat atau sudah mati, karena variable dan indikator yang menjadi alat ukur demokrasi itu sangat kompleks. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin tiba-tiba terjadi perpalingan pendukung Jokowi menjadi lawan Jokowi? Apakah itu suara mayoritas? Tentu saja belum tentu, karena mereka yang bersuara di publik tentunya mereka yang memiliki media-media publik, apalagi di saat kemajuan teknologi saat ini, semua orang bisa bicara seperti pakar di tiktok, youtube, facebook dll.

Politik juga demikian, siapa yang pernah masuk partai politik, dan menjadi tim sukses atau tim pemenangan pemilu sadar betul, ada banyak variable yang tak terduga yang bisa mempengaruhi perolehan suara dalam pemilu.

Para penyerang Jokowi boleh-boleh saja berusaha menarik hati rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, dan boleh saja mengutarakan penilaiannya terhadap kondisi Indonesia. Jangan lupa penilaian terhadap realitas itu bergantung pada teori apa yang ingin digunakan. 

Bisa saja keinginan dan harapan, atau napsu kekusaan individu atau kelompok itu dicari pembenarannya dengan menjadikan realitas itu pembenaran, untuk memaksakan keinginan dan harapan individu atau kelompok tertentu.

Menurut saya pejuang demokrasi tak perlu kalap, apalagi mereka yang beriringan dengan tim sukses capres. Utarakan saja temuan-temuan tentang kondisi Indonesia saat ini dengan cara-cara yang sejuk dan jangan lupa jangan hanya mengungkapkan kekecewaan, kemarahan, tetapi juga solusi terbaik untuk Indonesia. Utarakanlah Visi,Misi yang akan memajukan Indonesia.

Dalam pemilihan umum semua calon yang dicalonkan partai politik adalah pilihan rakyat, dan siapapun yang menang adalah kemenangan rakyat, karena rakyat mendapatkan pemimpin terbaik melalui seleksi partai. Pemilu bukan pertarungan untuk saling menyingkirkan, semua capres adalah milik bangsa Indonesia.

Jangan kalap, meski suara perjuangan, suaran nurani yang kita kumandangkan itu tak merespon hasil, kesempatan mengutarakan suara nurani itu adalah kesempatan, dan pemberian kontribusi terbaik, tapi jangan kotorkan dengan usaha pemaksaan, apalagi mengatasnamakan suara nurani yang subyektif itu.

Saturday, November 11, 2023

Menakar Visi, Misi Anies

 Sewaktu mendengar paparan awal Visi, Misi calon Presiden Anies Baswedan saya sempat terkagum-kagum, tapi ketika Visi, Misi itu berusaha di operasional kan saya berpikir ulang, Program yang diturunkan dari Visi, Misi itu menurut saya masih berada pada tataran ide, atau janji-janji kampanye yang tak menjamin mewujud.






Pemaparan Visi, Misi Anies Baswedan  disertai tanya jawab di lembaga riset CSIS baru-baru ini yang disiarkan melalui Televisi memang indah, apalagi pada awal pemaparannya. Tentu saja sebagai seorang yang pernah menjabat rektor di sebuah universitas Anies paham betul bagaimana mekanisme merumuskan Visi,Misi.

Rumusan Visi, Misi Anies bagi saya keren, secara khusus peran internasional Indonesia baik pada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam hubungan antar negara, seperti peran yang bisa dimainkan Indonesia dalam mengusahakan damai di Palestina.

Sayangnya, ketika Visi,Misi itu dioperaional kan, saya kecewa karena masih berada pada tataran ide. Tentu saja saya menghargai ide kreatifnya, misalnya menjadikan warga Indonesia tamu yang baik di negeri orang untuk mempromosikan Indonesia, atau untuk Indonesia dapat menancapkan pengaruhnya pada negara-negara lain.

Mengapa saya kecewa dengan operasionalisasi Visi,Misi Anies? Visi, Misi Anies layaknya Visi Misi banyak perguruan tinggi yang hanya berada pada tataran dokumen. Tidak diturunkan secara baik dalam program yang meyakinkan dan dapat dilakukan,  tentunya berdasarkan evaluasi program-program terkait, yang kemudian menjadi program pengembangan. Artinya program itu mestinya juga memiliki kaitan dengan program-program yang telah dikembangkan Indonesia, atau juga pada negara-negara lain yang tentunya membutuhkan penyesuaian konteks.

Ide menjadikan warga Indonesia tamu di luar negeri untuk memajukan Indonesia, serta peran Indonesia pada dunia internasional perlu didasari pada evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang relevan dengan program yang akan dikembangkan. Jangan seperti perubahan kurikulum yang merepotkan pendidikan tinggi, dan tanpa evaluasi memadai. Itulah sebabnya kebijakan kurikulum yang seharusnyaa sudah bisa diterapkan tiga tahun setelah dikeluarkan, hingga belasan tahun belum juga sukses.

Bisa saja ide kreatif Anies itu muncul dari pengalaman keluarga besarnya, yang dianggap menjadi tamu yang baik di Indonesia, bahkan orang tua Anies berperan penting dalam pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia secara internasional, tapi itu belum bisa digenaralisasi memiliki dampak perubahan besar bagi Indonesia, meski Anies menyebut kiprah Sri Mulyani dll. 

Saya percaya negeri ini menunggu program-progrma Capres yang bukan hanya janji-janji, tapi bisa memajukan Indonesia.

Friday, November 10, 2023

Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik

 

 Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik

 


Opini publik sukses memenjarakan Ahok, Yessica dan kini menelan korban baru, Panglima penjaga konstitusi Indonesia, ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman selaku ketua MK yang memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40 tahun atau pernah dan sedang menjabat jabatan publik secara cepat membentuk opini yang menuduh Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika MK menetapkan keputusan itu. Lucunya yang menjadi sasaran hanyalah Anwar Usman.

Opini publik yang menghakimi bahwa Anwar Usman terlibat konflik kepentingan itu beredar liar, entah siapa yang menciptakannya, padahal tuduhan-tuduhan itu minim bukti kecuali memang Anwar Usman memiliki hubungan keluarga dengan Gibran, meski keputusan itu tidak hanya menguntungkan Gibran.

Saya tidak tahu siapa yang menciptakan opini publik itu, sayangnya opini public yang liar itu dan hanya menyasar Anwar Usman kemudian menyandra Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK yang menyatakan Anwar Usaman melakukan pelanggaran etik berat, tapi tidak dipecat sebagai anggota MK mengindikasikan adanya tekanan opini publik. Data media yang menjadi dasar keputusan MKMK, serta kekuatiran konon akan ada chaos pada pemilu 2024 telah menyandra MKMK.

Anehnya lagi, publik seakan terpuaskan dengan pelengseran Anwar Usman yang mendapatkan hukuman berat dibandingkan rekan-rekannya sesama anggota MK. Yang tak masuk nalar adalah Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan lobi-lobi memengaruhi keputusan MK.

Apakah betul anggota MK itu begitu lemahnya sehingga terbius nyanyian Anwar Usman untuk mendukung keputusannya? Bukankah  mahkamah konstitusi itu bersifat kolegial, dan mereka semua adalah pendekar hukum di negeri ini?

Anehnya lagi, kenapa Anwar Usman bukan hanya tidak diberhentikan sebagai ketua MK, bukan sebagai anggota MK sebagaimana dissenting opinion Bintan Saragih. Alasan Jimly bahwa MKMK kuatir Anwar Usman melakukan banding dan mengakibatkan keputusan MKMK tidak memiliki kekuatan hukum, menunjukkan bahwa hukum, aturan tidak bisa memuaskan semua. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dipuaskan dengan keputusan MKMK?

Publik ternyata juga tidak peduli mengapa hakim MK lainnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan Anwar Usman, padahal menurut MKMK semua hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik. Suara publik ini suara siapa?

Apakah ini mengindikasikan rakyat Indonesia sudah kuat, dan negara kian lemah? Jika demikian suara rakyat itu suara siapa? Apakah mayoritas diam di negeri ini yang mengidolakan Jokowi telah beralih secara diam-diam?

Menurut saya tuduhan liar yang hanya menyasar Anwar Usman itu mendapatkan tempatnya pada opini yang beredar liar bahwa telah hadir politik dinasti Jokowi yang menghadirkan Gibran sebagai Calon wakil Presiden. Padahal, tidak ada politik dinasti di negeri ini.

Kita mengakui ada dinasti Megawati, dinasti Susilo Bambang Yudoyono, dan dinasti Jokowi, tapi tak ada pemerintahan bentuk kerajaan di negeri ini. Opini publik terkait politik dinasti Jokowi bergerak liar, seakan itu sungguh terjadi dengan beragam cerita dan keudian menyandera keputusan MKMK.

Benarlah ungkapan yang mengatakan barang siapa menguasai informasi akan menguasai dunia, siapa yang mampu menciptakan keinginannya menjadi opini publik akan mampu memaksakan kehendaknya pada ruang publik.

Demokrasi adalah sebuah perjalanan, demokrasi ibarat sebuah permaianan, Tarik menarik antara para pemain untuk memenangkan permainan kerap terjadi. Repotnya aturan atau hukum yang adil itu sendiri tak pernah ada. Aturan permaianan kerap dikuasai kelompok yang kuat. Demokrasi di Indonesia saat ini dikuasai oleh mereka yang memainkan opini publik. Demokrasi Indonesia saat ini sedang tersandra opini publik, rakyat perlu waspada terhadap mereka yang memainkan opini public untuk memaksakan kehendaknya, termasuk media-media asing yang saat ini seakan mempropagandakan telah hadir politik dinasti di Indonesia.

https://www.binsarinstitute.id/2023/11/demokrasi-indonesia-tersandera-opini.html


Wednesday, November 8, 2023

Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

 Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi






Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan  ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah dan melakukan pelanggaran berat, namun tidak mencopotnya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi dan hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai  Ketua Mahkamah Konstitusi menurut saya adalah penerapan dari politik rekonsiliasi. 

Alasan Jimly jelas, agar Anwar Usman tidak dapat melakukan banding, maka Anwar Usman tidak dipecat sebagai anggota mahkamah konstitusi, yang mengakibatkan tidak berlakunya keputusan majelis kehormatan mahakamah konstitusi. Lebih jauh Jimly mengatakan, keputusan itu untuk mengamankan pemilu tahun 2024, agar ada kepastian hukum.

Disenting opinion yang dinyatakan Bintan Saragih meneguhkan hal itu, karena jika memang Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, seharusnya Anwar Usman dilengserkan dari jabatannya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. 

Keputusan itu pun membuat Anwar Usman meradang. Ternyata politik rekonsiliasi bisa meminggirkan individu tertentu. Apa untungnya untuk Anwar Usman tidak dipecat dan dijadikan tontonan masyarakat Indonesia dengan tetap bertengger di Mahkamah Konstitusi?

Pada konteks keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saya melihat adanya keterbatasan hukum. Jika kita ibaratkan hukum sebagai peta untuk menuju kehidupan damai dalam kehidupan bersama, maka hukum yang adalah produk manusia yang terbatas itu kadang tak mampu memberikan kebaikan bersama. 

 Ketika kita melihat kehidupan publik dalam perpektif kebijakan “game theory” , hukum, kebijakan sebagai aturan permainan yang adil tetap saja tidak memuaskan semua. Bukan hanya hukum yang mampu memuaskan semua pihak itu tidak ada, tetapi Individu atau kelompok-kelompok yang ada diruang publik itu kerap berusaha memaksakan pandangannya yang diklaimnya absolut, demi mempertahankan eksistensinya. Ibarat pertarungan kejahatan dan kebenaran yang tak pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini.

Demokrasi ternyata bisa menghadirkan individu atau kelompok-kelompok yang kerap ingin menunjukkan hegemoninya. Demokrasi yang dimimpikan dapat memberikan keadilan kepada semua pihak, layaknya sebuah permainan, ternyata hanya utopia. 

Ada yang mengatakan keputusan MK berpihak kepada Gibran, padahal hukum berlaku untuk semua orang. Kemudian Keputusan MKMK berpihak kepada siapa? Apakah tidak mungkin keputusan MKMK hanyalah hasil dari tekanan publik? Pertanyaannya kemudian, siapa publik yang ingin dipuaskan dengan mengorbankan Anwar Usman?

Politik rekonsiliasi dalam keterbatasan aturan dan hukum memang tak bisa memberikan  kepuasan kepada semua elemen bangsa ini. Apakah masih ada diantara kita yang merasa memiliki solusi tunggal untuk negeri ini? 


https://www.binsarinstitute.id/2023/11/politik-rekonsiliasi-majelis-kehormatan.html


Thursday, September 9, 2021

Bijak Memaknai Etika Global

TEMPAT MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!


 



 

Bijak memaknai "Etika Global" adalah sebuah kebutuhan penting untuk tidak membawa kita jatuh pada mimpi mewujudnya sebuah dunia tanpa persoalan

 

Hidup bersama selalu saja menghadirkan persoalan, meski pada saat bersamaan juga menghadirkan kebaikan bersama. Bagaimanakah dalam keterbatasan manusia, relasi antar sesama itu bisa menghadirkan kebaikan, dan kedamaian bersama. Mungkinkah sebuah etika global dapat mewujud dalam hidup bersama manusia yang terbatas itu?

 

Berbicara terkait etika global, bisa jadi kita hanya akan terjebak pada sebuah mimpi indah, yaitu mimpi tentang kedamaian antarsesama manusia yang tak mungkin mewujud. Kita hanya berandai-andai, jika ada aturan bersama, dan semua individu mengikuti aturan itu, surga tentu akan hadir di bumi ini.

 

Mimpi indah itu juga diutarakan kaum yang percaya akan keadilan pasar. Pemerintah tidak boleh campur pada urusan pasar, dan pasar akan punya keadilan pasar, Seperti kata John Adam Smith, ada tangan Tuhan yang mengendalikan pasar.

 

Nyatanya, negara maju terus maju, dan negara miskin tetap merana. Mereka yang  kaya bisa lebih mudah menumpuk kekayaan yang jauh lebih besar lagi, sedang mereka yang miskin terseok-seok keluar dari kemiskinan. Pasar sesungguhnya tak memiliki keadilan. Pasar tak mungkin mewujudkan etika global yang dapat diaati bersama.

 

Dunia bisnis tak pernah menghadirkan keadilan, mesti ada aturan yang berada di atasnya untuk mengatur, tapi, dunia bisnia tak akan peduli dengan aturan itu, kecuali aturan itu bisa mempertahankan dan mengembangkan para pebisnis itu. Istilah “win-win solution”sebenarnya hanya sebatas ungkapan kosong, seperti candu untuk membungkam mereka yang miskin.

 

Bagaimana dengan pemerintahan bangsa-bangsa?

Lihat saja Myanmar, mereka yang berambisi untuk berkuasa tak pernah peduli dengan nasib rakyat. Berapa banyak nyawa rakyat yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan.

 

Janji kesejahteraan untuk rakyat hanya slogan, politik hanya bisa dipuaskan dengan kekuasaan. Adakah etika bersama yang bisa mengaturnya?

 

Paradoks Global dan Lokal

 

Global dan lokal itu suatu paradoks, mendamaikannya tentu saja tidak mudah. Soekarno pernah berusaha mendamaikan internasionalisme dan nasionalisme, dengan kalimatnya yang tersohor, “Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”Maksudnya adalah jangan buang “Nasionalisme” dan jangan tidak peduli dengan “Internasionalisme.” jangan jadi metropolitanisme dan jangan jadi chauvinisme.

 

Menurut saya etika global dan lokal adalah sebuah paradoks, etika global tidak boleh menelan etika pada komunitas tertentu, demikian juga etika komunitas tertentu jangan tidak peduli dengan etika global. Berarti etika global mestinya suatu meta etika, yang mengacu pada prinsip-prinsip universal.

 

Persoalannya, dalam teori kebijakan dipahami bahwa batasan publik dan privat itu tidak memiliki batasan yang tegas. Artinya nilai-nilai privat bisa menjadi nilai-nilai publik, demikian juga nilai-nilai publik bisa jadi hanya sekadar nilai privat.

 

Deklarasi universal HAM yang diagungkan sebagai piagam mulia, saat ini menjadi polemik, dan tidak semua negara bisa menerimanya, ambil contoh, instrumen hak-hak azasi universal itu yang turunannya ada pada konvensi-konvensi, tidak semua negara meratifikasinya, artinya tidak semua negara bisa menerapkan etika global itu pada batas-batas negara mereka.

 

Menurut saya, etika global itu bukan suatu kondisi tertentu, tapi sebuah pencapaian yang terus menerus berlangsung, etika global itu tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Karena etika berbicara relasi antar manusia, maka sejatinya ketika global itu harus memanusiakan manusia.

 

Manakala ada aturan yang tidak memanusiakan mansia, maka aturan itu perlu diperbaiki. Etika global itu bukan kitab suci, bukan sebuah standar absolut, meski etika global itu mesti mengacu pada yang absolud, dan yang basolut itu hanya Tuhan.

 

Memaknai Etika Global secara benar.

 

Sebuah etika global, adalah sebuah pencapaian umat manusia dalam bersama-sama mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama.

 

Etika global bukan produk orang cerdik pandai, meski keterlibatannya diperlukan, tapi kaum cerdik pandai itu tidak bisa menghasilkan etika global dari kepala mereka yang terbatas.

 

Para cerdik pandai itu, juga tokoh-tokoh agama, jangan pernah merasa memiliki solusi tunggal untuk semua persoalan umat manusia. Sebaliknya, para cerdik pandai, tokoh agama perlu mengakui keterbatasannya, untuk saling mendengarkan dan kemudian menghasilkan aturan yang lebih baik untuk semua.

 

Jadi, Merumuskan sebuah etika global, seperti juga sebuah kebijakan publik perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dan tidak boleh seorangpun merasa paling tahu yang terbaik untuk semua.

 

Karena itu saling mendengarkan dan menghargai keragaman pandangan perlu terus didengungkan untuk hadirnya sebuah etika yang menjadi jawaban bagi semua, meski itu sendiri tak pernah mencapai titik akhir.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://amzn.to/3v50VlM

https://www.binsarhutabarat.com/2021/04/bijak-memaknai-etika-global.html

Wednesday, March 3, 2021

Musik Tradisional Indonesia Perlu Perlindungan






Apakah benar bahwa musik tradisional Indonesia perlu perlindungan? Mengapa Rancangan Undang-undang Permusikan itu menimbulkan kontroversi, serta penolakan dari kalangan pemusik itu sendiri? Simak artikel Dr,. Binsar Antoni Hutabarat Terkait RUU Permusikan.


 EVALUASI TERHADAP RUMUSAN RUU PERMUSIKAN

 

Binsar A. Hutabarat

Reformed Center for Religion and Society

 

ABSTRACT: This article entitled "Evaluation of the Draft Music Bill" focuses on the substance of the problem set out in the Music Bill, and the procedural side of drafting the Music Bill as an alternative policy, namely “the process of drafting a policy as seen from the parties involved in its formulation (policies stakeholders). This policy research is a type of research on the evaluation of policy formulation. The findings of this paper are that the Music Bill, specifically related to the process of its formulation, does not involve adequate stakeholders, and the substance  of the policy formulation, specifically regarding the rules of the creative process, has been limiting individual freedom. The drafting of the Music Bill lacks proper attention to the boundaries of private space and public space. The author's recommendation is that the discussion on the Music Bill as an alternative public policy program should be stopped.

KEYWORDS: policy, public policy, policy evaluation, music bill.

 

ABSTRAK: Artikel yang berjudul “Evaluasi terhadap Rancangan Undang-Undang Permusikan” ini fokus pada substansi masalah yang dituangkan dalam RUU Permusikan, serta sisi prosedural perumusan RUU Permusikan sebagai alternatif kebijakan, yakni proses penyusunan suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (policies stakeholders). Penelitian kebijakan ini merupakan jenis penelitian evaluasi rumusan kebijakan. Temuan tulisan ini adalah RUU Permusikan, secara khusus terkait proses perumusannya tidak melibatkan stakeholder yang memadai, dan substansi rumusan kebijakan itu, secara khusus tentang aturan proses kreatif terindikasi telah membatasi kebebasan individu. Perumusan RUU Permusikan kurang


memerhatikan batasan ruang privat dan ruang publik secara tepat. Rekomendasi penulis adalah RUU Permusikan sebagai alternatif kebijakan publik permusikan harus dihentikan pembahasannya sebagai alternatif kebijakan publik permusikan.

KATA-KATA KUNCI: kebijakan, kebijakan publik, evaluasi kebijakan, undang-undang permusikan.

 

Pendahuluan

Kebijakan publik yang unggul sejatinya  dapat  diimplementasikan dengan baik untuk menghadirkan kehidupan publik yang sehat, damai dan sejahtera. Implementasi kebijakan dapat dilaksanakan  karena  mereka yang menjadi sasaran kebijakan tersebut bergairah untuk melaksanakannya. Gairah masyarakat untuk mengimplementasikan kebijakan yang unggul dapat dipahami karena kebijakan tersebut disambut oleh mereka yang menjadi sasaran kebijakan sebagai jawaban terhadap persoalan mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya kebijakan publik yang unggul haruslah melalui proses yang benar dan melibatkan stakeholder yang memadai.

Hadirnya kebijakan-kebijakan yang menuai protes masyarakat

luas di Indonesia seharusnya memberi kesadaran pada elite politik penyusun kebijakan bahwa ada yang salah dalam perumusan kebijakan publik tersebut. Hal ini juga terjadi pada RUU Permusikan.

Kehadiran RUU Permusikan yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019 bukannya disambut gembira, sebaliknya telah menuai demonstrasi dari berbagai kelompok yang merasa dirugikan. Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang- Undang Permusikan mengumumkan bahwa RUU Permusikan itu memiliki sejumlah permasalahan terkait dengan substansi kebijakan serta adanya disharmoni dengan perundang-undangan lain. Selain substansi kebijakan yang menjadi dasar penolakan, terindikasi bahwa


perumusan kebijakan tersebut tidak menyertakan para pekerja musik.1

Mengingat kehadiran sebuah kebijakan publik sangat strategis dan berdampak luas, dan belum banyak yang menyorotinya secara akademis, maka kajian ini akan mengevaluasi proses perumusan agenda kebijakan sebagaimana tertuang dalam RUU Permusikan dan substansi dari RUU Permusikan. Penelitian kebijakan ini merupakan jenis penelitian kebijakan substantif dengan fokus pada substansi masalah yang dituangkan dalam RUU Permusikan, serta sisi prosedural perumusan RUU Permusikan sebagai alternatif kebijakan, yakni proses penyusunan suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlihat dalam perumusannya (policies stakeholders).

 

Publik dan Privat

Ide tentang kebijakan publik sesungguhnya menyiratkan adanya domain publik, suatu ruang yang bukan privat, tetapi milik umum atau milik bersama. Pemisahan domain publik dan domain privat terus menjadi perdebatan hingga saat ini. Perdebatan itu wajar terjadi karena batasan mana yang menjadi domain privat dan domain publik tidaklah sederhana. Batasan mana domain privat dan domain publik sesungguhnya merupakan tema abadi yang terus menjadi perdebatan hingga saat ini. Saxonhouse tepat ketika menjelaskan bahwa tidak ada konsepsi yang seragam tentang hubungan antara kedua ruang tersebut.2

Wayne Parsons menjelaskan bahwa ruang publik adalah ruang aktivitas manusia yang dipandang perlu diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya aturan bersama yang dihasilkan dari konsensus bersama.3 Hal ini berarti bahwa sebuah kebijakan publik yang unggul hanya mungkin hadir jika semua elemen publik yang menjadi sasaran kebijakan dilibatkan dan penyusun

 

1 “RUU Permusikan Prematur”, Kompas, Kamis, 7 Februari 2019.

2 Wayne Parsons, Public Policy (Jakarta: Prenadia Group, 2014), 4-5.

3 Ibid.


kebijakan memiliki pemahaman ruang publik dan privat yang jelas. Karena itu, perumusan kebijakan publik yang tidak dilakukan dengan hati-hati bukannya memberikan jalan keluar terhadap persoalan publik, sebaliknya akan menimbulkan masalah baru.

Resolusi konflik ruang privat dan publik pada awalnya terdapat dalam gagasan Aristoteles mengenai “polis” sebagai  bentuk  tertinggi dari asosiasi manusia. Usaha untuk menengahi ketegangan antara publik dan privat terus berlanjut hingga saat ini. Pandangan yang menetapkan perbedaan yang jelas antara kekuasaan publik dan dunia privat berpendapat bahwa peran negara adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik dapat terjamin. Pemerintah dalam hal ini lebih baik tidak terlalu campur tangan dalam ruang  publik.  Menurut  pandangan ini, kepentingan publik akan terlayani dengan baik apabila kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, bukannya dibatasi atau diatur oleh negara. Mekanisme pasar dalam hal ini  menjadi  pengatur ruang publik.4

Gagasan mengenai perbedaan yang tegas antara ruang publik dan privat ternyata mulai runtuh sejak abad ke-19. Penetrasi kebijakan publik ke dalam ruang yang oleh para ahli ekonomi disebut sebagai  ruang  privat mulai terjadi di hampir semua bidang kehidupan sosial.  Perumusan kebijakan publik pada saat ini memerlukan keterlibatan yang lebih luas dari sebelumnya, dan tidak hanya terbatas pada lembaga eksekutif dan legislatif. Perumusan kebijakan publik memerlukan keikutsertaan semua pihak agar kebijakan yang dilahirkan adalah kebijakan yang baik untuk semua, dalam hal ini ahli-ahli kebijakan memainkan peran strategis.

 

Kebijakan Publik

Istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa Yunani “polis” (negara-kota) dan bahasa Sansekerta “pur” (kota), dikembangkan dalam bahasa Latin

 

4 Ibid.


menjadi “politia” (negara), dalam bahasa Inggris “policie”, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Asal-usul etimologis kata policy sama dengan dua kata penting lainnya: police dan politics. Inilah salah satu alasan mengapa banyak bahasa modern, misalnya Jerman dan Rusia hanya mempunyai kata (politik, politika) untuk dua pengertian (policy dan politics) Ini juga merupakan salah satu faktor yang saat ini menimbulkan kebingungan seputar batas disiplin ilmu politik, administrasi negara, dan ilmu kebijakan, semuanya menaruh perhatian besar pada studi politik (politics) dan kebijakan (policy).5

Menurut Harold Lasswell: “Kata “kebijakan” (policy) umumnya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat.”6 Berdasarkan penjelasan Lasswell dapat dipahami, bahwa Lasswell tidak membatasi penggunaan istilah kebijakan hanya dalam area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna “keberpihakan” dan "korupsi".7

Meski istilah kebijakan (policy) adalah istilah yang digunakan secara luas, namun Parsons berpendapat bahwa, “istilah kebijakan tepatnya digunakan untuk sesuatu yang ‘lebih besar’ ketimbang keputusan tertentu, tetapi lebih kecil ketimbang gerakan sosial.”8 Sejalan dengan Parsons, Budi Winarno menerangkan, secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu.9 Selanjutnya Winarno sejalan dengan Parsons menjelaskan, pengertian kebijakan hanya memadai untuk keperluan pembicaraan biasa atau umum, namun

 

5 William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), 51.

6 Ibid., 17.

7 Ibid.

8 Wayne Parsons, Public Policy (Jakarta: Kencana, 2006), 14.

9 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus (Jakarta: Center of Academic Publishing Service, 2007), 19.


menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.10

Wayne Parsons lebih jauh menerangkan makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna “administration”. Yang lebih penting khususnya sejak periode pasca- Perang Dunia II, kata policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Singkatnya, sebuah kebijakan adalah usaha mendefinisikan dan menyusun basis rationale untuk melakukan atau  tidak melakukan sesuatu.11

Makna kata kebijakan secara lebih mendalam dapat lebih  dipahami dengan memahami konteks historis istilah kebijakan, makna kebijakan yang senantiasa berubah menunjukkan perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan. Parsons lebih lanjut mengungkapkan, di  Inggris, (policy) mengandung makna yang kompleks dan beragam.  Dalam karya Shakespeare, misalnya kita menjumpai empat makna yang berbeda: kehati-hatian, sebentuk pemerintahan, tugas, dan administrasi, serta sebagai ‘‘machiavellianisme”. Kebijakan mencakup seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan, penampilan luar dan tipuan (illusion) adalah beberapa unsur yang membentuk kekuasaan (power). Shakespeare menggunakan istilah filsafat Machiavellian; dan policy menunggangi kesadaran, demikian dikatakan sang penyair dalam Timon of Athens.12

Pada awalnya istilah “kebijakan” atau pokok-pokok platform menjadi rasionalitas politik. Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi. Selanjutnya, dengan

 

 

10 Ibid., 19.

11 Wayne Parsons, op. cit., 15.

12 Ibid., 16.


berkembangnya sistem partai dan pemilu modern  di  masyarakat  industri, diskursus kebijakan kemudian menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan “politik” dan persaingan elite politik. Dalam konteks tersebut di atas, politisi dituntut memiliki “kebijakan” sebagaimana halnya sebuah toko mesti mempunyai barang dagangan. Dalam area itu, kebijakan merupakan “mata uang” penting dalam perdagangan demokratik.13

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa sebuah kebijakan publik sejatinya menjadi jawaban bagi persoalan masyarakat, sebuah strategi pemerintah untuk membawa masyarakat pada cita-cita kemerdekaan yang telah disepakati bersama. Kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Thomas R. Dye merangkum dari definisi-definisi mengenai kebijakan publik demikian: “Public policy is whatever governments choose to do or not to do”14. Kebijakan publik tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah (misalnya melalui penyusunan undang- undang) melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal yang tidak dilakukan  pemerintah  menurutnya juga mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang tidak  dilakukan oleh pemerintah.15

Tindakan pemerintah untuk tidak intervensi di  ruang  publik  untuk terjaganya kehidupan publik yang  sehat  juga  merupakan kebijakan pemerintah, karena keputusan untuk tidak intervensi pada ruang publik adalah sebuah kebijakan pemerintah. Untuk menciptakan ruang publik yang sehat pemerintah tidak harus melahirkan sebuah undang-undang, apalagi jika intervensi pemerintah melalui kebijakan publik itu dapat membelenggu kebebasan individu-individu dalam

 

 

13 Ibid., 16.

14 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy (United States: Prentice Hall, 1978), 1.

15 Irawan Suntoro dan Hasan Hariri, Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), 3.


ruang publik.

Kebijakan publik sebagai sesuatu yang dikerjakan pemerintah juga ditegaskan oleh James E. Anderson, “Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials.”16 Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam  mengatasi  suatu masalah atau suatu persoalan.17

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dipahami, bahwa kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi sebagaimana ditegaskan Anderson, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan, bukan perilaku serampangan. Kebijakan publik bukan sesuatu yang berlaku begitu saja, melainkan direncanakan oleh aktor-aktor politik yang terlibat dalam sistem politik. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, dan bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri.

Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan- keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Kebijakan publik dalam bentuknya dapat bersifat positif dan negatif. Secara positif, kebijakan, mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk memengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil keputusan tindakan dan tidak  untuk  melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok- kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik

 

16   Sahya Anggara, Kebijakan Publik (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 35.

17   Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik (Bandung: Alfa Beta, 2005), 21.


didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif.18

Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan publik adalah jalan bagi pemerintah untuk mencapai apa yang dicita-citakan seluruh rakyat. Kebijakan publik adalah pedoman bagi sebuah negara untuk mencapai apa yang diperintahkan konstitusi.19

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah mendefinisikan kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi masalah tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak.

 

Proses Kebijakan Publik

Orang pertama yang menggambarkan ide public policy dapat dipelajari secara sistematik adalah John Dewey. Di dalam bukunya Logic: The Theory of Inquiry, Dewey memberikan perhatian terhadap sifat eksperimen dari cara mengukur kebijaksanaan (policy). Digambarkan pula bagaimana rencana-rencana tindakan harus dipilih dari alternatif-alternatif dan bagaimana mengamati akibat-akibat yang dapat  dipergunakan  sebagai uji coba yang tepat.20

Buah pikiran Dewey tersebut diambil oleh Harold Lasswell, seorang eksperimentalis ilmu politik yang pertama kali mempertajam ide ilmu policy sebagai suatu disiplin yang tidak terpisahkan dari disiplin- disiplin ilmu lainnya. Menurutnya, ilmu kebijakan adalah studi tentang proses pembuatan keputusan atau proses memilih dan mengevaluasi informasi yang tersedia dan bergayutan untuk memecahkan masalah-

 

18 Budi Winarno, op. cit., 23-4.

19 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 121.

20 Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 104.


masalah tertentu. Ilmu seperti ini adalah memusatkan pada lima tugas intelektual di dalam memecahkan persoalan. Lima tugas intelektual tersebut antara lain: penjelasan tujuan-tujuan, penguraian kecenderungan-kecenderungan, penganalisisan keadaan, proyeksi dari pengembangan masa depan, dan penelitian, evaluasi dan penelitian, evaluasi dan pemilihan alternatif.21

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi  proses-proses  penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan mengkaji kebijakan publik.22 Pembuatan putusan kebijakan (policy decision making) adalah hasil sebuah proses pemilihan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang  tersedia. Sebagai bagian dari pembuatan, maka pembuatan  keputusan  adalah  hasil tindakan yang dapat terlihat pada tujuan tertentu, yang dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor yang dapat terlihat dalam setiap tahapan dan proses kebijakan publik yang dilakukan. Karenanya pembuatan keputusan haruslah merupakan tindakan terpola dari aktor, menggunakan model dan teknik yang tepat, dan dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan sehingga hasilnya adalah lahirnya kebijakan yang berdimensi rasional yang substantif, dan diharapkan dapat menyelesaikan persoalan kepublikan secara cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan.23

Lokus   pembuatan   keputusan   kebijakan   (policy   decision making)

berada di antara fase perumusan kebijakan dan implementasi, di mana kedua hal tersebut saling terkait satu  sama  lain.  Keputusan memengaruhi    implementasi,    dan    implementasi    tahap    awal  akan

 

21 Ibid., 104.

22 Budi Winarno, Kebijakan Publik, 35.

23 Novita Tresina, Rasionalitas dan Pembuatan Keputusan Kebijakan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), 15.


memengaruhi implementasi berikutnya. Pembuatan keputusan bukanlah proses pasif, melainkan sebuah proses, dan keputusan awal sering kali hanya merupakan sinyal petunjuk arah atau dorongan awal, atau percobaan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi spesifikasi.

 

Rumusan RUU Permusikan

Berdasarkan naskah akademik RUU Permusikan dan RUU Permusikan dapat dipahami bahwa yang menjadi tujuan dari hadirnya RUU tersebut adalah: a. bahwa musik sebagai bagian dari budaya berfungsi sebagai perekam nilai kehidupan dan jejak sejarah peradaban bangsa Indonesia serta menjadi aset penting dalam pemajuan kebudayaan perlu dipelihara, dilestarikan, dan dikembangkan; b. bahwa saat ini masih terdapat permasalahan dalam permusikan yang terkait dengan penyelenggaraan, perlindungan, dan pendataan serta pengarsipan sehingga perlu dilakukan penataan yang komprehensif agar permusikan dapat berkembang secara berkesinambungan dan memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa; c. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu memenuhi perkembangan hukum dan dinamika masyarakat sehingga diperlukan payung hukum yang dapat mewujudkan penyelenggaraan permusikan yang baik dan memberikan kepastian hukum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana RUU Permusikan dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Permusikan;24

Dasar hukum dari penyusunan Undang-Undang Permusikan  adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, RUU permusikan ini adalah usulan dari Badan Perwakilan Rakyat yang memang memiliki hak

 

24 Naskah Akademik RUU Permusikan (Tim Penyusun RUU tentang Permusikan Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2018).


dalam penyusunan undang-undang. Sedangkan Pasal 32 ayat (1) berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memeroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi  kesejahteraan  umat manusia.25

Kronologis hadirnya RUU Permusikan dalam Program Legislasi Nasional 2019 adalah seperti berikut; Pada 7 Juni 2017 para musisi dan pemangku kepentingan industri musik secara resmi menyampaikan usulan RUU tentang Permusikan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Naskah akademik RUU Permusikan melaporkan bahwa usulan dihadirkannya UU Permusikan adalah untuk memajukan dunia permusikan Indonesia, sekaligus juga memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pada 15 Agustus 2018 RUU Permusikan ini dianggap perlu oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengakomodasi kebutuhan dunia permusikan di Indonesia. Baleg DPR menyatakan komitmennya untuk mendorong agar RUU ini dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR RI melalui Komisi X kemudian merencanakan untuk menyusun RUU tentang Permusikan, dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun konsep naskah akademik dan RUU tentang Permusikan.26

Naskah Akademik RUU Permusikan menerangkan bahwa Tim Penyusun telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan permusikan. Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Permusikan dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah berbagai data 15 Agustus 2018 sekunder seperti peraturan perundang-undangan terkait, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai dokumen hukum terkait. Guna melengkapi studi kepustakaan

 

25       Ibid.

26       Ibid.


dan literatur dilakukan pula diskusi melalui Focus Group  Discussion/FGD dan wawancara serta kegiatan uji konsep dengan berbagai pihak berkepentingan atau stakeholders terkait permusikan dan para pakar atau akademisi.

Substansi RUU Permusikan diyakini sebagai solusi terhadap permasalahan kurangnya keseimbangan/balancing antara perkembangan musik tradisional dan musik modern. Perkembangan musik tradisional cenderung menurun sebagai akibat  kurangnya  perhatian  dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Padahal, menurut naskah akademik RUU tersebut, idealnya musik tradisional yang  merupakan local genus harus dilestarikan dan dikembangkan, termasuk mendapat advokasi dari pemerintah. Selanjutnya juga dijelaskan, tata kelola musik Indonesia saat ini masih tergantung sepenuhnya  kepada  mekanisme pasar dan menitikberatkan pada pop culture, sehingga jenis musik lainnya, terutama musik tradisional, kurang mendapatkan perhatian. Idealnya perlu dibedakan antara tata kelola industri musik dengan musik tradisional. Artinya RUU Permusikan menginginkan adanya intervensi pemerintah berupa undang-undang untuk memajukan musik tradisonal dan tata kelola industri musik.

RUU tentang Permusikan itu memiliki cakupan yang luas mengenai penyelenggaraan permusikan, mulai dari proses kreasi, reproduksi, distribusi, dan konsumsi. Selain itu, diatur pula mengenai perlindungan terhadap karya musik dan pelaku musik, pengembangan pelaku musik melalui pendidikan dan apresiasi, sistem pendataan dan pengarsipan, serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan permusikan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perumusan RUU Permusikan merupakan inisiatif DPR, dan diakui  bahwa perumusan tersebut lebih kepada ide-ide yang lahir dari Dewan Perwakilan Rakyat, dan tidak didasarkan atas riset yang mendalam tentang persoalan terkait dengan permusikan, apalagi cakupan RUU itu sangat luas.


Pasal kontroversial yang mendapat penolakan luas tertuang dalam pasal 50 yang menjelaskan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Proses Kreasi yang mengandung unsur: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; e. mendorong khalayak umum  melakukan  tindakan melawan hukum; f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau RUU Permusikan g. merendahkan harkat dan martabat manusia.27

 

Evaluasi Proses Perumusan RUU Permusikan

Berdasarkan kronologis penyusunan RUU Permusikan yang telah dipaparkan dalam naskah akademiknya dapat diketahui bahwa RUU tersebut merupakan usulan DPR. Adapun yang  mendasari  usulan tersebut adalah belum adanya undang-undang yang mengatur tentang permusikan. Kenyataan tersebut menjadi dasar bagi anggota DPR untuk merumuskan undang-undang yang mengatur permusikan. Tujuannya adalah agar dengan adanya undang-undang permusikan  itu  ada  kepastian hukum bagi pemerintah untuk mengatur tentang permusikan untuk kemudian mengembangkan dunia permusikan di Indonesia yang dijelaskan dalam RUU tersebut bahwa musik tradisional tertinggal dari musik-musik lain yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penyusun undang-undang beranggapan intervensi pemerintah untuk memajukan permusikan  harus  didasari  dengan  adanya undang-undang. Dengan kata lain, RUU Permusikan merupakan produk DPR untuk memajukan permusikan Indonesia.

 

 

27 Ibid.


Pemikiran bahwa pemerintah hanya dapat intervensi untuk memajukan permusikan di Indonesia dengan menghadirkan RUU Permusikan menunjukkan kurang pahamnya pemerintah mengenai kebijakan publik. Karena apapun yang pemerintah lakukan terhadap dunia permusikan, baik secara positif yakni dengan menghadirkan RUU Permusikan atau secara negatif dengan tidak menghadirkan undang- undang, keduanya merupakan kebijakan. DPR harus memahami bahwa adakah problem khusus yang mengharuskan hadirnya sebuah undang- undang untuk mengatur kehidupan publik  terkait  permusikan?  Pada  saat yang sama juga DPR harus memahami apakah kebijakan publik itu telah bergerak jauh pada dunia privat atau tidak. Maraknya demonstrasi terkait kebijakan tersebut menjelaskan bahwa ada ruang privat  yang  telah diintervensi kebijakan publik itu. Kebijakan DPR bisa juga mencakup suatu keputusan untuk mengambil keputusan  untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, DPR dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan DPR mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar untuk memajukan permusikan di Indonesia. DPR harusnya memerhatikan apa yang dikatakan Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apa yang dilakukan pemerintah dan apa yang tidak dilakukan pemerintah. Intervensi pemerintah dalam ruang publik tidak harus berupa undang-undang, menjaga kebebasan individu agar tercipta ruang publik yang sehat tidak harus dilakukan dengan undang-undang.

Mengamati agenda permasalahan yang tertuang dalam RUU Permusikan terlihat adanya ketidakjelasan mengenai agenda permasalahan. Ketidakjelasan ini dapat dipahami bahwa RUU permusikan tidak didasarkan pada riset mendalam sebagaimana seharusnya sebuah kebijakan publik. Riset kepustakaan dan penggunaan Focus Goup Discussion (FGD) yang melibatkan lembaga-lembaga permusikan hanya sebatas sosialisasi dari rumusan akademik. Lemahnya


perumusan agenda permasalahan tentang permusikan dapat terlihat juga dari waktu penelitian yang sangat singkat, sekitar satu tahun, termasuk sosialisasi yang melibatkan lembaga-lembaga permusikan. Padahal, sebuah proses penyusunan agenda publik permusikan tidak terlepas dari kepentingan politik yang saling bertarung, sebagaimana dijelaskan William N. Dunn, tahapan proses kebijakan publik haruslah didahului sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah pembuat keputusan memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik yang dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Selanjutnya, masih menurut William N. Dunn, masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Perumusan kebijakan unggul ini perlu kehati-hatian.

Demonstrasi yang marak terhadap RUU tersebut membuktikan bahwa agenda permasalahan permusikan belum dapat ditangkap penyusun kebijakan dengan baik. Sebaliknya, bagi pekerja musik permasalahan yang dijabarkan dalam RUU Permusikan bukan masalah penting bagi mereka, sehingga jawaban yang diberikan lewat RUU Permusikan tidak dianggap sebagai solusi dalam mengembangkan permusikan di Indonesia. RUU Permusikan mungkin merupakan hal  yang amat penting bagi pemimpin-pemimpin politik, penasihat- penasihatnya, kelompok-kelompok berkepentingan, dan birokrasi karena merupakan produk yang penting untuk menunjukkan kinerja DPR yang


terkenal rendah, namun para elite juga harus menyadari bahwa bukan rahasia bahwa tidak banyak dari para elite tersebut yang mempunyai kemampuan untuk memutuskan semua isu yang timbul, demikian juga terkait permusikan. Itulah sebabnya ada indikasi RUU tersebut bersifat inkrementalis, atau RUU Permusikan hanya berisi pengembangan kecil dari formula-formula yang dibuat di masa lalu yang menunjukkan keberhasilan untuk mendapatkan alternatif-alternatif pemecahan  masalah.

Para pejabat publik harus menyadari bahwa  mereka  membutuhkan pertolongan, saran, kritik dari semua pihak yang ada  dalam masyarakat karena proses penyusunan kebijakan publik yang menjadi kebutuhan masyarakat membutuhkan proses yang berat dan keterlibatan semua pihak. Kebijakan publik di Indonesia sebagai negara demokrasi sejatinya juga merupakan bidang yang harus  dipikirkan  semua orang, setiap warga negara sepatutnya diberikan kesempatan memberikan sesuatu yang berharga yang patut disumbangkan untuk kebaikan bersama. Pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik sangat penting khususnya para ahli kebijakan publik, dan sumbangan masyarakat yang tanpa interes politik itu penting untuk menghadirkan kebijakan yang unggul dan dapat diimplementasikan. Ruang lingkup kebijakan publik yang pertama itu adalah adanya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara-cara yang baik untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak, maka kebijakan publik kurang bermakna dan sulit untuk dilaksanakan.

Dalam masyarakat Indonesia yang modern, demokratis, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, partisipasi dari masyarakat sangat penting sekali dalam urusan-urusan pemerintahan termasuk di dalam urusan kebijakan publik. Apabila RUU Permusikan dalam penyusunan agenda dan masalahnya melibatkan stakeholder yang luas, maka penolakan atas substansi RUU itu tidak perlu terjadi, karena masyarakat tentunya akan menyambut gembira sebuah kebijakan publik


yang unggul yang akan membawa penyelesaian terhadap konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Hal lain yang dilanggar dalam proses perumusan RUU Permusikan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa perundang-undangan harus didasarkan pada asas keterbukaan. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Hadirnya RUU Permusikan yang merupakan usulan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia seharusnya tidak boleh diartikan bahwa DPR adalah badan yang paling memahami permasalahan permusikan di Indonesia. Kebijakan publik permusikan seharusnya melibatkan semua pihak, sehingga kebijakan publik tersebut diyakini para pegiat musik dan seluruh masyarakat Indonesia sebagai jalan untuk menuju kehidupan yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia.

 

Evaluasi Materi RUU Permusikan

Pasal 50 RUU Permusikan adalah salah satu pasal yang banyak menimbulkan kontroversi. Alasannya, pasal tersebut adalah pasal karet yang justru bisa membelenggu proses kreatif pekerja musik. Substansi proses kreatif menimbulkan perdebatan karena proses kreasi adalah domain individu menurut pekerja musik, tapi dalam RUU Permusikan proses kreatif yang adalah domain privat itu dapat diintervensi oleh pemerintah. Alasannya adalah apabila proses kreatif tersebut mengandung unsur: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; c. memprovokasi terjadinya pertentangan


antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau RUU Permusikan g. merendahkan harkat dan martabat manusia.28

RUU Permusikan terkait materi proses kreatif terindikasi tidak mampu membedakan domain publik dan domain privat. Harus diakui bahwa membedakan secara tegas ruang publik dan privat tidak mudah. Tetapi dengan kehati-hatian, penyusunan agenda masalah yang menjadi dasar perumusan undang-undang permusikan dapat terbebas dari kontroversi yang mungkin ditimbulkan. Apabila penyusunan agenda masalah dilakukan dengan hati-hati, maka aturan proses kreatif yang mengijinkan pemerintah intervensi dalam ruang individu atau privat tentu tidak akan terjadi. Klaim bahwa hadirnya sebuah undang-undang untuk menata permusikan adalah sebuah keharusan sebagaimana dituangkan dalam naskah akademik RUU Permusikan, sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat, apalagi sampai memasuki domain individu atau privat yang seharusnya dihindari oleh pemerintah.

Penetapan aturan proses kreatif dalam RUU Permusikan jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:29 a. pengayoman; Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. kemanusiaan; Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan

 

 

28 Naskah Akademik RUU Permusikan.

29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 6, dan lihat penjelasannya.


penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. kebangsaan; Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia d. kekeluargaan; Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. kenusantaraan; Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. f. bhinneka tunggal ika; Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus memerhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. keadilan; Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; Yang


dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Melihat isi materi RUU Permusikan sebagaimana dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa materi RUU Permusikan tidak memenuhi kebutuhan mereka yang terlibat dalam dunia permusikan, itulah  sebabnya materi RUU Permusikan mendapat penolakan yang luas.

 

Kesimpulan

Agenda permasalahan permusikan  di  Indonesia  sebagaimana dituangkan dalam RUU Permusikan yang merupakan inisiatif DPR dapat disimpulkan belum menjadi kebutuhan pekerja musik Indonesia. Itulah sebabnya kehadiran RUU Permusikan menimbulkan penolakan dari banyak pekerja musik di Indonesia.

RUU Permusikan belum dianggap sebagai kebutuhan permusikan di Indonesia karena penyusunan agenda persoalan permusikan di Indonesia tidak dilakukan dengan kehati-hatian,  yakni  dengan melibatkan stakeholder permusikan secara luas, selain itu waktu yang singkat dalam proses penyusunannya membuat isi materi RUU Permusikan menimbulkan kontroversi.

Materi RUU Permusikan secara khusus terkait aturan proses  kreatif tidak mampu memisahkan domain privat dan domain publik secara bijak. Pasal yang berisi aturan proses kreatif ditolak oleh banyak pekerja musik sebagai instrumen yang dapat membelenggu kebebasan insan permusikan. Substansi RUU Permusikan tidak menjawab kebutuhan mereka yang menjadi sasaran kebijakan, karena kebijakan ini lebih merupakan ide elite, bukan permasalahan yang diangkat dari kehidupan masyarakat.

 

Rekomendasi

RUU Permusikan sebagai alternatif kebijakan direkomendasikan tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional karena penyusunan agenda permasalahan yang tertuang dalam RUU Permusikan kurang melibatkan mereka yang merupakan sasaran kebijakan. Cakupan RUU Permusikan yang amat luas membutuhkan peran serta masyarakat yang luas untuk merumuskan sebuah alternatif kebijakan sebagai jawaban terhadap persoalan masyarakat. Penolakan yang luas terhadap RUU Permusikan menunjukkan bahwa kebijakan itu bukanlah kebijakan unggul yang dapat diimplementasikan dengan baik.


https://www.binsarhutabarat.com/2021/03/musik-tradisional-indonesia-perlu-perlindungan.html

Nilai eksklusive agama

S atu Tuhan banyak agama Soal nilai-nilai eksklusive agama   Dialog agama sejatinya tak boleh meminggirkan nilai-nilai eksklusive agam...