Demokrasi Kalap
Konferensi pers di Rembang baru-baru ini yang dihadiri mereka yang menyebut tokoh-tokoh nasional di kediaman Gus Mus dengan lontaran kritikan tajam kepada pemerintahan Jokowi merupakan titik balik perpalingan mereka yang menyebut pejuang demokrasi pendukung Jokowi.
Saya masih ingat dalam acara pergantian pimpinan ICRP (Indonesian Conference on religion and Peace), pada waktu itu yang terpilih sebagai ketua ICRP adalah Ulil, seorang motor penggerak Jaringan Islam Liberal, yang kemudian menjadi Ketua Litbang Partai Demokrat.
Pada acara akhir pelantikan pengurus ICRP yang dihadiri tokoh-tokoh nasional yang bertempat di Kantor Pusat PGI, jalan Salemba Raya, dikumandangkanlah tekat bahwa mereka akan berjuang dari dalam bersama Jokowi menguatkan toleransi beragama di Indonesia, Kebebasan beragama di Indonesia untuk menguatkan demokrasi Indonesia. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pemerintahan orde baru yang absolutis. Tekat para aktivis berjuang dari dalam pemerintahan itu membuat nurani saya tersentak, apakah mungkin kekuasaan yang memegang pedang itu tidak diawasi? Apakah mereka tahan berjuang dari dalam sambil menikmati kue kekuasaan yang amat lezat itu?
Masuknya Ulil ke partai demokrat menyebabkan Jaringan Islam Liberal yang kerap bersuara lantang dan disasar kelompok-kelompok garis keras tertentu itu meredup. Musdah Mulia adalah salah seorang petinggi ICRP dan pernah menjadi Direktur Megawati Institut.
Setelah meredupnya Jaringan Islam Liberal mereka yang biasa berkumpul di markas jaringan Islam Liberal itu sebagian besar bergabung di Salihara yang didirikan Gunawan Muhammad. Tempo dengan Saliharanya yang didirikan Gunawan Muhammad menjadi markas baru perjuangan mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi.
Kita tentu berbesar hati dengan hadirnya pejuang-pejuang demokrasi itu. Tapi, pada arena pemilu kali ini, apakah tidak mungkin didalamnya juga ada niat menikmati kue kekuasaan bersama capres baru dukungan mereka.
Kita tentu heran, mengapa tiba-tiba pendukung Jokowi terdiam, dan yang tampil adalah pembenci Jokowi, setidaknya terbaca dari kekecewaan, kemarahan yang terkandung dalam kata-kata kotor yang memenuhi ruang publik.
Penggunaan “Istilah bajingan” apakah layak dilontarkan untuk menghina orang nomor satu di Indonesia? Jika demokrasi di negeri ini mati, atau setidaknya jika itu terjadi pada era orde baru, apakah mereka masih bisa hadir di ruang publik?
Benarkah Demokrasi Indonesia telah mati?
Mengamati rentetan penyerangan terhadapa Jokowi yang sangat sistimatis, mengalir deras, teratur tentu saja ada sutradaranya. Bisa jadi sutradaranya adalah mereka yang kuatir Prabowo yang kian akrab dengan Jokowi akan memenangkan pilpres bersama Gibran. Dan tentunya juga ada dana besar yang mengalir, perjuangan menguasai ruang publik itu butuh dana besar.
Kalau demikian, dari mana dana mereka, apakah para pejuang demokrasi itu tidak terkait sama sekali dengan tim pemenangan pilpres yang lain? Apakah tidak ada campur tangan asing yang beriringan dengan perjuangan demokrasi itu. Tentu saja ada, setidaknya itu tersurat dan tersirat pada berita media-media asing yang mengarahkan tembakannya pada pribadi yang sama.
Kita tentu setuju pada era global bangsa-bangsa di dunia perlu menyatu untuk menciptakan damai di bumi. Tapi, jangan lupa negera-negara yang menyebut diri negara demokrasi kerap menciptkan perang.
Masyarakat perlu hati-hati dengan niat tersembunyi dibalik perjuangan penegakkan demokrasi, apalagi demokrasi itu sendiri sebuah usaha bersama, bukan usaha individu atau kelompok tertentu. Dan jangan lupa pemilu adalah pesta demokrasi.
Mengamati kehadiran Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan salah satu pasangan capres tentu kita paham, Todung Mulya Lubis dengan yayasan TIFA kerap mendapat julukan peternak LSM, karna TIFA banyak memberikan dana hibah dalam dan luar negeri untuk LSM-LSM pejuang demokrasi, apalagi yang terkait dengan hak-hal asasi manusia?
Tentu saja tidak salah PDIP memilih Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan pilpres, apalagi dengan gema jargon politik dinasti, Todung sebagai orang yang identik dengan pejuang HAM, secara khusus perjuangannya menolak hukuman mati di Indonesia, Todung merupakan orang yang tepat, dan jaringannya sangat luas, dalam dan luar negeri.
Sudah jamak tim pemenangan capres mendapatkan jabatan menteri ketika capres yang didukungnya berkuasa. Pertanyaannya kemudian, apakah benar bahwa mereka kuatir dengan kehadiran orde baru yang tampil dengan Pasangan Prabowo Gibran? Apakah tidak mungkin sesungguhnya mereka ingin terus menikmati kue kekuasaan, dan takut kehilangan kesempatan menikmati kue kekuasaan setelah era Jokowi?
Kita perlu hati-hati menganalisi hasil-hasil survey pilpres, apalagi yang berasal dari lembaga-lembaga survey yang terkait paslon tertentu, juga dengan kehadiran institusi survey dadakan, karena survey itu berbiaya mahal,
Jargon politik dinasti yang beredar liar itu jangan-jangan terkait “kampanye negative” untuk mempromosikan barang dagangan “penegakkan demokrasi” partai tertentu.
Pejuang demokrasi tidak boleh kalap memperjuangan pemikirannya, apalagi jika menimbulkan kekacauan, rakyat yang akan dirugikan. Dalam alam demokrasi semua individu dan kelompok punya hak yang sama untuk berbicara.
Demokrasi Kalap
Kita tentu heran, bagaimana mungkin orang nomor satu di Indonesia, kader partai terbaik tak memiliki tempat di hati partainya. Presiden sebelumnya selalu saja hadir sebagai tokoh partai, contohnya Megawati, SBY, kecuali Gus Dur yang gagal karena terjegal Muhaimin.
Wajar-wajar saja kehadiran Kaesang di PSI, tak ada salahnya, karena setahu saya kader-kader PSI seperti memiliki semangat baru untuk bisa masuk Senayan. Pemilu tahun lalu meski PSI memperoleh suara signifikan di daerah, mereka belum sukses menempatkan wakilnya di senayan.
Fuan Maharani, AHY mendapatkan karpet merah untuk mendapatkan posisi-posis penting di partai. Bisa saja kita menyebut dinasti Megawati, Dinasti SBY, dan Dinasti Jokowi. Tapi bukan politik dinasti. Ini masih negara demokrasi bukan!
Kita tentu setuju, dalam politik tidak ada teman sejati, dan tentunya juga tak ada musuh kekal, politik praktis tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, itu sah-sah saja, karena dalam perebutan posisi-posisi itu ada aturan permaian.
Individu atau kelompok selalu saja berusaha untuk menghadirkan aturan yang berpihak pada individu atau kelompok tertentu, pada kondisi itu pemerintah perlu mengembalikannya pada aturan yang adil. Itulah sebabnya demokrasi perlu dipahami sebagai sebuah perjalanan, bukan hanya pencapaian.
Kita tidak perlu mendeklarasikan demokrasi di negeri ini sudah kuat atau sudah mati, karena variable dan indikator yang menjadi alat ukur demokrasi itu sangat kompleks. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin tiba-tiba terjadi perpalingan pendukung Jokowi menjadi lawan Jokowi? Apakah itu suara mayoritas? Tentu saja belum tentu, karena mereka yang bersuara di publik tentunya mereka yang memiliki media-media publik, apalagi di saat kemajuan teknologi saat ini, semua orang bisa bicara seperti pakar di tiktok, youtube, facebook dll.
Politik juga demikian, siapa yang pernah masuk partai politik, dan menjadi tim sukses atau tim pemenangan pemilu sadar betul, ada banyak variable yang tak terduga yang bisa mempengaruhi perolehan suara dalam pemilu.
Para penyerang Jokowi boleh-boleh saja berusaha menarik hati rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, dan boleh saja mengutarakan penilaiannya terhadap kondisi Indonesia. Jangan lupa penilaian terhadap realitas itu bergantung pada teori apa yang ingin digunakan.
Bisa saja keinginan dan harapan, atau napsu kekusaan individu atau kelompok itu dicari pembenarannya dengan menjadikan realitas itu pembenaran, untuk memaksakan keinginan dan harapan individu atau kelompok tertentu.
Menurut saya pejuang demokrasi tak perlu kalap, apalagi mereka yang beriringan dengan tim sukses capres. Utarakan saja temuan-temuan tentang kondisi Indonesia saat ini dengan cara-cara yang sejuk dan jangan lupa jangan hanya mengungkapkan kekecewaan, kemarahan, tetapi juga solusi terbaik untuk Indonesia. Utarakanlah Visi,Misi yang akan memajukan Indonesia.
Dalam pemilihan umum semua calon yang dicalonkan partai politik adalah pilihan rakyat, dan siapapun yang menang adalah kemenangan rakyat, karena rakyat mendapatkan pemimpin terbaik melalui seleksi partai. Pemilu bukan pertarungan untuk saling menyingkirkan, semua capres adalah milik bangsa Indonesia.
Jangan kalap, meski suara perjuangan, suaran nurani yang kita kumandangkan itu tak merespon hasil, kesempatan mengutarakan suara nurani itu adalah kesempatan, dan pemberian kontribusi terbaik, tapi jangan kotorkan dengan usaha pemaksaan, apalagi mengatasnamakan suara nurani yang subyektif itu.