Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts

Tuesday, September 24, 2024

Kampanye damai 2024

 


Kampanye damai 2024

Deklarasi kampanye damai pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 tentu saja perlu mendapat dukungan semua elemen bangsa.  Karena berlangsungnya pildakada damai menjadi jaminan akan hadirnya perubahan kearah yang lebih baik. Pilkada tahun ini juga kita berharap tak terjadi politisasi agama yang sempat mewarnai pemilihan Gubernur Jakarta pada 5 tahun yang lampau.

Tujuan dari pilkada, yaitu berlangsungnya perubahan secara damai untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat, karena itu agama-agama perlu bekerjsama menghadirkan pilkada damai untuk kebaikan semua rakyat Indonesia,

Tidak salah jika calon kepala daerah mengusung Visi, Misi keren, bahkan kadang-kadang di luar nalar. Kebijakan-kebijakan asal menarik tanpa kajian mendalam kerap terlontar begitu saja.

Masyarakat yang selalu menantikan perubahan pada setiap pilkada harus menelan rasa kecewa, karena janji-jnaji paslon hanya hadir ketika kampanye, dan setelah usai kampanye, janji-janji itu seperti ditelan bumi. Repotnya lagi, konflik yang berlangsung saat kampanye terus berlanjut meski kampanye telah usai.

Mereka yang terpilih menjadi kepala daerah lebih focus mengembalikan dana kampanye yang telah digelontorkan dibanding memerhatikan kesejahteraan rakyat. Tertangkapnya banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi merupakan bukti yang tak terbantahkan.

Masyarakat Indonesia perlu memiliki kemampuan berpikir kritis, politik sejatinya memang sesuatu yang mulia, yaitu untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi, para calon kepala daerah yang umumnya didukung partai politik tentu saja memiliki agenda untuk mendongkrak popularitas partai. Artinya , bukan mustahil para calon itu akan menghalalakan segala cara untuk dapat memenangkan pilkada dengan mensiasati aturan yang ada. 

Kemenangan pasangan calon penting bagi partai politik sebagai gerbong yang digunakan, yaitu agar partai politik itu bisa terus menjadi gerbong bagi mereka yang ingin menjadi pejabat public, pada sisi lain, pasangan calon bisa mendapatkan ganti biaya kampanye yang relative aduhai itu melalui kemenangan yang didapatkan.

Salah satu yang perlu disikapi masyarakat secara kritis adalah propaganda kebijakan pasangan calon dengan Visi,Misi nya yang kerap kelihatan ciamik. Masyarkat perlu sadar, kebijakan itu sesungguhnya tak berbeda dengan barang dagangan.

Artinya, wajar saja jika pasangan calon mengemas kebijakan sebagai barang dagangan itu dengan keren, dan tidak jarang melibatkan para artis, seperti layaknya pameran mobil mewah.   Itulah sebabnya, acara kampanye kerap dipenuhi pengunjung, entah mereka datang dengan sukarela, atau memang disengaja untuk meramaikan acaa kampanye yang menjadi salah satu alat ukur popularitas pasangan calon.

Deklarasi kampanye damai penting untuk menghadirkan pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal itu agar berbanding lurus dengan kesejahteraan yang akan dihadirkan oleh mereka yang menjadi pemenang. 

https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kampanye-damai-2024.html

Saturday, August 24, 2024

Kedaulatan rakyat

 

 


 

 Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) jelas merupakan produk elit DPR semata. Bukan hanya waktu untuk menggodok RUU Pilkada yang sangat singkat, yaitu hanya dalam hitungan jam, partisipasi masyarakat juga sangat minim.

Kebijakan publik dalam sebuah demokrasi sejatinya mengikutsertakan masyarakat, apalagi dalam kaitan pemilihan kepala daerah. Mereka yang terpilih sebagai kepala daerah perlu terseleksi dengan baik, sehingga kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama.

Apa jadinya jika sebuah kebijakan terkait pilkada justru membelenggu kader-kader unggul untuk hadir mengabdikan diri mereka bagi kesejahteraan rakyat?

Nafsu untuk berkuasa sejatinya perlu dikubur oleh para elit negeri ini, memang politik adalah persoalan kekuasaan, tapi kekuasaan itu perlu bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukannya merampok kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri, atau keluarga.

Mereka yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat akan dihukum oleh rakyat. Ingat, Rakyat adalah pemilik kedaulatan negeri ini!

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/08/kedaulatan-rakyat.html 

Friday, August 23, 2024

Ada apa dengan UU Pilkada?

 


 

Beberapa hari ini aku terkejut, bagaimana mungkin hanya karena napsu pribadi atau sekelompok orang Baleg DPR rela mengangkangi konstitusi negeri ini dengan merumuskan undang-undang Pilkada yang bertentangan dengan roh konstitusi.

Apakah teman-teman baleg DPR itu lupa bahwa sebuah kebijakan memiliki daya paksa, dan jika paksaan itu untuk menghancurkan konstitusi negeri ini, maka apa lagi yang dapat menjaga keutuhan negeri ini.

Kebijakan publik sejatinya dirumuskan dengan hati-hati dan melibatkan partisipasi elemen masyarakat yang tentunya menjadi target kebijakan. Baaimana mungkin dalam aktu singkat Lembaga yang terhormat sekelas DPR dapat menyusun kebijakan semaunya?

Apa yangsalah dengan pendidikan di negeri ini sehingga mereka yang memiliki jabatan tidak lagi menggunakannya untuk kesejahteraan msyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi nafsu serakah yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/08/ada-apa-dengan-uu-pilkada.html

Konstitusi menjaga kesatuan bangsa

  


 

Sepak terjang baleg DPR yang secara sengaja mengangkangi konstitusi dengan mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) telah menuai kemarahan massa.

Indonesia yang beragam hanya bisa dijaga dengan ikrar bersama yang dinyatakan dalam UUD 945, itulah sebabnya semua undang-undang perlu mengacu pada UUD. 

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang dipercayakan untuk menjaga, apakah semua undang-undang merupakan turunan dari UUD.

Jangan biarkan konstitusi negeri ini di kuatk-kutik oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. lawan dan jangan pernah lengah. 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/08/konstitusi-menjaga-kesatuan-bangsa.html

Menjaga Konstitusi, Menjaga Negara

 



Apa yang membuat gairah DPR membangkang pada konstitusi negeri ini?

Apakah karena haus kekuasaan DPR rela mengorbankan keutuhan bangsa?

Siapapun yang sadar konstitusi di negeri ini pasti akan turun kejalan atau melawan dengan cara apapun menentang kepongahan DPR yang mengabaikan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Meski massa yang turun ke jalan telah membuat keder para elit DPR, kita tidak boleh abai menjaga konstitusi di negeri ini. Mengangkangi Konstitusi sama saja meluluhlantakkan sebuah bangsa. 


https://www.binsarinstitute.id/2024/08/menjaga-konstitusi-menjaga-negara.html

Monday, March 11, 2024

Demokrasi Kalap

 Demokrasi Kalap



Konferensi pers di Rembang baru-baru ini yang dihadiri mereka yang menyebut tokoh-tokoh nasional di kediaman Gus Mus dengan lontaran kritikan tajam kepada pemerintahan Jokowi merupakan titik balik perpalingan mereka yang menyebut pejuang demokrasi pendukung Jokowi.

Saya masih ingat dalam acara pergantian pimpinan ICRP (Indonesian Conference on religion and Peace), pada waktu itu yang terpilih sebagai ketua ICRP adalah Ulil, seorang motor penggerak Jaringan Islam Liberal, yang kemudian menjadi Ketua Litbang Partai Demokrat. 

Pada acara akhir pelantikan pengurus ICRP yang dihadiri tokoh-tokoh nasional yang bertempat di Kantor Pusat PGI, jalan Salemba Raya, dikumandangkanlah tekat bahwa mereka akan berjuang dari dalam bersama Jokowi menguatkan toleransi beragama di Indonesia, Kebebasan beragama di Indonesia untuk menguatkan demokrasi Indonesia. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pemerintahan orde baru yang absolutis. Tekat para aktivis berjuang dari dalam pemerintahan itu membuat nurani saya tersentak, apakah mungkin kekuasaan yang memegang pedang itu tidak diawasi? Apakah mereka tahan berjuang dari dalam sambil menikmati kue kekuasaan yang amat lezat itu?

Masuknya Ulil ke partai demokrat menyebabkan Jaringan Islam Liberal yang kerap bersuara lantang dan disasar kelompok-kelompok garis keras tertentu itu meredup. Musdah Mulia adalah salah seorang petinggi ICRP dan pernah menjadi Direktur Megawati Institut.

Setelah meredupnya Jaringan Islam Liberal mereka yang biasa berkumpul di markas jaringan Islam Liberal itu sebagian besar bergabung di Salihara yang didirikan Gunawan Muhammad. Tempo dengan Saliharanya yang didirikan Gunawan Muhammad menjadi markas baru perjuangan mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi. 

Kita tentu berbesar hati dengan hadirnya pejuang-pejuang demokrasi itu. Tapi, pada arena pemilu kali ini, apakah tidak mungkin didalamnya juga ada niat menikmati kue kekuasaan bersama capres baru dukungan mereka.

Kita tentu heran, mengapa tiba-tiba pendukung Jokowi terdiam, dan yang tampil adalah pembenci Jokowi, setidaknya terbaca dari kekecewaan, kemarahan yang terkandung dalam kata-kata kotor yang memenuhi ruang publik.  

Penggunaan “Istilah bajingan” apakah layak dilontarkan untuk menghina orang nomor satu di Indonesia? Jika demokrasi di negeri ini mati, atau setidaknya jika itu terjadi pada era orde baru, apakah mereka masih bisa hadir di ruang publik?


Benarkah Demokrasi Indonesia telah mati?

Mengamati rentetan penyerangan terhadapa Jokowi yang sangat sistimatis, mengalir deras, teratur tentu saja ada sutradaranya. Bisa jadi sutradaranya adalah mereka yang kuatir Prabowo yang kian akrab dengan Jokowi akan memenangkan pilpres bersama Gibran. Dan tentunya juga ada dana besar yang mengalir, perjuangan menguasai ruang publik itu butuh dana besar.

Kalau demikian, dari mana dana mereka, apakah para pejuang demokrasi itu tidak terkait sama sekali dengan tim pemenangan pilpres yang lain? Apakah tidak ada campur tangan asing yang beriringan dengan perjuangan demokrasi itu. Tentu saja ada, setidaknya itu tersurat dan tersirat pada berita media-media asing yang mengarahkan tembakannya pada pribadi yang sama.

Kita tentu setuju pada era global bangsa-bangsa di dunia perlu menyatu untuk menciptakan damai di bumi. Tapi, jangan lupa negera-negara yang menyebut diri negara demokrasi kerap menciptkan perang. 

Masyarakat perlu hati-hati dengan niat tersembunyi dibalik perjuangan penegakkan demokrasi, apalagi demokrasi itu sendiri sebuah usaha bersama, bukan usaha individu atau kelompok tertentu. Dan jangan lupa pemilu adalah pesta demokrasi.

Mengamati kehadiran Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan salah satu pasangan capres tentu kita paham, Todung Mulya Lubis dengan yayasan TIFA kerap mendapat julukan peternak LSM, karna TIFA banyak memberikan dana hibah dalam dan luar negeri untuk LSM-LSM pejuang demokrasi, apalagi yang terkait dengan hak-hal asasi manusia? 

Tentu saja tidak salah PDIP memilih Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan pilpres, apalagi dengan gema jargon politik dinasti, Todung sebagai orang yang identik dengan pejuang HAM, secara khusus perjuangannya menolak hukuman mati di Indonesia, Todung merupakan orang yang tepat, dan jaringannya sangat luas, dalam dan luar negeri.

Sudah jamak tim pemenangan capres mendapatkan jabatan menteri ketika capres yang didukungnya berkuasa. Pertanyaannya kemudian, apakah benar bahwa mereka kuatir dengan kehadiran orde baru yang tampil dengan Pasangan Prabowo Gibran? Apakah tidak mungkin sesungguhnya mereka ingin terus  menikmati kue kekuasaan, dan takut kehilangan kesempatan menikmati kue kekuasaan setelah era Jokowi? 

Kita perlu hati-hati menganalisi hasil-hasil survey pilpres, apalagi yang berasal dari lembaga-lembaga survey yang terkait paslon tertentu, juga dengan kehadiran institusi survey dadakan, karena survey itu berbiaya mahal, 

Jargon politik dinasti yang beredar liar itu jangan-jangan terkait “kampanye negative” untuk mempromosikan barang dagangan “penegakkan demokrasi” partai tertentu.

Pejuang demokrasi tidak boleh kalap memperjuangan pemikirannya, apalagi jika menimbulkan kekacauan, rakyat yang akan dirugikan. Dalam alam demokrasi semua individu dan kelompok punya hak yang sama untuk berbicara.


Demokrasi Kalap

Kita tentu heran, bagaimana mungkin orang nomor satu di Indonesia, kader partai terbaik tak memiliki tempat di hati partainya. Presiden sebelumnya selalu saja hadir sebagai tokoh partai, contohnya Megawati, SBY, kecuali Gus Dur yang gagal karena terjegal Muhaimin. 

Wajar-wajar saja kehadiran Kaesang di PSI, tak ada salahnya, karena setahu saya kader-kader PSI seperti memiliki semangat baru untuk bisa masuk Senayan. Pemilu tahun lalu meski PSI memperoleh suara signifikan di daerah, mereka belum sukses menempatkan wakilnya di senayan.

Fuan Maharani, AHY mendapatkan karpet merah untuk mendapatkan posisi-posis penting di partai. Bisa saja kita menyebut dinasti Megawati, Dinasti SBY, dan Dinasti Jokowi. Tapi bukan politik dinasti. Ini masih negara demokrasi bukan!

Kita tentu setuju, dalam politik tidak ada teman sejati, dan tentunya juga tak ada musuh kekal, politik praktis tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, itu sah-sah saja, karena dalam perebutan posisi-posisi itu ada aturan permaian. 

Individu atau kelompok selalu saja berusaha untuk menghadirkan aturan yang berpihak pada individu atau kelompok tertentu, pada kondisi itu pemerintah perlu mengembalikannya pada aturan yang adil. Itulah sebabnya demokrasi perlu dipahami sebagai sebuah perjalanan, bukan hanya pencapaian. 

Kita tidak perlu mendeklarasikan demokrasi di negeri ini sudah kuat atau sudah mati, karena variable dan indikator yang menjadi alat ukur demokrasi itu sangat kompleks. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin tiba-tiba terjadi perpalingan pendukung Jokowi menjadi lawan Jokowi? Apakah itu suara mayoritas? Tentu saja belum tentu, karena mereka yang bersuara di publik tentunya mereka yang memiliki media-media publik, apalagi di saat kemajuan teknologi saat ini, semua orang bisa bicara seperti pakar di tiktok, youtube, facebook dll.

Politik juga demikian, siapa yang pernah masuk partai politik, dan menjadi tim sukses atau tim pemenangan pemilu sadar betul, ada banyak variable yang tak terduga yang bisa mempengaruhi perolehan suara dalam pemilu.

Para penyerang Jokowi boleh-boleh saja berusaha menarik hati rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, dan boleh saja mengutarakan penilaiannya terhadap kondisi Indonesia. Jangan lupa penilaian terhadap realitas itu bergantung pada teori apa yang ingin digunakan. 

Bisa saja keinginan dan harapan, atau napsu kekusaan individu atau kelompok itu dicari pembenarannya dengan menjadikan realitas itu pembenaran, untuk memaksakan keinginan dan harapan individu atau kelompok tertentu.

Menurut saya pejuang demokrasi tak perlu kalap, apalagi mereka yang beriringan dengan tim sukses capres. Utarakan saja temuan-temuan tentang kondisi Indonesia saat ini dengan cara-cara yang sejuk dan jangan lupa jangan hanya mengungkapkan kekecewaan, kemarahan, tetapi juga solusi terbaik untuk Indonesia. Utarakanlah Visi,Misi yang akan memajukan Indonesia.

Dalam pemilihan umum semua calon yang dicalonkan partai politik adalah pilihan rakyat, dan siapapun yang menang adalah kemenangan rakyat, karena rakyat mendapatkan pemimpin terbaik melalui seleksi partai. Pemilu bukan pertarungan untuk saling menyingkirkan, semua capres adalah milik bangsa Indonesia.

Jangan kalap, meski suara perjuangan, suaran nurani yang kita kumandangkan itu tak merespon hasil, kesempatan mengutarakan suara nurani itu adalah kesempatan, dan pemberian kontribusi terbaik, tapi jangan kotorkan dengan usaha pemaksaan, apalagi mengatasnamakan suara nurani yang subyektif itu.

Saturday, November 11, 2023

Menakar Visi, Misi Anies

 Sewaktu mendengar paparan awal Visi, Misi calon Presiden Anies Baswedan saya sempat terkagum-kagum, tapi ketika Visi, Misi itu berusaha di operasional kan saya berpikir ulang, Program yang diturunkan dari Visi, Misi itu menurut saya masih berada pada tataran ide, atau janji-janji kampanye yang tak menjamin mewujud.






Pemaparan Visi, Misi Anies Baswedan  disertai tanya jawab di lembaga riset CSIS baru-baru ini yang disiarkan melalui Televisi memang indah, apalagi pada awal pemaparannya. Tentu saja sebagai seorang yang pernah menjabat rektor di sebuah universitas Anies paham betul bagaimana mekanisme merumuskan Visi,Misi.

Rumusan Visi, Misi Anies bagi saya keren, secara khusus peran internasional Indonesia baik pada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam hubungan antar negara, seperti peran yang bisa dimainkan Indonesia dalam mengusahakan damai di Palestina.

Sayangnya, ketika Visi,Misi itu dioperaional kan, saya kecewa karena masih berada pada tataran ide. Tentu saja saya menghargai ide kreatifnya, misalnya menjadikan warga Indonesia tamu yang baik di negeri orang untuk mempromosikan Indonesia, atau untuk Indonesia dapat menancapkan pengaruhnya pada negara-negara lain.

Mengapa saya kecewa dengan operasionalisasi Visi,Misi Anies? Visi, Misi Anies layaknya Visi Misi banyak perguruan tinggi yang hanya berada pada tataran dokumen. Tidak diturunkan secara baik dalam program yang meyakinkan dan dapat dilakukan,  tentunya berdasarkan evaluasi program-program terkait, yang kemudian menjadi program pengembangan. Artinya program itu mestinya juga memiliki kaitan dengan program-program yang telah dikembangkan Indonesia, atau juga pada negara-negara lain yang tentunya membutuhkan penyesuaian konteks.

Ide menjadikan warga Indonesia tamu di luar negeri untuk memajukan Indonesia, serta peran Indonesia pada dunia internasional perlu didasari pada evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang relevan dengan program yang akan dikembangkan. Jangan seperti perubahan kurikulum yang merepotkan pendidikan tinggi, dan tanpa evaluasi memadai. Itulah sebabnya kebijakan kurikulum yang seharusnyaa sudah bisa diterapkan tiga tahun setelah dikeluarkan, hingga belasan tahun belum juga sukses.

Bisa saja ide kreatif Anies itu muncul dari pengalaman keluarga besarnya, yang dianggap menjadi tamu yang baik di Indonesia, bahkan orang tua Anies berperan penting dalam pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia secara internasional, tapi itu belum bisa digenaralisasi memiliki dampak perubahan besar bagi Indonesia, meski Anies menyebut kiprah Sri Mulyani dll. 

Saya percaya negeri ini menunggu program-progrma Capres yang bukan hanya janji-janji, tapi bisa memajukan Indonesia.

Friday, November 10, 2023

Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik

 

 Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik

 


Opini publik sukses memenjarakan Ahok, Yessica dan kini menelan korban baru, Panglima penjaga konstitusi Indonesia, ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman selaku ketua MK yang memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40 tahun atau pernah dan sedang menjabat jabatan publik secara cepat membentuk opini yang menuduh Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika MK menetapkan keputusan itu. Lucunya yang menjadi sasaran hanyalah Anwar Usman.

Opini publik yang menghakimi bahwa Anwar Usman terlibat konflik kepentingan itu beredar liar, entah siapa yang menciptakannya, padahal tuduhan-tuduhan itu minim bukti kecuali memang Anwar Usman memiliki hubungan keluarga dengan Gibran, meski keputusan itu tidak hanya menguntungkan Gibran.

Saya tidak tahu siapa yang menciptakan opini publik itu, sayangnya opini public yang liar itu dan hanya menyasar Anwar Usman kemudian menyandra Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK yang menyatakan Anwar Usaman melakukan pelanggaran etik berat, tapi tidak dipecat sebagai anggota MK mengindikasikan adanya tekanan opini publik. Data media yang menjadi dasar keputusan MKMK, serta kekuatiran konon akan ada chaos pada pemilu 2024 telah menyandra MKMK.

Anehnya lagi, publik seakan terpuaskan dengan pelengseran Anwar Usman yang mendapatkan hukuman berat dibandingkan rekan-rekannya sesama anggota MK. Yang tak masuk nalar adalah Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan lobi-lobi memengaruhi keputusan MK.

Apakah betul anggota MK itu begitu lemahnya sehingga terbius nyanyian Anwar Usman untuk mendukung keputusannya? Bukankah  mahkamah konstitusi itu bersifat kolegial, dan mereka semua adalah pendekar hukum di negeri ini?

Anehnya lagi, kenapa Anwar Usman bukan hanya tidak diberhentikan sebagai ketua MK, bukan sebagai anggota MK sebagaimana dissenting opinion Bintan Saragih. Alasan Jimly bahwa MKMK kuatir Anwar Usman melakukan banding dan mengakibatkan keputusan MKMK tidak memiliki kekuatan hukum, menunjukkan bahwa hukum, aturan tidak bisa memuaskan semua. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dipuaskan dengan keputusan MKMK?

Publik ternyata juga tidak peduli mengapa hakim MK lainnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan Anwar Usman, padahal menurut MKMK semua hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik. Suara publik ini suara siapa?

Apakah ini mengindikasikan rakyat Indonesia sudah kuat, dan negara kian lemah? Jika demikian suara rakyat itu suara siapa? Apakah mayoritas diam di negeri ini yang mengidolakan Jokowi telah beralih secara diam-diam?

Menurut saya tuduhan liar yang hanya menyasar Anwar Usman itu mendapatkan tempatnya pada opini yang beredar liar bahwa telah hadir politik dinasti Jokowi yang menghadirkan Gibran sebagai Calon wakil Presiden. Padahal, tidak ada politik dinasti di negeri ini.

Kita mengakui ada dinasti Megawati, dinasti Susilo Bambang Yudoyono, dan dinasti Jokowi, tapi tak ada pemerintahan bentuk kerajaan di negeri ini. Opini publik terkait politik dinasti Jokowi bergerak liar, seakan itu sungguh terjadi dengan beragam cerita dan keudian menyandera keputusan MKMK.

Benarlah ungkapan yang mengatakan barang siapa menguasai informasi akan menguasai dunia, siapa yang mampu menciptakan keinginannya menjadi opini publik akan mampu memaksakan kehendaknya pada ruang publik.

Demokrasi adalah sebuah perjalanan, demokrasi ibarat sebuah permaianan, Tarik menarik antara para pemain untuk memenangkan permainan kerap terjadi. Repotnya aturan atau hukum yang adil itu sendiri tak pernah ada. Aturan permaianan kerap dikuasai kelompok yang kuat. Demokrasi di Indonesia saat ini dikuasai oleh mereka yang memainkan opini publik. Demokrasi Indonesia saat ini sedang tersandra opini publik, rakyat perlu waspada terhadap mereka yang memainkan opini public untuk memaksakan kehendaknya, termasuk media-media asing yang saat ini seakan mempropagandakan telah hadir politik dinasti di Indonesia.

https://www.binsarinstitute.id/2023/11/demokrasi-indonesia-tersandera-opini.html


Wednesday, November 8, 2023

Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

 Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi






Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan  ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah dan melakukan pelanggaran berat, namun tidak mencopotnya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi dan hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai  Ketua Mahkamah Konstitusi menurut saya adalah penerapan dari politik rekonsiliasi. 

Alasan Jimly jelas, agar Anwar Usman tidak dapat melakukan banding, maka Anwar Usman tidak dipecat sebagai anggota mahkamah konstitusi, yang mengakibatkan tidak berlakunya keputusan majelis kehormatan mahakamah konstitusi. Lebih jauh Jimly mengatakan, keputusan itu untuk mengamankan pemilu tahun 2024, agar ada kepastian hukum.

Disenting opinion yang dinyatakan Bintan Saragih meneguhkan hal itu, karena jika memang Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, seharusnya Anwar Usman dilengserkan dari jabatannya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. 

Keputusan itu pun membuat Anwar Usman meradang. Ternyata politik rekonsiliasi bisa meminggirkan individu tertentu. Apa untungnya untuk Anwar Usman tidak dipecat dan dijadikan tontonan masyarakat Indonesia dengan tetap bertengger di Mahkamah Konstitusi?

Pada konteks keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saya melihat adanya keterbatasan hukum. Jika kita ibaratkan hukum sebagai peta untuk menuju kehidupan damai dalam kehidupan bersama, maka hukum yang adalah produk manusia yang terbatas itu kadang tak mampu memberikan kebaikan bersama. 

 Ketika kita melihat kehidupan publik dalam perpektif kebijakan “game theory” , hukum, kebijakan sebagai aturan permainan yang adil tetap saja tidak memuaskan semua. Bukan hanya hukum yang mampu memuaskan semua pihak itu tidak ada, tetapi Individu atau kelompok-kelompok yang ada diruang publik itu kerap berusaha memaksakan pandangannya yang diklaimnya absolut, demi mempertahankan eksistensinya. Ibarat pertarungan kejahatan dan kebenaran yang tak pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini.

Demokrasi ternyata bisa menghadirkan individu atau kelompok-kelompok yang kerap ingin menunjukkan hegemoninya. Demokrasi yang dimimpikan dapat memberikan keadilan kepada semua pihak, layaknya sebuah permainan, ternyata hanya utopia. 

Ada yang mengatakan keputusan MK berpihak kepada Gibran, padahal hukum berlaku untuk semua orang. Kemudian Keputusan MKMK berpihak kepada siapa? Apakah tidak mungkin keputusan MKMK hanyalah hasil dari tekanan publik? Pertanyaannya kemudian, siapa publik yang ingin dipuaskan dengan mengorbankan Anwar Usman?

Politik rekonsiliasi dalam keterbatasan aturan dan hukum memang tak bisa memberikan  kepuasan kepada semua elemen bangsa ini. Apakah masih ada diantara kita yang merasa memiliki solusi tunggal untuk negeri ini? 


https://www.binsarinstitute.id/2023/11/politik-rekonsiliasi-majelis-kehormatan.html


Thursday, September 9, 2021

Bijak Memaknai Etika Global

TEMPAT MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!


 



 

Bijak memaknai "Etika Global" adalah sebuah kebutuhan penting untuk tidak membawa kita jatuh pada mimpi mewujudnya sebuah dunia tanpa persoalan

 

Hidup bersama selalu saja menghadirkan persoalan, meski pada saat bersamaan juga menghadirkan kebaikan bersama. Bagaimanakah dalam keterbatasan manusia, relasi antar sesama itu bisa menghadirkan kebaikan, dan kedamaian bersama. Mungkinkah sebuah etika global dapat mewujud dalam hidup bersama manusia yang terbatas itu?

 

Berbicara terkait etika global, bisa jadi kita hanya akan terjebak pada sebuah mimpi indah, yaitu mimpi tentang kedamaian antarsesama manusia yang tak mungkin mewujud. Kita hanya berandai-andai, jika ada aturan bersama, dan semua individu mengikuti aturan itu, surga tentu akan hadir di bumi ini.

 

Mimpi indah itu juga diutarakan kaum yang percaya akan keadilan pasar. Pemerintah tidak boleh campur pada urusan pasar, dan pasar akan punya keadilan pasar, Seperti kata John Adam Smith, ada tangan Tuhan yang mengendalikan pasar.

 

Nyatanya, negara maju terus maju, dan negara miskin tetap merana. Mereka yang  kaya bisa lebih mudah menumpuk kekayaan yang jauh lebih besar lagi, sedang mereka yang miskin terseok-seok keluar dari kemiskinan. Pasar sesungguhnya tak memiliki keadilan. Pasar tak mungkin mewujudkan etika global yang dapat diaati bersama.

 

Dunia bisnis tak pernah menghadirkan keadilan, mesti ada aturan yang berada di atasnya untuk mengatur, tapi, dunia bisnia tak akan peduli dengan aturan itu, kecuali aturan itu bisa mempertahankan dan mengembangkan para pebisnis itu. Istilah “win-win solution”sebenarnya hanya sebatas ungkapan kosong, seperti candu untuk membungkam mereka yang miskin.

 

Bagaimana dengan pemerintahan bangsa-bangsa?

Lihat saja Myanmar, mereka yang berambisi untuk berkuasa tak pernah peduli dengan nasib rakyat. Berapa banyak nyawa rakyat yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan.

 

Janji kesejahteraan untuk rakyat hanya slogan, politik hanya bisa dipuaskan dengan kekuasaan. Adakah etika bersama yang bisa mengaturnya?

 

Paradoks Global dan Lokal

 

Global dan lokal itu suatu paradoks, mendamaikannya tentu saja tidak mudah. Soekarno pernah berusaha mendamaikan internasionalisme dan nasionalisme, dengan kalimatnya yang tersohor, “Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”Maksudnya adalah jangan buang “Nasionalisme” dan jangan tidak peduli dengan “Internasionalisme.” jangan jadi metropolitanisme dan jangan jadi chauvinisme.

 

Menurut saya etika global dan lokal adalah sebuah paradoks, etika global tidak boleh menelan etika pada komunitas tertentu, demikian juga etika komunitas tertentu jangan tidak peduli dengan etika global. Berarti etika global mestinya suatu meta etika, yang mengacu pada prinsip-prinsip universal.

 

Persoalannya, dalam teori kebijakan dipahami bahwa batasan publik dan privat itu tidak memiliki batasan yang tegas. Artinya nilai-nilai privat bisa menjadi nilai-nilai publik, demikian juga nilai-nilai publik bisa jadi hanya sekadar nilai privat.

 

Deklarasi universal HAM yang diagungkan sebagai piagam mulia, saat ini menjadi polemik, dan tidak semua negara bisa menerimanya, ambil contoh, instrumen hak-hak azasi universal itu yang turunannya ada pada konvensi-konvensi, tidak semua negara meratifikasinya, artinya tidak semua negara bisa menerapkan etika global itu pada batas-batas negara mereka.

 

Menurut saya, etika global itu bukan suatu kondisi tertentu, tapi sebuah pencapaian yang terus menerus berlangsung, etika global itu tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Karena etika berbicara relasi antar manusia, maka sejatinya ketika global itu harus memanusiakan manusia.

 

Manakala ada aturan yang tidak memanusiakan mansia, maka aturan itu perlu diperbaiki. Etika global itu bukan kitab suci, bukan sebuah standar absolut, meski etika global itu mesti mengacu pada yang absolud, dan yang basolut itu hanya Tuhan.

 

Memaknai Etika Global secara benar.

 

Sebuah etika global, adalah sebuah pencapaian umat manusia dalam bersama-sama mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama.

 

Etika global bukan produk orang cerdik pandai, meski keterlibatannya diperlukan, tapi kaum cerdik pandai itu tidak bisa menghasilkan etika global dari kepala mereka yang terbatas.

 

Para cerdik pandai itu, juga tokoh-tokoh agama, jangan pernah merasa memiliki solusi tunggal untuk semua persoalan umat manusia. Sebaliknya, para cerdik pandai, tokoh agama perlu mengakui keterbatasannya, untuk saling mendengarkan dan kemudian menghasilkan aturan yang lebih baik untuk semua.

 

Jadi, Merumuskan sebuah etika global, seperti juga sebuah kebijakan publik perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dan tidak boleh seorangpun merasa paling tahu yang terbaik untuk semua.

 

Karena itu saling mendengarkan dan menghargai keragaman pandangan perlu terus didengungkan untuk hadirnya sebuah etika yang menjadi jawaban bagi semua, meski itu sendiri tak pernah mencapai titik akhir.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://amzn.to/3v50VlM

https://www.binsarhutabarat.com/2021/04/bijak-memaknai-etika-global.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...