Menyuburkan Pola Berpikir Pluralisme
Pluralitas agama-agama adalah suatu kenyataan. Menyeragamkan agama-agama yang beragam itu sama saja dengan menyangkali realitas. Pancasila adalah payung yang lebar bagi agama-agama di Indonesia untuk memberikan kontribusi positifnya dalam realitas keragaman agama-agama itu.
“Selama hubungan agama dan negara tidak pernah jelas atau dirancukan dinegeri ini, konflik antar umat beragama yang marak pada era reformasi di negeri ini akan terus terjadi.” Pernyataan ini diungkapkan oleh Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Andreas Yewangoe pada seminar, Kebebasan Beragama dan Tanggung Jawab Pemerintah. Jumat 6 /11 di Graha Bethel Jakarta untuk merespons penutupan rumah ibadah oleh pemerintah, melalui atau tanpa desakan kelompok tertentu.
Hubungan antara agama dan negara di negeri ini sebenarnya sudah cukup jelas, hanya saja ada kelompok-kelompok yang masih belum menerimanya. Repotnya, kelompok-kelompok tersebut tetap saja mengakui tidak menentang Pancasila, dan yang lebih memprihatinkan adalah memasukkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah sebabnya di negeri yang mengakui kebebasan beragama ini konflik antara agama masih saja terus terjadi.
Kalau saja semua orang dinegeri ini mau konsisten dengan Pancasila, maka koflik antar agama atau konflik dalam agama yang terjadi karena perbedaan ajaran atau doktrin, sesungguhnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila memberikan tempat pada agama-agama tanpa harus melepaskan identitasnya. Demikian juga perbedaan ajaran agama dapat diselesaikan dengan cara-cara yang santun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karena menerima Pancasila berarti menerima keragaman agama-agama atau pluralisme agama.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia telah berjuang untuk menyuburkan pola berpikir pluralisme yang dijiwai Pancasila itu atau tidak. Kegigihan semua warga bangsa dinegeri ini untuk mempromosikan pola berpikir pluralisme, akan sangat menetukan hubungan antar agama di negeri ini di masa depan.
Pluralitas dan Pluralisme
Istilah pluralisme sering kali disamakan dengan pluralitas dalam diskusi-diskusi di Indonesia. Karena Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah. Latin =jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada; yang ada hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak satu”, sedangkan pluralis diartikan: “bersifat jamak (banyak)”
Pluralitas dengan pluralisme sebenarnya sesuatu yang berbeda. Pluralisme merupakan diskusi yang menanyakan darimanakah asal kejamakan atau kemajemukan tersebut. Dalam diskusi mengenai pluralisme agama yang ingin ditanyakan adalah, sebab dan akibat kejamakan dari agama-agama.
Jadi, diskusi tentang pluralisme agama biasanya berbicara bahwa dalam kejamakan agama-agama yang ada pasti memiliki sumber yang sama. Kemudian lahirlah pemahaman pluralisme agama yang menganggap bahwa semua agama berasal dari sumber yang sama dan berarti sama-sama valid. Definisi pluralisme yang menyamakan agama-agama ini menimbulkan polemik dinegeri ini yang melahirkan banyak penolakan terhadap penerimaan pluralisme agama. Padahal, pluralisme agama tidak harus diartikan bahwa agama-agama itu sama, tetapi juga tetap mengakui identitas agama-agama yang beragam.
Kita tentu paham, negara menerima pluralisme agama bukan karena negara itu memiliki wewenang untuk menentukan bahwa semua agama sama-sama benar dan berasal dari sumber yang sama, karena negara tidak berteologi. Namun, penerimaan negara terhadap pluralisme agama didasarkan pada pemahaman bahwa penentuan kebenaran agama-agama bukanlah wewenang negara.
Penerimaan negara atas agama-agama sama-sama benar karena agama-agama itu merupakan pilihan hati nurani setiap warga negara, yang adalah hak setiap manusia, biasa disebut sebagai pluralisme dalam bidang politik dan sosial yang didefiniskan dalam kamus The Oxford English Dictionary demikian :1.Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-oraganisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik.2. Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.
Pengertian pluralisme sebagaimana dijelaskan dalam kamus Oxford di atas seharusnya terjadi dalam pemerintahan, demikian juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi dalam negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Apabila pola berpikir pluralisme ini ada dalam kehidupan kelompok, suku, budaya dan agama, maka tidak ada kelompok, suku, budaya, dan agama yang akan berusaha menciptakan pemerintahan yang monolitik, baik oleh pengaruh suku, agama maupun budaya, karena semua individu mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.
Demikian juga pemerintahan yang menerima pluralisme agama-agama akan memperlakukan semua agama yang ada memiliki kesamaan didalam hukum dan pemerintahan. Jadi agama-agama dapat berperan dalam pemerintahan, namun tidak boleh mendominasi negara. Memaksakan pandangan agama tertentu kepada negara berarti penguasaan agama atas negara.
Usaha untuk menjaga eksistensi komunitas agama-agama adalah tanggung jawab komunitas agama tersebut, karena komunitas itu dibangun atas kerelaan pribadi, sehingga keluarnya individu dari komunitasnya karena pengaruh dari komunitas di luarnya tetap merupakan pilihan individu. Keputusan tersebut didasarkan pada hak yang melekat pada dirinya, dan komunitas agama harus menghargainya, karena hak individu tersebut tidak boleh dirampas oleh komunitas di mana individu itu menyatu.
Penolakan agama-agama terhadap penerimaan pluralisme agama oleh negara sebenarnya adalah sesuatu yang tidak berdasar, atau dapat dikatakan salah tafsir. Penerimaan atas pluralisme agama adalah perwujudan dari negara yang mengakui kebebasan hati nurani. Negara mengakui bahwa setiap individu berhak memilih siapa yang ingin ia sembah, atau siapa yang ia tidak ingin sembah. Karena manusia dalam hati nuraninya adalah raja. Karena itu negara wajib menjaga hak setiap individu untuk mengikuti apa kata hati nurani mereka.
Apabila pola berpikir pluralisme ini kita promosikan dengan sungguh-sungguh dan terimplemantasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keragaman agama-agama bukan lagi menjadi persoalan. Sebaliknya keragaman agama-agama itu diterima sebagai suatu berkah. Agama-agama dalam hal ini dapat belajar satu dengan lainnya untuk semakin memperdalam pemahaman agama masing-masing.
Binsar Antoni Hutabarat
Binsar Hutabarat Institute
https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/menyuburkan-pola-berpikir-pluralisme.html