TEMPAT BELAJAR MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!
Konflik agama sesungguhnya bukan problema baru, itu telah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, benturan antar peradaban itu menjadi lebih mungkin tersebar melintasi sekat-sekat apapun.
Globalisasi juga telah mengakibatkan seluruh bagian dunia ini menjadi heterogen, setidaknya heterogen dalam arus informasi yang melintasi sekat-sekat ruang dan waktu.
Perjumpaan antar agama yang beragam dan berbeda itu oleh kemajuan tekhnologi seperti kata Samuel Huntington, acap kali menimbulkan benturan peradaban. Kekerasan agama yang terjadi di seantero dunia ini dapat diakses di seantero dunia ini.
Karena itu dapat dipahami, mengapa realitas benturan antar agama itu sama sekali tidak meneguhkan apa yang dikatakan John Rawls, bahwa agama tidak dapat menerima fakta kemajemukan (fact of pluralism).
Eksklusivisme yang menganggap bahwa kebenaran tidak ada pada agama-agama lain (absolutis), menjadi hakim terhadap agama-agama lain, dan memosisikan diri sebagai Tuhan, adalah sebab yang menghadirkan tampilnya paras garang agama, yang tidak jarang melahirkan kekejian yang paling mengerikan dalam konflik antar peradaban.
Benturan antar peradaban mestinya tak perlu terjadi, apalagi untuk
Radikalisme agama yang kini marak di negeri ini sesungguhnya sama saja dengan menyangkali Pancasila sebagai rumah bersama, dan berpotensi mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.
Para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila.
Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Seperti dikatakan Eka Darmaputera, “Pancasila merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama (values consensus).”
Pancasila bukan sesuatu yang diberikan (given), tetapi itu adalah sebuah pencapaian.
Soekarno mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi
Karena itu
Pancasila merupakan dasar filosofis yang masih perlu terus digali seiring
dengan perkembangan terbaru saat ini untuk menghadapi permasalahan-permasalahan
relevan saat ini.
Sayangnya, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi negara, perlawanan untuk menggantikannya dengan ideologi lain masih terus berlangsung sepanjang sejarah NKRI.
Penolakan langsung terhadap Pancasila bukan hanya terjadi secara terbuka, tetapi juga secara terselubung.
Pergumulan ideologi itu berjalan terutama melalui proses transplantasi ideologi masing-masing itu kedalam Pancasila. Pancasila ditafsirkan melalui berbagai macam aliran ideologi.
Padahal, membiarkan gerakan-gerakan yang
merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sama sekali tidak beralasan,
wajar saja jika rakyat di negeri ini mengalami kerisauan dengan ketika
Pancasila makin dipinggirkan.
Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya apabila Pancasila tidak lagi menjadi nilai-nilai bersama, yang menjadi landasan etik dan moral bangsa Indonesia, setiap orang memiliki landasannya sendiri-sendiri.
Pada kondisi ini dapat dikatakan, Indonesia sedang menghadapi bahaya disintegrasi, masing-masing individu, kelompok mengambil jalannya sendiri-sendiri, bukan jalan pancasila.
Hal itu mengakibatkan kaburnya norma-norma apa yang baik dan yang jahat, apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang benar dan apa yang salah, bisa
disebut, telah terjadi krisis moral.
Meningkatnya intoleransi agama pada akhir-akhir ini sesungguhnya tidak
memiliki akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebaliknya bisa
jadi ini mengindikasikan bahwa kecintaan
terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai bersama masyarakat Indonesia
tampak kian meredup, jika tidak ingin dikatakan bahwa telah terjadi penghianatan
terhadap nilai-nilai Pancasila yang menjadi konsensus bersama negeri ini.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/pancasila-rumah-bersama-kita.html
Sesungguhnya tidak ada hal spesifik dari perbedaan antaragama yang bisa membuat perbedaan agama itu memiliki kecenderungan untuk menjadi konflik, apalagi memicu kekerasan agama.
Prasangka buruk
terhadap agama-agama yang berbeda bisa saja muncul karena ketidaktahuan
seseorang tentang agama-agama lain. Namun, agama-agama yang menekankan pada
perdamaian dan rekonsiliasi tidak mungkin menanamkan benih kecurigaan tersebut.
Persoalannya
sekarang, bagaimanakah Pancasila sebagai kerangka dasar pemikiran yang digali
dari realita historis masyarakat nusantara dapat digunakan dalam menjawab
masalah-masalah yang mengancam keutuhan negeri ini, utamanya untuk menjadikan
Pancasila sebagai rumah bersama bagi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.
Jalan Pancasila yang tersohor dengan semangat bhinneka tunggal merupakan jalan pemersatu agama-agama yang beragam dan berbeda di negeri ini.
Pancasila ibarat rumah bersama bagi agama-agama yang beragam dan berbeda itu. Karena menerima Pancasila berarti meniscayakan pluralisme agama, meski ini tidak boleh diartikan sebagai paham yang menegasikan kebenaran (truth) agama.
Menerima
pluralisme mestinya sama sekali jauh dari usaha untuk merelatifkan atau
menyeragamkan agama-agama.
Pluralisme, yang didasarkan pada pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan komitmen-komitmen semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar agama.
Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti
berusaha mencari sintesa dari keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhineka
tunggal ika” yang anti intoleransi
menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/pancasila-rumah-bersama-kita.html