Saturday, February 26, 2022

Toleransi di Kampung Sawah Jadi Teladan





Toleransi di Kampung Sawah Jadi Teladan 


GPPS Talitakum Kampung Sawah memiliki hubungan dengan lingkungan yang baik.


Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS)  Talitakum Bekasi sejak 1965 merupakan pos dari Gereja Pantekosta Cawang. Karena jemaat yang berdomisili di Bekasi banyak yang sudah berusia tua, mereka tidak kuat lagi pergi ke Cawang untuk ibadah. Akhirnya mereka pun minta ijin majelis gereja untuk melaksanakan ibadah di Bekasi. Pdt. Samuel Lemuhut sendiri baru masuk pada 1965.

Kemudian tahun 1976 dibangunlah gereja yang di depan itu. Itu dibangun atas swadaya jemaat dan juga bantuan dari gereja lain.  GKI ikut membantu, maka berdiri gereja seperti sekarang ini.

Selama itu tidak ada konflik dengan warga sekitar. Pada awal berdirinya gereja, pendetanya sangat dihormati masyarakat, karena dia juga seorang guru. Jadi tidak ada masalah dengan warga. Di tahun 1968 – 1969 misalnya, ketika Samuel Lemuhut baru tiba di kampong itu, suasana kerukunan antarmasyarakat sangat bagus.  Kalau hari Lebaran, warga datang mengantarkan makanan ke rumah Samuel Lemuhut. Sebaliknya kalau Natal, keluarga Samuel membagi-bagikan makanan ke warga.


Tetapi situasi yang sangat bagus itu mulai berhenti saat ada orang diundang  berkhotbah di masjid. Orang itu dalam khotbah mengatakan bahwa makanan dari orang Kristen itu haram. Maka sejak itu warga menolak makanan yang diberikan oleh orang-orang Kristen. Yang saling memberi makanan hanyalah warga berbeda agama yang masih punya hubungan keluarga.

“Ceramah dari pendatang itu membuat semua orang menjadi antipati terhadap masyarakat Kristen,” kata Samuel Lemuhut. Namun untunglah pemuka agama (haji) di sana masih banyak yang berpikiran moderat. Dengan mereka Samuel sering menjalin dialog. Dalam arisan pun Samuel kerap berbincang dengan ustadz-ustadz setempat. Dan tidak ada masalah. Yang dikhawatirkan Samuel justru ustadz-ustadz yang datang dari luar memberikan ceramah.

Gereja sering membagikan sembako bekerja sama dengan lembaga lain, seperti GKI. Tetapi waktu diadakan acara bagi sembako di gereja beberapa waktu lalu, warga yang datang hanya sekitar 60%. Kabarnya ada penduduk yang merasa “ngeri” kalau ke gereja mengambil sembako. Maka panitia berpikir agar suatu saat nanti menyelenggarakan acara bagi sembako jangan di gereja, tetapi di kelurahan atau RW. Sewaktu acara pengobatan gratis, banyak juga warga yang datang.

“Jadi dengan masyarakat sini cukup baik, kondusif. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kalau ada orang yang melambung kemari, ini yang kita khawatirkan,” kata Samuel Lemuhut. Dan Lurah dan RW pun selalu mengatakan siap menjaga bila ada orang dari luar yang mencoba mengganggu gereja. Tetapi lurah itu kebetulan masih ada hubungan saudara dengan Samuel Lemuhut.

Memang ada keinginan untuk mengurus surat ijin gereja. Namun karena situasi aman-aman saja, pihak gereja pun masih berpikir-pikir juga. “Sebab untuk mengurus surat ijin itu kan perlu uang. Duitnya dari mana? Jadi selama aman-aman, kita berdiam dulu. Tapi saya sudah mulai mengumpulkan KTP, KTP jemaat, kita mau cek berapa orang. Kalau nanti dari pemerintah bertanya sudah sampai mana kegiatannya, saya sudah memulai,” kata Pdt Samuel Lemuhut.


Menurut Samuel, pihaknya belum bergabung dengan FKUB, tetapi sudah bergabung dengan Badan Kerja Sama Antar Gereja se-kecamatan. Ada beberapa gereja yang bergabung di sana. Dan setiap bulan pengurus gereja-gereja itu berkumpul. Dengan pemerintah GPPS pun  dekat. Tahun kemarin (2010), GPPS mengadakan acara buka puasa bersama. Camat dan tokoh-tokoh masyarakat diundang. Direncanakan ini menjadi agenda setiap bulan puasa.

Selain hubungan dengan pemerintah dan masyarakat cukup bagus, soal persyaratan ijin lingkungan, pun kelihatannya tidak akan jadi masalah. Pasalnya di lingkungan itu ada banyak warga Kristen, seperti di Rt 1 dan Rt 3. Jadi untuk mendapatkan sekitar 60 – 90 tanda tangan tidak terlalu masalah. Jadi, Perber bukan merupakan halangan bagi GPPS. Sekalipun demikian, Pdt Samuel Lemuhut berpendapat kalau Perber itu harus direvisi. Perber seolah-olah membatasi orang. Sebab  UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang diberi kebebasan beribadah dan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing. sementara aturan-aturan dalam Perber banyak yang bertentantan dengan UUD 1945 yang merupakan peraturan pokok.  Samuel juga mempertanyakan kenapa pemerintah daerah ikut-ikutan mengurus agama, sebab itu kan urusan pemerintah pusat. “Menurut saya, kita kembali ke pokok UUD 1945. Kalau itu kan mudah, sudah tidak ada masalah,” katanya.



 Kerukunan pun  tidak perlu diatur-atur. Kerukunan itu kan sudah otomatis. Apalagi dalam ajaran agama Kristen dikatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Jadi kita tidak memandang apakah dia Islam apakah dia Kristen. Sesama manusia kita saling mengasihi.

Labih bagus kalau UU Kerukunan diganti menjadi UU Kebebasan Beragama. Masyarakat tahu kalau beribadah itu adalah hak. Agama itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain, karena ini urusan pribadi kita dengan Tuhan. Mendirikan rumah ibadah jangan lebih sulit daripada mendirikan rumah pribadi. Gereja adalah tempat membina jemaat, membina manusia, ikut membangun karakter bangsa.

Tapi di atas semua itu, gereja di mana pun harus membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar.  Kalau hubungan sudah baik dalam masyarakat, bila ada gangguan dari luar, semua masyarakat akan menghadapi bersama-sama.

Moderasi Beragama

 Moderasi beragama: Dialog damai agama yang tidak saling mengalihkan perlu jadi alternative   Memperhatikan banyaknya DEBATER yang disas...