Kondisi seragam adalah sesuatu yang absurd, apalagi dalam dunia modern yang sarat perubahan. Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia seiring dengan kemajuan teknologi informasi membuat tak ada lagi tempat seragam di planet bumi ini.
Melacurkan kebenaran Kristen demi terciptanya sebuah kerukunan adalah sebuah kesalahan fatal, membelenggu kebebasan demi kerukunan hanya akan menghadirkan kerukunan semu yang tak berfaedah sama sekali. Namun, membentengi diri untuk tidak berinteraksi dengan persoalan-persoalan bersama dalam dunia juga sama salahnya. Kristus yang adalah teladan umat Kristen sesungguhnya telah mengajarkan bahwa Allah yang kudus dengan kerendahan hati rela menyapa manusia berdosa, dan memberi jawab terhadap persoalan-persoalan manusia, tentu saja tanpa membiarkan diri tercemari kejahatan dunia. Itu berarti, umat Kristen harus meneladani apa yang dilakukan Yesus, yakni memberi jawab terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam dunia dimana orang Kristen juga ada disana.
Tepatlah apa yang dikatakan Harvie Conn, “Menyatakan finalitas Kristus tidak mengurangi tanggung jawab Kristen untuk menjelaskan relasi kekristenan dengan agama –agama lain.” Harus diakui, untuk menjelaskan hubungan kekristenan dengan agama-agama lain merupakan hal yang tidak mudah, dan untuk menunaikan tugas penting tersebut diperlukan ketekunan dan usaha keras yang tak pernah mengenal lelah, baik dalam hal pendalaman doktrin Kristen itu sendiri maupun pengenalan akan kehadiran agama-agama yang berbeda dan beragam itu. Kasih dan kesabaran Kristus dalam hal ini harus menjadi dasar dalam menginterpretasikan realitas kemajemukan tersebut.
Menegaskan sebuah keyakinan kebenaran agama adalah hak setiap umat beragama. Memiliki sebuah keyakinan, meski berbeda dengan kebanyakan orang bukanlah sesuatu yang terlarang. Agama Kristen memiliki hak untuk menegaskan keyakinan kebenaran keunikan agamanya. Namun, dalam masyarakat yang majemuk tentu saja memaksakan kebenaran agama tertentu untuk semua adalah mustahil. Kebenaran Kristen, seperti juga kebenaran agama-agama yang lain hanyalah mewakili satu pendapat dari beribu-ribu pendapat yang ada. Konsolidasi agama-agama untuk kemudian mencari nilai-nilai bersama sebagai konsensus bersama merupakan upaya yang harus terus dilakukan bagi hadirnya sebuah nilai-nilai moral bersama dalam sebuah komunitas plural.
Persoalan kemudian timbul ketika ada pemaksaan pemahaman bahwa demi terciptanya kerukunan antar umat beragama, agama-agama dipaksa melepaskan klaim keunikan agamanya, demikian juga hal nya dengan finalitas Kristus dalam kekristenan. Buku kumpulan esai yang berjudul Mitos Keunikan Agama-agama yang disunting oleh John Hick dan Paul knitter salah satunya. Paul Knitter dalam pengantar buku itu menggambarkan bahwa kebanyakan sejarah Kristen di dominasi oleh dua pendekatan mendasar: pendekatan eksklusivisme konservatif, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilai di tempat lainnya, dan sikap inklusivis “liberal” yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi dalam Kristus. Kemudian dalam buku tersebut, Knitter mengusulkan perubahan paradigma yang didukung sebelas rekan penulisnya, yang disebutnya sebagai posisi pluralis. Yang didefinisikan, upaya meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri dalam jalan-jalan lain.’
Argumen Knitter tersebut telah dipegang orang sedemikian luas, sehingga paham tersebut meminjam istilah Leslie Newbigin telah menjadi “ortodoksi kontemporer,” siapapun yang menolak pandangan tersebut dianggap telah mengambil jalan yang “sesat,” karena tidak sesuai dengan kebenaran kontemporer. ”Ortodoksi kontemporer” itu kemudian membenarkan anggapan bahwa tidak ada lagi tempat bagi klaim-klaim untuk kebenaran yang absolud dalam agama.Semua agama-agama dipaksa untuk melepaskan klaim-klaim eksklusivisme, dan jika tidak, agama-agama tersebut dianggap menyimpang dari “ortodoksi kontemporer.”
Argumen Knitter itu tentu saja menimbulkan reaksi dari banyak pemikir agama-agama yang masih berpegang pada pengakuan keunikan agama-agama. Dalam kekristenan argumen Knitter ditentang pemikir-pemikir Kristen yang masih memegang finalitas Kristus dan keunikan agama Kristen. Buku Mempertimbangkan Kembali keunikan Agama Kristen, Mitos Teologi Pluralistis Agama-agama merupakan salah satu buku yang memberi respon penolakan terhadap pandangan tersebut.
Tulisan ini akan membahas mengenai Pluralisme Agama Dan Finalitas Kristus, dari sudut pandang pluralisme agama dalam paradigma baru, yaitu sebuah paradigma yang berbeda dengan paradigma Pluralisme agama John Hick dan Paul Knitter. Tulisan ini secara khusus akan menampilkan konsep pemikiran hubungan agama Kristen dengan agama-agama lain, dan kemudian memaparkan bahwa pluralisme agama mestinya adalah sebuah keniscayaan yang jauh dari pemaksaan untuk menyamakan agama-agama (pluralisme non-indifferentisme).
Pluralisme Agama: Paradigma Lama
Pluralisme agama paradigma lama sebagaimana dipropagandakan Hick dan Knitter sesungguhnya tak layak disebut pluralisme, dan itu lebih tepat disebut relativisme. Hal tersebut dapat dipahami karena pandangan John Hick tentang pluralisme agama sesungguhnya merupakan perluasan dari relativisme Ernst Troeltsch’s yang menegaskan bahwa, “agama Kristen itu mutlak bagi orang Kristen dan kepercayaan-kepercayaan dunia lainnya pun sama-sama “mutlak”bagi para pemeluknya masing-masing (kemutlakan relatif).” Namun, jika Troeltsch’s, berpendapat, “bahwa tidak ada agama yang superior atau inferior satu dengan yang lainnya, dan yang ada hanyalah perbedaan.Hick bergerak lebih jauh bahwa agama-agama yang berbeda-beda itu memiliki sumber yang sama. Bagi Hick “semua agama berpusat pada Allah, dan bukan pada agama Kristen atau pada salah satu agama yang lain. Dia adalah matahari sumber asali dari bahaya dan kehidupan, yang digambarkan oleh semua agama dengan cara mereka masing-masing.” Lebih jauh Hick mengungkapkan bahwa Allah agama- agama teisme dan Allah agama-agama non-teisme adalah Allah yang sama. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Wilfred Cantwel Smith, “tak seorangpun pernah menyembah berhala. Sebagian orang menyembah Allah dalam bentuk berhala, itulah yang dimaksud dengan berhala.”
Ajakan Gordon Kaufman bahwa agama-agama termasuk kekristenan harus melepaskan klaim-klaim eksklusif dalam berdialog dengan agama-agama lain juga didasarkan pada pemahaman tersebut: “
“Namun, bila kita harus secara simpatik menghampiri dan memasuki dialog dengan orang-orang lain yang memiliki komitmen dan keyakinan-keyakinan berbeda, kita harus menemukan cara-cara untuk merelatifkan dan membuka sistem simbol kita. Berbagai kecenderungan ke arah kemutlakan dan eksklusivitas dalam iman Kristen tradisional membawa kita kepada semacam pemberhalaan. Pemberhalaan ini mempersulit kita menanggapai secara serius kepercayaa-kepercayaan lain dalam pengertian mereka sendiri.
Adalah benar bahwa persatuan memberikan janji perdamaian. Namun pengertian tentang persatuan bisa berbeda-beda. Kesalahan mengartikan hal tersebut mengakibatkan perdamaian tak akan pernah hadir, sebaliknya akan melatenkan konflik. Kaum relativisme mengartikan bahwa persatuan agama-agama hanya mungkin (mutlak) jika agama-agama itu merelatifkan diri. Kaum pluralisme mengeksklusi kaum eksklusivisme demi menciptakan dunia yang damai, padahal mengeksklusi kaum eksklusivisme sama saja memosisikan diri sebagai eksklusivisme. Akibatnya, kaum relativisme yang memerangi segala klaim-klaim absolud keagamaan bukannya menciptakan perdamaian diantara agama-agama, sebaliknya telah menjadi persoalan baru. Dalam hal ini tampak jelas bahwa kaum relativisme terjebak pada semangat imperialisme yang dituduhkan pada kaum eksklusivisme. Mereka mengabsoludkan yang relatif, dan menyatakan pandangan mereka yang mutlak benar. Kaum relativisme ternyata juga eksklusivisme, karena menolak segala yang absolud.
Apabila pada awalnya kaum relativisme mencela kaum eksklusivisme yang menganggap bahwa kebenaran tidak ada pada agama-agama lain, merasa diri maha tahu, dan kemudian menjadi absolutis, serta memosisikan diri sebagai hakim terhadap agama-agama. Bahkan menuduh kaum eksklusivisme memosisikan diri sebagai Tuhan,”atau sebagai “imperialisme”yag memaksakan pemahamannya. Pada akhirnya kaum relativisme juga melakukan kesalahan yang sama. Yakni, menempatkan diri sebagai Tuhan, karena menganggap diri tahu segalanya, dan menganggap pandangan mereka yang mutlak benar.
Pemahaman konsep pluralisme agama yang merelatifkan agama-agama itu kemudian melahirkan teologi pluralistis agama.-agama. Sebuah teologi universal yang memasukan agama-agama lain dalam orbit kekristenan. Suatu agama sinkretis yang ditakuti agama-agama yang meyakini universalitas agamanya.
Bagi kekristenan, pluralisme agama paradigma lama ini bukan hanya mengancam keunikan agama Kristen, tetapi secara langsung menghantam keunikan Kristus, dan otomatis merelatifkan penyataan Allah tentang finalitas Kristus yang adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Eksklusivisme dan Inklusivisme
Hadirnya klaim-klaim eksklusivisme agama-agama termasuk dalam kekristenan sebenarnya adalah sebuah relitas. Agama-agama itu pada realitasnya beragam dan berbeda. Th. Kobong menjelaskan bahwa, “Eksklusivisme agama ditentukan oleh pusat orientasinya yang transendental. Pusat orientasi yang transendental itulah yang menentukan, mewarnai dan mengarahkan seluruh sistem nilai-nilai yang membentuk suatu agama.”
Jadi mengatakan eksklusivisme agama adalah kesombongan, sangat tidak berdasar, karena sesungguhnya agama yang menentukan kasih Allah, bukan teologi menjadi antropologi. Desakan menghilangkan klaim-klaim eksklusivisme agama sebagai syarat utama bagi hadirnya keharmonisan antaragama jelas tidak memiliki pijakan yang kuat. Itu sama absurdnya dengan menyamakan agama-agama yang pada faktanya beragam dan berbeda. Klaim-klaim eksklusivisme agama itu juga tidak boleh diartikan sebagai sebuah kesombongan karena klaim-klaim itu diterima berdasarkan iman agama-agama itu kepada yang transenden, sebaliknya itu justru menunjukkan sebuah penaklukkan diri kepada yang absolud.
Misalkan saja mengenai klaim finalitas Kristus, klaim kekristenan bahwa Yesus adalah jalan, Kebenaran dan Hidup secara jelas dituliskan dalam Yoh 14:6. “ ...Akulah Jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Kisah Para rasul 4:12. Selanjutnya Alkitab juga menegaskan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”
Keyakinan finalitas Kristus itu diterima oleh orang Kristen karena iman. Karena iman kepada Alkitab yang adalah firman Allah, orang Kristen percaya bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar. Sama hal nya ketika orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah juru selamat satu-satunya, karena itu dikatakan dalam Alkitab, dan Yesus sendiri dalam Alkitab mengatakan hal itu. Jadi, ketika orang Kristen menyaksikan keyakinan imannya, itu bukanlah kesombongan, itu adalah penundukkan kepada yang absolud. Menyaksikan keyakinan iman seseorang adalah hak yang harus dihormati. Maka, jelaslah bahwa klaim eksklusivisme Kristen itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan pada orang lain, klaim itu hanya mungkin diterima berdasarkan iman, bukan dengan paksaan ataupun tipu daya kotor. Umat Kristen percaya bahwa seseorang bisa percaya kepada Kristus hanya karena anugerah Allah. Meski keyakinan terhadap finalitas Kristus itu adalah hal yang subyektif, itu tidak berarti bahwa finalitas Kristus bukan sesuatu yang mutlak benar, dan karena itu bisa ditanggalkan.
Dengan demikian jelaslah, menyatakan finalitas Kristus bukanlah memosisikan diri sebagai yang maha tahu. Tak ada manusia yang maha tahu. Karena ada nisbah antara pencipta dan ciptaan. Ciptaan yang bergantung pada pencipta tak mungkin menjadi maha tahu sebagaimana layaknya Pencipta yang absolud. Orang Kristen percaya bahwa tidak semua kebenaran Allah disingkapkan kepada manusia, otak manusia yang terbatas tidak mungkin menampung pengetahuan Allah yang tak terbatas. Meyakini bahwa apa yang dikatakan Allah itu mutlak benar adalah tanda kebergantungan yang terbatas kepada Pencipta yang tak terbatas. Dan itu sama sekali jauh dari usaha mengabaikan kehadiran agama-agama lain.
Disamping nilai-nilai eksklusif, dalam Alkitab juga banyak ditemukan nilai-nilai yang inklusif. Nilai-nilai ini ada juga pada agama-agama lain. Alkitab melaporkan bahwa Allah mengasihi baik orang percaya maupun orang yang tidak percaya, dan Allah menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik (Matius 5: 45). Kasih Allah itu jelas bersifat inklusif. Demikian juga hal nya dengan perintah Allah untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, itu merupakan perintah yang inklusif. Bahkan lebih jauh Alkitab melaporkan dalam Lukas 10:25-37, dalam cerita tentang orang Samaria yang murah hati, Alkitab mengajarkan bahwa umat Kristen bisa belajar mengasihi dari orang yang tidak percaya (orang Samaria pada waktu itu dikelompokkan bukan sebagai umat pilihan Allah). Perintah Allah yang mengatakan“ Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikan orang kejam.”(Yesaya 1:17) tampak sejajar dengan amar maruf nahi mungkar dalam agama Islam, ajaran tersebut juga ada pada agama-agama lain.
Alkitab jelas mengajarkan bahwa memegang klaim-klaim eksklusif tidak berarti boleh mengabaikan klaim-klaim inklusif yang mengajarkan bahwa umat Kristen harus belajar dari orang tidak percaya dalam mengasihi. Kasih adalah anugerah umum, karena Allah memberikan kasih-Nya pada semua orang. Menemukan kebenaran-kebenaran umum melalui non Kristen sesungguhnya akan memperdalam pengetahuan Kristen tentang kebenaran Kristen yang eksklusif. Namun, kesamaan-kesamaan yang ada tersebut juga tidak boleh menghapuskan klaim-klaim eksklusif kekristenan.
Nilai-nilai eksklusif dan inklusif yang terdapat dalam Alkitab sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa dalam hubungan kekristenan dengan agama-agama lain ada diskontinuitas, dan juga ada kontinuitas. Pemeliharaan Allah yang terus berlangsung untuk semua manusia yang adalah gambar dan rupa Allah memiliki kontinuitas dengan kekristenan, karena itu adalah anugerah umum. Namun karya keselamatan Kristus yang dinyatakan dalam Alkitab harus diakui memiliki diskontinuitas dengan agama-agama lain, karena itu adalah anugerah khusus. Umat Kristen dapat hidup bersama secara damai dengan mereka yang non-Kristen. Dan itu mungkin terjadi karena Sang Pencipta bukan hanya menempatkan orang Kristen dan non-kristen dalam dunia yang sama, tetapi juga Allah yang adalah pencipta itu juga memelihara semua ciptaan-Nya.
Nilai-nilai inklusif dalam kekristenan menunjukkan bahwa Agama Kristen dan agama-agama lain memiliki nilai-nilai bersama, yakni nilai-nilai kasih, keadilan, kemanusiaan, kebenaran dan lain-lain. Nilai-nilai ini sesungguhnya dapat mempertemukan agama Kristen dengan agama-agama lain untuk dapat hidup bersama dengan damai. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam menjelaskan hubungan orang Kristen dengan agama-agama lain, interpretasi itu harus didasarkan pada doktrin Kristen yang utuh, baik yang bersifat eksklusif maupun yang bersifat inklusif. Maka teologi agama-agama yang harus dikembangkan umat Kristen seharusnya adalah teologi Kristen tentang agama-agama lain, dan bukan teologi universal yang memasukkan kepercayaan lain pada orbit agama Kristen.
Pluralisme Agama: Paradigma Baru
Pada bagian ini penulis akan menggali kembali makna pluralisme agama, konsep dan perkembangan pemikiran tersebut, dan kemudian menetapkan apa yang dimaksud dengan Pluralisme agama dalam paradigma baru.
Istilah pluralisme sering kali disamakan dengan pluralitas, karena memang kedua kata itu berasal dari kata dasar yang sama. Th. Kobong menjelaskan seperti berikut:
Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah. Latin =jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada; yang ada hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak satu”, sedangkan pluralis diartikan: “bersifat jamak (banyak)”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami, mengapa sering kali penggunaan kata pluralitas dan pluralisme digunakan secara sama atau saling menggantikan. Padahal, pluralitas dan pluralisme adalah sesuatu yang berbeda. Di Indonesia hal itu biasa terjadi karena dalam KBBI istilah pluralisme diartikan sebagai pluralitas yang mengatakan jamak atau tidak satu. Sekilas dalam KBBI istilah pluralisme dan pluralitas itu saling menggantikan, padahal tidak demikian.
Pluralitas dengan pluralisme sebenarnya sesuatu yang berbeda. Pluralisme merupakan diskusi yang menanyakan darimanakah asal kejamakan atau kemajemukan tersebut. Sedang dalam diskusi mengenai pluralisme agama yang ingin ditanyakan adalah, sebab dan akibat kejamakan dari agama-agama.
Kalangan pluralisme paradigma lama sebagaimana hal nya dengan Hick menganggap pluralitas adalah penampakan dari yang absolud, yang menurutnya satu. Jadi yang menyebabkan keragaman agama-agama menurut Hick adalah cara agama-agama itu merespon yang absolud. Harold Coward menjelaskan: “Pluralisme keagamaan dapat dipahami sebagai paling baik dalam kaitan dengan logika yang melihat satu yang berwujud banyak. Realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam keagamaan”.
Pluralisme paradigma lama jelas berpijak pada konteks bukan pada teks, akibatnya bagi mereka teks menjadi relatif, dan yang mutlak adalah konteks. Cara berteologi tersebut membuat mereka jatuh pada sinkretisme (menyamakan agama-agama). itulah sebabnya pluralisme agama mengakui bahwa agama-agama berasal dari realitas transenden yang sama, sehingga semua agama dianggap memiliki kebenaran yang sama dan dapat membawa keselamatan dengan caranya masing-masing. Pengakuan bahwa tidak ada agama yang bersifat universal, dan agama itu hanya unik dalam dirinya sendiri karena semua agama itu berasal dari sumber yang sama, membawa pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada agama superior yang menjadi agen keselamatan.
Berdasarkan keyakinan tersebut kemudian kaum pluralisme paradigma lama menganggap pastilah ada jalan kembali untuk mempertemukan agama-agama yang beragam itu. Maka kaum pluralisme paradigma lama mengambil jalan sinkretisme dalam menginterpretasikan kemajemukan agama-agama yang ada. Mereka kemudian mengkampanyekan bahwa semua jalan menuju ke Roma, semua jalan menuju ke Allah yang satu. Namun, logika pluralisme agama paradigma lama ini jelas bertentangan dengan realitas, karena pada kenyataannya semua agama-agama itu bukan hanya beragam, tetapi juga berbeda.
Mengenai pluralisme dalam bidang politik dan sosial kamus The Oxford English Dictionary memberikan definisi demikian :
1.Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-oraganisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik.2. Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.
Pengertian pluralisme sebagaimana dijelaskan dalam kamus Oxford di atas seharusnya terjadi dalam pemerintahan, demikian juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Apabila pola berpikir pluralisme ini ada dalam kehidupan kelompok, suku, budaya dan agama maka tidak ada kelompok, suku, budaya, dan agama yang akan berusaha menciptakan pemerintahan yang monolitik, baik oleh pengaruh suku, agama maupun budaya, karena semua individu mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.
Pemerintahan yang menerima pluralisme akan memperlakukan agama-agama secara sama, karena agama-agama yang berbeda dan beragam itu memiliki kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan. Agama-agama dapat berperan dalam pemerintahan tanpa perlu mendominasi negara dari agama-agama lainnya. Memaksakan pandangan agama tertentu kepada negara berarti penguasaan agama tertentu atas negara, yang kemudian akan melahirkan sebuah pemerintahan yang absolutis
Usaha untuk menjaga eksistensi komunitas agama-agama adalah tanggung jawab komunitas agama tersebut, karena komunitas itu dibangun atas kerelaan pribadi, sehingga keluarnya individu dari komunitasnya karena pengaruh dari komunitas di luarnya tetap merupakan pilihan individu. Keputusan tersebut didasarkan pada hak yang melekat pada dirinya, dan komunitas agama harus menghargainya, karena hak individu tersebut tidak boleh dirampas oleh komunitas di mana individu itu berada.
Berdasarkan pengertian pluralisme dalam bidang sosial dan politik jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan klaim-klaim eksklusif agama telah menghalangi terciptanya kerukunan beragama sangat tidak berdasar. Tidak ada hal spesifik dari perbedaan antar agama yang bisa membuat agama memiliki kecenderungan untuk memicu konflik. Karena agama-agama yang beragam dan berbeda itu dapat hidup bersama dalam sebuah negara, asalkan hak-hak setiap umat beragama itu terlindungi. Pembatasan kebebasan beragama berdasarkan hukum bisa saja terjadi, dan itu hanya boleh dilakukan untuk kemerdekaan semua agama, dan bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
Selanjutnya untuk memahami pluralisme paradigma baru dengan lebih baik penting untuk menyimak apa yang dikatakan Profesor Diana L Eck dari Harvard Divinity School. Selaras dengan Th. Kobong, bagi Eck pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah hal yang alami, sedang pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas. Pluralisme bukanlah sesuatu yang diberikan (given), melainkan suatu pencapaian (achievment), dari suatu keterlibatan (engagement) yang ada. Pluralisme merupakan interpretasi atas kemajemukan. Pluralisme bagi Eck juga bukan sekadar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme bukan relativisme. Dalam paradigma baru menerima pluralisme agama bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agamanya demi membangun hubungan yang sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis sebaliknya harus mengakui perbedaan agama, karena perbedaan agama itu natural, intrinsik, dan tak dapat dihindari. Sebaliknya, relativisme itu minus komitmen, hanya sebatas keterbukaan sementara. Pluralisme juga bukan sinkretisme yang adalah sebuah kreasi agama baru yang mencampurkan aneka elemen dari berbagai tradisi agama yang berbeda seperti New Age. Pluralisme agama harus didasarkan pada dialog, bahasa pluralisme adalah bahasa dialog, dialog dalam hal ini berarti saling memberi dan menerima. Dalam dialog ada kesediaan untuk mendengar dan berbicara, baik dalam hal mengungkapkan kebenaran inklusif maupun kebenaran eksklusif.
Berdasarkan pemikiran Eck diatas dapat dipahami bahwa Pluralisme bukanlah satu pemikiran, tetapi lebih tepat disebut sebagai rumah bagi berbagai pemikiran, dan tidak boleh ada pemikiran yang memproklamasikan dirinya sebagai pemikiran paripurna.
Dengan demikian jelaslah pluralisme agama dalam paradigma baru tidak menafikan keunikan agama-agama, seperti hal nya dengan finalitas Kristus. Menolak adanya nilai-nilai absolud dalam agama-agama sama saja dengan mengabsoludkan yang relatif, yang sebenarnya menunjukkan adanya kesalahan berpikir. Karena mengabsoludkan yang relatif sama saja mengakui adanya yang absolud, yang disangkali itu.
Jalan sinkretisme sesungguhnya bukanlah jalan tunggal untuk mencari titik temu antara yang plural dan yang berbeda itu. Keyakinan akan adanya nilai-nilai yang dimiliki bersama, dan nilai-nilai bersama itulah yang dapat mempertemukan agama-agama yang berbeda itu untuk dapat hidup bersama, merupakan jalan yang lebih tepat dibandingkan jalan sinkretisme, dan jalan ini sama sekali jauh dari usaha melacurkan kebenaran agama-agama, atau merelatifkan kebenaran agama-agama. Dengan demikian jelaslah mempertentang keunikan agama-agama dan pluralisme dalam jalan ini tidak memiliki dasar sama sekali.
Interpretasi kehadiran agama-agama lain bukan hanya membutuhkan pemahaman doktrin Kristen yang baik, namun secara bersamaan juga pengenalan yang baik akan kehadiran agama-agama lain. Karena itu teologi agama-agama dapat berkembang dalam jalan yang benar jika terjadi perkembangan pemahaman teologi Kristen yang baik, dan juga hubungan yang makin erat dengan agama-agama lain.
Pluralisme agama dan kerukunan beragama
Pluralisme agama dalam paradigma baru bukanlah ancaman bagi agama-agama yang beragam dan berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pluralisme agama adalah rumah bagi berbagai pemikiran agama, dimana berbagai pemikiran agama itu mendapat tempatnya. Pluralisme agama dalam paradigma baru adalah sebuah pemikiran bagaimana agama yang beragam dan berbeda itu dapat hidup bersama dengan saling menghormati keunikan agama-agama. Pluralisme agama dalam paradigma baru ini terlindungi dalam sebuah negara yang menerima pluralisme. Itu adalah perwujudan dari negara yang mengakui kebebasan hati nurani. Syarat bagi terciptanya kerukunan umat beragama.
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan karena setiap individu berhak memilih siapa yang ingin ia sembah, atau siapa yang ia tidak ingin sembah. Dalam hati nuraninya manusia adalah raja. Ketidaktaatan pada Sang Pencipta menjadi kedaulatan Pencipta bukan Negara, atau komunitas agama-agama.
Penerimaan negara terhadap pluralisme bukan berarti menyamakan agama-agama, karena pada hakikatnya agama-agama memang berbeda. Dan karena negara tidak berteologi, maka negara tidak berhak menentukan mana agama yang benar, dan mana agama yang tidak benar. Adalah keharusan bagi negara untuk memberikan kesempatan yang sama bagi agama-agama yang beragam dan berbeda dalam pemerintahan. Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi.
Keyakinan bahwa agama yang dianutnya adalah universal tidak boleh menjadi alat pengesahan untuk menindas agama-agama yang berbeda. Agama-agama tidak perlu mengklaim diri sebagai agen tunggal kebenaran, atau menampilkan hegemoninya terhadap agama-agama lain. Hak penghakiman terhadap agama-agama tidak diberikan Tuhan kepada manusia. Hak ini juga tidak diberikan kepada negara. Hak penghakiman atas agama yang benar ada pada Tuhan. Negara sebagai wakil Allah (Roma 13:1-7) hanya menjaga kedaulatan hati nurani dalam individu atau kelompok yang diberikan Tuhan. Kedaulatan hati nurani yang menjadikan manusia raja bagi dirinya mewajibkan negara menghargai hak individu dan kelompok. Dan hal itu hanya mungkin dengan menerima pluralisme bagi pelaksanaan tugas negara dalam proteksi hak kebebasan beragama.
Pluralisme agama juga menjadi keniscayaan dalam menghadirkan kerukunan beragama, karena sesungguhnya kerukunan beragama hanya mungkin terjadi jika agama-agama itu mau belajar menerima agama-agama yang beragam dan berbeda itu dalam jalan pluralisme. Untuk Indonesia, kerukunan beragama itu sendiri sebenarnya merupakan realitas yang telah ada sejak lama. Indonesia adalah tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Agama-agama lokal yang telah ada di Indonesia bersikap toleran dengan kehadiran agama-agama yang datang kemudian. Dan itu terjadi karena pluralisme telah bersemayam lama di bumi Indonesia.
Kerukunan beragama bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Kerukunan beragama merupakan panggilan agama-agama dan mestinya agama-agama tak mengenal lelah untuk memperjuangkannya. Pemaksaan kaum pluralisme agama paradigma lama agar agama-agama melepaskan klaim-klaim eksklusif agama demi menciptakan kerukunan adalah pemahaman yang salah. Kerukunan beragama tak perlu dipaksakan, karena keinginan untuk hidup rukun ada pada sanubari setiap umat beragama. Hidup rukun merupakan semangat agama-agama, dan itu adalah nilai-nilai inklusif yang ada dalam agama-agama.
Untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama perlu adanya upaya agama-agama untuk terus menerus membangun komunikasi satu dengan yang lainnya. Bukannya malah menutup diri, apalagi menganggap dirinya paling benar, dan kemudian menafikkan interdepedensi agama-agama. Komunikasi antar agama bisa terjalin baik jika antaragama itu mengakui interdepedensi agama-agama. Apabila agama-agama terus berusaha untuk membangun komunikasi, maka akan ditemukan nilai-nilai bersama yang akan menjadi dasar bersama bagi agama-agama yang berbeda-beda. Selanjutnya, jalan musyawarah untuk menemukan kesepakatan bersama menjadi hal yang amat penting untuk tidak saling menegasikan.
Terciptanya komunikasi agama-agama yang menjadi jalan bagi mewujudnya kerukunan beragama tentu saja membutuhkan kebebasan beragama. Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan tanpa standar, karena kebebasan mempunyai standar untuk dapat beroperasi. Untuk mengoperasikan kebebasan beragama setiap orang mesti menjaga kebebasan orang lain. Apabila kita ingin orang lain menghormati kebebasan kita maka kita harus lebih dulu menghormati kebebasan orang lain. Prinsip “golden rule”dalam mengoperasikan kebebasan beragama itu ada pada setiap agama.
Kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok adalah hak yang paling asasi, dan mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat. Kebebasan hati nurani sesungguhnya merupakan dasar bagi kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Dan kebebasan hati nurani itu juga sekaligus menjadi dasar bagi kerukunan beragama, tanpa kebebasan beragama, kerukunan yang hadir adalah kerukunan semu. Kebebasan beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya kerukunan beragama, dan kebebasan beragama itu hanya mungkin hadir dalam negara yang menerima pluralisme agama.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pluralisme agama paradigma lama bukanlah jalan tunggal untuk mencari titik temu diantara agama-agama yang beragam dan berbeda. Pluralisme paradigma lama berpijak pada konteks bukan pada teks dalam mencari titik tema diantara agama-agama yang beragam dan berbeda. Akibatnya, teks menjadi relatif, dan yang mutlak adalah konteks. Cara berteologi tersebut membuat mereka jatuh pada sinkretisme (menyamakan agama-agama). Karena itu pluralisme agama paradigma lama lebih layak disebut relativisme. Logika pluralisme agama paradigma lama ini jelas bertentangan dengan realitas, karena pada kenyataannya semua agama-agama itu bukan hanya beragam, tetapi juga berbeda.
Pluralitas adalah hal yang alami, sedang pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas. Maka pluralisme agama tidak boleh menafikan keunikan agama-agama. Karena itu Pluralisme agama dalam paradigma baru tidak menafikan keunikan agama-agama, seperti hal nya dengan finalitas Kristus. Menolak adanya nilai-nilai absolud dalam agama-agama sama saja dengan mengabsoludkan yang relatif, yang sebenarnya menunjukkan adanya kesalahan berpikir. Karena mengabsoludkan yang relatif sama saja mengakui adanya yang absolud, yang disangkali itu.
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi yang mengakui kebebasan hati nurani dan kebebasan beragama, syarat mutlak bagi hadirnya kerukunan beragama. Untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama perlu adanya upaya agama-agama untuk terus menerus membangun komunikasi satu dengan yang lainnya, mengakui interdepedensi agama-agama, dan itu bisa terjaga dalam negara yang menerima pluralisme.
Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.
https://www.binsarhutabarat.com/2020/09/pluralisme-agama-dan-finalitas-kristus.html