Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik
Opini publik sukses memenjarakan Ahok, Yessica dan
kini menelan korban baru, Panglima penjaga konstitusi Indonesia, ketua Mahkamah
Konstitusi Anwar Usman.
Keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman selaku ketua
MK yang memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40
tahun atau pernah dan sedang menjabat jabatan publik secara cepat membentuk
opini yang menuduh Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika MK
menetapkan keputusan itu. Lucunya yang menjadi sasaran hanyalah Anwar Usman.
Opini publik yang menghakimi bahwa Anwar Usman
terlibat konflik kepentingan itu beredar liar, entah siapa yang menciptakannya,
padahal tuduhan-tuduhan itu minim bukti kecuali memang Anwar Usman memiliki
hubungan keluarga dengan Gibran, meski keputusan itu tidak hanya menguntungkan
Gibran.
Saya tidak tahu siapa yang menciptakan opini publik itu,
sayangnya opini public yang liar itu dan hanya menyasar Anwar Usman kemudian menyandra
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK yang menyatakan
Anwar Usaman melakukan pelanggaran etik berat, tapi tidak dipecat sebagai
anggota MK mengindikasikan adanya tekanan opini publik. Data media yang menjadi
dasar keputusan MKMK, serta kekuatiran konon akan ada chaos pada pemilu 2024
telah menyandra MKMK.
Anehnya lagi, publik seakan terpuaskan dengan
pelengseran Anwar Usman yang mendapatkan hukuman berat dibandingkan
rekan-rekannya sesama anggota MK. Yang tak masuk nalar adalah Anwar Usman dinyatakan
terbukti melakukan lobi-lobi memengaruhi keputusan MK.
Apakah betul anggota MK itu begitu lemahnya sehingga
terbius nyanyian Anwar Usman untuk mendukung keputusannya? Bukankah mahkamah konstitusi itu bersifat kolegial,
dan mereka semua adalah pendekar hukum di negeri ini?
Anehnya lagi, kenapa Anwar Usman bukan hanya tidak
diberhentikan sebagai ketua MK, bukan sebagai anggota MK sebagaimana dissenting
opinion Bintan Saragih. Alasan Jimly bahwa MKMK kuatir Anwar Usman melakukan banding
dan mengakibatkan keputusan MKMK tidak memiliki kekuatan hukum, menunjukkan
bahwa hukum, aturan tidak bisa memuaskan semua. Pertanyaannya kemudian, siapa
yang dipuaskan dengan keputusan MKMK?
Publik ternyata juga tidak peduli mengapa hakim MK
lainnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan Anwar Usman, padahal
menurut MKMK semua hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik. Suara publik
ini suara siapa?
Apakah ini mengindikasikan rakyat Indonesia sudah
kuat, dan negara kian lemah? Jika demikian suara rakyat itu suara siapa? Apakah
mayoritas diam di negeri ini yang mengidolakan Jokowi telah beralih secara
diam-diam?
Menurut saya tuduhan liar yang hanya menyasar Anwar Usman itu mendapatkan tempatnya pada opini yang beredar liar bahwa telah hadir
politik dinasti Jokowi yang menghadirkan Gibran sebagai Calon wakil Presiden. Padahal,
tidak ada politik dinasti di negeri ini.
Kita mengakui ada dinasti Megawati, dinasti Susilo Bambang
Yudoyono, dan dinasti Jokowi, tapi tak ada pemerintahan bentuk kerajaan di
negeri ini. Opini publik terkait politik dinasti Jokowi bergerak liar, seakan
itu sungguh terjadi dengan beragam cerita dan keudian menyandera keputusan
MKMK.
Benarlah ungkapan yang mengatakan barang siapa menguasai informasi akan
menguasai dunia, siapa yang mampu menciptakan keinginannya menjadi opini publik
akan mampu memaksakan kehendaknya pada ruang publik.
Demokrasi adalah sebuah perjalanan, demokrasi ibarat
sebuah permaianan, Tarik menarik antara para pemain untuk memenangkan permainan
kerap terjadi. Repotnya aturan atau hukum yang adil itu sendiri tak pernah ada.
Aturan permaianan kerap dikuasai kelompok yang kuat. Demokrasi di Indonesia
saat ini dikuasai oleh mereka yang memainkan opini publik. Demokrasi Indonesia
saat ini sedang tersandra opini publik, rakyat perlu waspada terhadap mereka
yang memainkan opini public untuk memaksakan kehendaknya, termasuk media-media
asing yang saat ini seakan mempropagandakan telah hadir politik dinasti di Indonesia.
https://www.binsarinstitute.id/2023/11/demokrasi-indonesia-tersandera-opini.html