Saturday, August 24, 2024

Pendidikan formal dan non formal

 


 

Integrasi Pendidikan Tinggi Teologi Dan Pendidikan Warga Gereja: Alternatif Meningkatkan Kompetensi Pelayan Kristen.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

Abstrak.

Pentingnya pendidikan warga gereja menjadi keprihatinan para pendidik Kristen, warga gereja dengan pemahaman teologi yang baik merupakan motor penggerakan pengembangan dan pertumbuhan gereja. Namun integrasi pendidikan tinggi Keagamaan Kristen dengan pendidikan warga gereja yang mendapatkan pijakannya pada Sistem pendidikan nasional 2003, yang kemudian diteguhkan dalam Peraturan Presiden tentang Kerangka kualifikasi nasional Indonesia belum mendapatkan perhatian khusus. Orasi ilmiah ini secara khusus memaparkan pentingnya integrasi pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen sebagai alternative meningkatkan kompetensi pelayan Kristen.

 

 

 

Pendahuluan.

Integrasi pendidikan informal, non formal dan formal merupakan amanat Sistem pendidikan nasional tahun 2003. Integrasi pendidikan itu perlu mewujud dalam kurikulum pendidikan tinggi keagamaan Kristen (pendidikan formal), dan pendidikan warga gereja (Pendidikan informal). Lemahnya integrasi pendidikan informal (pendidikan agama dalam keluarga) Pendidikan non formal (Pendidikan warga gereja), dan Pendidikan pada Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen menyebabkan teologi gereja yang dinyatakan dalam Tata dasar dan tata gereja tidak mengalami perkembangan teologi berarti, demikian juga sebaliknya luaran-luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak mendapatkan tempat yang tepat di gereja. Kehadiran para tokoh gereja yang mengaku tak mengenyam pendidikan teologi merupakan sebuah sindiran terhadap pentingnya pendidikan tinggi keagamaan Kristen, secara bersamaan juga menyiratkan bahwa luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tak memiliki sumbangsih berarti bagi pengembangan dan pertumbuhan gereja. Pada sisi lain tokoh-tokoh pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak banyak yang hadir dalam diskusi-diskusi teologi gereja, kecuali mereka yang merangkap jabatan sebagai dosen dan secara bersamaan juga sebagai pendeta jemaat.

Orasi ilmiah ini akan menawarkan strategi integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia.

 

Pendidikan Warga Gereja

Tri tugas Gereja (Koinonia, Diakonia, Marturia) secara tegas menyatakan bahwa warga gereja perlu bertumbuh dalam pengenalan akan firman Tuhan yang baik, untuk hidup saling melayani, dan kemudian secara bersama menjadi saksi Kristus. Pendidikan Warga gereja secara khusus dalam hal ajaran gereja (Firman Tuhan) perlu menjadi perhatian gereja, secara khusus dalam era global dengan kemajuan tekonoli komunikasi yang membuat informasi apapun dapat menembus ruang-ruang yang dulunya privat. Pentingnya pendidikan warga gereja ini telah dibahas dalam jurnal-jurnal ilmiah teologi dan jurnal-jurnal pendidikan agama Kristen.

Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen

Pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada awalnya biasa disebut sekolah teologi dan sekolah tinggi teologi. Sekolah teologi telah ada dalam banyak gereja dengan tujuan memberikan pengetahuan teologi kepada jemaat untuk dapat melayani dengan baik untuk mengerjakan Tri Tugas Gereja yang diselenggarakan  oleh gereja secara eksklusif, dan juga kerja sama antara gereja dan sekolah tinggi teologi, dan pada umumnya belum ada integrase antara pendidikan warga gereja dan sekolah tinggi teologi. Itu terlihat bahwa parau lulusan sekolah teologi di  gereja ketika berkeinginan atau terpanggil sebagai calon pendeta perlu mengulang seluruh mata kuliah yang ada di Sekolah Tinggi Teologi dengan alasan bahwa mata kuliah yang di dapat di sekolah teologi memiliki kualifikasi yang berbeda dengan yang ada di sekolah tinggi teologi.

Pendidikan tinggi teologi kerap dianggap sebagai orang khusus yang terpanggil untuk menjadi pemimpin gereja, sedangkan pendidikan warga gereja adalah calon-calon pelayan jemaat yang terbatas untuk membantu pimpinan gereja dalam memenuhi Tri Tugas Gereja.

 

Landasan Integrasi Pendidikan Warga Gereja dan Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen.

Landasan Teologi

Menurut pandangan Kristen, dari sudut realitas rohani, manusia selalu mengaktualisasikan diri dalam relasi dengan Tuhan. Dalam hal ini jelas, agama adalah suatu dimensi dalam kehidupan rohani manusia. Manusia adalah mahkluk yang beragama. Paul Tillich mengatakan bahwa agama terletak pada kedalaman hati manusia yang lehadirannya tidak bisa ditolak.[1] Semua manusia pada hakikatnya adalah manusia yang beragama.

            Adanya dimensi rohani itu maka manusia mempunyai tugas dari Sang Pencipta yakni tugas pemeliharaan ciptaan Tuhan, dan pemenuhan tugas itu berorientasi pada tiga arah yakni Tuhan, diri sendiri dan dunia atau alam. Jadi manusia harus mengembangkan kreativitas budaya, dan relasi dengan alam karena manusia berkedudukan sebagai tuan atas alam, dan pemelihara  alam, dan pekerjaan ini dilakukan bekerja sama dengan sesamanya. Manusia diciptakan begitu mulia, semua manusia tak terkecuali memiki martabat yang sama, yaitu sebagai ciptaan yang mulia.

            Maka manusia bukan hanya memiliki kedalaman dengan Tuhan, tapi juga harus mengembangkan bakat-bakat yang diberikan untuk kesejahteraan umat manusia. Untuk itu perlu ada pendidikan, dalam hal ini pendidikan bukan hanya persoalan pengajaran agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupan manusia serta pemeliharaan alam.

 

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework) tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada banyak negara di dunia. Kerangka kualifikasi nasional merupakan fenomena global[2] 

Secara umum, kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai "deskripsi sistematis kualifikasi suatu sistem pendidikan.”[3] Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional.[4]

Kerangka Kualifikasi Nasional telah dikembangkan dan digunakan diseluruh dunia. Di Eropa, bahkan ada 'meta' kerangka, Eropean Qualification Framework (EQF) yang mencoba untuk menyelaraskan dan mengkonsolidasikan beberapa kerangka kerja nasional ke satu titik acuan.[5]

The European Qualifications Framework (EQF) acts as translation device to make national qualifications more readable across Europe, promoting workers and learners mobility between countries and facilitating their lifelong learning. The EQF aims to relate different countries’ national qualifications systems to a common European reference framework. Individuals and employers will be able to use the EQF to better understand and compare the qualifications levels of different countries and different education and training systems.[6]

 

Output dari EQF adalah sebagai berikut:

(1) Increased consistency of qualifications, (2) Better transparency for individuals and employers, (3) Increased currency of single qualifications, (4) A broader range of learning forms are recognized  (5) A national/external reference point for qualifications standards (6)Clarification of learning pathways and progression (7) Increased portability of qualifications (8)Acting as a platform for stakeholders for strengthening cooperation and commitment (9)Greater coherence of national reform policies (10)A stronger basis for international co-operation, understanding and comparison.[7]

 

Kerangka Kualifikasi Nasional untuk Australia,  Australia Qualification Framework (AQF) diperkenalkan pada tahun 1995 untuk mendukung sistem kualifikasi nasionalnya.[8]

Milestone penting dalam perjalanan pengembangan KKNI di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud dengan pelatihan kerja nasional  adalah: 1). pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 2). sistem Pelatihan Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat Sislatkernas, adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan kerja nasional. 3). lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. 4). kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 5). standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6). sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus. 7). sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan SKKNI. 8). Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. 9). pelatihan berbasis kompetensi kerja adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja.[9]

Berdasarkan pasal satu ayat 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dijelaskan, bahwa KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.[10]

Selanjutnya pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional juga menegaskan: 

(1) Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai yang tertinggi. (2) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 9 (sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi sertifikat 1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan).(3) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.[11]

Jadi jelaslah, dasar dari lahirnya kebijakan KKNI dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagaimana juga ditetapkan dalam bagian pembukaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang menerangkan, bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Selanjutnya, Peraturan Presiden tentang KKNI itu mendapatkan pijakan yang lebih tinggi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Karena Peraturan Presiden merupakan kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan undang-undang dalam hal ini, undang-undang pendidikan tinggi. Lebih jelasnya, bagian kelima dari undang-undang pendidikan tinggi tahun 2012 pasal 29 menjelaskan tentang KKNI seperti berikut: (1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. (2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. (3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi Tahun 2012 jelaslah bahwa petunjuk pelaksanaan penerapan KKNI itu kemudian ditetapkan oleh Menteri. Dan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan Tinggi, selanjutnya petunjuk teknis penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi ditetapkan dalam Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi 2014. Dengan terjadinya perubahan SNPT 2015, maka buku panduan penyusunan kurikulum mengacu pada KKNI pun mengalami perubahan yang ditetapkan dalam Buku panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2016.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013 ditetapkan bahwa tugas pendidikan tinggi dalam menerapkan KKNI adalah: a. Setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang. b. Setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang berbunyi: Dalam menerapkan KKNI di bidang kurikulum pendidikan tinggi, direktorat jenderal mempunyai tugas dan fungsi menyususn kebijakan, regulasi, dan panduan  tentang penyusunan kurikulum program studi yang mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi. c. Setiap program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program studi.

 

Merdeka Belajar kampus Merdeka

Landasan lain dari integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat dibaca pada Pedoman kurikulum merdeka belajar kampus merdeka tahun 2020, yang kemudian dikembangkan dalam permendikbudristek dikti nomor 53 tentang penjaminan mutu, serta pedoman yang ditetapkan baik terkait penjaminan mutu maupun kurikulum merdeka belajar kampus merdeka  merupakan kebijakan pemerintah yang mendasari pendidikan formal seperti Pendidikan Tinggi keagamaan Kristen untuk merumuskan integrase pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen.

 

Alternatif meningkatkan kompetensi pelayan Kristen.

Warga gereja adalah input bagi Pendidikan Tinggi Teologi, secara khusus mereka yang telah mengikuti pendidikan warga gereja (non formal) yang bekerjasama dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi pendidikan warga gereja akan mengakibatkan kualitas input pendidikan tinggi keagamaan Kristen menjadi lebih baik. Pada sisi lain pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan kegiatan belajar yang ada pada pendidikan warga gereja dengan melakukan equivalensi terstruktur dan equivalensi tidak terstruktur sebagaimana juga dijelaskan dalam kurikulum merdeka dan merdeka belajar.

Pada sisi lain, pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu menyadari bahwa Gereja adalah pengguna lulusan pendidikan tinggi teologi, pada semua program studi, sehingga kemampuan pelayanan yang dikemangkan dalam gereja perlu menjadi mata kuliah pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi itu akan membuat pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat memahami kebutuhan gereja, sehingga kontribusi pendidikan tinggi teologi menjadi tepat sasaran.

Menurut penelitian saya sebagai Pembina pada banyak pendidikan tinggi teologi, baik ketika berada sebagai ketua bidang penelitian Perkumpulan Dosen dan Perguruan Tinggi Kristen (PDPTKI), Ketua Umum Asosiaso Program Studi Ilmua Keagamaan (APSIK), juga sebagai asesor lembaga akreditasi mandiri kependidikan (LAMDIK), serta pernah menjadi narasumber  perumusan kurikulum mengacu KKNI pada tahun 2017, terlihat jelas bahwa Perguruan Tinggi kegamaan Kristen belum mampu melakukan integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Salah satu persoalannya adalah pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada umumnya belum mampu merumuskan kurikulum mereka dengan baik, sehingga tidak memiliki rencana yang baik bukan hanya untuk luarannya, tapi juga seleksi input, dan kemudian tentunya mengakibatkan proses untuk mencapai profil lulusan tidak dapat dipetakan dengan baik.

Kurikulum adalah sebuah rencana, tanpa sebuah rencana yang baik tidak dapat diharapkan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu rencana yang perlu dirumuskan dengan baik adalah perumusan kurikulum dan pengembangan kurikulum untuk merepons perubahan.

 

Penutup

Integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen memiliki pijakan yang kuat, karena itu gereja dan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Kristen, perlu membangun kemitraan bukan hanya pada gereja-gereja sealiran dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen, tetapi juga kemitraan dengan gereja-gereja yang beragam aliran untuk bersama meningkatkan kompetensi tenaga pelayan Kristen.

 



[1]              Religion is the aspect of the depth in totality of human spirit. It means that the religious aspect points to what is ultimate, infinite, unconditional in man's spiritual life. Religion, in the largest and the most basic sense of the world, is ultimate concern. And ultimate concern is manifest in all creative functions of human spirit.Yonathan Wijaya Lo, “Iman Kristen dan Mandat Budaya,”dalam Benyamin F. Intan (ed), God's Fiery Challenger for Our Time (Jakarta: RCRS, 2007), h. 351.

[2] Gavin Heron & Pam Green Lister, “ Influence of National Qualifications Frameworks in Conceptualising Feedback to Students” Social Work Education,  Vol. 33 (4),  2014, hh.  420–434,

[3] Ibid.

[4] Irma Spûdytë, Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas, “Qualifications of Higher education in The National Qualifications Framework” Vocational Education: Research and reality ,2006, h. 23.

[5]    Scott Fernie, Nick Pilcher & Karen L. Smith, “The Scottish Credit and Qualifications Framework: what’s academic practice got to do with it?” European Journal of Education, Vol. 49, No. (2) 2013, h. 233.

[6]    Roslyn Cameron “Developing a qualifications structure for the finance services industry in Malaysia and beyond,” Australian Journal of Adult Learning, Volume 54, Nomor (3), 2014, h. 344.

[7] Aileen Ponto, “Qualifications transfer?” Frameworks in the UK: Do they support credit , International Journal of Continuing Education and Lifelong Learning, Volume 6 (1), 20

[8] Tom Karm ,”Learning from Successful Skills Development Systems: Lessons from Australia,” UNESCO IBE , 2014, h. 235.

[9] Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pasal 1 ayat 1. h. 3.

[10] Ibid.

Moderasi Beragama

 Moderasi beragama: Dialog damai agama yang tidak saling mengalihkan perlu jadi alternative   Memperhatikan banyaknya DEBATER yang disas...