Tuesday, November 22, 2022

Benarkah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Korban




 

Benarkah lesbian, gay, biseksual, dan transgender Korban

Pernyataan Pastoral MPH PGI tentang "lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah korban  perlu evaluasi serius untuk menjaga marwah PGI Sebagai wadah keesaan gereja-gereja di Indonesia.


Kajian Peryataan Pastoral PGI

Kajian terhadap pernyataan Pastoral PGI ini telah dilakukan oleh Jan S. Aritonang dalam bukunya, “Mereka Juga Citra Allah,”dengan pendekatan penelitian sejarah yang memaparkan keragaman pandangan terhadap LGBT. 

Evaluasi dari sisi perumusan kebijakan terhadap Pernyataan Pastoral PGI dengan pendekatan evaluasi kebijakan belum ditemukan, karena itu perlu dilakukan kajian yang mendalam terhadap kebijakan itu untuk memberikan rekomendasi terhadap PGI, apalagi PGI sendiri telah menyatakan kesediaan untuk menerima pandangan-pandangan yang berbeda terhadap Pernyataan Pastoral PGI itu. 


Kajian ini juga penting untuk gereja-gereja di bawah PGI dan juga di luar PGI serta negara dalam merespon Pernyataan Pastoral PGI itu secara benar. Kontroversi antarkelompok yang menolak orientasi seksual LGBT dan yang menerima orientasi seksual LGBT itu sendiri bukan persoalan baru, karena itu patut dievaluasi apakah perumusan kebijakan tersebut sudah dilakukan secara benar atau tidak, dan apakah isi dari Pernyataan Pastoral PGI itu berisi nilai-nilai universal yang diterima oleh gereja-gereja di bawah PGI.


Landasan Kebijakan Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT

Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT intinya berisi himbauan agar gereja, masyarakat dan negara di Indonesia melindungi hak hidup LGBT. Sebagai sebuah himbauan, pernyataan Pastoral PGI itu berisi argumen yang menjadi pijakan himbauan bahwa untuk melindungi hak hidup LGBT, gereja, masyarakat dan negara harus menerima orientasi seksual LGBT. Artinya, bukan hanya orientasi  seksual heteroseksual yang harus diterima, tetapi juga orientasi seksual yang homoseksual. 

Singkatnya, himbauan PGI itu juga berisi penerimaan terhadap adanya orientasi seksual yang beragam selain heteroseksual, antara lain lesbian (perempuan dengan perempuan), gay (laki-laki dengan laki-laki), biseksual (laki-laki dengan perempuan dan laki-laki, dan sebaliknya perempuan dengan laki-laki dan perempuan). 




Pernyataan ini dijelaskan dalam surat himbauannya telah melangkah lebih jauh dibandingkan  himbauan yang berasal dari rekomendasi Konsultasi Teologi Nasional 2013 dan Sidang Raya 2014, yang hanya berisi himbauan untuk tidak mendiskriminasikan LGBT dalam pelayanan dan hanya berisi ajakan untuk memperjuangkan hak-hak LGBT sejalan dengan perlindungan HAM. Rumusan konsultasi Teologi Nasional yang diadakan PGI tahun 2011 yang diutarakan juga pada Konsultasi Teologi Nasional 2013 dan Sidang Raya 2014 menjelaskan seperti berikut:


“Allah berpihak kepada kehidupan begi semua ciptaan-Nya, terutama mereka yang menderita, tersisih, dan tertindas. Dalam konteks Indonesia, respon kasih terhadap sesama harus diarahkan kepada orang miskin, pemeluk agama-agama yang tertindas, daerah-daerah tertinggal diperbatasan, pekerja migran, orang berkebutuhan khusus, korban bencana alam, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, LGBT (Lesbian, gay, biseksual, transjender/transseksual), kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dan penindasan, para korban perdagangan manusia, dan masih banyak lagi….


 


Pernyataan pastoral PGI terhadap gereja-gereja untuk menerima orientasi seksual yang beragam sebagaimana diyakini kaum LGBT itu juga berisi penjelasan bahwa bukan sebagai pemaksaan untuk menyeragamkan pemahaman tentang gereja-gereja anggota PGI, selanjutnya, dijelaskan bahwa PGI tetap terbuka terhadap pandangan-pandangan yang beragam:


 


“Setelah melalui studi dan pendalaman yang komprehensif, Sidang MPH-PGI pada 26-28 Mei 2016 sampai pada beberapa pertimbangan sebagaimana dokumen terlampir. Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai hal ini sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan untuk menyeragamkannya. Pertimbangan-pertimbangan ini justru sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. MPH-PGI akan sangat berterima kasih jika dari hasil pendalaman itu, gereja-gereja dapat memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH-PGI untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini. Mari kita doakan semoga Roh Tuhan menganugerahkan kebijaksanaan-Nya kepada kita dalam menggumuli masalah ini.”


 


Menyikapi keragaman pandangan tentang LGBT tersebut kemudian PGI memberikan pandangan yang menjadi dasar himbauan penerimaan terhadap orientasi seksual yang beragam. Himbauan PGI agar gereja, masyarakat dan negara menerima orientasi seksual yang beragam didasarkan pada dua hal, yakni Alkitab, dan kondisi LGBT yang dianggap menjadi korban karena penolakan orientasi seksual LGBT. Pernyataan Pastoral PGI ini dapat diklasifikasikan dalam argumentasi yang menyetujui LGBT, itulah sebabnya Pernyataan Pastoral PGI ini menimbulkan kontroversi hingga saat ini, secara khusus dari kelompok yang menolak LGBT. Argumentasi PGI itu didasarkan pada Argumentasi Alkitabiah dan argumentasi umum yang didasarkan pada alasan-alasan sosial dan moral.


Pada umumnya gereja-gereja Kristen di Indonesia menentang LGBT. Namun, dalam dukungannya terhadap LGBT, PGI membela orientasi seksual LGB berdasarkan Alkitab sebagaimana dilakukan oleh kelompok Kristen yang membela praktik-praktik LGBT. Alasannya adalah:


“Ketika kita menghadapi persoalan moral, salah satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci. Penafsiran terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis KitabSuci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks ituditulis.”


 


Menurut PGI mereka yang menentang praktik-praktik LGBT dengan mendasarkan Alkitab telah melakukan interpretasi Alkitab yang salah. Cara-cara penafsiran Alkitab yang benar menurut himbauan PGI dalam kaitan dengan dukungan  terhadap praktik-praktik  LGBT adalah seperti berikut:


“Berkenaan dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT,tetapi Alkitab tidak memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka. Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi

adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun,termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’. Pesan utama

ceritera penciptaan Adam dan Hawa (Kejadian 1:26-28; 2:18, 21-24), misalnya,adalah tentang cikal bakal terjadinya institusi keluarga dan bahwa manusia diberi tanggung jawab untuk memenuhi dan memelihara bumi. Cerita ini sama sekali tidak ditujukan untuk

menolak keberadaan kaum LGBT.”


Selanjutnya, kesalahan interpretasi Alkitab tersebut dijelaskan PGI demikian:


Ada beberapa teks lain dalam Alkitab yang diinterpretasikan secara kurang tepat sehingga ayat-ayat itu seolah menghakimi kaum LGBT. Padahal melalui interpretasi yang lebih akurat, kritikan Alkitab dalam ayat-ayat tersebut justru ditujukan pada obyek lain. Contohnya: Alkitab mengeritisi dengan sangat keras ibadah agama kesuburan (menyembah Baal dan Asyera, Hakim-hakim 3:7; 2 Raja-raja 23:4) oleh bangsa-bangsa tetangga Israel pada masa itu, yang mempraktekkan semburit bakti yaitu perilaku seksual sesama jenis sebagai bagian dari ibadah agama Baal itu (Ulangan 23:17-18); demikian juga terhadap penyembahan berhala Romawi di zaman Perjanjian Baru (Roma 1:23-32). Alkitab juga mengeritisi sikap xenofobia masyarakat Sodom terhadap orang asing dengan cara mempraktekkan eksploitasi seksual terhadap mereka yang sesama jenis. Tujuannya adalah mempermalukan mereka (Kejadian 19: 5-11 dan Hakim-hakim 19:1-30). Oleh karena itu bagian-bagian Alkitab ini tidak ditujukan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan kaum LGBT. 


Teks-teks Alkitab lainnya, yang sering dipakai menghakimi kaum LGBT adalah Imamat 18:22; 20:13; 1Kor 6:9-10; 1Tim 1:10). Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab itu adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif, yang dilakukan oleh siapa pun, atas dasar apa pun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapa pun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak.


    Selain mendasari pada sumber Alkitab, dukungan MPL-PGI terhadap LGBT juga didasarkan pada sumber umum, temuan bidang kedokteran dan psikiatri,  dan alasan sosial dan moral. Terkait dengan temuan bidang kedokteran dan psikiatri yang mendukung praktik-praktik LGBT, PGI menjelaskan seperti berikut:




“PGI mengingatkan agar kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri yang tidak lagi memasukkan orientasi seksual LGBT sebagai penyakit, sebagai penyimpangan mental (mental disorder) atau sebagai sebuah bentuk kejahatan. Pernyataan dari badan kesehatan dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia. 


    Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah penyakit spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang natural yang  sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus  kecenderungan  LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial. 


    Sulit membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given). Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat.” 

 

Konteks Lingkungan Kebijakan: LGBT sebagai korban

Disamping penafsiran yang salah terhadap Alkitab yang menimbulkan penolakan terhadap orientasi seksual LGBT serta temuan-temuan bidang kedokteran dan psikiatri, PGI juga menjelaskan bahwa penolakan terhadap orientasi seksual LGBT menjadi penyebab kelompok LGBT mengalami diskriminasi dan kekerasan oleh agama dan negara yang tidak menerima orientasi seksual LGBT, hal ini dijelaskan sebagai berikut:


“Selama ini kaum LGBT mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, dan spiritual karena stigmatisasi agama dan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan dan didiskiriminasi bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. 


Gereja bukan saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus berjuang agar kaum LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. 


Para pemangku negara ini harus menjamin agar hak-hak asasi dan martabat kaum LGBT dihormati! Kaum LGBT harus diberikan kesempatan hidup dalam keadilan dan perdamaian. Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga mereka yang LGBT berpotensi menciptakan gangguan kejiwaan, menciptakan penolakan terhadap diri sendiri (self-rejection) yang berakibat pada makin meningkatnya potensi bunuh diri di kalangan LGBT.”


Himbauan agar gereja, masyarakat dan negara menerima orientasi seksual LGBT dijelaskan sebagai berikut:

“Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkansebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah. Gereja, sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai keluarga Allah, harus belajar,menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai “Tubuh Kristus”. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan secara spiritual. PGI menghimbau gereja-gereja agar mempersiapkan dan melakukan bimbingan pastoral kepada keluarga agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. “


PGI menghimbau agar gereja-gereja, masyarakat dan negara menerima dan bahkan memperjuangkan hak-hak dan martabat kaum LGBT. Kebesaran kita sebagai sebuah bangsa yang beradab terlihat dari kemampuan kita menerima dan menolong mereka yang justru sedang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Meskipun demikian, PGI sadar bahwa gereja dan masyarakat Indonesia belum bisa menerima pernikahan sesama jenis. PGI bersama dengan warga gereja dan segenap warga masyarakat masih memerlukan dialog dan percakapan teologis yang mendalam menyangkut soal ini.


Dalam penutupnya PGI menyimpulkan bahwa LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBTmenjadi persoalan karena gereja, masyarakat dan negara  yang mempersoalkannya. Gereja dan masyarakat yang memberinya stigma negatif. 


Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang matang, rendah hati, rasional serta kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini. Kita harus menjauhkan diri dari kecenderungan menghakimi atau menyesatkan siapa pun. Sebaliknya, kita harus belajar membangun persekutuan bangsa dan persekutuan umat manusia yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan.


Reaksi Terhadap Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT

Pernyataan Pastoral MPL-PGI tentang LGBT menimbulkan kontroversi luas, baik dari dalam tubuh PGI itu sendiri dan juga dari gereja-gereja di luar PGI dan kelompok-kelompok masyarakat serta pemerintah. Ketua Umum Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), demikian juga Lembaga Kristen lain, bahakan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) tidak boleh masuk kampus.


Mangapul Sagala, Pengurus Harian Nasional Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas), yang juga seorang ahli biblika menjelaskan, bahwa Pernyataan Pastoral MPL PGI tentang LGBT menurutnya berisi upaya untuk “menggiring dan menghimbau umat agar menerima mereka yang terlibat dalam gaya hidup LGBT sebagai gaya hidup yang tidak bermasalah, tidak berdosa.”Selanjutnya Sagala menilai bahwa MPH-PGI telah salah dalam memahami dan menafsirkan Alkitab. Tokoh Perkantas yang tersohor di Indonesia ini sebagaimana di kutip Jan S. Aritonang dalam buku “Mereka Juga Citra Allah”menjelaskan:

“Dalam rangka menyakinkan pembacanya,…dikutip ayat-ayat firman Tuhan. Menarik ketika membaca pernyataan, “Penafsiran terhadap teks Kitab Suci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis”. Ayat-ayat Alkitab yang dikutip pada kedua butir itu dipelintir dan diserongkan demi membenarkan LGBT. Pada satu sisi…, dikutif Kej. 1:26-28; 2:18, 21-24, dan menuduh bahwa mereka yang menolak LGBT telah menafsir ayat itu secara salah. Menurut mereka, ayat itu, “tidak ditujukan menolak keberadaan kaum LGBT”, tetapi menjelaskan “cikal bakal terjadinya institusi keluarga”. Bukankah penafsiran itu telah diserongkan dari makna penulis Alkitab? Benar, ayat itu bicara mengenai cikal bakal keluarga. Tetapi pertanyaannya, siapa dengan siapa? Bukan dengan binatang, meskipun kisah binatang dibahas pada ayat sebelumnya (Kis 1:25). Di sna dijelaskan bahwa institusi keluarga pertama itu adalah laki-laki dan perempuan. Lalu pada sisi lain,…dikutip ayat-ayat dimana alkitab mengkritisi sangat keras ibadah agama kesuburan Baal dan Asyera yang mempraktikkan perilaku seksual sesame jenis yang jahat di mata Tuhan. (Hak. 3:7; 2Raj. 23:4;U;. 23:17-18).Tidak luput, dikutip juga peristiwa yang terkenal, Sodom (Kej, 19:5-11). Namun sangat aneh, ketika mengutip ayat-ayat tersebut, penulis SP (Surat Penggembalaan PGI) kembali memberikan penafsiran berbeda, bahwa itu bukan bicara soal penolakan LGBT. Padahal, mereka dengan jelas mengakui bahwa itu adalah praktik-praktik negatifyang dilakukan oleh kepercayaan kafir!” 


Penolakan gereja-gereja terhadap orientasi seksual LGBT sebagaimana dijelaskan Sagala didasarkan pada Alkitab, dan dengan interpretasi Alkitab yang bertanggung jawab. Penolakan yang bertanggung jawab terhadap penolakan yang bersifat moral etik terhadap LGBT itu sejak lama telah diutarakan oleh Norman L Geisler demikian:


“Dosa Sodom  adalah seksualitas. Sementara benarlah kata Ibrani mengenal (yadha) tidak perlu berarti “berhubungan seks denga,”namun dalam konteks bagian mengenai Sodom dan Gomora dengan jelas kata ini berarti demikian. Hal ini jelas karena beberapa alasan. Sepuluh dari dua belas kata ini dipakai dalam kitab Kejadian, di mana kata ini menunjuk pada hubungan seksual (lihat Kejadian 4:1,25). Dalam pasal itu juga kata ini berarti “mengenal secara seksual,”ketika Lot menunjuk pada kedua anak perempuannya sebagai yang belum pernah “dijamah” seorang laki-laki (Kejadian 19:8). Arti sebuah kata yang ditemukan oleh konteks di mana kata itu digunakan dan konteksnya di sini secara pasti adalah seksual, seperti ditunjukkan oleh referensi kejahatan kota tersebut (pasal 18) dan fakta bahwa para perawan ditawarkan untuk meredakan nafsu seksual mereka (19:8). Dalam konteks ini, “mengenal” tidak begitu saja berarti “berkenalan dengan,” karena hal itu sama dengan “sesuatu yang jahat” (ayat 7). Mengapa menawarkan anak perempuan yang masih perawan untuk meredakan emosi mereka jika maksud mereka bukanlah seksual? Jika seorang laki-laki meminta untuk “mengenal” anak-anak perempuan yang masih perawan, semua orang akan yakin, yang dimaksudkan mereka berkaitan dengan maksud-maksud seksual mereka.”


 


Menurut mereka yang menolak orientasi seksual LGBT, Orientasi seksual LGBT sebagaimana sudah terjadi di Sodom adalah dosa. Jadi, Alkitab hanya menerima orientasi heteroseksual, laki-laki dan perempuan. Orientasi sesama jenis maupun biseksual dinyatakan oleh Alkitab adalah dosa. Dosa seksual dalam hal ini harus dipahami sebagai kejahatan kepada Allah, atau pelanggaran hukum Allah. Gereja tidak boleh melakukan kekerasan kepada mereka yang menerima orientasi seksual LGBT, sebaliknya gereja berhak untuk membimbing atau mengingatkan kaum LGBT untuk kembali kepada kebenaran.


Himbauan MPL PGI agar gereja, masyarakat dan negara menerima orientasi seksual yang didasarkan temuan medis dan psikiatri menurut Andik Wijaya, medical sexologist, pendiri Yada Institute adalah tidak berdasar, Ia menjelaskan:


“Dari sisi medis, tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa LGBT adalah kondisi yang diterima sejak lahir. LGBT adalah perilaku seksual yang dihasilkan oleh dinamika psiko-sosio-spiritual seseorang yang dimulai sejak masa tumbuh kembangnya sebagai manusia, itu berarti proses parenting, lingkungan sosial, pembinaan rohani berperan sangat penting  dalam mencegah terjadinya LGBT.” 


 


Himbauan MPL-PGI agar gereja, masyarakat dan negara menerima orientasi seksual LGBT berdasarkan hasil-hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri adalah tidak tepat dari sudut pandang agama-agama penyataan, yang umumnya menolak orientasi seksual LGBT, secara khusus agama Kristen yang mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Mengenai hal ini William C Davis menjelaskan seperti demikian,” Otoritas gereja hanya berlaku sejauh gereja itu konsisten dengan Firman Allah. Standar ultimat untuk mempertimbangkan semua klaim pengetahuan adalah Firman Allah yang mengotentikasikan dirinya sendiri (self-authenticating) 


Mengenai bahaya mengikuti temuan ilmu pengetahuan yang tidak pasti untuk menolak kebenaran Alkitab, James Montgomery Boice menjelaskan sebagai berikut:


Sepintas cara pendekatan kepada pengetahuan melalui penggunaan rasio yang dianggap netral ini tampak menggiurkan, karena pendekatan ini produktif-diindikasikan oleh kemajuan teknis pada masa kita saat ini. Tetapi pendekatan itu bukanlah tanpa masalah. Salah satunya adalah bahwa pengetahuan yang dihasilkan sangat impersonal dan, seperti yang beberapa orang katakan, sangat men-depersonalisasi (meniadakan unsur kepribadian). Dalam pendekatan ini, realitas menjadi suatu perihal (suatu persamaan , hukum, atau lebih buruk lagi, sekadar data), manusia juga menjadi perihal-perihal, dengan akibat yang tidak dapat dielakkan bahwa kita dengan demikian dapat dimanipulasi seperti bahan mentah lainnya untuk tujuan apapun. 


Sejalan dengan Montgomery Boice, James Frame menegaskan, Bagi orang Kristen, isi Kitab Suci harus berfungsi sebagai presuposisi yang tertinggi. Keyakinan kita tentang Kitab Suci mungkin dikoreksi oleh keyakinan lain tentang Kitab Suci, tetapi relative terhadap kumpulan informasi di luar Alkitab yang kita miliki. 


Agama-agama penyataan yang menolak orientasi seksual LGBT mengakui bahwa kebenaran Allah sebagai pencipta dapat diketahui oleh manusia karena Allah sendiri yang menyatakan diri-Nya, demikian juga manusia sebagai ciptaan mengetahui hakikat dirinya sebagai ciptaan secara sempurna melalui penyataan diri Allah. Itulah sebabnya teologi ilmiah berbeda dengan usaha manusia mencari kebenaran melalui metode ilmiah. Namun, kebenaran Allah yang dinyatakan tidak harus dipahami bertentangan dengan pencarian manusia terhadap kebenaran melalui metode ilmiah. Pencarian kebenaran Allah melalui metode ilmiah memang tidak mungkin, karena Allah adalah transenden, metode ilmiah hanya mungkin digunakan terhadap usaha pencarian kebenaran yang dapat dijangkau oleh pengalaman dan akal budi manusia. Sebaliknya, mengabaikan pengetahuan kebenaran melalui penyataan dengan pengetahuan yang didasarkan metode-metode ilmiah sama saja dengan mengatakan bahwa sebuah kebenaran hanya mungkin didapatkan dengan metode-metode ilmiah.


Kepercayaan pada penyataan Allah, yakni kebenaran yang disingkapkan Allah sendiri, dan bukan pencarian manusia melalui rasio dan pengalaman dapat ditemukan dalam semua agama. Tepatlah apa yang dikatakan Bavinck, “konsep tentang penyataan adalah sebuah korelasi yang niscaya dari semua agama. Karena kepercayaan pada penyataan dapat ditemukan dalam semua agama, penyataan dan agama berdiri atau runtuh bersama-sama… jawaban atas tiga pertanyaan utama agama- Allah, manusia, keselamatan membutuhkan penyataan.” Lebih jauh Bavinck menerangkan, “Kesalahan utama di sini adalah komitmen kepada metode ilmiah yang netral secara religius, sebuah sasaran yang tidak mungkin. Di pihak lain, Penelitian ilmiah yang berakar dalam iman Kristen memberi hasil-hasil yang kompatibel dengan Kitab Suci dan sains, jadi konsep yang benar tentang penyataan hanya dapat diderivasi dari penyataan itu sendiri.”


Konsep yang benar tentang penyataan hanya dapat diderivasi dari penyataan itu sendiri. Jika tidak ada penyataan yang pernah terjadi, semua refleksi tentang konsep tersebut sia-sia. Akan tetapi, jika penyataan adalah sebuah fakta, maka penyataan itu-dan hanya penyataan itu-yang harus memberikan konsep dan mengindikasikan kepada kita kriteria yang harus kita terapkan dalam studi kita tentang agama-agama dan penyataan-penyataan. Rujukan kepada penyataan, yang kita jumpai dalam semua agama, tidak dapat menjadi sebuah argumen agar orang-orang Kristen melepaskan keyakinan mereka berkenaan dengan kebenaran agama Kristen, sebagaimana orang-orang berpikiran logis atau yang etis atau estetis tidak akan melepaskan keyakinan mereka mengenai hukum-hukum pemikiran, moralitas, atau keindahan hanya karena ada ribuan orang yang mengatakan bahwa kebenaran, kebajikan, dan keindahan hanyalah konsep-konsep relatif, lalu mencoba menemukan kriterianya dalam manusia individual itu sendiri. Hal ini berlaku dalam kehidupan pribadi orang-orang Kristen dan juga pengejaran ilmiah mereka. Kaum muslim. Buddhis, dan lain-lainya , tentu akan berpikir dengan cara yang sama, dan dalam studi agama-agama, mereka akan mengikuti kepercayaan mereka. Tetapi hal itu tetap menjadi urusan mereka. Dalam hal ini, setiap orang paling baik sepenuhnya meyakini pikirannya sendiri. Perpecahan dalam hidup adalah fakta yang tidak dapat diputar balik, dan gelombang efeknya juga sampai wilayah sains. Kontroversi terhadap orientasi seksual LGBT meneguhkan bahwa orientasi seksual LGBT bukan nilai universal sehingga tidak bisa dipaksakan untuk diterima oleh agama, masyarakat dan negara.


Evaluasi Proses Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT: Kebijakan Elitis

Rumusan Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT sesungguhnya merupakan kebijakan elite PGI, dan tidak memperhatikan keragaman pandangan yang terdapat dalam gereja-gereja di bawah PGI. Argumen yang mengatakan bahwa PGI terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda sesungguhnya sulit dipahami, karena dalam tubuh PGI sendiri terbukti terdapat keragaman pandangan terhadap orientasi seksual LGBT. Ketika PGI membuat rumusan Pernyataan Pastoral yang berpihak pada mereka yang mendukung LGBT, jelas membuktikan bahwa rumusan itu adalah rumusan elite PGI, artinya, Pernyataan Pastoral PGI merupakan keberpihakan pada kelompok-kelompok yang mendukung orientasi sesksual LGBT.


Lebih jauh lagi juga dijelaskan bahwa telah ada kajian-kajian terkait dengan LGBT   yang dalam bentuk rekomendasi Konsultasi Teologi Nasional 2013 dan sidang raya 2014,rekomendasi itu didasarkan pada rumusan keprihatinan yang direkomendasikan Konsultasi Teologi Nasional 2011, hasil kajian sebelumnya dijelaskan hanya berisi himbauan untuk tidak mendeskriminasikan LGBT dalam pelayanan dan hanya berisi ajakan untuk memperjuangkan hak-hak LGBT sejalan dengan perlindungan HAM. Tetapi dalam Pernyataan Pastoral PGI 2016, dikatakan elite PGI bergerak lebih jauh yakni, menghimbau penerimaan terhadap orientasi seksual LGBT, himbauan itu bukan hanya ditujukan pada gereja-gereja di bawah PGI secara khusus, tetapi juga pada masyarakat dan negara. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa rumusan Pernyataan Pastoral PGI 2016 merupakan rumusan elite. Dasar argumentasi yang digunakan juga berpihak pada pandangan kelompok, individu di PGI yang mendukung orientasi seksual LGBT  dan mengabaikan pandangan kelompok yang menolak LGBT.


Proses perumusan Pernyataan Pastoral PGI yang bersifar elitis itu secara jelas diungkapkan dalam pernyataan yang mengatakan, bahwa “salah satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci.” Selanjutnya, elite PGI menjelaskan,  “Penafsiran terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis.” Selanjutnya PGI menjelaskan, Kesalahan gereja-gereja yang tidak menerima orientasi seksual LGBT menurut PGI karena memberikan penilaian moral-etik terhadap LGBT yang tidak berlandaskan Alkitab. Menurut PGI Alkitab tidak pernah mengeritisi orientasi seksual, dan yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan siapa pun. Jadi, MPH-PGI  sebagai elite kekuasaan telah memaksakan keyakinan mereka untuk mendukung orientasi seksual LGBT, tanpa menghiraukan penolakan dari gereja-gereja yang tidak menerima orientasi seksual LGBT. 


Proses perumusan pernyataan Pastoral MPL-PGI terindikasi mengabaikan apa yang Wayne Parson jelaskan tentang ruang publik, ruang aktivitas manusia yang dipandang perlu diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya aturan bersama yang dihasilkan dari konsensus bersama. Kebijakan publik yang unggul hanya mungkin hadir jika semua elemen publik yang menjadi sasaran kebijakan dilibatkan dan penyusun kebijakan memiliki pemahaman ruang publik dan privat yang jelas. Karena itu, perumusan kebijakan publik yang tidak dilakukan dengan hati-hati bukannya memberikan jalan keluar terhadap persoalan publik, sebaliknya akan menimbulkan masalah baru. Dengan demikian jelaslah mengapa Pernyataan Pastoral PGI menimbulkan kontroversi dalam kehidupan gereja masyarakat dan negara, yaitu karena kebijakan tersebut dirumuskan secara tidak hati-hati, dan tidak melibatkan gereja-gereja nggota PGI secara menyeluruh..



Evaluasi Rumusan Pernyataan pastoral PGI

Rumusan Pernyataan Pastoral MPL-PGI menimbulkan kontroversi karena proses perumusan kebijakan tersebut bersifat elitis, akibatnya, rumusan Pernyataan Pastoral MPL-PGI tidak berhasil menjadi solusi bagi persoalan yang dihadapi gereja-gereja PGI terkait LGBT.  Karena proses perumusan tersebut tidak melebatkan semua stakeholder PGI, maka rumusan yang dihasilkan berisi nilai-nilai privat kelompok tertentu yang kemudian mendeskriminasikan kelompok lain, yakni mereka yang menolak orientasi seksual LGBT.


Penerimaan terhadap orientasi seksual LGBT, demikian juga penolakan terhadap orientasi seksual LGBT adalah domain privat agama-agama. Menjadikan nilai-nilai privat menjadi nilai-nilai publik adalah tidak mungkin. Menetapkan rumusan kebijakan publik dengan nilai-nilai privat akan menghadirkan kebijakan diskriminatif. Harus diakui bahwa batasan mana yang menjadi nilai-nilai privat dan mana yang menjadi nilai-nilai publik tidaklah sederhana, dalam hal ini membuat sebuah rumusan sebuah nilai-nilai publik yang akan menaungi kehidupan publik yang antidiskriminatif membutuhkan kesabaran. Batasan mana domain privat dan domain publik sesungguhnya merupakan tema abadi yang terus menjadi perdebatan hingga saat ini. Saxonhouse tepat ketika menjelaskan bahwa tidak ada konsepsi yang seragam tentang hubungan antara kedua ruang tersebut. 


Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa sebuah Pernyataan Pastoral PGI, yang adalah sebuah kebijakan PGI, sejatinya menjadi jawaban bagi persoalan gereja-gereja yang bernaung dalam wadah PGI, demikian juga gereja-gereja di Indonesia. PGI mestinya menyadari bahwa kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi sebagaimana ditegaskan Anderson, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku serampangan. Kebijakan publik bukan sesuatu yang berlaku begitu saja, melainkan direncanakan oleh aktor-aktor PGI yang terlibat dalam wadah kepengurusan PGI. Kebijakan PGI harusnya merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat PGI dan bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. PGI juga harus memahami bahwa menghimbau negara menerima orientasi seksual LGBT melalui sebuah kebijakan publik yang diskriminatif adalah tidak tepat.


 


Evaluasi Lingkungan Kebijakan Pernyataan pastoral MPL-PGI 

Pandangan PGI yang menyatakan bahwa penolakan terhadap orientasi seksual LGBT secara langsung merupakan stigmatisasi agama terhadap LGBT, dan juga perilaku kekerasan terhadap kelompok LGBT tidak memiliki pijakan yang kuat. MPL-PGI terindikasi bukan hanya tidak memahami konteks anggota gereja-gereja PGI, tetapi juga konteks agama-agama di Indonesia yang sangat beragam. Memaksakan untuk menerima orientasi LGBT dengan menggunakan tangan negara bukan hanya menimbulkan kontroversi di dalam tubuh PGI sendiri, tetapi juga antar agama di Indonesia.


Penolakan gereja terhadap orientasi seksual LGBT yang didasarkan pada Alkitab, secara khusus datang dari kelompok gereja yang mengakui bahwa manusia dapat mengetahu kebenaran karena Allah yang mengatakan kepada manusia. Gereja-gereja yang mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, ukuran tertinggi untuk menentukan kebenaran tidak akan menerima bahwa Alkitab yang adalah kebenaran Allah itu diukur dengan standar manusia yang dihasilkan temuan empiris yang spekulatif. Elite MPL-PGI boleh saja mempercayai temuan medis dan psikiatri absolut, tetapi pernyataan itu tentu tidak dapat dipaksakan terhadap semua gereja, apalagi dengan memakai tangan negara. Nilai-nilai privat agama tidak boleh diintervensi oleh negara, demikian juga agama tidak dapat memaksakan kebenarannya dengan menggunakan tangan negara.


Penolakan gereja terhadap orientasi seksual LGBT juga bukan perilaku kekerasan terhadap LGBT, memiliki pandangan berbeda tidak berarti melakukan kekersan, sebaliknya memaksakan pandangan kelompok tertentu kepada semua, justru merupakan kekerasan.  Gereja tentu saja harus menghargai hak hidup setiap manusia, termasuk kaum LGBT, gereja tidak boleh mengucilkan dan mendiskriminasikan LGBT, sebaliknya gereja harus menganggap LGBT sebagai sesama manusia, dan membawa LGBT untuk hidup dalam ketaatan pada Firman Tuhan. Gereja tidak menghakimi LGBT, karena yang akan menjadi hakim adalah Tuhan.Gereja tidak menghukum LGBT, sebaliknya gereja berusaha mengembalikan LGBT dan siapa pun yang tidak menaati Tuhan untuk kembali kepada Tuhan, dan itu untuk kebaikan kaum  LGBT . Tindakan mengembalikan LGBT pada kebenaran dengan menyaksikan keyakinan yang didasarkan Alkitab bukanlah tindakan kekerasan terhadap LGBT.


Kesimpulan

Berdasarkan evaluasi terhadap Pernyataan Pastoral PGI 2016 dapat disimpulkan bahwa himbauan PGI agar gereja, masyarakat dan negara menerima orientasi seksual LGBT adalah tidak tepat karena proses perumusan kebijakan tersebut tidak melibatkan semua stakeholder PGI, dan terindikasi lebih berpihak pada satu kelompok tertentu. Yakni mereka yang menerima orientasi seksual LGBT.


Isi dari rumusan pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT ditemukan tidak berlandaskan pada interpretasi Alkitab sebagaimana dipercaya agama-agama penyataan, sebaliknya lebih kepada kelompok yang mendukung orientasi seksual meski menggunakan Alkitab yang sama, namun dengan sudut pandang berbeda. Isi rumusan Pernyataan Pastoral MPL-PGI tentang LGBT Tahun 2016 terindikasi bukan merupakan alternative yang tepat sebagai jawaban terhadap persoalan gereja-gereja di bawah PGI, demikian juga dalam hubungan agama agama, agama dan negara.Kontroversi yang timbul baik dari dalam tubuh PGI sendiri maupun dari luar PGI menunjukkan bahwa rumusan kebijakan pernyataan Pastoral PGI itu bukan berisi nilai-nilai public yang menjadi solusi perjumpaan antar gereja dan gereja dengan agama-agama lain, serta gereja dan negara.


 Berdasarkan hasil evaluasi konteks lingkungan kebijakan juga ditemukan bahwa MPL-PGI kurang memahami konteks gereja-gereja dibawah PGI yang terbelah setidaknya menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menolak orientasi seksual LGBT dan kelompok yang menerima orientasi seksual LGBT. Kontroversi dari anggota-anggota gereja PGI yang menolak menerima orientasi seksual LGBT adalah bukti kuranya pemahaman MPL-PGI terhadap lingkungan gereja-gereja di bawah PGI.  Kurangnya pemahaman konteks lingkungan kebijakan terlihat pada kurangnya pemahaman PGI terhadap keragaman pandangan terhadap temuan bidang kedokteran dan psikiatri yang menjadi dasar untuk menerima orientasi seksual LGBT. Selanjutnya, alasan bahwa penolakan orientasi seksual menjadi penyebab diskriminasi terhadap LGBT juga tidak berpijak pada argumentasi yang kuat, karena gereja dan agama-agama menentang kekerasan terhadap siapa pun. Memaksakan orientasi seksual LGBT sebagai nilai universal yang harus diterima semua agama-agama juga tidak tepat. Apalagi, menggunakan tangan pemerintah untuk memaksakan orientasi seksual LGBT yang harus diterima oleh keluarga, gereja, masyarakat dan negara adalah sama saja dengan mengkriminalisasikan agama-agama yang menolak orientasi seksual LGBT.


Rekomendasi

Rumusan Pernyataan pastoral MPL-PGI 2016 tentang LGBT harus ditarik oleh PGI karena terbukti telah menimbulkan kontroversi dalam kehidupan bersama-gereja-gereja di Indonesia. Rumusan tersebut tidak berisi nilai-nilai publik yang melindungi semua gereja-deraja dibawah PGI, dan juga agama-agama di Indonesia.  PGI seharusnya fokus pada bagaimana mendorong gereja-gereja melayanai kaum LGBT dan tidak melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT baik dalam keluarga, gereja dan masyarakat. 

https://www.binsarhutabarat.com/2022/11/benarkah-lesbian-gay-biseksual-dan.html

NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK

 SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...