Wednesday, October 7, 2020

Kebijakan Publik Agama








Kebijakan Publik Agama


Makna kata "kebijakan" harus dipahami dalam konteks historis, makna kebijakan yang senantiasa berubah menunjukkan perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan.  Pada awalnya istilah “kebijakan” atau pokok-pokok platform menjadi rasionalitas politik.


 Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan dalam hal ini mengemukakan apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Artinya, sebuah kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi. Selanjutnya, dengan berkembangnya sistem partai dan pemilu modern di masyarakat industri, diskursus kebijakan kemudian menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan “politik” dan persaingan elite politik. Politisi diharapkan punya “kebijakan” sebagaimana halnya sebuah toko mesti mempunyai barang dagangan. Kebijakan merupakan “mata uang” penting dalam perdagangan demokratik. 

 

Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau “prinsip” kemudian berkembang menjadi istilah dalam konotasi netral seperti dinyatakan oleh Lasswell: “Kata 'kebijakan' (policy) umumya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat.” Jadi Lasswell tidak membatasi penggunaan istilah kebijakan hanya dalam area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna “keberpihakan” dan korupsi.” 

 

Menurut Tilaar dan Nugroho istilah kebijakan publik mempunyai banyak pemahaman teoritis, yang dirumuskannya demikian:

 

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.

 

Berdasarkan definisi di atas jelaslah bawa kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Thomas R. Dye merangkum dari definisi-definisi mengenai kebijakan publik demikian: “Public policy is whatever governments choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintahn untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan). Bagi Dye pusat perhatian kebijakan publik  tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang tidak dilakukan oleh pemerintah.  

 

Berdasarkan definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi sebagaimana ditegaskan Anderson, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan,  bukan perilaku serampangan. Kebijakan publik bukan sesuatu yang berlaku begitu saja, melainkan direncanakan oleh aktor-aktor politik yang terlibat dalam sistem politik. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan  undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Dan kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur persoalan-persoalan publik misalnya terkait dengan kehidupan beragama, demikian juga perihal pendirian rumah ibadah. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Secara positif, kebijakan, mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil keputusan tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang  positif , kebijakan publik didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif.

 

Kebijakan publik ini adalah jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mencapai apa yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Sedang dalam bidang kehidupan beragama, kebijakan publik adalah pedoman bagaimana negara mencapai apa yang diperintahkan Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama. (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pemerintah mendapatkan mandat rakyat untuk memberikan proteksi terhadap kebebasan beragama, kebebasan beribadat baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam sebuah rumah ibadat.

 

Kebijakan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan secara tegas ditetapkan dalam UUD RI. Kebijakan tersebut mesti menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan di bawahnya. Kebijakan perlindungan kebebasan beragama secara langsung mensyaratkan adanya hak kebebasan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. Hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi (derogable right). Pembatasan tersebut menurut Deklarasi Universal HAM pasal 18 ayat (2) berbunyi seperti berikut:

 

Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan  seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebsan mendasar  orang lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara khusus menjamin adanya perlindungan atas rumah-rumah ibadah yang digunakan oleh warga. Hak untuk membangun rumah ibadah merupakan perwujudan dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebagaimana hak untuk menggunakan dan memasang simbol agama/keyakinan, dan menjalankan hari libur keagamaan/keyakinan.

 

Selain dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ada dua dokumen lain yang dideklarasikan PBB, dan dokumen-dokumen tersebut menyediakan standar-standar internasional yang diakui secara luas, serta dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM.

 

Pertama adalah dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Praktik Intolernasi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declration on elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief).  Pasal 2 Deklarasi ini mewajibkan negara untuk mengambil tindakan efektif dalam mencegah atau menghapus praktik diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Bahkan negara juga memiliki kewajiban untuk membatalkan setiap produk perundang-undangan yang berisi pesan diskriminasi.

 

Kedua, dokumen Deklarasi untuk Melindungi Hak-Hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). Pasal 4 ayat (2) Deklarasi tersebut menyatakan negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi individu-individu minoritas agar mereka bisa menjalankan ritual agamanya dengan bebas. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk menciptakan iklim kondusif agar individu-individu minoritas dapat menjalankan ibadahnya dengan baik.  


https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/kebijakan-publik-agama.html

Tuesday, October 6, 2020

Empat Tanggung Jawab Penerima Kabar baik


 



 Empat Tanggung Jawab Penerima Kabar baik

Tanggung jawab setiap orang yang mendapatkan kabar baik dari Allah setidaknya ada empat hal, yaitu Percaya kepada kebenaran Allah, Menjaga firman Allah itu dalam hidup mereka, mempraktekkan kebenaran firman Allah dan membagikan kebenaran itu kepada semua orang.

 

Belajar firman Allah harus juga secara bersamaan hidup dalam kebenaran firman Allah itu. Jika kita percaya pada firman Allah, maka firman Allah itu akan merubah kehidupan kita untuk menjadi seperti Kristus. Selanjutnya kita harus menjaga Firman itu dan mempraktekkannya dalam hidup kita supaya kita dapat membagikan firman Allah itu kepada orang lain. Kita tidak dapat membagikan firman Allah kepada orang lain, jika kita tidak percaya kepada firman Allah. Jika kita membagika firman Allah, namun kita tidak percaya, bukankah itu sama saja dengan pendusta? Cara terbaik membagikan firman Allah adalah dengan hidup dalam kebenaran firman Allah.

 

Firman Allah itu hidup, Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sum-sum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibrani 4:12).

 

Kita mesti mengijinkan firman itu bergerak secara bebas, Paulus disini menunjuk kepada Maz,ur 147: 15, Ia menyampaikan perintah-Nya ke bumi, dengan segera firman-Nya berlari.”Pelayan Allah bisa dibelenggu, tetapi firman Allah tidak dapat dibelenggu ( 2 Tim2:9, Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu.

Ketika kita mempraktekkan kebenaran dan berdoa untuk pekayanan kebenaran, firman Allah akan menyelesaikan tujuan Allah untuk dunia ini.

 

Firman Allah dimuliakan dalam kehidupan mereka yang membagi firman itu, dan mereka yang menerimanya.  (Kisah 13:48-49)

 

Karena itu firman Allah harus diberitakan dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Hanya dengan firman Allah jemaat dapat bertumbuh dengan baik, dan hidup bersama dengan baik. Karena itu Pemberitaan firman Allah penting bukan hanya dalam kehidupan jemaat tapi juga untuk semua orang agar dapat hidup dalam kebenaran.

 

Pemberitan firman Allah selalu saja mendapatkan perlawanan. Perlawanan dari mereka yang menutup ibadah-ibadah kristen dengan menggunakan cara-cara premanisme, sesungguhnya adalah pekerjaan Iblis, karena iblis tidak senang dengan pemberitaan firman Allah. Paulus kerap menghadapi perlawanan dari mereka yang tidak menerima firman Allah.itulah sebabnya Paulus meminta jemaat di Tesalonika mendoakannya, agar sebagaimana firman Allah diterima di Tesalonika, demikina juga dimana-mana Paulus pemberiakan firman Allah, mereka yang mendengarnya dapat menerima firman Allah.

 

Pemberitaan firman Allah bukan hanya tanggung jawab pendeta, tetapi tanggung jawab semua anggota jemaat. Karena semua anggota jemaat adalah murid Krstus yang wajib melaksanakan mandat Injil.

 

Dengan demikian jelaslah bahwa mereka yang menerima firman Allah yang percaya kepada kebenaran Allah karena karunia Roh Kudus akan terus berusaha memelihara firman Allah itu dalam hidup mereka, dan kemudian hidup atau mempraktekkan kebenaran Allah. Untuk kemudian memberitakannya kepada orang lain.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/empat-tanggung-jawab-penerima-kabar-baik.html

 

Tuesday, September 8, 2020

Penelitian Teologi Ilmiah








  Penelitian Teologi Ilmiah

Perbedaan yang terjadi dalam rumusan teologi ilmiah sejatinya menolong orang percaya untuk memahami perlunya saling belajar satu dengan yang lain untuk makin mengenal Allah secara benar, dan bukannya saling mengklaim doktrinnya yang paling benar. 


Karena teologi ilmiah yang bersumber dari Alkitab dubatasi oleh peneliti, yaitu manusia yang terbatas, dan validasi dari kebenaran-kebenaran iman itu adalah dari Roh Kudus. Jadi berbagi pengetahuan adalah jalan bijaksana dibandingnkan mengklaim diri sebagai pemilik segala kebenaran.

 

Pengenalan tentang Allah mungkin karena Allah yang transenden bersedia menyatakan diri-Nya. Iman Kepada Allah yang telah menyatakan diri yang tercatat dalam Alkitab, memungkinkan Allah yang tidak dapat dijangkau dengan panca indra dikenal oleh manusia. Karena Allah berinisiatif menyatakan Diri-Nya.

 

Firman Tuhan dicatat dalam Alkitab, sehingga dapat dikatakan Alkitab adalah objek dari teologi. Jadi untuk mengetahui siapa Allah, karya Allah, rencana dan kehendak Allah untuk manusia, dapat dibaca dan digali dari dalam Alkitab.

 

Setidaknya ada dua pemahaman mengenai penyataan Allah yang dicatat dalam Alkitab. Pertama yang mengatakan bahwa Tuhan hanya menyingkapkan fakta atau data-data tentang Allah, dan dari data-data atau informasi dalam Alkitab yang digali dari dalam Alkitab itu, maka manusia menafsirkan apa maksud Allah dengan fakta, data atau informasi  dari Alkitab.

 

Pandangan kedua mengatakan bahwa Tuhan tidak hanya menyatakan tentang data-data atau fakta-fakta tentang dirinya dalam Alkitab, tetapi juga menjelaskan makna fakta-fakta itu menurut Allah.  Seperti misalnya, Injil Sinopitik (Matius, Markus, Lukas) menjelaksan data-data atau fakta-fakta Injili. Kemudian Yohanes dan kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru menjelaskan fakta Injil dalam Injil Sinoptik. Jadi manusia hanya menggali saja dari Alkitab. Namun, karena informasi yang dikumpulkan terbatas maak pembaca Alkitab akan menafsirkan berdasarkan data atau informasi Alkitab. Maka sebenarnya semua rumusan doktrin yang merupakan hasil penggalian alkitab itu relatif.

 

Berdasarkan iman kepada Allah yang menyatakan diri itu Manusia menggunakan akal budinya untuk menggali isi Alkitab untuk mengetahui tentang Allah, Karya, dan kehendaknya sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Harus diakui usaha manusia mengumpulkan data-data dalam Alkitab itu terbatas, maka sejatinya tidak ada orang atau teolog yang menafsirkan Alkitab dapat mengatakan penafsirannya paling benar, apalagi absolud. Jadi doktrin, atau dogma semua itu harus dibawah Alkitab. Pertanyaannya kemudian apa jaminan seorang yang menggali isi Alkitab itu telah menafsirkannya dengan benar.

 

Pertama adalah sistem penafsiran yang diwarisi gereja, dan juga rumusan doktrin atau dogma gereja. Artinya penafsiran kita tentang suatu bagian Alkitab harus dibandingkan dengan hasil rumusan doktrin atau dogma yang dirumuskan tokoh-tokoh gereja sebelumnya. Tapi karena penafsiran tokoh gereja sebelumnya juga tidak sempurna atau dibawah Alkitab, bisa saja penafsiran teolog jaman tertentu atau jaman kini memperbaiki penafsiran gereja sebelumnya, tapi sekali lagi itu pun tidak absolud.

 

Hasil penggalian Alkitab seorang teolog yang dirumuskan menjadi doktrin dan kemudian menjadi dogma itu tetap berada dibawah Alkitab, bahkan pengakuan iman sebagai rumusan dogma juga dibawah Alkitab, dan bisa saja direfisi jika memiliki dasar yang kuat artinya ada temuan yang didasarkan Alkitab dengan demikian perlu adanya pengembangan rumusan pengakuan iman.

 

Karena doktrin dan dogama tidak absolud, maka jaminan penafsiran seorang teolog yang telah dibandingkan dengan rumusan doktrin dan rumusan dogma gereja yang merupakan warisan sejarah juga tidak absolud atau relatif. Semua hasil penafsiran Alkitab oleh manusia yang terbatas adalah relatif.

 

Validasi doktrin seharusnya didasarkan kofirmasi Roh Kudus. Karena hasil penggalian Alkitab tidak otomatis membuat kita percaya pada rumusan hasil penggalian Alkitab itu, meski pun langkah-langkah penggalian Alkitab sudah kita lakukan dengan cara benar. Keyakinan bahwa rumusan doktrin itu benar dihasilkan dan harus dihidupi dalam kehidupan penafsir validasinya dari Roh Kudus.

 

Doktrin mengarahkan orang untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Roh kudus berkarya dalam diri seseorang yang bertekad untuk hidup dalam rencana Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, dan pengalaman orang itu kemudian akan mengakui bahwa benar pengetahuan yang di dapat dalam Alkitab itu benar. Inilah yang disebut pengakuan iman. Jadi keabsoludan doktrin terjadi ketika orang itu hidup dalam pengetahuan yang dia yakini benar dan itu karena  konfirmasi dari roh kudus. Pengakuan iman ini bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyaksikan Tuhan yang hidup, Firman Tuhan yang benar.

 

Kedua, sebagian orang menggali isi Alkitab dengan menekankan pada pengalamannya dengan Tuhan. Orang itu mengalami pengalaman-pengalaman dengan Tuhan yang luar biasa, seperti dipakai Tuhan melakukan mujizat. Mujizat itu sendiri sangat sulit dijelaskan. Maka tidak heran penjelasan orang itu tentang mujizat, yang disebut juga doktrin tentang mujizat penjelasannya sangat terbatas, dan tentu saja penjelasan tentang mujizat bergantung pada pengalaman orang itu.

 

Pengalaman orang itu adalah benar adanya, absolud untuk dirinya, karena faktanya memang demikian. Tapi, interpretasi tentang pengalaman atau penjelasan tentang pengalaman orang itu dipakai Tuhan dalam mujizat adalah relatif. Orang itu tidak boleh memberikan jaminan absolud bahwa pengalaman yang dialami akan terjadi dengan cara yang sama pada orang lain. Dia cukup menyaksikan pengalamannya dipakai dalam melakukan mujizat yang diyakininya atas kehendak Allah.

 

Dengan demikian jelaslah membangun doktrin dari penggalian Alkitab dengan eksegese yang luar biasa tetap saja harus dibandingkan dengan doktrin atau dogma gereja lain, dan itu pun tetap relatif. Demikian juga membangun doktin dari pengalaman dengan Tuhan, secara khusus dalam pengalaman melakukan mujizauntuk kemuliaan Tuhan, semua penjelasan tentang pengalaman itu relatif, jadi tidak boleh dipaksakan kepada yang lain.

 

Gereja harusnya dapat saling belajar satu dengan yang lain. Tidak boleh ada gereja yang mengklaim gerejanya paling mendekati Tuhan, atau mendekati kebenaran. Gereja memerlukan saudara-saudara yang lain untuk bertumbuh bersama menjadi seperti Kristus.

 

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 https://www.binsarhutabarat.com/2020/09/penelitian-teologi-ilmiah.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...