Teologi Gereja
Teologi Gereja Perlu Mengalami Pertumbuhan
Sejatinya pemahaman Kristen perlu mengalami pertumbuhan. Apabila umat Perjanjian Baru memiliki pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan pengetahuan umat perjanjian lama. Biasa dikenal dengan “progressive Revelation” maka sejatinya gereja pada masa kini perlu memiliki pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan pemahaman bapak-bapak gereja masa lampau, juga para tokoh-tokoh gereja yang telah meninggalkan warisan sejarah untuk gereja masa kini.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana gereja bisa mengalami perkembangan dalam pemahaman Alkitab sedangkan gereja makin terpecah-pecah? Kemudian, bagaimana gereja mengalam reformasi dalam bangunan-bangunan doktrin gereja yang justru diabsolutkan, apalagi tujuan gereja-gereja membangun sekolah-sekolah teologi sebagai ujung tombak perubahan justru sekadar untuk melestarikan doktrin gereja-gereja itu?
Doktrin Gereja
Pada awalnya gereja adalah satu. Gereja-gereja di seluruh kekaisaran Roma Tahu betul bahwa mereka adalah gereja yang esa dengan kepala gereja yaitu Yesus Kristus. Gereja umunya menghadapi tantangan, ancaman dari luar gereja.
Dengan berjalannya waktu, gereja yang kemudian memiliki kekuasaan, dengan tokoh-tokoh gereja sebagai tokoh pemerintahan, atau memiliki kekuasaan dalam pemerintahan, atas nama kekuasaan mereka merasa berhak memurnikan gereja. Jika gerakan pemurnian gereja pada gereja mula-mula adalah tanpa kekerasan, maka setelah gereja memiliki kekuasaan gerakan pemurnian gereja itu sarat dengan kekerasan.
Untuk melindungi dirinya gereja membangun doktrin yang dianggapnya doktrin yang absolud. Berbeda dengan pengakuan iman gereja mula-mula yang bisa diterima secara universal hingga saat ini, doktrin-doktrin gereja masa kini itu lebih kepada pengagungan tokoh. Kita mengenal calvinisme, armenianisme dll. Layaknya pertarungan anggota jemaat di dalam kitab Korintus yang Paulus sebuat gereja sebagai anak-anak rohani.
Apakah gereja yang makin terpecah-pecah dan gemar bertengkar itu bisa kita samakan dengan kanak-kanak rohani yang menganggap diri paling sempurna? Kita kerap mendengar saat ini ada gereja yang mengklaim diri paling menjaga kemurnian gereja, kemurnian doktrin dll, meski tak ada satu gereja pun yang sukses.
Kita juga kerap mendengar ada gereja yang mengklaim diri paling injili, paling suci, dan semua jemaatnya lahir baru, meski tak ada data akurat dari klaim-klaim gereja yang tak ubahnya mempromosikan dirinya untuk dipilih sebagai tempat aman untuk berlabuh.
Doktrin gereja yang mestinya terus berkembang seiring dengan kayanya gereja masa kini dengan warisan gereja masa lampau, ironisnya yang terlihat justru sebaliknya. Pemahaman gereja seakan-akan makin dangkal. Kemudian kita perlu bertanya, bagaimana dengan kondisi suku-suku yang terabaikan, yang jauh dari kemajuan peradaban. Tampaknya gereja belum punya strategi yang lebih maju untuk menjalankan Misi Allah pada kelompok-kelompok yang masih belum tersentuh kemajuan teknologi itu.
Jika kita berbicara tentang teologi kontekstual, atau teologi yang dibawa dalam konteks aktual, ini makin rumit. Pemahaman teologi yang kian membeku, karena doktrin tidak mengalami perkembangan berarti, sedang konteks aktual berubah cepat, maka gereja tampaknya kerap gagap merespon jaman.
Pertanyaannya kemudian, dimana peran teolog-teolog akademis yang sejatinya terus mengembangkan pemikiran-pemikiran teologi dan membawanya pada konteks aktual sebagai jawaban Kristen terhadap persoalan masa kini?
Paling tidak, gagapnya gereja terlihat ketika terjadi perdebatan tidak produktif dimedia sosial antar tokoh gereja yang sepertinya ingin menyakinkan umat Kristen bahwa dirinya adalah teolog sejati yang paling benar, paling dekat Tuhan dll. Dan yang marak diseminarkan adalah doktrin Allah Tritunggal, Doktrin Roh Kudus, bahkan Doktrin Keselamatan. Gereja masa kini layaknya bayi rohani yang perlu minum susu untuk bertumbuh sehat ditengah pandemi corona.
Doktrin Akademis
Sekolah tinggi teologi selayaknya sebagai kelompok akademisi mampu mengoreksi doktrin gereja, untuk membawa gereja lebih dewasa dalam pemahaman tentang Alkitab, demikian juga dalam merespons jaman.
Kualifikasi seorang Sarjana teologi sejatinya minimal memahami doktrin gereja yang menjadi dasar pendiri institusi pendidikan tinggi teologi. Karena itu tamatannya dapat melayani di gereja sesuai dengan kompetensinya, yaitu berkhotbah berdasarkan Alkitab, memberikan bimbingan konseling, melayani pelayanan anak, remaja dan pemuda, serta mengadakan kunjungan-kunjungan jemaat dan juga pelayanan misi keluar gereja.
Jika sekolah teologi mengarahkan pada kompetensi pelayanan gereja, maka sejatinya banyak praktik yang diberikan pada mereka yang berada di program sarjana teologi, sedikit menyerupai vokasi, karena tujuan pendidikan teologi yang didirikan gereja adalah untuk mengerjalan pelayanan-pelayanan yang ada di gereja.
Untuk mereka yang berada di program magister teologi mestinya kualifikasi luaran nya berbeda dengan sarjana teologi. Kemampuan evaluasi, untuk membandingkan berbagai pandangan teolog, atau doktrin gereja, dan melakukan kritik terhadap pemikiran teolog tertentu dengan teori yang dipahami dengan baik sejatinya dapat memberikan pemikiran-pemikiran untuk pengembangan doktrin gereja. Pada konteks ini gereja mesti sedia menerima masukan para teolog akademis.
Pada waktu pendidikan teologi berhasil menamatkan doktor-doktor teologi, sejatinya gereja perlu merespon penerapan baru dan pengembangan doktrin gereja. Review seorang doktor teologi sejatinya mampu memberikan pemikiran yang lebih maju dari para teolog-teolog yang direview itu.
Karya akhir seorang doktor teologi sejatinya memang untuk mengembangkan pelayana gereja, dan juga menyempurnakan doktrin gereja, meski doktrin gereja itu sendiri tak pernah jadi sempurna.
Sayangnya pendidikan teologi yang didirikan gereja, umumnya masih seperti tamatan vokasi yang memang dipersiapkan hanya untuk memenuhi kekososngan pelayan gereja. Itulah sebabnya ada pendidikan teologi yang berhenti menerima mahasiswa baru, karena gereja pendiri sudah surplus tenaga pendeta.
Kemajuan jaman membuat mahasiswa-mahasiswa Indonesia dapat mengenyam pendidikan doktor di luar negeri dengan hanya cukup menyusun disertasi. Pertanyaannya kemudian, kurikulum macam apa yang mereka dapat?
Berdasarkan proses belajar yang hanya menyusun disertasi dengan judul tertentu sebenarnya kita cukup paham, bahwa tamatan doktor ini dipersiapakan untuk mengajar mata kuliah tertentu yang memang dibutuhkan di indonesia.
Tamatan doktor seperti ini, jika mereka tidak melakukan riset dengan mengaitkannya pada konteks Indonesia, kita sudah dapat memahami bahwa mereka ini diharapkan menjadi benteng pelindung doktrin tertentu, ini mungkin baru asumsi saya berdasarkan data yang saya miliki. Untuk penelitian lebih kanjut, sekolah tinggi teologi perlu mendalaminya.
Doktrin Gereja Versus Doktrin Akademis
Berdasarkan paparan saya diatas jelaslah bahwa doktrin gereja di Indonesia pada umumnya tidak mengalami perkembangan berarti, karena pendidikan teologi sebagai ujung tombak perubahan kearah yang lebih baik belum dimaksimalkan oleh gereja.
Pada sisi lain, pendidikan tinggi teologi yang luarannya berharap mendapatkan pekerjaan di gereja tidak mungkin dapat memberikan kontribusi pemikirannya untuk pengembangan doktrin gereja. Apalagi untuk gereja-gereja yang didirikan oleh gereja dengan doktrin gereja tertentu.
Sekolah tinggi teologi bukan hanya tidak dapat memberikan kontribusi berarti untuk pengembangan doktrin gereja, tetapi juga pada pendidikan itu tidak ada kebebasan akademis. Semua dosen harus memegang doktrin yang dipegang oleh gereja, apalagi biasanya sekolah tinggi teologi itu berada dibawah gereja. Jadilah STT sebagai benteng pelestari doktrin gereja.
Kita tentu berharap pendidikan tinggi teologi di indonesia yang dibangun oleh gereja denominasi apapun, dapat menemukan jati dirinya sebagai teolog-teolog akademis. Tokoh-tokoh gereja juga tidak perlu takut denga kepakaran teolog akademis, karena gereja sesungguhnya membutuhkan teolog-teolog akademis untuk memajukan gereja.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat, M.Th.