Pocast Rukun Beragama

Video

Monday, November 9, 2020

Menyongsong Windows Open Opportunity











Menyongsong Windows Open Opportunity

Wabah covid-19 membuat pemerintah harus mengalihkan banyak program pembangunan untuk menolong masyarakat terdampak virus corona. Tapi, pembangunan sektor pendidikan perlu menjadi perhatian penting pemerintah untuk meningkatkan kompetensi manusia Indonesia. 


Menyongsong Windows Open Opportunity

 

Tuhan memberikan “hujan dan panas” kepada semua orang. Artinya, semua individu, komunitas, bangsa dan negara di seantero dunia ini memiliki kesempatan untuk memiliki peluang hidup sejahtera. Persoalanya adalah sampai sejauh mana individu, komunitas, bangsa dan negara itu telah berusaha memanfaatkan kesempatan tersebut untuk dapat hidup sejahtera adalah hal yang amat menentukan pencapaian tersebut.

 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, jumlah penduduk Indonesia pada 2010 mencapai 234 juta jiwa, dan akan naik menjadi 248 juta jiwa pada 2015. Pada tahun 2020 melonjak menjadi 261 juta jiwa, dan terus meningkat menjadi 273 juta jiwa di tahun 2025. Seiring dengan itu porsi usia produktif ikut melonjak dari 68,6% pada 2010 menjadi 69,1 % pada 2015 dan 2020. Usia produktif diperkirakan akan menurun menjadi 68,7% pada tahun 2025.

 

Berdasarkan data statistik tersebut jelaslah fase jendela terbuka , windows open opportunity  yakni jumlah penduduk ideal mendukung perekonomian dan sekaligus tidak menjadi beban negara, untuk Indonesia terjadi pada 2020-2030. Fase ini adalah peluang bagi Indonesia  untuk mengalami pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, setelah fase itu pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami grafik yang menurun, seiring dengan menurunnya porsi usia produktif.

 

Persoalannya sekarang, apakah  Indonesia bisa memanfaatkan fase jendela terbuka ini atau tidak, itu akan sangat menentukan masa depan negeri ini, khususnya untuk keluar dari jerat kemiskinan yang sangat menyakitkan itu.

 

Persoalan Kompetensi

Kompetensi adalah daya saing individu atau suatu bangsa yang diukur dalam produktivitasnya. Meningkatnya kompetensi nasional otomatis akan mengangkat produktivitas nasional. Apabila usia produktif yang amat besar di Indonesia pada tahun 2020-2030 itu memiliki peningkatan dalam hal kompetensi maka itu akan meningkatkan produktivitas nasional.

 

Sektor penting untuk meningkatkan kompetensi nasional adalah pendidikan, dengan pendidikan yang berkualitas setiap orang dapat meningkatkan produktivitas dalam dirinya, baik pada saat ia bekerja di pabrik, maupun saat tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin, seiring dengan arus globalisasi yang melanda dunia.

 

Menurut data  UNDP hampir  55% dari  laki-laki berumur 12 – 17 tahun di Indonesia hanya mengecap pendidikan sampai SMP,  dan  30% hanya menikmati sampai dengan SD, itupun pada sekolah dengan mutu rendah. Itulah sebabnya sebagian besar penganggur di Indonesia berada pada kelompok usia muda dan produktif yaitu 15-24 tahun., karena kompetensi usia produktif yang amat rendah. Parahnya lagi, berdasarkan standar nasional pendidikan, 65 % pendidikan di Indonesia masih berada dibawah standar, hanya 35 persen yang memenuhi standar tersebut.

 

Komposisi pengajar sekolah dasar hanya 8,3 % yang memenuhi kualifikasi pendidikan S-1 sebagian berpendidikan D-2 kebawah. Kompetensi guru di sekolah menengahpun juga belum menggembirakan, dari jumlah yang kini ada baru 62,08 % guru yang memiliki izajah S-1

 

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga terlihat dari masih buruknya fasilitas perpustakaan sekolah. Dari sekitar 250.000 sekolah, mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sederajat, hanya sekitar 16.000 sekolah atau tak sampai 7 % yang memiliki perpustakaan sekolah. Sekolah yang memiliki perpustakaan itu sebagian besar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama. Itulah sebabnya minat baca pelajar Indonesia masih rendah, dan itu berdampak sampai pada perguruan tinggi.

 

Pemerintah dalam hal ini harus memfasilitasi penduduk produktif di Indonesia dengan pendidikan berkualitas agar mampu memanfaatkan dengan sebesar-besarnya fase windows open opportunity. Ini  tentu akan menjadi peluang untuk membawa Idonesia menjadi lebih sejahtera. Sebaliknya, apabila kompetensi Indonesia tak mengalami perubahan berarti, itu akan menjadi peluang bencana untuk Indonesia, yakni meningkatnya jumlah pengangguran.

 

 

Windows open Opportunity


Dengan demikian jelaslah bahwa untuk menyongsong Windows Open Opportunity banyak pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan oleh pemerintah. 

 

Windows open opportunity adalah kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada fase itu merupakan kesempatan besar untuk Indonesia agar dapat tampil sebagai negara yang disegani baik di Asia maupun di dunia. 

Kemiskinan telah menghinakan bangsa ini, dan kesempatan untuk keluar dari penderitaan akibat kemiskinan terbuka lebar. Karena itu, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia harus memanfaatkan fase jendela terbuka ini dengan sungguh-sungguh.

 

Pemerintah harus fokus pada pembangunan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Ketiga bidang tersebut sangat berkaitan erat dalam meningkatkan kompetensi nasional Indonesia. Pembangunan gedung-gedung sekolah, dan perbaikan gedung-gedung sekolah yang tidak memadai, serta pengadaan tenaga-tenaga guru yang handal tidak boleh ditunda-tunda lagi. Setelah keberhasilan wajib belajar 9 tahun, pemerintah harus melanjutkannya pada wajib belajar 12 tahun, dengan terus meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.

 

Pemerintah dalam hal ini tidak boleh bersikap diskriminatif dengan hanya memberikan pendidikan bermutu bagi mereka yang kaya. Makin lebarnya jurang antara mereka yang kaya dan yang miskin adalah pertanda adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan, dan makin tingginya pengangguran terdidik mengindikasikan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia

 

 

Pendirian balai-balai latihan kerja untuk tamatan sekolah menengah, bisa menjadi cara ampuh untuk meningkatkan kompetensi usia produktif di negeri ini, dan demi membuka peluang kerja baru. Apabila usaha ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah dengan dukungan seluruh masyarakat Indonesia, maka fase jendela terbuka akan menjadi berkat besar bagi Indonesia, dan bukan malapetaka yang melahirkan ledakn pengangguran.

 

 

Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/menyongsong-windows-open-opportunity.html

Pendidikan Bermutu Naikkan Martabat Bangsa




Pendidikan Bermutu Naikkan Martabat Bangsa

 Pendidikan bermutu menaikkan martabat bangsa Indonesia. Melalui pendidikan bermutu kompetensi manusia Indonesia dapat disandingkan dengan masyarakat negara-negara maju di dunia. Itulah sebabnya kerap dikatakan, "Pendidikan Bermutu adalah Hak Azasi Manusia."


Di Indonesia, pada tahun 1971 setiap 86 anak ditanggung 100 pekerja dan pada 2010 rata-rata 51 anak ditanggung 100 pekerja. Bila keadaan ini terus berlanjut, pada 2020-2030 akan terbuka jendela peluang, window of opportunity, saat angka ketergantungan mencapai titik terendah, yaitu hanya 44 anak ditanggung tiap 100 pekerja. Setelah 2030, jendela peluang akan menyempit karena meningkatnya jumlah lansia sehingga angka ketergantungn naik di atas 50.

Besarnya populasi usia kerja tersebut merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi. Pengurangan jumlah anak meningkatkan pendapatan per kapita, sementara besarnya jumlah penduduk usia kerja mendorong peningkatan pendapatan per kapita. Peningkatan usia harapan hidup juga meningkatkan pendapatan per kapita meski kemudian meningkatnya jumlah lansia menurunkan pendapatan tersebut.

Jendela peluang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu penduduk. Karena itu, Indonesia harus dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya untuk membantu pertumbuhan ekonomi. 

Banyak negara menjadi kaya karena berhasil memanfaatkan jendela peluang bonus demografinya untuk melentingkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, kemudian ledakan jumlah lansia, seperti di Jepang dan Eropa barat, membengkakkan biaya jaminan sosial, terutama pensiun.

Pertanyaannya sekarang, apakah jendela terbuka ini akan menjadi peluang atau bencana untuk Indonesia, karena tingginya angkatan kerja tentu saja membutuhkan lapangan kerja baru, tanpa itu negeri ini akan menghadapi ledakan pengangguran, dan tidak dapat memanfaatkan jendela peluang untuk melejitkan ekonomi Indonesia.

Pendidikan bermutu

Wajar saja jika berbagai kalangan masih meragukan, apakah windows open opportunity (jendela peluang) saat bonus demografi pada 2020- 2030 dapat diraih, atau malah justru bisa menghadirkan bencana bagi Indonesia. Keraguan tersebut wajar saja jika kita melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang ada saat ini. Peluang bonus demografi bisa menjadi sebuah anugerah tapi sekaligus sebuah dilema. Di satu pihak bonus demografi merupakan sebuah momentum yang dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pembangunan Indonesia. Namun, pada sisi lain, bonus demografi dapat mengakibatkan bencana bila jumlah manusia produktif itu berubah menjadi ledakan pengangguran karena kualifikasi SDM-nya yang rendah atau ketaktersediaan lapangan kerja yang mencukupi.

Kompetensi suatu bangsa dapat diukur dari tingkat produktivitasnya. Meningkatnya kompetensi nasional otomatis akan mengangkat produktivitas nasional. Apabila usia produktif yang amat besar di Indonesia pada 2020-2030 itu memiliki tingkat kompetensi yang tinggi, maka hal itu akan meningkatkan produktivitas nasional. Tapi, sebaliknya, apabila Indonesia ketika itu memiliki usia produktif yang tinggi tapi tanpa kompetensi yang tinggi, maka produktivitas nasional takkan berubah secara signifikan. 

Karena itu, meningkatkan kompetensi manusia Indonesia adalah kunci penting untuk meraih momentum bonus demografi tersebut. Sektor penting untuk meningkatkan kompetensi nasional adalah pendidikan. 

Dengan mengembangkan pendidikan yang berkualitas, setiap orang dapat meningkatkan produktivitas dalam dirinya, baik pada saat ia bekerja di pabrik, maupun saat tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin, seiring dengan arus globalisasi yang melanda dunia. 

Pemerintah harus fokus pada pembangunan pendidikan bermutu yang sangat berkaitan erat dalam meningkatkan kompetensi nasional Indonesia. Karena itu, pembangunan gedung-gedung sekolah, dan perbaikan gedung- gedung sekolah yang tidak memadai harus segera dilakukan,  dan khususnya pengadaan tenaga-tenaga guru yang handal tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Satu-satunya jalan meraih bonus demografi ini seluas- luasnya adalah dengan memacu peningkatan mutu SDM yang memadai. Dan kunci dari semuanya itu adalah pendidikan berkualitas. Konstitusi negeri ini menetapkan bahwa rakyat berhak mendapatkan pendidikan bermutu, bukan pendidikan asal ada. Penelitian UNESCO pada tahun 1996 menemukan bahwa mutu pendidikan yang rendah, yang umumnya terdapat di negara berkembang bukan hanya tidak bermakna bagi pencerdasan kehidupan bangsa tetapi sebaliknya akan melahirkan masalah baru bagi bangsa tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikanbermutu adalah hak setiap warga Negara, dan sekaligus menjadi hak azasi manusia.

Profesionalisme guru

Guru sebagai jabatan profesional bukan hal yang baru, di negara-negara maju, seperti AS dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar; bakat, dan minatnya, telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.

Hubungan yang kuat antara guru dan peserta didik merupakan pusat proses pengajaran. Pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai cara, apalagi dengan penggunaan teknologi baru di dalam kelas yang telah terbukti efektif. Namun, untuk sebagian besar peserta didik, terutama mereka yang belum menguasai keterampilan berpikir dan belajar, guru tetap menjadi katalis penting. Demikian juga hal nya dalam kapasitas penelitian independen, kapasitas ini hanya mungkin setelah terjadi interaksi dengan guru atau mentor intelektual.  

Peran guru dalam keberhasilan proses pendidikan sesungguhnya amat krusial, apalagi pada tahap awal pendidikan dimana citra diri pelajar terbentuk. Tuntutan terhadap guru semakin tinggi pada  pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, kemampuan guru untuk memotivasi pelajar untuk hadir di sekolah amat penting untuk pelaksanaan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.

Apabila peningkatan kualitas guru dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka hal tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, dan secara bersamaan itu akan meningkatkan kompetensi manusia Indonesia, dan sekaligus menyatakan bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk menghadirkan pendidikan bermutu yang adalah hak setiap warga Negara.

Kompetensi yang tinggi dari manusia-manusia Indonesia, khususnya usia produktif akan memampukan Indonesia memanfaatkan jendela peluang, untuk kemudian meningkatkan derajat manusia Indonesia, dan kemudian mendudukkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di dunia ini.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/pendidikan-bermutu-naikkan-martabat.bangsa.html

Sunday, November 8, 2020

Kebijakan Diskriminatif Dan Kekerasan Agama

 






Kebijakan  Diskriminatif Dan Kekerasan Agama


Kebijakan Deskriminatif yang akan Menghadirkan Kekerasan Agama perlu diwaspadai.

Indonesia adalah masyarakat dengan beragam agama, belum lagi dengan jumlah agama-agama budaya yang ada di Indonesia dan percampuran agama dan kepercayaan. 

Proteksi kebebasan beragama dalam negara yang sangat plural seperti Indonesia ini membutuhkan kebijakan yang unggul dan non-diskriminatif. Kebijakan terkait agama yang unggul dan non deskriminatif memungkinkan hubungan antara pemerintah dan agama, antar agama, dan internal agama dapat tertata dengan baik, hidup dalam kerukunan. 


Sebaliknya, hadirnya kebijakan-kebijakan yang buruk dan diskriminatif akan menyebabkan timbulnya ketidakadilan, yang akhirnya bermuara pada konflik antaragama dan pemerintah, antar agama dan internal agama.


Apabila pemerintah Indonesia gagal membuat kebijakan yang unggul dalam bidang kehidupan antaragama di Indonesia, maka taruhannya adalah disintegrasi bangsa yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia. 


Kebijakan yang diskriminatif akan berdampak panjang, yakni kian menipisnya toleransi antarumat beragama di Indonesia. Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang toleran dan terus memelihara toleransi antaragama  jika kebijakan yang dihasilkan terkait dengan kehidupan bersama agama-agama adalah kebijakan-kebijakan yang unggul dan tentu saja dapat diimplementasikan.


Hadirnya kekerasan agama yang dilakukan pemerintah sesungguhnya juga terkait dengan warisan hubungan antara agama dan negara yang tidak harmonis yang berlangsung sejak lama.

 

 

Wajah Ganda Agama

 

Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, “bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.” Ippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

 

mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. 

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”. Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. 

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

 

 

 

Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.” Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.” 

 

Dalam dunia akademis, Samuel Huntington mengajukan hipotesa bahwa konflik-konflik di dalam dunia politik pasca Perang Dingin tidak lagi digerakkan oleh ideologi atau ekonomi, seperti selama Perang Dingin, tetapi oleh sebuah benturan antar peradaban. Yang dia maksudkan dengan peradaban-peradaban adalah komunitas-komunitas “yang dibedakan satu sama lain oleh sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi, dan yang paling penting oleh agama.” Huntington meramalkan, benturan peradaban “akan mendominasi politik global” dan membuat ide-ide mengenai demokrasi dan hak-hak asasi manusia di luar pantai-pantai Barat tidak bisa berkembang. Jika itu benar, agama di dalam kehidupan publik pastilah sesuatu yang sangat berbahaya. Tidak mengherankan, hipotesa Huntington banyak diperdebatkan, khususnya di dalam Konfusianisme dan Islam, dua agama yang dianggap bermusuhan dengan Barat.

Penggambaran-penggambaran tentang agama yang penuh kekerasan dan tidak toleran sesungguhnya bukanlah gambaran yang lengkap mengenai agama. Casanova berpendapat, selama tahun 1980-an, para aktivis religius juga merupakan para pemain utama dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk pembebasan, keadilan, dan demokrasi di seluruh dunia.

Teologia-teologia pembebasan menyebar luas di luar Amerika Latin, dengan mendapatkan bentuk-bentuk dan nama-nama baru, Afrika dan Asia, Protestan dan Yahudi, orang kulit hitam dan feminis. Dengan runtuhnya sosialisme, teologia pembebasan tampaknya merupakan satu-satunya cap “Internasional” yang masih tersisa.

 

R. Scott Appleby juga menekankan banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian. 

 

 

Kebijakan Publik Agama

Makna kata "kebijakan" harus dipahami dalam konteks historis, makna kebijakan yang senantiasa berubah menunjukkan perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan.  Pada awalnya istilah “kebijakan” atau pokok-pokok platform menjadi rasionalitas politik. Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan dalam hal ini mengemukakan apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Artinya, sebuah kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi. Selanjutnya, dengan berkembangnya sistem partai dan pemilu modern di masyarakat industri, diskursus kebijakan kemudian menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan “politik” dan persaingan elite politik. Politisi diharapkan punya “kebijakan” sebagaimana halnya sebuah toko mesti mempunyai barang dagangan. Kebijakan merupakan “mata uang” penting dalam perdagangan demokratik. 

 

Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau “prinsip” kemudian berkembang menjadi istilah dalam konotasi netral seperti dinyatakan oleh Lasswell: “Kata 'kebijakan' (policy) umumya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat.” Jadi Lasswell tidak membatasi penggunaan istilah kebijakan hanya dalam area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna “keberpihakan” dan korupsi.” 

 

Menurut H.A.R.Tilaar dan Nugroho istilah kebijakan publik mempunyai banyak pemahaman teoritis, yang dirumuskannya demikian:

 

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.

 

Berdasarkan definisi di atas jelaslah bawa kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Thomas R. Dye merangkum dari definisi-definisi mengenai kebijakan publik demikian: “Public policy is whatever governments choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintahn untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan). Bagi Dye pusat perhatian kebijakan publik  tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang tidak dilakukan oleh pemerintah.  

 

Berdasarkan definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi sebagaimana ditegaskan Anderson, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan,  bukan perilaku serampangan. Kebijakan publik bukan sesuatu yang berlaku begitu saja, melainkan direncanakan oleh aktor-aktor politik yang terlibat dalam sistem politik. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan  undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Dan kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur persoalan-persoalan publik misalnya terkait dengan kehidupan beragama, demikian juga perihal pendirian rumah ibadah. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Secara positif, kebijakan, mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil keputusan tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang  positif , kebijakan publik didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif.

 

Kebijakan publik ini adalah jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mencapai apa yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Sedang dalam bidang kehidupan beragama, kebijakan publik adalah pedoman bagaimana negara mencapai apa yang diperintahkan Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama. (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pemerintah mendapatkan mandat rakyat untuk memberikan proteksi terhadap kebebasan beragama, kebebasan beribadat baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam sebuah rumah ibadat.

 

Kebijakan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan secara tegas ditetapkan dalam UUD RI. Kebijakan tersebut mesti menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan di bawahnya. Kebijakan perlindungan kebebasan beragama secara langsung mensyaratkan adanya hak kebebasan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. Hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi (derogable right). Pembatasan tersebut menurut Deklarasi Universal HAM pasal 18 ayat (2) berbunyi seperti berikut:

 

Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan  seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebsan mendasar  orang lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara khusus menjamin adanya perlindungan atas rumah-rumah ibadah yang digunakan oleh warga. Hak untuk membangun rumah ibadah merupakan perwujudan dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebagaimana hak untuk menggunakan dan memasang simbol agama/keyakinan, dan menjalankan hari libur keagamaan/keyakinan.

 

Selain dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ada dua dokumen lain yang dideklarasikan PBB, dan dokumen-dokumen tersebut menyediakan standar-standar internasional yang diakui secara luas, serta dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM.

 

Pertama adalah dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Praktik Intolernasi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declration on elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief).  Pasal 2 Deklarasi ini mewajibkan negara untuk mengambil tindakan efektif dalam mencegah atau menghapus praktik diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Bahkan negara juga memiliki kewajiban untuk membatalkan setiap produk perundang-undangan yang berisi pesan diskriminasi.

 

Kedua, dokumen Deklarasi untuk Melindungi Hak-Hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). Pasal 4 ayat (2) Deklarasi tersebut menyatakan negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi individu-individu minoritas agar mereka bisa menjalankan ritual agamanya dengan bebas. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk menciptakan iklim kondusif agar individu-individu minoritas dapat menjalankan ibadahnya dengan baik.  

 

 

 

Indikator kekerasan agama oleh Pemerintah

 

Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Kekerasan Agama yang dilakukan Pemerintah

a. Kebijakan tentang Penodaan Agama

Pembatasan jumlah agama di Indonesia tidak memiliki pijakan dalam perundang-undangan.. Namun, pendefinisan agama menurut Departemen Agama yang memiliki syarat-syarat berikut: memiliki kitab suci, memiliki Nabi, Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa), memiliki tata ibadah bagi pengikutnya, telah diartikan sebagai pembatasan jumlah agama. Keberadaan agama-agama lain seperti Yahudi, Shinto, Zaratustarian, Taoisme tidak dilarang di Indonesia. Anehnya, agama-agama suku yang adalah agama pertama penduduk Indonesia tidak diakui keberadaannya dan mereka wajib bergabung pada salah satu agama resmi negara, jika tidak akan kehilangan hak-hak sipilnya. Daerah dimana penganut agama-agama suku itu tinggal menjadi ladang misi agama-agama resmi, sedang daerah dimana penganut agama resmi menjadi tempat terlarang bagi misi agama-agama lain.

Pemberlakuan agama resmi sebagaimana dilakukan pada masa Soekarno juga terjadi pada masa orde baru. Bahkan yang lebih tragis, agama Konghucu pada masa Soeharto tidak diakui keberadaannya sebagai agama resmi melalui penetapan Presiden No. 1/Pn.ps/1965, dan dalam undang-undang no.5 tahun 1969 tentang jenis-jenis agama di Indonesia yang terdiri atas, Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, tidak lagi diakui pada masa Soeharto melalui Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negri No.477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978. yang menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.  Umat Konghucu Indonesia baru kembali diakui keberadaannya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, aliran kepercayaan dan agama-agama suku sampai saat ini tetap mengalami pemasungan karena tidak pernah diakui eksistensinya sebagai agama.

Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.  Pada praktiknya SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen. Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah, umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa daerah terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja. Ketetapan bahwa negara menjamin kebebasan warga negara untuk beribadah menurut kepercayaannya masing-masing telah disangkal dengan keluarnya SKB tahun 1969 itu. SKB ini menjadi alasan bagi penutupan, bahkan perusakan disertai pembakaran terhadap rumah-rumah ibadah agama minoritas.

SKB dua menteri ini pada masa reformasi mengalami perubahan menjadi Peraturan  Bersama Menteri (PBM) dalam peraturam bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri nomor 9 tahun 2006, dan nomor 8 tahun 2006. Namun, inti dari PBM tersebut tidak berbeda dengan SKB yang terindikasi memuat pasal-pasal yang membatasi kebebasan beragama, khususnya pembangunan tempat ibadah yang menuntut adanya sejumlah 60 tanda tangan orang dewasa dari aggota masyarakat dimana tempat ibadah itu akan didirikan. Untuk  pendirian Gereja, sekurang-kurangnya diajukan oleh 90 orang anggota dewasa. Setelah pemberlakuan PBM, pembakaran, pengrusakan tempat ibadah terus terjadi, Forum Komunikasi Kristen Jakarta mencatat selama 21 Maret 2006 hingga 17 Agustus 2007 terdapat 67 Gereja yang mendapat tekanan dan gangguan. Yang mengherankan, surat keputusan yang kontroversial dan tidak produktif ini tidak juga dibatalkan. Arti penting sebuah rumah ibadah untuk menjalankan ibadah secara bersama-sama itulah yang membuat pemerintah Indonesia pada awalnya tidak mewajibkan pengurusan ijin pendirian rumah ibadah, apalagi pada awalnya daerah-daerah di Indonesia umumnya bersifat homogen. Namun, dengan berjalannya waktu, dan perpindahan penduduk yang makin tinggi, maka daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih heterogen, dan hadirlah  persoalan terkait dengan pendirian rumah ibadah.

 

Untuk mengatasi konflik tentang pendirian rumah ibadah pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang pendirian rumah ibadah. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1969 dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya.

 

Terbitnya SKB tersebut ternyata kemudian dijadikan instrumen bagi penutupan gereja di berbagai tempat. Dengan alasan itu kemudian pemerintah merevisi SKB tersebut menjadi PBM No. 9/2006 dan 8/2006 dan di dalamnya juga mengatur pendirian rumah ibadah. PBM memang memiliki perbedaan dengan SKB, namun keduanya memiliki persamaan. Yakni mensyaratkan keharusan pengurusan ijin rumah ibadah. 

b. Kebijakan Penyiaran Agama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri juga membuat keputusan bersama nomor 1 tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Pasal 4 dari keputusan tersebut menjelaskan bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan bagi  orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain. 

Perundang-undangan yang diskriminatif juga menyasar aliran Ahmadiyah. Menteri Agama dan jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri mengeluarkan SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya. SKB tersebut memang tidak membubarkan aliran Ahmadiyah, namun melarang penyebaran Ahmadiyah, meski masyarakat banyak yang mengartikannya sebagai pembubaran Ahmadiyah, sehingga setelah keluarnya keputusan itu tanggal 9 juni 2008, pemeluk Ahmadiyah mengalami ancaman.

Direktur Jenderal Hak Asasi manusia (HAM) Harkristuti menduga SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya diterbitkan setelah ada demonstrasi besar yang dilakukan sejumlah ormas di antaranya Hizbut Tahir (HTI), Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Laskar Aswajah, Aliansi Damai Antipenistaan Islam, dan Forum Betawi Rempug (FBR) di istana Kepresidenan yang meminta agar Ahmadiyah di bubarakan.Jadi jelaslah, lahirnya Produk undang-undang yang diskriminatif terkait ketidakkonsistenan pemerintah demi mencari posisi aman untuk tetap terus berkuasa.

c. Perda-perda agama

Produk undang-undang diskriminatif tidak hanya hadir melalui pusat pemerintahan, tetapi juga melalui pemerintahan lokal. Peraturan daerah (Perda) yang berbasis agama muncul diberbagai daerah, awalnya pada daerah-daerah dimana Islam menjadi mayoritas, itulah sebabnya perda-perda agama itu popular dengan sebutan Perda Syariat.

Maraknya penerapan Perda-perda Syariat diberbagai daerah di Indonesia terutama sejak provinsi Aceh  memberlakukan ketentuan syariat Islam di wilayahnya, setelah mendapatkan otonomi khusus melalui perundang-undangan nasional. Sulawesi Selatan dan Jawa Barat mengikuti jejak Aceh memberlakukan ketentuan Syariat di wilayahnya.Perda agama ini setidaknya telah diberlakukan di tingkat provinsi (6), Kabupaten (38), Kota (12).

Diskriminasi yang lahir karena penerapan perda agama itu kemudian menimbulkan perlawanan pada daerah-daerah dimana pemeluk agama non Islam yang menjadi mayoritas. Provinsi Bali dengan mayoritas agama Hindu Bali menuntut otonomi khusus sebagaimana yang diberikan pada provinsi Aceh.

Reaksi kontroversial atas perda agama (Perda syariat) datang dari wilayah Papua, Manokwari. Munculnya usulan Perda berbasis Injil sebagai proteksi terhadap Islamisasi di Papua dari tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, yang juga mendapat dukungan masyarakat, serta pemerintah lokal Manokwari mengakibatkan kebebasan beragama menjadi problem serius bukan hanya pada daerah-daerah mayoritas Islam, tapi juga pada daerah-daerah mayoritas Kristen dan juga mayoritas  Hindu. 

tentang kebebasan beragaama tingginya kekerasan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa implementasi dari undang-undang tersebut amat lemah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam memberikan andil bagi tingginya kekerasan agama di Indonesia juga berkait dengan ketidakkonsistenan pemerintah dalam berpegang pada konstitusi. Lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, merupakan contoh ketidak konsisitenan pemerintah yang menghadirkan aturan yang dikriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Menariknya lagi,  SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen (lihat Bab I). Hal itu semakin jelas ketika melihat latar belakang dikeluarkannya SK tersebut, yakni karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa tempat terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja.

Lahirnya undang-undang No. 1/1974 dimana Konghucu tidak tercantum sebagai agama resmi, jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang mengakui kebebasan beragama. Apalagi undang-undang perkawinan tersebut juga terbukti telah mengekang kebebasan beragama yakni adanya larangan menikah beda agama.

Selanjutnya, dalam Instruksi Menteri Agama No. 4/1978 dimana departemen agama tidak mengakui aliran kepercaayaan, jelas membuktikan bahwa transformasi Pancasila kedalam aturan-aturan dibawahnya tidak berjalam dengan mulus, banyak aturan-aturan di negeri ini yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD.

Tidak konsistennya pemerintah dalm berpegang pada konstitusi khususnya terhadap hak kebebasan beragama semakin terlihat jelas dengan kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah  dimana agama-agama tertentu menjadi mayoritas. Kehadiran perda-perda diskriminatif tersebut kemudian membua interdepedensi antar agama makin tergerus, dan intoleransi agama makin menguat di negeri yang terkenal dengan kerukunannya.


Kekerasan Agama yang dilakukan pemerintah


Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/kebijakan-deskriminatif-dan-kekerasan.html


 

 

Kebakaran Hutan California

  https://youtube.com/shorts/qxdaZxgWd6Y?si=czD2F2ba5owlKDBn Awalnya saya tak bisa memahami bagaimana kebakaran Hutan kemud...