Sunday, November 8, 2020

Kebijakan Diskriminatif Dan Kekerasan Agama

 






Kebijakan  Diskriminatif Dan Kekerasan Agama


Kebijakan Deskriminatif yang akan Menghadirkan Kekerasan Agama perlu diwaspadai.

Indonesia adalah masyarakat dengan beragam agama, belum lagi dengan jumlah agama-agama budaya yang ada di Indonesia dan percampuran agama dan kepercayaan. 

Proteksi kebebasan beragama dalam negara yang sangat plural seperti Indonesia ini membutuhkan kebijakan yang unggul dan non-diskriminatif. Kebijakan terkait agama yang unggul dan non deskriminatif memungkinkan hubungan antara pemerintah dan agama, antar agama, dan internal agama dapat tertata dengan baik, hidup dalam kerukunan. 


Sebaliknya, hadirnya kebijakan-kebijakan yang buruk dan diskriminatif akan menyebabkan timbulnya ketidakadilan, yang akhirnya bermuara pada konflik antaragama dan pemerintah, antar agama dan internal agama.


Apabila pemerintah Indonesia gagal membuat kebijakan yang unggul dalam bidang kehidupan antaragama di Indonesia, maka taruhannya adalah disintegrasi bangsa yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia. 


Kebijakan yang diskriminatif akan berdampak panjang, yakni kian menipisnya toleransi antarumat beragama di Indonesia. Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang toleran dan terus memelihara toleransi antaragama  jika kebijakan yang dihasilkan terkait dengan kehidupan bersama agama-agama adalah kebijakan-kebijakan yang unggul dan tentu saja dapat diimplementasikan.


Hadirnya kekerasan agama yang dilakukan pemerintah sesungguhnya juga terkait dengan warisan hubungan antara agama dan negara yang tidak harmonis yang berlangsung sejak lama.

 

 

Wajah Ganda Agama

 

Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, “bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.” Ippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

 

mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. 

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”. Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. 

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

 

 

 

Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.” Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.” 

 

Dalam dunia akademis, Samuel Huntington mengajukan hipotesa bahwa konflik-konflik di dalam dunia politik pasca Perang Dingin tidak lagi digerakkan oleh ideologi atau ekonomi, seperti selama Perang Dingin, tetapi oleh sebuah benturan antar peradaban. Yang dia maksudkan dengan peradaban-peradaban adalah komunitas-komunitas “yang dibedakan satu sama lain oleh sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi, dan yang paling penting oleh agama.” Huntington meramalkan, benturan peradaban “akan mendominasi politik global” dan membuat ide-ide mengenai demokrasi dan hak-hak asasi manusia di luar pantai-pantai Barat tidak bisa berkembang. Jika itu benar, agama di dalam kehidupan publik pastilah sesuatu yang sangat berbahaya. Tidak mengherankan, hipotesa Huntington banyak diperdebatkan, khususnya di dalam Konfusianisme dan Islam, dua agama yang dianggap bermusuhan dengan Barat.

Penggambaran-penggambaran tentang agama yang penuh kekerasan dan tidak toleran sesungguhnya bukanlah gambaran yang lengkap mengenai agama. Casanova berpendapat, selama tahun 1980-an, para aktivis religius juga merupakan para pemain utama dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk pembebasan, keadilan, dan demokrasi di seluruh dunia.

Teologia-teologia pembebasan menyebar luas di luar Amerika Latin, dengan mendapatkan bentuk-bentuk dan nama-nama baru, Afrika dan Asia, Protestan dan Yahudi, orang kulit hitam dan feminis. Dengan runtuhnya sosialisme, teologia pembebasan tampaknya merupakan satu-satunya cap “Internasional” yang masih tersisa.

 

R. Scott Appleby juga menekankan banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian. 

 

 

Kebijakan Publik Agama

Makna kata "kebijakan" harus dipahami dalam konteks historis, makna kebijakan yang senantiasa berubah menunjukkan perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan.  Pada awalnya istilah “kebijakan” atau pokok-pokok platform menjadi rasionalitas politik. Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan dalam hal ini mengemukakan apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Artinya, sebuah kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi. Selanjutnya, dengan berkembangnya sistem partai dan pemilu modern di masyarakat industri, diskursus kebijakan kemudian menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan “politik” dan persaingan elite politik. Politisi diharapkan punya “kebijakan” sebagaimana halnya sebuah toko mesti mempunyai barang dagangan. Kebijakan merupakan “mata uang” penting dalam perdagangan demokratik. 

 

Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau “prinsip” kemudian berkembang menjadi istilah dalam konotasi netral seperti dinyatakan oleh Lasswell: “Kata 'kebijakan' (policy) umumya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat.” Jadi Lasswell tidak membatasi penggunaan istilah kebijakan hanya dalam area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna “keberpihakan” dan korupsi.” 

 

Menurut H.A.R.Tilaar dan Nugroho istilah kebijakan publik mempunyai banyak pemahaman teoritis, yang dirumuskannya demikian:

 

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.

 

Berdasarkan definisi di atas jelaslah bawa kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Thomas R. Dye merangkum dari definisi-definisi mengenai kebijakan publik demikian: “Public policy is whatever governments choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintahn untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan). Bagi Dye pusat perhatian kebijakan publik  tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal yang tidak dilakukan pemerintah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang tidak dilakukan oleh pemerintah.  

 

Berdasarkan definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi sebagaimana ditegaskan Anderson, kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan,  bukan perilaku serampangan. Kebijakan publik bukan sesuatu yang berlaku begitu saja, melainkan direncanakan oleh aktor-aktor politik yang terlibat dalam sistem politik. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan  undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Dan kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur persoalan-persoalan publik misalnya terkait dengan kehidupan beragama, demikian juga perihal pendirian rumah ibadah. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Secara positif, kebijakan, mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil keputusan tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang  positif , kebijakan publik didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif.

 

Kebijakan publik ini adalah jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mencapai apa yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Sedang dalam bidang kehidupan beragama, kebijakan publik adalah pedoman bagaimana negara mencapai apa yang diperintahkan Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama. (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pemerintah mendapatkan mandat rakyat untuk memberikan proteksi terhadap kebebasan beragama, kebebasan beribadat baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam sebuah rumah ibadat.

 

Kebijakan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan secara tegas ditetapkan dalam UUD RI. Kebijakan tersebut mesti menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan di bawahnya. Kebijakan perlindungan kebebasan beragama secara langsung mensyaratkan adanya hak kebebasan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. Hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi (derogable right). Pembatasan tersebut menurut Deklarasi Universal HAM pasal 18 ayat (2) berbunyi seperti berikut:

 

Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan  seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebsan mendasar  orang lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara khusus menjamin adanya perlindungan atas rumah-rumah ibadah yang digunakan oleh warga. Hak untuk membangun rumah ibadah merupakan perwujudan dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebagaimana hak untuk menggunakan dan memasang simbol agama/keyakinan, dan menjalankan hari libur keagamaan/keyakinan.

 

Selain dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ada dua dokumen lain yang dideklarasikan PBB, dan dokumen-dokumen tersebut menyediakan standar-standar internasional yang diakui secara luas, serta dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM.

 

Pertama adalah dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Praktik Intolernasi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declration on elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief).  Pasal 2 Deklarasi ini mewajibkan negara untuk mengambil tindakan efektif dalam mencegah atau menghapus praktik diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Bahkan negara juga memiliki kewajiban untuk membatalkan setiap produk perundang-undangan yang berisi pesan diskriminasi.

 

Kedua, dokumen Deklarasi untuk Melindungi Hak-Hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). Pasal 4 ayat (2) Deklarasi tersebut menyatakan negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi individu-individu minoritas agar mereka bisa menjalankan ritual agamanya dengan bebas. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk menciptakan iklim kondusif agar individu-individu minoritas dapat menjalankan ibadahnya dengan baik.  

 

 

 

Indikator kekerasan agama oleh Pemerintah

 

Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Kekerasan Agama yang dilakukan Pemerintah

a. Kebijakan tentang Penodaan Agama

Pembatasan jumlah agama di Indonesia tidak memiliki pijakan dalam perundang-undangan.. Namun, pendefinisan agama menurut Departemen Agama yang memiliki syarat-syarat berikut: memiliki kitab suci, memiliki Nabi, Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa), memiliki tata ibadah bagi pengikutnya, telah diartikan sebagai pembatasan jumlah agama. Keberadaan agama-agama lain seperti Yahudi, Shinto, Zaratustarian, Taoisme tidak dilarang di Indonesia. Anehnya, agama-agama suku yang adalah agama pertama penduduk Indonesia tidak diakui keberadaannya dan mereka wajib bergabung pada salah satu agama resmi negara, jika tidak akan kehilangan hak-hak sipilnya. Daerah dimana penganut agama-agama suku itu tinggal menjadi ladang misi agama-agama resmi, sedang daerah dimana penganut agama resmi menjadi tempat terlarang bagi misi agama-agama lain.

Pemberlakuan agama resmi sebagaimana dilakukan pada masa Soekarno juga terjadi pada masa orde baru. Bahkan yang lebih tragis, agama Konghucu pada masa Soeharto tidak diakui keberadaannya sebagai agama resmi melalui penetapan Presiden No. 1/Pn.ps/1965, dan dalam undang-undang no.5 tahun 1969 tentang jenis-jenis agama di Indonesia yang terdiri atas, Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, tidak lagi diakui pada masa Soeharto melalui Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negri No.477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978. yang menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.  Umat Konghucu Indonesia baru kembali diakui keberadaannya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, aliran kepercayaan dan agama-agama suku sampai saat ini tetap mengalami pemasungan karena tidak pernah diakui eksistensinya sebagai agama.

Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.  Pada praktiknya SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen. Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah, umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa daerah terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja. Ketetapan bahwa negara menjamin kebebasan warga negara untuk beribadah menurut kepercayaannya masing-masing telah disangkal dengan keluarnya SKB tahun 1969 itu. SKB ini menjadi alasan bagi penutupan, bahkan perusakan disertai pembakaran terhadap rumah-rumah ibadah agama minoritas.

SKB dua menteri ini pada masa reformasi mengalami perubahan menjadi Peraturan  Bersama Menteri (PBM) dalam peraturam bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri nomor 9 tahun 2006, dan nomor 8 tahun 2006. Namun, inti dari PBM tersebut tidak berbeda dengan SKB yang terindikasi memuat pasal-pasal yang membatasi kebebasan beragama, khususnya pembangunan tempat ibadah yang menuntut adanya sejumlah 60 tanda tangan orang dewasa dari aggota masyarakat dimana tempat ibadah itu akan didirikan. Untuk  pendirian Gereja, sekurang-kurangnya diajukan oleh 90 orang anggota dewasa. Setelah pemberlakuan PBM, pembakaran, pengrusakan tempat ibadah terus terjadi, Forum Komunikasi Kristen Jakarta mencatat selama 21 Maret 2006 hingga 17 Agustus 2007 terdapat 67 Gereja yang mendapat tekanan dan gangguan. Yang mengherankan, surat keputusan yang kontroversial dan tidak produktif ini tidak juga dibatalkan. Arti penting sebuah rumah ibadah untuk menjalankan ibadah secara bersama-sama itulah yang membuat pemerintah Indonesia pada awalnya tidak mewajibkan pengurusan ijin pendirian rumah ibadah, apalagi pada awalnya daerah-daerah di Indonesia umumnya bersifat homogen. Namun, dengan berjalannya waktu, dan perpindahan penduduk yang makin tinggi, maka daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih heterogen, dan hadirlah  persoalan terkait dengan pendirian rumah ibadah.

 

Untuk mengatasi konflik tentang pendirian rumah ibadah pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang pendirian rumah ibadah. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1969 dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya.

 

Terbitnya SKB tersebut ternyata kemudian dijadikan instrumen bagi penutupan gereja di berbagai tempat. Dengan alasan itu kemudian pemerintah merevisi SKB tersebut menjadi PBM No. 9/2006 dan 8/2006 dan di dalamnya juga mengatur pendirian rumah ibadah. PBM memang memiliki perbedaan dengan SKB, namun keduanya memiliki persamaan. Yakni mensyaratkan keharusan pengurusan ijin rumah ibadah. 

b. Kebijakan Penyiaran Agama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri juga membuat keputusan bersama nomor 1 tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Pasal 4 dari keputusan tersebut menjelaskan bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan bagi  orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain. 

Perundang-undangan yang diskriminatif juga menyasar aliran Ahmadiyah. Menteri Agama dan jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri mengeluarkan SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya. SKB tersebut memang tidak membubarkan aliran Ahmadiyah, namun melarang penyebaran Ahmadiyah, meski masyarakat banyak yang mengartikannya sebagai pembubaran Ahmadiyah, sehingga setelah keluarnya keputusan itu tanggal 9 juni 2008, pemeluk Ahmadiyah mengalami ancaman.

Direktur Jenderal Hak Asasi manusia (HAM) Harkristuti menduga SKB yang mengatur jemaat Ahmadiyah dan aktivitasnya diterbitkan setelah ada demonstrasi besar yang dilakukan sejumlah ormas di antaranya Hizbut Tahir (HTI), Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Laskar Aswajah, Aliansi Damai Antipenistaan Islam, dan Forum Betawi Rempug (FBR) di istana Kepresidenan yang meminta agar Ahmadiyah di bubarakan.Jadi jelaslah, lahirnya Produk undang-undang yang diskriminatif terkait ketidakkonsistenan pemerintah demi mencari posisi aman untuk tetap terus berkuasa.

c. Perda-perda agama

Produk undang-undang diskriminatif tidak hanya hadir melalui pusat pemerintahan, tetapi juga melalui pemerintahan lokal. Peraturan daerah (Perda) yang berbasis agama muncul diberbagai daerah, awalnya pada daerah-daerah dimana Islam menjadi mayoritas, itulah sebabnya perda-perda agama itu popular dengan sebutan Perda Syariat.

Maraknya penerapan Perda-perda Syariat diberbagai daerah di Indonesia terutama sejak provinsi Aceh  memberlakukan ketentuan syariat Islam di wilayahnya, setelah mendapatkan otonomi khusus melalui perundang-undangan nasional. Sulawesi Selatan dan Jawa Barat mengikuti jejak Aceh memberlakukan ketentuan Syariat di wilayahnya.Perda agama ini setidaknya telah diberlakukan di tingkat provinsi (6), Kabupaten (38), Kota (12).

Diskriminasi yang lahir karena penerapan perda agama itu kemudian menimbulkan perlawanan pada daerah-daerah dimana pemeluk agama non Islam yang menjadi mayoritas. Provinsi Bali dengan mayoritas agama Hindu Bali menuntut otonomi khusus sebagaimana yang diberikan pada provinsi Aceh.

Reaksi kontroversial atas perda agama (Perda syariat) datang dari wilayah Papua, Manokwari. Munculnya usulan Perda berbasis Injil sebagai proteksi terhadap Islamisasi di Papua dari tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, yang juga mendapat dukungan masyarakat, serta pemerintah lokal Manokwari mengakibatkan kebebasan beragama menjadi problem serius bukan hanya pada daerah-daerah mayoritas Islam, tapi juga pada daerah-daerah mayoritas Kristen dan juga mayoritas  Hindu. 

tentang kebebasan beragaama tingginya kekerasan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa implementasi dari undang-undang tersebut amat lemah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam memberikan andil bagi tingginya kekerasan agama di Indonesia juga berkait dengan ketidakkonsistenan pemerintah dalam berpegang pada konstitusi. Lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, merupakan contoh ketidak konsisitenan pemerintah yang menghadirkan aturan yang dikriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Menariknya lagi,  SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen (lihat Bab I). Hal itu semakin jelas ketika melihat latar belakang dikeluarkannya SK tersebut, yakni karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa tempat terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja.

Lahirnya undang-undang No. 1/1974 dimana Konghucu tidak tercantum sebagai agama resmi, jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang mengakui kebebasan beragama. Apalagi undang-undang perkawinan tersebut juga terbukti telah mengekang kebebasan beragama yakni adanya larangan menikah beda agama.

Selanjutnya, dalam Instruksi Menteri Agama No. 4/1978 dimana departemen agama tidak mengakui aliran kepercaayaan, jelas membuktikan bahwa transformasi Pancasila kedalam aturan-aturan dibawahnya tidak berjalam dengan mulus, banyak aturan-aturan di negeri ini yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD.

Tidak konsistennya pemerintah dalm berpegang pada konstitusi khususnya terhadap hak kebebasan beragama semakin terlihat jelas dengan kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah  dimana agama-agama tertentu menjadi mayoritas. Kehadiran perda-perda diskriminatif tersebut kemudian membua interdepedensi antar agama makin tergerus, dan intoleransi agama makin menguat di negeri yang terkenal dengan kerukunannya.


Kekerasan Agama yang dilakukan pemerintah


Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/kebijakan-deskriminatif-dan-kekerasan.html


 

 

Friday, November 6, 2020

Pemisahan Agama dan Negara









Pemisahan Agama dan Negara


OLEH: BINSAR ANTONI HUTABARAT

 

Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sebaliknya negara agama yang menempatkan agama tertentu sebagai agama negara terbukti telah mendeskriminasikan agama tertentu. Agama dan negara tampaknya tidak dapat dipisahkan, namun agama dan negara juga tidak bisa saling menaklukkan. Hubungan antara agama dan negara yang tidak saling menaklukkan ini tampak dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apalagi hubungan antara agama dan negara ini merupakan sebuah kesepakatan Bersama. Pertanyaanya kemudian apakah ada dasar teori hubungan agama dan negara yang didasarkan sebuah kompromi bersama sebagaimana ditetapkannya Pancasila sebagai dasar hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan?

 
Hubungan Agama dan Negara.

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, “bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.” Ippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.

Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati. Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”

Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.” 

Tesis negara sekular yang menapikkan peran agama jelas perlu ditinjau kembali. Namun, fakta-fakta yang mendasari konsep sekularisasi perlu dipahami secara benar, sehingga pengulangan kesalahan tidak terjadi. Istilah “secular”, “secularized” dan “secularization” menurut José Casanova berasal dari kata Latin (zaman pertengahan) “saeculum” yang berarti “dunia”. Dalam Hukum Kanun (Canon Law), sekularisasi merujuk pada suatu “aksi legal”manakala seorang “religious”meninggalkan biara untuk kembali ke “dunia”dengan segala godaannya yang oleh karenanya menjadi manusia “sekuler”. Secara Kanonik, para pendeta bisa religious sekaligus sekuler, sehingga pengertian religious tidak selalu berkaitan dengan “dunia lain” (other wordly) melainkan juga suatu cara hidup (a mode of being) di dunia ini. 

Jadi pemisahan yang sakral dengan sekular secara total adalah mustahil. Untuk memahami pembedaan sekular dan yang sakral ini, identifikasi José Casanova terkait tiga makna utama dari agama dalam teori sekularisasi perlu dipahami dengan baik: (1) sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), yang mengklaim bahwa agama akan terus-menerus mengalami kemunduran di dalam dunia modern sampai pada akhirnya akan lenyap; (2) sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), menyatakan, diferensiasi institusi modern mau tidak mau mengharuskan agama dimasukkan ke dalam wilayah institusionalnya sendiri, karena agama mau tidak mau mengancam struktur-struktur diferensiasi modern; dan (3) sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), yang mengacu kepada diferensiasi fungsional dari institusi-institusi religius dari wilayah-wilayah lain di dalam masyarakat modern, khususnya negara, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), dan sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), dipegang oleh tokoh-tokoh ilmu-ilmu pengetahuan sosial mulai dari Karl Marx, John Stuart Mill, Auguste Comte, dan Herbert Spencer sampai kepada Emile Durkheim, Max Weber, dan Sigmund Freud. Pandangan tokoh tokoh tersebut kurang mempunyai bukti empiris karena agama tidak mengalami kemunduran.

Menurut Casanova sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation) merupakan pilihan yang tepat. Deprivatisasi agama dalam dunia modern adalah sebuah keharusan. Bagi Casanova, deprivatisasi agama ini tidak terbatas pada masyarakat-masyarakat Barat. Tetapi juga meliputi tradisi-tradisi religius lain juga, seperti Islam, Yudaisme, Hindu, dan Buddha di dalam masyarakat-masyarakat non-Barat. Karena deprivatisasi agama itu meliputi seluruh dunia dan pada berbagai tradisi religius, maka tesis privatisasi patut dipertanyakan. David Hollenbach berpendapat, setiap usaha untuk mendukung teori privatisasi semacam itu sebagai “tujuan normatif” bisa dipertanyakan juga.

Karena dimana agama menjadi selera pribadi tersendiri, kehidupan publik kehilangan kedalaman makna yang bisa menimbulkan kesetiaan dan komitmen di antara para warga negara. Hasilnya yang merupakan anomali bisa menciptakan sebuah ruang hampa dimana kekuatan-kekuatan fundamentalis bisa masuk ke dalamnya, hampir pasti tanpa kesantunan dan mungkin dengan kekerasan.

Hollenbach dengan demikian setuju dengan tesis sentral Casanova: agama harus dibedakan dari wilayah-wilayah lain kehidupan publik seperti negara. Sekularisasi sebagai diferensiasi meliputi pembedaan wilayah masyarakat dimana agama tidak lagi mendefinisikan “realitas yang meliputi segala sesuatu” dimana ruang sekular menemukan tempatnya yang tepat. Mengutip Hollenbach, Benyamin F. Intan menjelaskan, istilah “diferensiasi” seharusnya dipahami sebagai “pembedaan,” dan bukan sebagai “pemisahan ke dalam ruang-ruang yang terpisah ketat.”

Diferensiasi agama dan berbagai dimensi kehidupan publik mempunyai konotasi berbeda dengan “pemisahan.” Di Amerika Serikat, pemisahan gereja dari negara sering kali disamakan dengan pembatasan agama menjadi sepenuhnya wilayah pribadi yang terpisah dari kekuasaan pemerintah. Berlawanan dengan hal ini, diferensiasi agama dari wilayah kekuasaan negara tidak menyingkirkan semua pengaruh agama di dalam kehidupan publik atau di dalam dunia politik pada umumnya ... Tetapi, pengaruh agama di dalam kehidupan publik dan bahkan politik bisa terjadi bahkan dimana negara dan gereja secara institusi berbeda. Bisa saja terjadi pengaruh publik oleh agama yang diberikan tanpa kontrol negara oleh gereja. Jadi ada pilihan ketiga bagi “integralisme” [kesatuan gereja-negara] di satu sisi dan privatisasi agama di sisi lain. Di dalam pilihan ketiga ini, komunitas-komunitas religius bisa memberikan dampak terhadap kehidupan publik sementara, pada saat yang sama, pelaksanaan agama yang bebas dan  bukan sebagai agama negara (non-establishment) sepenuhnya dilindungi.

Sekularisasi yang tidak menyangkali peran agama tidak harus menyebabkan kemunduran agama atau berarti privatisasi agama. Modernisasi tidak memiliki hubungan langsung dengan kemunduran agama. Modernisasi tidak menghilangkan agama dalam masyarakat. Modernisasi hanya menggeser lokasi sosial dari agama.

Tesis sekularisasi mengenai kematian agama perlu diperbaiki karena agama tidak menghilang, dan tampaknya agama memang tidak mungkin menghilang. Karena itu dalam hubungan agama dan negara seharusnya agama tetap mendapatkan tempat yang terhormat. 

Selaras dengan Casanova Yudi Latif menjelaskan:

Bila sekularisasi sebagai proses pemudaran dan pemisahan peran agama (dari negara) tidak memiliki bukti empiris yang kuat , teori modernisasi (termasuk sekularisasi) menyisakan satu asumsi yang bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses “pembedaan” (differentiation). Hal ini merujuk pada perbedaan fungsional antara institusi-institusi keagamaan dari ranah lain dalam masyarakat modern, terutama negara, ekonomi dan sains.

Sejalan dengan Casanova selanjutnya Yudie Latief menerangkan:

Dengan proses differensiasi ini, terjadi pembedaan antara ranah sosial (social sphere) ke dalam ragam fungsi yang di dalamnya agama tidak lagi menjadi pendefinisi tunggal semua realitas, yang memungkinkan bidang sekuler menemukan tempatnya yang pas, istilah differentiation ini harus dipahami sebagai distinction (pembedaan) , bukanlah separation, yang membawa kearah isolasi secara terpisah . Sebagai realitas politik , konsep ini mengacu pada prinsip distinction antara otoritas agama dan politik, berdasarkan pemahaman bahwa masing-masing terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (meskipun saling berhubungan) dalam tujuan, metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan.

Dalam pandangan Casanova, diferensiasi modern menjadi penyangkal dari asumsi pemudaran agama, karena ternyata berperan penting dalam menumbuhkan gairah kegamaan dalam masyarakat modern. Ketika agama terintegrasi dengan negara, represi negara membawa konsekwensi ketidakpercayaan public pada agama yang dampaknya bertahan lamaseperti dalam masyarakat Eropa. Dalam penilaian Mohammad Hatta, “Negara teokrasi tidak memperdalam perasaan agama atau memperkuat semangat agama, melainkan mempergunakan agama untuk keperluan negara” Dengan adanya diferensiasi, agama bisa mengembangkan otonomi relative dalam menyediakan landasan moralitas baik untuk menopang maupun untuk menentang kekuasaan politik. Hal ini memberikan sandaran alternative bagi warga ketika mengalami kekecewaan atas kekuasaan politik dan dunia kehidupan.

Mengutip Stepan, Yudie Latie berpendapat bahwa tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang memberi peluang bagi pengembangan “toleransi kembar” antara negara dan agama bisa mengembangkan peran publiknya masing-masing tanpa saling memaksa karena menemukan konteks keterlibatannya yang tepat. Diferensiasi agama dari domain kekuasaan negara tidak melucuti seluruh pengaruh agama dalam ruang publik. Pengaruh agama dalam kehidupan publik bahkan politik tetap bisa berlangsung ketika negara dan agama berbeda secara institusional. Terbuka peluang bagi pengaruh agama atas negara. Dengan alternative di luar kerangka integrasi dan separasi ini. Komunitas agama tetap bisa memiliki pengaruh publik, berkelindan dengan kewenangan negara untuk mengembangkan institusi-institusi demokratis dalam kerangka konstitusi dan hak-hak asasi manusia. 

 

Pemisahan agama dan negara dalam negara Pancasila

Pernyataan Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang sebelumnya tidak pernah ada, pada awalnya belum mendapatkan landasan teoritis, kecuali sebagai sebuah kesepakatan bersama dari rakyat Indonesia yang beragam agama. Namun, mengacu pada pandangan Casanova tentang sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), jelaslah bahwa pembedaan agama dan negara yang dinyatakan bukan negara agama dan bukan negara sekular yang menolak agama merupakan jalan tengah yang terbaik untuk menghadirkan kehidupan publik yang baik mendapatkan landasan teoritisnya.

Melihat sejarah ditetapkannya Pancasila di Indonesia sebagai dasar bagi hubungan agama dan negara harus diakui itu tidak terlepas dari peran aktif agama-agama yang ada di Indonesia. Muslim Indonesia sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia juga jauh dari monolitik. Demikian juga agama-agama suku yang tersebar diberbagai daerah Indonesia. Semua agama di Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Penetapan hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila merupakan sumbangsih agama-agama di Indonesia yang diakui memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Agama Islam, memainkan peran yang sangat krusial di dalam mendorong nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Muslim Indonesia dalam hal ini harus dipahami dalam keragamannya, karena Muslim Indonesia tidak monolitis.

Gelombang gerakan nasionalis Indonesia juga tidak terlepasa dari perjuangan orang-orang Kristen juga mengambil bagian di dalam gerakan tersebut. Seperti banyak organisasi nasionalis Indonesia lain, sejak pendiriannya tahun 1925, Partai Katolik  telah mendukung gerakan nasionalis. Para pemimpin Indonesia pada waktu itu menyadari agar mereka bisa mencapai kemerdekaan Indonesia, mereka harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi politik nasionalis Indonesia lain. Di dalam konteks historis gerakan nasionalis Indonesia ini, muncullah dua kelompok berbeda di dalam wacana politik Indonesia: golongan kebangsaan (secular nationalists) dan golongan Islam (Muslim nationalists).  Kompromi antara kelompok nasionalis sekular dan nasionalis Muslim dalam pembentukan negara Pancasila yang membedakan agama dan negara ini dijelaskan Supomo demikian:

Menciptakan sebuah Negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mengkaitkan negara itu sendiri dengan kelompok yang terbesar, kelompok Islam. Jika sebuah Negara Islam diciptakan di Indonesia, maka tentunya golongan minoritas akan bangkit, masalah kelompok-kelompok kecil religius, dari kalangan Kristen dan yang lain-lain. Meskipun Negara Islam akan melindungi kepentingan-kepentingan kelompok lain sebaik mungkin, kelompok-kelompok religius yang lebih kecil ini tentunya tidak akan bisa merasa terlibat di dalam negara.

 

Selanjutnya, Supomo menerangkan:

Di dalam negara Indonesia para warga negara harus didorong untuk mencintai tanah leluhurnya, untuk memberikan diri mereka kepada dan mengorbankan diri mereka demi negara, untuk melayani dengan senang tanah leluhur, untuk mencintai dan melayani para pemimpin mereka dan negara, untuk tunduk kepada Tuhan, untuk memikirkan Tuhan setiap saat. Semua hal ini harus terus-menerus didukung dan digunakan sebagai dasar moral bagi negara kesatuan nasional ini. Dan saya yakin bahwa Islam akan memperkuat prinsip-prinsip ini.

dari awal masa pra-kemerdekaan Indonesia, agama-agama berperan penuh dan memberikan sumbangsih-sumbangsih utama bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Inspirasi agama adalah salah satu faktor terpenting yang mendukung gerakan nasionalis Indonesia dengan mendukung kesatuan nasional melawan penjajahan Belanda.

Mengenai hubungan antara agama dan negara dalam Darmaputera seorang teolog Kristen menjelaskan demikian:

 

Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama, artinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.

 

Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya bangsa Indonesia, kesepakatan Bersama rakyat Indonesia. Soekarno mengakui bukan pembuat Pancasila, tetapi menggali di dalam buminya rakyat Indonesia. Pancasila sebagai nilai-nilai yang universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Penerimaan Pancasila tidak akan menghapuskan identitas yang ada.

Hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang unik itu didasarkan pada Pancasila. Bentuk negara Pancasila yang dimaksud dalam hal ini adalah negara yang memisahkan antara agama dan negara. Negara Pancasila bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta memperlakukan agama-agama secara sama dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.

 

 

Ambiguitas Diferensiasi Agama dan Negara di Indonesia

 

Agama dan negara berbeda. Agama tidak boleh menguasai negara, demikian juga negara tidak boleh meyingkirkan peran agama di tengah masyarakat.  Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara apabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan keteriban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok yang ada.

Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Ambiguitas kebijakan diferensiasi agama dan negara di Indonesia terlihat pada beberapa hal antara lain: Negara mendukung beberapa agama, dan tidak mendukung beberapa agama termasuk agama-agama suku atau kepercayaan meski tetap memberikan hak hadir di bumi Indonesia (4). Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. Di Indonesia aturan ini telah digunakan menjadi alat untuk menutup rumah ibadah yang bermasalah dalam perizinan dan yang tidak memiliki izin. 7. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua agama (negara memberikan bantuan terhadap agama tertentu) 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua agama. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan.15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte.16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut.18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu.19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas.

 

Berdasarkan skala di atas jelaslah bahwa kebijakan terkait agama di Indonesia tidak sesuai dengan kebijakan Pancasila yang membedakan agama dan negara. Karena negara terlihat dalam undang-undang dan peraturan tururnannya tidak mengacu pada Pancasila. Ambiguitas kebijakan tersebut membuat hubungan antara agama dan negara, agama dan agama atau toleransi kembar tidak terimplementasi dengan baik. Ambiguitas ini terjadi karena adanya Keragaman apresiasi terhadap Pancasila. Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.

Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara. Keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun.Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat Pancasila yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada.

Lahirnya otonomi daerah di era reformasi ternyata menimbulkan persoalan baru, khususnya dalam hubungan antar agama. Daerah dengan mayoritas agama tertentu kemudian menuntut kekhusussannya meski harus mendiskriminasikan agama-agama lain. Peraturan daerah (perda) agama pun muncul di berbagai tempat dan mengancam kebebasan beragama. Kehadiran perda-perda bernuansa agama pada umumnya tidak secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai perda agama, namun isinya yang memuat nilai-nilai agama tertentu dan terindikasi mendiskriminasikan agama-agama lain mengidentikkan dirinya sebagai perda agama, biasa juga disebut perda yang melanggar hak-hak asasi manusia. Perda bernuansa agama itu sukses diberlakukan di beberapa provinsi di Indonesia, setidaknya itu telah ditetapkan di 13 provinsi di Indonesia.

Sifat diskriminatif yang melekat pada perda-perda agama itu menimbulkan perlawanan dari mereka yang terdiskriminasikan, namun perda-perda agama tersebut terus saja melenggang sambil mengklaim diri terlahir secara demokratis. Apalagi ketika demokrasi direduksi hanya pada pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Diskriminasi yang dihadirkan oleh perda agama Islam kemudian memicu lahirnya raperda bernuansa agama Kristen. Meskipun raperda bernuansa agama Kristen tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai kebijakan daerah karena tidak disetujui mayoritas.

 

Ambiguitas diferensiasi negara dan agama di Indonesia terjadi karena pembuatan kebijakan publik terkait agama sering kali gagal untuk tunduk pada prinsip-prinsip Public reason dan public deliberation. Dalam negara Pancasila, ajaran keagamaam boleh saja memberikan inspirasi, namun formulasinya harus mengalami proses substansial (tidak secara literer merujuk pada kitab dan doktrin keagamaan) guna memenuhi legitimasi demokratis yang bersifat rasional dan imparsial. Ini dapat dipahami karena keputusan publik-politik dianggap rasional imparsial jika didasarkan pada fakta (bukan doktrin semata), dan diorientasikan bagi kepentingan banyak orang dan jangka panjang, serta melibatkan partisipasi semua kalangan secara inklusif. Sehingga tidak satu agama dapat mengklaim bahwa kebijakan publik itu adalah hasil penguasaan kelompok agama tertentu.

 

PENUTUP

 

Menata hubungan agama dan negara dalam sebuah negara Indonesia yang beragam memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Karena semua agama merasa memilki jalan terbaik untuk terciptanya hubungan antar agama dalam sebuah negara yang beragam. Apalagi pada daerah-daerah dimana konflik bernuansa agama telah terjadi. Konflik kekerasan antar agama itu telah menimbulkan kecurigaan antarpemeluk agama yang berbeda, dan perasaan curiga tersebut tidak mudah dihapuskan. Oknum-oknum  yang terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama tidak dengan sendirinya akan melepaskan nikmatnya kekuasaan tersebut. Namun perjuangan semua rakyat Indonesia yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik

Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan yang suci menghargai keragaman agama-agama yang adalah realitas Indonesia. Pancasila adalah dasar yang kokoh bagi negara demokrasi yang menghargai Pluralisme agama. Demokrasi yang menghargai pluralisme agama ini adalah pilihan terbaik Untuk Indonesia, dan juga bangsa -bangsa di dunia.

Negara Pancasila yang membedakan agama dan negara sejalan dengan teori Casanova secara bersamaan juga menyempurnakan demokrasi Barat yang sekuler, yang meminggirkan agama. Salah satu negara di dunia yang menganut pemerintahan demokrasi yang tidak meminggirkan agama adalah Turki, negara ini terus mengembangkan  demokrasi yang tidak didasarkan agama dan juga bukan negara sekuler yang menolak agama.Demokrasi sekuler yang meminggirkan agama saat ini semakin ditolak seiring tuduhan bahwa sekularisme adalah juga agama, meski ide sekularisme sebagai agama itu sendiri merupakan paradoks.

Pancasila merupakan kesepakan bersama agama-agama di Indonesia untuk menaungi semua agama-agama yang beragam di Indonesia. Model pemerintahan negara Pancasila ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menentukan hubungan ideal antara agama dan negara. Pancasila adalah negara pluralisme agama yang memposisikan agama-agama pada tempat terhormat tanpa mendeskriminasikan agama tertentu. Perjalanan negara Pancasila itu tidak selalu mulus, bahkan tidak jarang ditemukan konflik suku, agama, ras dan antar golongan hingga skala besar. Namun, semua itu terjadi karena terjadinya keragaman apresiasi terhadap Pancasila, bukan karena kelemahan yang ada pada diri Pancasila.

 


Pemisahan Agama dan Negara

https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/ambiguitas-diferensiasi-agama-dan.html

Thursday, November 5, 2020

Moral Kerja Kristen






Moral Kerja Kristen

Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti. Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. (2 Tesalonika 3:  7-10)

 

Ora Et Labora sebagai Moral Kerja Kristen

Berdoa dan bekerjalah, Ora Et Labora merupakan pesan Paulus kepada jemaat di Tesalonika yang sedang bingung menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali. Jemaat Kristen masa kini perlu setia menaikkan doa syafaat bagi pemberitaan Injil dan melakukan sehari-hari dengan bergairah untuk kemuliaan Tuhan.

 

Jemaat Tesalonika juga sudah diingatkan supaya mereka jangan bingung dan gelisah dalam menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali. Kedatangan Yesus yang kedua kali ada dalam waktu Tuhan, dan umat Allah diminta untuk senantiasa siap sedia menyambut hari itu dengan tetap mengerjakan pekerjaan sehari-hari, dan tidak hidup dalam kemalasan.

 

Mereka yang malas bekerja diingatkan Paulus untuk tidak makan, karena kemalasan seseorang akan menjadi beban yang lain, yakni makan dari jerih lelah orang lain, bahkan bisa mengarah pada tindakan merampas milik orang lain karena dorongan rasa lapar atau kebutuhan yang tak terpenuhi dengan hidup bermalas-malasan.

 

Moral Kerja Kristen dalam Teladan Paulus

Sebagai seorang pelayan Injil, Paulus berhak mendapatkan dukungan dana dan sarana dari jemaat yang dilayani demi efektifitas pelayanan Paulus, sehingga Paulus bisa berkonsentrasi melaksanakan tugas pelayanannya.

 

Menariknya, pada banyak tempat Paulus justru berusaha mencukupkan diri sendiri dengan bekerja. Apalagi jemaat yang dilayani Paulus adalah jemaat rintisan yang umumnya belum kuat memberikan dukungan dana, sarana dan prasarana.

 

Paulus mengutamakan terlaksananya misi Allah yang diberikan kepada dirinya. Bekerja dengan kompetensi dirinya yang luar biasa, tentu saja bisa menghasilkan banyak uang. Namun, Paulus tidak berorientasi pada pengumpulan dana bagi kemegahan dirinya, sebaliknya fokus pada memperluas pemberitaan Injil.

 

Tak ada mimpi untuk berdiam di zona nyaman, meski Paulus tentu bisa mendapatkannya. Tidak ada keinginan untuk bermalas-malasan denga menggunakan dana yang diinvestasikannya. 


Paulus tidak kaya, tapi telah memperkaya banyak orang. Seluruh kekayaan Kristus dianugerahkan Allah kepada Paulus dalam Kristus. Tapi, bekerja melaksanakan misi Allah tak tergantikan dengan apapun.

 

Moral Kerja Kristen yang didemonstrasikan Paulus merupakan teladan bagi jemaat di Tesalonika. Paulus bukan hanya memerintahkan jemaat Tesalonika hidup tertip, berdoa syafaat dan melaksanakan pekerjaan sehari-hari, tapi moral kerja yang ditampilkan Paulus mampu berbicara lebih kuat, dibandingkan sebuah nasihat yang hanya bersifat verbalisme. 


Dr. Binsar Antoni Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/moral-kerja-kristen.html


Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...