Pocast Rukun Beragama

Video

Wednesday, November 11, 2020

Menyuburkan Pola Berpikir Pluralisme




 

 Menyuburkan Pola Berpikir Pluralisme


Pluralitas agama-agama adalah suatu kenyataan. Menyeragamkan agama-agama yang beragam itu sama saja dengan menyangkali realitas. Pancasila adalah payung yang lebar bagi agama-agama di Indonesia untuk memberikan kontribusi positifnya dalam realitas keragaman agama-agama itu. 



“Selama hubungan agama dan negara tidak pernah jelas atau dirancukan dinegeri ini, konflik antar umat beragama yang marak pada era reformasi di negeri ini akan terus terjadi.” Pernyataan ini diungkapkan oleh Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Andreas Yewangoe pada seminar, Kebebasan Beragama dan Tanggung Jawab Pemerintah. Jumat 6 /11 di Graha Bethel Jakarta untuk merespons penutupan rumah ibadah oleh pemerintah, melalui atau tanpa desakan kelompok tertentu.

 

Hubungan antara agama dan negara di negeri ini sebenarnya sudah cukup jelas, hanya saja ada kelompok-kelompok yang masih belum menerimanya. Repotnya, kelompok-kelompok tersebut tetap saja mengakui tidak menentang Pancasila, dan yang lebih memprihatinkan adalah memasukkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah sebabnya di negeri yang mengakui kebebasan beragama ini konflik antara agama masih saja terus terjadi.

 

Kalau saja semua orang dinegeri ini mau konsisten dengan Pancasila, maka koflik antar agama atau konflik dalam agama yang terjadi karena perbedaan ajaran atau doktrin, sesungguhnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila memberikan tempat pada agama-agama tanpa harus melepaskan identitasnya. Demikian juga perbedaan ajaran agama dapat diselesaikan dengan cara-cara yang santun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karena menerima Pancasila berarti menerima keragaman agama-agama atau pluralisme agama.

 

Yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia telah berjuang untuk menyuburkan pola berpikir pluralisme yang dijiwai Pancasila itu atau tidak. Kegigihan semua warga bangsa dinegeri ini untuk mempromosikan pola berpikir pluralisme, akan sangat menetukan hubungan antar agama di negeri ini di masa depan.

 

 

Pluralitas dan Pluralisme

Istilah pluralisme sering kali disamakan dengan pluralitas dalam diskusi-diskusi di Indonesia. Karena Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah. Latin =jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada; yang ada hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak satu”, sedangkan pluralis diartikan: “bersifat jamak (banyak)”

 

Pluralitas dengan pluralisme sebenarnya sesuatu yang berbeda. Pluralisme merupakan diskusi yang menanyakan darimanakah asal kejamakan atau kemajemukan tersebut. Dalam diskusi mengenai pluralisme agama yang ingin ditanyakan adalah, sebab dan akibat kejamakan dari agama-agama.

 

Jadi, diskusi tentang pluralisme agama biasanya berbicara bahwa dalam kejamakan agama-agama yang ada pasti memiliki sumber yang sama. Kemudian lahirlah pemahaman pluralisme agama yang menganggap bahwa semua agama berasal dari sumber yang sama dan berarti sama-sama valid. Definisi pluralisme yang menyamakan agama-agama ini menimbulkan polemik dinegeri ini yang melahirkan banyak penolakan terhadap penerimaan pluralisme agama. Padahal, pluralisme agama tidak harus diartikan bahwa agama-agama itu sama, tetapi juga tetap mengakui identitas agama-agama yang beragam.

 

Kita tentu paham, negara menerima pluralisme agama bukan karena negara itu memiliki wewenang untuk menentukan bahwa semua agama sama-sama benar dan berasal dari sumber yang sama, karena negara tidak berteologi. Namun, penerimaan negara terhadap pluralisme agama didasarkan pada pemahaman bahwa penentuan kebenaran agama-agama bukanlah wewenang negara.

 

Penerimaan negara atas agama-agama sama-sama benar karena agama-agama itu  merupakan pilihan hati nurani setiap warga negara, yang adalah hak setiap manusia, biasa disebut sebagai pluralisme dalam bidang politik dan sosial yang didefiniskan dalam kamus The Oxford English Dictionary demikian :1.Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-oraganisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik.2. Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.

 

 

Pengertian pluralisme sebagaimana dijelaskan dalam kamus Oxford di atas seharusnya terjadi dalam pemerintahan, demikian juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi dalam negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Apabila pola berpikir pluralisme ini ada dalam kehidupan kelompok, suku, budaya dan agama, maka tidak ada kelompok, suku, budaya, dan agama yang akan berusaha menciptakan pemerintahan yang monolitik, baik oleh pengaruh suku, agama maupun budaya, karena semua individu mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.

 

Demikian juga pemerintahan yang menerima pluralisme agama-agama akan memperlakukan semua agama yang ada memiliki kesamaan didalam hukum dan pemerintahan. Jadi agama-agama dapat berperan dalam pemerintahan, namun tidak boleh mendominasi negara. Memaksakan pandangan agama tertentu kepada negara berarti penguasaan agama atas negara.

 

Usaha untuk menjaga eksistensi komunitas agama-agama  adalah tanggung jawab komunitas agama tersebut, karena komunitas itu dibangun atas kerelaan pribadi, sehingga keluarnya individu dari komunitasnya karena pengaruh dari komunitas di luarnya tetap merupakan pilihan individu. Keputusan tersebut didasarkan pada hak yang melekat pada dirinya, dan komunitas agama harus menghargainya, karena hak individu tersebut tidak boleh dirampas oleh komunitas di mana individu itu menyatu.

 

Penolakan agama-agama terhadap penerimaan pluralisme agama oleh negara sebenarnya adalah sesuatu yang tidak berdasar, atau dapat dikatakan salah tafsir. Penerimaan atas pluralisme agama adalah perwujudan dari negara yang mengakui kebebasan hati nurani. Negara mengakui bahwa setiap individu berhak memilih siapa yang ingin ia sembah, atau siapa yang ia tidak ingin sembah. Karena manusia dalam hati nuraninya adalah raja. Karena itu negara wajib menjaga hak setiap individu untuk mengikuti apa kata hati nurani mereka.

 

Apabila pola berpikir pluralisme ini kita promosikan dengan sungguh-sungguh dan terimplemantasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keragaman agama-agama bukan lagi menjadi persoalan. Sebaliknya keragaman agama-agama itu diterima sebagai suatu berkah. Agama-agama dalam hal ini dapat belajar satu dengan lainnya untuk semakin memperdalam pemahaman agama masing-masing.

 

 

Binsar Antoni Hutabarat

Binsar Hutabarat Institute

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/menyuburkan-pola-berpikir-pluralisme.html



Menguduskan Politik








Menguduskan Politik




Menguduskan politik hanya mungkin jika mereka yang mendedikasikan diri dalam dunia politik memiliki semangat untuk menguduskan dunia politik untuk kesejahteraan umat manusia.

  Moral dan Politik

Theodor Heuss dan Carlo Schmid benar ketika mengungkapkan peribahasa yang terkenal, “bukan politik yang merusak karakter, tetapi karakter-karakter yang jelek yang merusak politik.”Peribahasa ini sekaligus membantah “politik itu merusak karakter.” Harus diakui, ada orang-orang yang berubah menjadi berperilaku buruk setelah aktif dalam dunia politik, tetapi ada juga mereka yang tetap hidup bermoral setelah aktif secara politis.

Menurut Harold Lasswell, Politik, bukan hanya berbicara tentang kekuasaan (who gets what, when and how) tetapi juga tentang moral (who should get what, when and how-and why). Keinginan untuk berkuasa tidak boleh menafikan cara-cara yang benar dan kudus, karena untuk mengelola pekerjaan kudus dibutuhkan kekudusan hati. Suatu pertandingan yang jujur dan adil dalam menapaki singgasana kepemimpinan adalah implementasi dari politik yang bermoral.

Karena perjuangan politik adalah sarat dengan perjuangan moral maka politik tidak akan pernah menjadikan manusia yang bermoral menjadi tidak bermoral. Apalagi jika kita setuju bahwa politik pada dirinya adalah sesuatu yang menjunjung moralitas. Sebaliknya, sejarah melaporkan, orang-orang yang berkarakter buruk akan senantiasa bernafsu untuk membenamkan moral politik demi ambisi kotornya, dan kemudian merusak politik  dengan memberikan isi baru pada politik, yang sesungguhnya bukanlah diri dari politik itu. Masyarakat dalam hal ini harus mewaspadai agar orang-orang yang bermoral buruk tidak dapat menguasai panggung politik, khususnya dalam panggung politik kepemimpinan nasional. Jika itu terpenuhi, kampanye hitam pastilah tidak akan memiliki tempat untuk mencabik-cabik kekudusan politik.

Menjaga Kekudusan Politik

Para politisi itu bukanlah manusia sempurna, sebaliknya mereka adalah manusia yang lemah dan tidak bebas dari salah. Namun, dalam ketidaksempurnaan itu, manusia yang dikuasai niat mulia oleh karena memiliki pengetahuan kebenaran dan keadilan, akan termotivasi untuk mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan bersama. Rakyat dalam hal ini harus berani memberikan kritik yang membangun supaya para politisi tersebut dapat berwaspada menjalankan tugasnya, dan berusaha untuk menunaikan tugasnya secara maksimal. Peran serta seluruh rakyat dalam suatu Negara dalam hal ini merupakan kunci sukses untuk menguduskan politik.

Karena itu, meskipun politik Indonesia pada fenomena tak pernah bebas dari politik yang tak bermoral, seperti politik uang, dan intrik-intriknya yang tak mampu membedakan mana kawan dan mana lawan. Kondisi itu harus dipahami bahwa politisi Indonesia sesungguhnya adalah orang-orang tidak sempurna. Kegagalan seorang, atau beberapa politisi dalam mengabdi pada masyarkat tidak harus direspon dengan pesimisme yang berlebihan, karena kritik rakyat untuk mengawasi kepemimpinan para politisi sangat dibutuhkan untuk  hadirnya politik yang yang bermoral, khususnya pada  panggung pemilihan presiden kali ini.

Kesadaran penting peran serta seluruh rakyat Indonesia dalam menghadirkan politik moral pada panggung kepemimpinan nasional harus bersemayam dalam hati setiap orang di Indonesia jika memang kita ingin melihat perubahan nyata di bumi yang kita cintai ini.

Menguduskan politik hanya mungkin terjadi apabila semua orang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut, yaitu suatu politik yang diabdikan pada kemanusiaan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang kudus dan mulia, tanpa harus menuntut kesempurnaan politisi, namun, senantiasa siap melontakan kritiknya pada para politisi.

 

Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/menguduskan-politik.html

Monday, November 9, 2020

Apakah Gereja atau STT Patut Peduli Terhadap Entrepreneurship?

                              





 

Pemimpin-pemimpin Kristen mestinya menjadi ujung tombak perubahan bagi negeri yang masih bergelut dengan kemiskinan ini. Pertanyaannya kemudian, apakah Gereja atau Sekolah Tinggi Teologi perlu lebih peduli terhadap Entrepreneurship yang didengung-dengungkan bisa mendongkrak kemajuan Indonesia.









8 Oktober 2020, Jam 19.00-21.00 WIB dengan pembicara utama Dr. Drs. I Ketut Putra Suarthana, M.M., Ketua Umum Asosiasi Yayasan Untuk Bangsa (AYUB), Pengusaha Hotel, Sekolah dan Founder Lembaga Kemasyarakatan, dan Dr. Ir. Antonius Tanan, MBA., MSc.,MA. Educational advisor, independent, Ciputra University, Independent Commisioner PT Ciputra Development Tbk, membuat peserta secara khusus dosen-dosen teologi dan para pendeta dari berbagai daerah di Indonesia terperangah. Kreativitas dan Inovasi menjadi kata penting yang kerap didengungkan kedua pembicara. 

 

 


Mengawali Webinar Entrepreneurship Pdt. Dr. Togardo mengulas secara singkat pengertian kata Entrepreneurship yang mestinya tidak ditabukan dalam pelayanan dan pengelolaan gereja. Dalam renungan singkatny Pdt. Togardo sempat melemparkan pertanyaan,bagaimanakah praktik baik Entrepereneurship dalam pegelolaan gereja?

 

Dr. Antonius Tanan mengawali presentasinya dengan sebuah pertanyaan penting, Apakah Gereja atau STT Patut peduli dengan Entrepreneurship? Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa Entrepreneurship penting untuk segala bidang kerja dan pelayanan, beliau memulainya dengan memberikan definisi entrepreneurship

 

 

 


 

 Dr. Antonius Tanan menampilkan tokoh kondang pelopor Entrepreneurship Indonesia, Ciputra yang karyanya sulit dihitung bahkan sam pai akhir hayatnya. Menurutnya tokoh legendaris,Ciputra mendefinisikan Entrepreneurship dengan kata sederhana, Mengubah kotoran menjadi emas.


 


 


Dr. Antonius Tanan mengakhiri presentasinya dengan memberikan tantangan kepada pimpinan gereja dan dosen-dosen STT demikian:

 

 

 


 

 

Pembicara kedua, Dr. Drs. I Ketut Putra Suarthana, M.M., Ketua Umum Asosiasi Yayasan Untuk Bangsa (AYUB) kembali menampilkan tokoh Entrepreneurship Indonesia Ciputra. Beliau memaparkan ketokohan Ciputra yang tak pernah kering dengan ide-ide segar untuk perubahan. Menurutnya, pimpinan gereja dan STT perlu memiliki ide-ide kreatif, karya-karya inovatif didukung dengan keterampilan yang mendukung pelayan.

 

Webinar Entrepreneurship yang digelar melalui aplikasi zoom ternyata tidak meredupkan semangat peserta untuk belajar dan terus melakukan perubahan dalam seantero pelayanan dan pekerjaan.  Kita berharap karya-karya kreatif, inovasi akan mewarnai sejarah pelayan gereja dan STT di Indonesia untuk menjadi pelopor dalam perubahan.

 

Binsar Hutabarat institute

https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/apakah-gereja-atau-stt-patut-peduli-entrepreneurship.html

Kebakaran Hutan California

  https://youtube.com/shorts/qxdaZxgWd6Y?si=czD2F2ba5owlKDBn Awalnya saya tak bisa memahami bagaimana kebakaran Hutan kemud...