Pocast Rukun Beragama

Video

Tuesday, November 17, 2020

Mafia Pajak Dan Persfektif Harapan










 Mafia Pajak Dan Persfektif Harapan


Persfektif Harapan memberi janji bahwa mafia pajak akan berakhir untuk menghadirkan Indonesia Sejahtera.

 

 

Munculnya kampanye boikot membayar pajak oleh sekelompok aktivis masyarakat merupakan bukti kegeraman rakyat terhadap kebobrokan yang dipertontonkan dalam institusi perpajakan. Realitas ini tentu saja bukan kabar baik, masyarakat mestinya tidak boleh kehilangan harapan terhadap pajak yang pada galibnya adalah untuk mensejahterakan rakyat. Apalagi, tak ada satupun negara sejahtera di bumi ini yang rakyatnya tidak taat pajak.

 

Slogan orang bijak taat pajak tak boleh tercoreng oleh ulah para mafia pajak yang menyakiti rasa keadilan rakyat. Optimalisasi pungutan pajak untuk kesejahteraan rakyat harus terus diusahakan pemerintah Indonesia secara serius, utamanya melalui pembersihan praktik mafia di Ditjen pajak.

 

Kesejahteraan rakyat

Pajak adalah iuran kepada negara yang terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi atau balas  jasa kembali secara langsung. Pajak yang masuk ke kas negara ini digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berkaitan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan serta membina kesejahteraan rakyat.

 

Pemerintah memberikan balas jasa secara tak langsung kepada wajib pajak melalui pengadaan jasa pelayanan umum yang dinikmati masyarakat seperti jalan raya, bendungan, irigasi, rumah sakit, pembangunan sekolah-sekolah, penanggulangan bencana alam, keamanan, pertahanan negara dll. Jadi uang hasil pungutan pajak tersebut pada prinsipnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.

 

Terbongkarnya mafia pajak wajar saja menimbulkan kegeraman rakyat, apalagi mereka yang selama ini membayar pajak, dan tanpa melihat balas jasa sedikitpun. Seperti fasilitas jalan yang rusak parah, penanganan bencana yang sering kali terlambat, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, banyaknya bangunan sekolah yang rusak dan tak kunjung diperbaiki, bahkan ada yang tidak layak pakai, dll.

Presiden mencontohkan wajib pajak yang seharusnya membayar 100% kewajibannya kemungkinan hanya melunasi 60%. Yang 60% itu di-kongkalikong lagi, disiasati lagi oleh oknum dilingkungan pajak, sehingga yang masuk ke kas negara hanya tinggal 20%-30%. Itulah sebabnya mengapa penerimaan pajak yang mestinya mencapai 1.800 triliun, hanya mencapai Rp. 600 triliun. Dan praktik perpajakan ini telah terjadi sejak puluhan tahun. Sangat beralasan apa yang dikatakan Mahfud MD bahwa mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan rekan-rekannya hanya puncak dari gunung es. Ada kasus korupsi lain yang bernilai jauh lebih besar.

Jika memang kita masih memiliki semangat nasionalisme, kewajiban membayar pajak, khususnya bagi mereka yang memiliki harta berlimpah bukan hanya sekedar pelaksanaan dari sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang warga negara, tetapi mestinya juga merupakan ekspresi dari semangat nasionalisme yang mengantarkan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

 

Kita tentu paham mengapa banyak orang di negeri ini frustasi yang mengakibatkan terjadinya pembangkangan sipil melalui kampanye boikot membayar pajak, karena kongkalikong pembayaran pajak memadamkan harapan hadirnya sebuah negara sejahtera yang menjadi cita-cita bersama kemerdekaan Indonesia.

Pembongkaran praktik mafia pajak harus menjadi prioritas pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Apalagi, 60-70 % penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak. Apabila pemerintah tidak segera melakukan tindakan cepat untuk memberantas mafia pajak, dan juga pada institusi lainnya, pemerintah bisa kehilangan kredibilitas di mata rakyat.

Persfektif Harapan 

Mafia hukum yang makin terkuak di negeri ini, meski “bau amis”nya sudah tercium sejak lama pada satu sisi memang mencederai martabat kemanusian kita. Namun, pada sisi yang lain terkuaknya  praktik mafia disejumlah instansi pemerintahan merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki diri. Ini bisa dimengerti dengan baik dalam persfektif harapan, yakni harapan akan hadirnya Indonesia sebagai negara sejahtera.

 

Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi, pembangunan Indonesia mesti dimaknai sebagai hasil kerjasama seluruh rakyat Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam persfektif harapan kehadiran negara Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur bukanlah sesuatu yang mustahil, karena itu harapan ini tidak boleh terkikis oleh kondisi apapun.

 

Peristiwa yang terjadi di negeri ini dapat dipahami secara benar dalam konteks pengharapan Jurgen Moultman yang mengatakan Hope seeking understanding. I hope so that I understand. Dengan pengharapan, Moultman yang hidup dalam dunia yang kacau balau, khususnya perjumpaannya dengan praktik kekerasan nazi, tidak kehilangan semangat perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih baik, itu secara tegas dikumandangkanya melalui karyanya dalam teologia pengharapan  (theology of Hope). 

 

Peran agama dengan semangat teodisia yang utopis, yaitu suatu penyelenggaraan yang ilahiah yang pernah dikumandangkan Ernest Bloch dalam The Prinsiple of Hope yang sangat mempengaruhi pemikiran teologia pengharapan Moultman dalam hal ini memiliki peran penting.

 

Dengan pengharapan, terbongkarnya mafia pajak yang menimbulkan pertanyaan, mengapa petugas pajak yang memiliki gaji memadai, golongan tiga III A dengan gaji 12 juta, artinya kebutuhan tercukupi, masih juga melakukan korupsi, dapat terjawab. Bahwa tanpa pengawasan yang ketat, dan penegakkan supremasi hukum kerakusan manusia sulit untuk dikendalikan, namun bukan tidak mungkin, apalagi jika ada kerjasama semua pihak.

 

Indonesia saat ini sedang mengalami proses perbaikan kearah yang lebih baik, dan proses itu sedang berlangsung, itu adalah pengharapan yang melahirkan pengertian tentang problematika yang sedang terjadi di negeri ini. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki, namun kerja keras semua pihak sangat dibutuhkan, dan harapan akan hadirnya Indonesia yang sejahtera harus menjiwai kerja keras tersebut. Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, khususnya bagi banyak rakyat di negeri ini yang sedang berada dalam jurang keputusasaan.

 

 

Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/mafia-pajak-dan-persfektif-harapan.html

Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan





Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan


 Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia perlu mewaspadi kekerasan dalam lembaga pendidikan.
  

Jika persentase kekerasan terhadap anak pada tahun 2009 dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen, berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah mendapat kekerasan. Menurut data BPS 2006, populasi anak terlantar di seluruh Indonesia mencapai 5,4 juta. Kekerasan terhadap anak akan makin meningkat jumlahnya pada tahun-tahu belakangan ini. Itulah sebabnya kita melihat kekerasan terhadap anak menjadi cerita biasa pada media-media cetak dan eletronik,

Adalah wajar jika Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar berujar, kekerasan terhadap anak sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan sehingga perlu ada kebijakan pencegahan dan penanganan yang serius.

Yang lebih memprihatinkan adalah, modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling sadis di dunia. Pelaku tega menggorok leher, menyiram dengan air panas, menyiram dengan air keras, menyetrika, menceburkan ke dalam sumur, mematahkan tangan anak, bahkan membakar hidup-hidup.

Ironisnya, menurut data Komnas PA 70% pelakunya adalah perempuan. Baik ibu kandung, ibu tiri, ibu guru,ibu asuh, ibu angkat atau perempuan lainnya. Timbul pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia, khusunya perempuan yang terkenal dengan keramahtamahannya itu bisa mudah lepas kendali, berlaku sadis, apalagi itu terjadi terhadap anak mereka sendiri.


Kultur kekerasan

Kekerasan terhadap anak di negeri ini tidak dapat dipungkiri terkait dengan masih kuatnya kultur kekerasan di negeri ini. Banyak keluarga di negeri ini masih beranggapan bahwa anak adalah aset keluarga, milik mutlak orang tua, sehingga sebagai  konsekuensi logisnya, anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang tua. Akibatnya, ketika anak tidak memenuhi ambisi orang tua, anak akan diperlakukan dengan buruk, anak dianggap sebagai penyebab kegagalan orang tua.

Johan Galtung menggolongkan kekerasan kultural ini dalam kekerasan struktural, kekerasan yang bersifat tidak langsung. Pada kekerasan struktural ini atau kekerasan tidak langsung orang tua tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi. Karena pada kekerasan struktural tidak ada hubungan langsung subyek dan obyek. Kultur kekerasan tersebut kemudian menyebabkan orang tua tak merasa bersalah ketika menempatkan anak sebagai obyek, karena ada logika budaya yang melatarbelakanginya yaitu anak adalah aset keluarga.

Dengan demikian jelaslah, perlakuan sadis perempuan Indonesia terhadap anak-anak mereka tentu saja terkait  pra kondisi dan kondisi yang terjadi sebelum tindak kekerasan tersebut dilakukan. Dalam bahasa Galtung, direct violence, kekerasan langsung, tidak boleh terisolasi dari konteksnya. Jadi tindakan sadis perempuan Indonesia mendapatkan tempatnya pada kekerasan struktural yang bersifat tidak langsung.

Meningkatnya kasus perceraian pada lima tahun terakhir ini di Indonesia tentu saja juga berkorelasi dengan prilaku sadis perempuan. Sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, 200 ribu pasangan berakhir dengan perceraian. Angka perceraian 10% dari angka pernikahan sesungguhnya cukup besar, dari sepuluh pernikahan yang tercatat satu berakhir dengan perceraian. Menariknya, hampir 70% persen istri yang menceraikan  suami (gugat cerai). Padahal, perempuan biasanya menjadi pihak yang paling dirugikan ketika terjadi perceraian, mulai soal hak asuh anak yang biasanya dimenangkan oleh laki-laki, sampai pada pembagian harta, apalagi untuk perempuan yang tak memiliki penghasilan.

Kondisi buruk yang dialami oleh perempuan Indonesia jelas terkait dengan tindakan sadis perempuan Indonesia terhadap anak mereka. Belum lagi penderitaan akibat kemiskinan yang umumnya diderita perempuan karena tingkat pendidikan perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.


Kegagalan Pendidikan

Tindak kekerasan dalam kategori kejahatan sadis perempuan Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak mereka mengindikasikan kegagalan pendidikan di negeri ini. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghancurkan kultur kekerasan yang terus hidup di negeri ini.

Hannah Arendt berujar, pemikiran adalah ciri khas pertama untuk manusia. Pemikiran mendefinisikan manusia sebagai manusia. Pemikiran dapat menghindarkan kekerasan. Apabila pendidikan di negeri ini mampu membuat masyarakat, termasuk perempuan, untuk menjadi lebih rasional mestinya secara bersamaan masyarakat juga bisa menghindari diri untuk tidak melakukan kejahatan yang brutal dan tak bermartabat itu.

Hanya orang tua yang tidak berpikirlah yang dapat melakukan tindakan-tindakan kejahatan brutal dan sadis dalam relasi dengan anak mereka. Tepatlah apa yang dikatakan Augustinus, yang diadopsi oleh Arendt, kejahatan bertentangan dengan pemikiran. Kejahatan “membakar”pemikiran.

Apabila orang tua memikirkan akibat yang akan dialami oleh anak mereka yang menjadi sasaran kejahatan mereka, demikian juga dengan akibat yang harus mereka tanggung akibat perbuatan jahat tersebut, maka kejahatan yang sadis dan brutal itu tidak akan terjadi. Pada konteks ini jelas bahwa pendidikan yang bertujuan memuliakan nilai-nilai yang agung yang bermutu, seperti mencintai keadilan, kebijaksanaan, keindahan telah gagal. Pendidikan Indonesia belum mampu mengahancurkan kultur kekerasan untuk memanusiakan manusia Indonesia.


Binsar A. Hutabarat

Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/kultur-kekerasan-menyingkapkan.html

Sunday, November 15, 2020

Tujuan Disiplin Gereja

 



 Tujuan Disiplin Gereja

Tujuan disiplin gereja adalah untuk mengembalikan mereka yang meninggalkan kebenaran, untuk kembali hidup dalam kebenaran firman Tuhan.

 

Dan kamu, saudara-sudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik. Jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kamu katakan dalam surat itu, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu. Tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara.

(2 Tesalonika 3: 11-15)

 

Dosa dalam kehidupan seorang yang percaya selalu berdampak kepada kehidupan jemaat lokal. Karena anggota-anggota tubuh, atau anggota-anggota jemaat itu adalah milik anggota-anggota tubuh  yang lain. 


Contoh yang buruk dari beberapa orang dalam jemaat akan merusak penyembahan dan pelayanan jemaat atau gereja lokal. Gereja perlu menerapkan disiplin gereja terhadap anggota jemaat yang hidup tidak tertib.

 

Disiplin Gereja

Jika gereja membiarkan mereka yang tidak menaati aturan atau hidup dalam dosa tanpa menerapkan disiplin gereja, maka hal itu akan membingungkan anggota -anggota jemaat lainnya, dan  kemudian dapat menimbulkan perpecahan dalam jemaat.

 

Melihat dampak dosa dalam kehidupan jemaat itu,  maka Paulus menasihati jemaat di Tesalonika bagaimana cara menerapkan disiplin gereja agar gereja tidak jatuh dalam  dosa kelompok.

 

Anggota jemaat Tesalonika yang tidak tertib. Hidup tidak bekerja dengan alasan menantikan kedatangan Kristus yang menurut mereka waktunya sudah diberitahukan, telah menyusahkan anggota jemaat lain. Karena anggota-anggota jemaat itu hidup bergantung dengan anggota jemaat lain tanpa bekerja.

 

Terhadap anggota-anggota jemaat yang tidak tertib hidupnya itu Paulus menasihati Jemaat di Tesalonika agar menerapkan disiplin gereja. Jika Jemaat Tesalonika membiarkan anggota jemaat yang tidak tertib, pembiaran itu akan menjadi dosa kelompok atau jemaat.

 

Disiplin gereja melibatkan seluruh anggota jemaat

Disiplin gereja dalam hal ini bukanlah hanya urusan pemimpin gereja atau pejabat gereja, tapi menjadi tanggung jawab semua anggota gereja. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana disiplin gereja hanya dijalankan oleh pimpinan gereja, pengurus gereja, atau majelis gereja.

 

Apabila disiplin gereja hanya menjadi urusan pimpinan gereja atau pengurus gereja,maka penyelesaiannya menimbulkan dampak negatif, secara khusus mereka yang berdosa itu kerap disingkirkan dari gereja dengan alasan untuk melindungi anggota gereja yang lain.

 

Mengeluarkan anggota jemaat yang berdosa dari keanggotaan gereja sama saja dengan menyingkirkan seorang yang berdosa, dan menunjukkan sikap arogansi pemimpin gereja atau pengurus gereja. Disiplin gereja seharusnya bukan membuang anggota jemaat, tapi mengembalikan anggota jemaat kembali kepada firman Tuhan.

 

Mengenai cara bersikap terhadap anggota jemaat yang tidak tertib juga dijelaskan Paulus dalam kitab Galatia.

 

Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti ia menipu dirinya sendiri. (Galatia 6:1-3)

 

Mereka yang memahami Alkitab secara salah, perlu dibimbing dengan baik untuk dapat memahami Alkitab dengan benar dan hidup dalam kebenaran firman Tuhan. Gereja tidak boleh menyingkirkan mereka yang memiliki pemahaman firman yang salah.

 

Demikian juga pada waktu Petrus melakukan dosa, Paulus tidak menyingkirkan Petrus dari jemaat, tapi teguran Paulus adalah bertujuan untuk mengembalikan Petrus ke jalan yang benar. Paulus menegur Petrus agar Petrus tidak dipakai Iblis dengan hidup munafik, tetapi hidup melakukan kebenaran firman Tuhan.

 

Demikian juga pada waktu Daud melakukan dosa perzinahan yang berat, Daud ditegur untuk mengakui dosa-dosanya, dan kembali kepada jalan yang benar.

 

Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika, untuk menghadapi mereka yang tidak tertib. Jemaat Tesalonika perlu tidak jemu-jemu berbuat baik. Atau jangan berhenti untuk terus berbuat baik. Karena perbuatan baik tidak perlu dihentikan karena respon apapun.

 

Namun, jemaat di Tesalonika juga tidak boleh toleran dengan dosa, sebaliknya perlu menegur, dan mengembalikan orang berdosa itu kepada jalan kebenaran. 

Anggota jemaat di Tesalonika perlu menjaga jarak sosial terhadap anggota jemaat yang tidak tertib, agar anggota jemaat yang berdosa itu menyadari kesalahannya. Jadi, disiplin gereja sebenarnya adalah urusan semua anggota jemaat.

 

Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika, agar mereka tidak menganggap anggota jemaat yang tidak tertib itu sebagai musuh. Sebaliknya, tetap sebagai saudara, dan terus berusaha mengembalikan anggota jemaat itu hidup dalam firman Tuhan.

 

Semua kita yang menganggap diri benar, perlu berusaha menolong sudara-saudara yang jatuh dalam dosa, dengan menjaga diri untuk tidak jatuh pada dosa yang sama dengan tidak jemu-jemu berbuat baik. 

Penerapan disiplin gereja yang melibatkan seluruh anggota jemaat bertujuan untuk mengembalikan mereka yang hidup tidak tertib untuk kembali kepada kebenaran firman Allah.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/tujuan-disiplin-gereja.html

 

Kebakaran Hutan California

  https://youtube.com/shorts/qxdaZxgWd6Y?si=czD2F2ba5owlKDBn Awalnya saya tak bisa memahami bagaimana kebakaran Hutan kemud...