Menekankan keesaan dengan menyeragamkan gereja sama salahnya dengan menekankan keragaman tanpa peduli dengan keesaan. Gereja itu satu dalam keragaman, sebagaimana kepala gereja adalah satu dalam keragaman. Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah Allah yang esa dalam tiga pribadi. Persatuan gereja juga merupakan dasar yang penting bagi persatuan umat manusia yang adalah ciptaan Allah.
Mengusahakan kesatuan gereja mestinya bukan untuk menyeragamkan gereja, karena menyeragamkan gereja sama saja dengan menegasikan gereja yang tidak seragam, yang berbeda atau yang dianggap sesat. Demikian juga menekankan keragaman tidak boleh mengabaikan sumber yang sama, atau kesatuan. Menekankan keragaman dengan melupakan sumber yang sama, menyebabkan gereja terus terpecah-pecah.
Pada awal berdirinya gereja, keesaan gereja bukan persoalan. Para Rasul memiliki pelayanan yang berbeda dan juga pengalaman yang berbeda ketika mempersiapkan diri menjadi pelayan Injil. Sebelas murid Yesus belajar langsung di kaki Yesus, kebanyakan mereka adalah orang-orang sederhana. Namun, Paulus seorang intelektual yang luar biasa, ahli dalam Taurat, menjadi murid Yesus setelah Yesus naik ke surga. Pengalaman Paulus dan para rasul lain bukan persoalan.
Paulus mendapatkan pengajaran dari Yesus yang bangkit dari kematian melalui perjumpaannya dengan Yesus secara luar biasa. Tapi, pengalaman Paulus yang berbeda itu diterima para rasul dengan pengakuan pengajaran mereka berasal dari sumber yang sama. Gereja pada masa itu tidak terpecah.
Setelah mendapatkan panggilan pelayanan melalui perjumpaan yang ajaib dengan Yesus, Paulus menjalankan pelayanannya berdasarkan panggilan Tuhan itu, Paulus menjelaskan, tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku dari sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia diantara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia (Galatia 1: 15-16).
Paulus tidak pernah menjadi murid dari murid-murid Tuhan Yesus. Namun, murid-murid Tuhan Yesus yang mendapatkan pengajaran dari Yesus selama tiga setengah tahun tidak pernah meremehkan panggilan Paulus.
Setelah perjumpaan dengan Yesus, Paulus tidak bergabung dengan murid-murid Yesus untuk belajar tentang Injil kepada murid-murid Yesus. Paulus berkata, juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik. Lalu, tiga tahun kemudian aku pergi ke Yerusalem untuk mengunjungi Kefas…,”(Galatia 1:17-18).
Paulus belajar langsung dari Tuhan dan secara bersamaan melakukan pelayanan pemberitaan injil. Jika murid-murid Yesus belajar tiga setengah tahun langsung dari Yesus. Maka Paulus belajar langsung dari Yesus selama tiga tahun. Paulus mengalami pertumbuhan rohani dalam perenungan Firman Tuhan, doa dan pelayanan melalui bimbingan Yesus secara langsung sewaktu berada di tanah Arab.
Murid-murid Tuhan Yesus yang mendapat pengajaran langsung dari Yesus tidak menyombongkan pengalaman belajarnya, demikian juga Paulus yang mendapatkan pengajaran langsung dari Yesus tidak menyombongkan pengalaman belajarnya yang luar biasa. Sebaliknya keduanya sama-sama mengakui bahwa pengalaman mereka yang berbeda dalam mengikuti panggilan Tuhan sama-sama menuju pada Tujuan yang sama yaitu memuliakan Tuhan.
Paulus berkata, kemudian setelah empat belas tahun, aku pergi pula ke Yerusalem dengan Barnabas dan Titus pun kubawa juga. Aku pergi berdasarkan suatu penyataan. Dan kepada mereka kubentangkan Injil yang kuberitakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi-dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpandang-, supaya jangan dengan percuma aku berusaha atau telah berusaha (Galatia 2: 1-2).
Meskipun Paulus yakin Injilinya dari Tuhan, dan memiliki pengalaman belajar secara langsung dari Yesus, Paulus mau membagi pengetahun dan pengalaman pelayanannya kepada rasul-rasul yang lain. Dan menariknya, para rasul itu juga menghargai pemahaman Paulus tentang Firman Tuhan, demikian juga pengalaman pelayanannya.
Setelah mereka melihat bahwa kepadaku telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti Petrus untuk orang-orang bersunat. Karena Ia yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, Ia juga telah memberikan kekuatan kepadaku untuk orang-orang yang tidak bersunat. Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang bersunat (Galatia 2:7-9).
Demikian juga hal nya dengan daerah pelayanan, para rasul dan Paulus memiliki daerah pelayanan yang berbeda. Murid-murid Yesus melayani fokus pada orang-orang Yahudi, sedang Paulus fokus melayani kepada orang-orang Yunani atau bukan Yahudi. Tapi, Murid-murid Yesus juga melayani orang Yunani, demikian juga Paulus melayani orang Yahudi, hanya saja penekanan pelayanan mereka berbeda, dan itu pun bukan persoalan bagi gereja mula-mula, karena daerah pelayanan Injil adalah seluruh dunia.
Paulus juga pernah menegur Petrus ketika Petrus tidak konsisten dalam pelayanan. Paulus berkata, Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas dihadapan mereka semua:, Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?
Teguran Paulus tidak membuat gereja terpecah, meski Paulus dan Petrus sama-sama tokoh besar. Mereka memahami bahwa pelayan kepada Allah adalah untuk memuliakan Allah, bukan untuk memuliakan manusia. Para rasul menyadari jika mereka bisa hidup dalam ketaatan kepada Tuhan itu adalah karena kemurahan Allah.
Paulus mengakui bahwa keselamatan yang diterimanya adalah karena anugerah Tuhan, dan di dalam anugerah Tuhan itu Paulus hidup dalam ketaatan, itulah sebabnya Paulus menegur Petrus yang berlaku munafik., karena Paulus ingin Petrus konsisten hidup dalam kebenaran. Teguran Paulus tidak berarti meremehkan Petrus, karena setelah kejadian itu kita tidak mendengar ada pertikaian yang terjadi antara Petrus dan Paulus.
Persoalan perpecahan gereja terjadi dalam kehidupan jemaat di Korintus. Gereja di Korintus terpecah dalam beberapa kelompok tokoh, ada yang menyebut diri golongan Paulus dan ada juga yang menyebut diri golongan Apolos. Tetapi Paulus mengingatkan kepada jemaat di Korintus bahwa gereja itu esa( 1 Korintus 3:4-5).
Gereja itu esa karena gereja mengakui memiliki juruselamat yang sama, Tuhan yang sama dan sama-sama dibaptiskan oleh Roh Kudus masuk kedalam tubuh Kristus. Secara tegas Paulus mengatakan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus ( I Korintus 12: 3).
Gereja memiliki kepala gereja yang satu yaitu Yesus, dan semua anggota gereja belajar langsung dari Yesus. Gereja juga perlu saling belajar satu dengan yang lain, dan kemudian bersama-sama bertumbuh menjadi seperti Yesus.
Keesaan gereja menjadi persoalan ketika gereja menggunakan tangan negara untuk menyingkirkan mereka yang dianggap sesat. Tidak terhitung berapa banyak nyawa melayang karena gereja menganggap mereka sesat.
Reformasi mengajarkan bahwa mereka yang dianggap sesat itu tak harus dibinasakan. Pengalaman Marthin Luther demikian juga dengan Calvin dan tokoh-tokoh reformasi mengajarkan bahwa mereka yang dianggap sesat itu tidak harus dibinasakan, karena mereka juga orang-orang yang mencari Tuhan dengan tulus.
Tokoh-tokoh reformasi memang tidak bermaksud mendirikan gereja, karena gereja berasal dari sumber yang sama. Penyimpangan gereja pada masa tertentu, tidak harus dimaknai bahwa pada masa itu tidak ada lagi gereja yang benar. Walaupun ada denominasi gereja baru yang harus didirikan, gereja tersebut tetap saja harus berakar pada Kristus, dan juga mengacu pada gereja mula-mula.
Banyaknya denominasi gereja tidak membenarkan bahwa gereja bisa didirikan tanpa berdasar pada Kristus dan juga mengacu pada gereja mula-mula. Gereja hanya mempunyai satu kepala yaitu Tuhan Yesus, dan geraja berawal pada pencurahan Roh Kudus.
Pertanyaan kemudian, salahkah jika sekelompok denominasi gereja tertentu merindukan pengalaman gereja mula-mula terjadi pada gereja masaa kini? Tentu saja tidak salah, itu tentunya sebuah kerinduan yang baik, karena merindukan kehadiran gereja yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang menghasilkan pertobatan luar biasa ketika Petrus berkhotbah.
Tapi, jika pengalaman yang mereka sebut juga terjadi pada peristiwa Pentakosta itu dipaksakan terjadi pada gereja yang lain tentu saja tidak tepat. Biarlah masing-masing gereja memiliki pengalamannya sendiri dan memiliki keunikannya sendiri, tapi gereja dalam keragamannya itu tetap bersumber dari sumber yang sama.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/keesaan-gereja-itu-merawat-keragamanan.html