Tuesday, November 17, 2020

Keesaan Gereja itu Merawat Keragamanan

 


Cara Menulis Bebas Plagiarisme, KLIK DISINI!








Menekankan keesaan dengan menyeragamkan gereja sama salahnya dengan menekankan keragaman tanpa peduli dengan keesaan. Gereja itu satu dalam keragaman, sebagaimana kepala gereja adalah satu dalam keragaman.  Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah  Allah yang esa dalam tiga pribadi. Persatuan gereja juga merupakan dasar yang penting bagi persatuan umat manusia yang adalah ciptaan Allah.

 

Mengusahakan kesatuan gereja mestinya bukan untuk menyeragamkan gereja, karena menyeragamkan gereja sama saja dengan menegasikan gereja yang tidak seragam, yang berbeda atau yang dianggap sesat. Demikian juga menekankan keragaman tidak boleh mengabaikan sumber yang sama, atau kesatuan. Menekankan keragaman dengan melupakan sumber yang sama, menyebabkan gereja terus terpecah-pecah.

 

Pada awal berdirinya gereja, keesaan gereja bukan persoalan. Para Rasul memiliki pelayanan yang berbeda dan juga pengalaman yang berbeda ketika mempersiapkan diri menjadi pelayan Injil. Sebelas murid Yesus belajar langsung di kaki Yesus, kebanyakan mereka adalah orang-orang sederhana. Namun, Paulus seorang intelektual yang luar biasa, ahli dalam Taurat, menjadi murid Yesus setelah Yesus naik ke surga. Pengalaman Paulus dan para rasul lain bukan persoalan.

 

Paulus mendapatkan pengajaran dari Yesus yang bangkit dari kematian melalui perjumpaannya dengan Yesus secara luar biasa. Tapi, pengalaman Paulus yang berbeda itu diterima para rasul dengan pengakuan pengajaran mereka berasal dari sumber yang sama. Gereja pada masa itu tidak terpecah.

 

Setelah mendapatkan panggilan pelayanan melalui perjumpaan yang ajaib dengan Yesus, Paulus menjalankan pelayanannya berdasarkan panggilan Tuhan itu, Paulus menjelaskan, tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku dari sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia diantara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia (Galatia 1: 15-16).

 

Paulus tidak pernah menjadi murid dari murid-murid Tuhan Yesus. Namun, murid-murid Tuhan Yesus yang mendapatkan pengajaran dari Yesus selama tiga setengah tahun tidak pernah meremehkan panggilan Paulus.

 

Setelah perjumpaan dengan Yesus, Paulus tidak bergabung dengan murid-murid Yesus untuk belajar tentang Injil kepada murid-murid Yesus. Paulus berkata, juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik. Lalu, tiga tahun kemudian aku pergi ke Yerusalem untuk mengunjungi Kefas…,”(Galatia 1:17-18).

 

Paulus belajar langsung dari Tuhan dan secara bersamaan melakukan pelayanan pemberitaan injil. Jika murid-murid Yesus belajar tiga setengah tahun langsung dari Yesus. Maka Paulus belajar langsung dari Yesus selama tiga tahun. Paulus mengalami pertumbuhan rohani dalam perenungan Firman Tuhan, doa dan pelayanan melalui bimbingan Yesus secara langsung sewaktu berada di tanah Arab.

 

Murid-murid Tuhan Yesus yang mendapat pengajaran langsung dari Yesus tidak menyombongkan pengalaman belajarnya, demikian juga Paulus yang mendapatkan pengajaran langsung dari Yesus tidak menyombongkan pengalaman belajarnya yang luar biasa. Sebaliknya keduanya sama-sama mengakui bahwa pengalaman mereka yang berbeda dalam mengikuti panggilan Tuhan sama-sama menuju pada Tujuan yang sama yaitu memuliakan Tuhan.

 

Paulus berkata, kemudian setelah empat belas tahun, aku pergi pula ke Yerusalem dengan Barnabas dan Titus pun kubawa juga. Aku pergi berdasarkan suatu penyataan. Dan kepada mereka kubentangkan Injil yang kuberitakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi-dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpandang-, supaya jangan dengan percuma aku berusaha atau telah berusaha (Galatia 2: 1-2).

 

Meskipun Paulus yakin Injilinya dari Tuhan, dan memiliki pengalaman belajar secara langsung dari Yesus, Paulus mau membagi pengetahun dan pengalaman pelayanannya kepada rasul-rasul yang lain. Dan menariknya, para rasul itu juga menghargai pemahaman Paulus tentang Firman Tuhan, demikian juga pengalaman pelayanannya.

 

 Setelah mereka melihat bahwa kepadaku telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti Petrus untuk orang-orang bersunat. Karena Ia yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, Ia juga telah memberikan kekuatan kepadaku untuk orang-orang yang tidak bersunat. Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang bersunat (Galatia 2:7-9).

 

Demikian juga hal nya dengan daerah pelayanan, para rasul dan Paulus memiliki daerah pelayanan yang berbeda. Murid-murid Yesus melayani fokus pada orang-orang Yahudi, sedang Paulus fokus melayani kepada orang-orang Yunani atau bukan Yahudi. Tapi, Murid-murid Yesus juga melayani orang Yunani, demikian juga Paulus melayani orang Yahudi, hanya saja penekanan pelayanan mereka berbeda, dan itu pun bukan persoalan bagi gereja mula-mula, karena daerah pelayanan Injil adalah seluruh dunia.

 

Paulus juga pernah menegur Petrus ketika Petrus tidak konsisten dalam pelayanan. Paulus berkata, Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas dihadapan mereka semua:, Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?

 

Teguran Paulus tidak membuat gereja terpecah, meski Paulus dan Petrus sama-sama tokoh besar. Mereka memahami bahwa pelayan kepada Allah adalah untuk memuliakan Allah, bukan untuk memuliakan manusia. Para rasul menyadari jika mereka bisa hidup dalam ketaatan kepada Tuhan itu adalah karena kemurahan Allah.

 

Paulus mengakui bahwa keselamatan yang diterimanya adalah karena anugerah Tuhan, dan di dalam anugerah Tuhan itu Paulus hidup dalam ketaatan, itulah sebabnya Paulus menegur Petrus yang berlaku munafik., karena Paulus ingin Petrus konsisten hidup dalam kebenaran. Teguran Paulus tidak berarti meremehkan Petrus, karena setelah kejadian itu kita tidak mendengar ada pertikaian yang terjadi antara Petrus dan Paulus.

 

Persoalan perpecahan gereja terjadi dalam kehidupan jemaat di Korintus. Gereja di Korintus terpecah dalam beberapa kelompok tokoh, ada yang menyebut diri golongan Paulus dan ada juga yang menyebut diri golongan Apolos. Tetapi Paulus mengingatkan kepada jemaat di Korintus bahwa gereja itu esa( 1 Korintus 3:4-5).

 

Gereja itu esa karena gereja mengakui memiliki juruselamat yang sama, Tuhan yang sama dan sama-sama dibaptiskan oleh Roh Kudus masuk kedalam tubuh Kristus. Secara tegas Paulus mengatakan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus ( I Korintus 12: 3).

 

 

Gereja memiliki kepala gereja yang satu yaitu Yesus, dan semua anggota gereja belajar langsung dari Yesus. Gereja juga perlu saling belajar satu dengan yang lain, dan kemudian bersama-sama bertumbuh menjadi seperti Yesus.

 

Keesaan gereja menjadi persoalan ketika gereja menggunakan tangan negara untuk menyingkirkan mereka yang dianggap sesat. Tidak terhitung berapa banyak nyawa melayang karena gereja menganggap mereka sesat.

 

Reformasi mengajarkan bahwa mereka yang dianggap sesat itu tak harus dibinasakan. Pengalaman Marthin Luther demikian juga dengan Calvin dan tokoh-tokoh reformasi mengajarkan bahwa mereka yang dianggap sesat itu tidak harus dibinasakan, karena mereka juga orang-orang yang mencari Tuhan dengan tulus.

 

Tokoh-tokoh reformasi memang tidak bermaksud mendirikan gereja, karena gereja berasal dari sumber yang sama. Penyimpangan gereja pada masa tertentu, tidak harus dimaknai bahwa pada masa itu tidak ada lagi gereja yang benar. Walaupun ada denominasi gereja baru yang harus didirikan, gereja tersebut tetap saja harus berakar pada Kristus, dan juga mengacu pada gereja mula-mula.

 

Banyaknya denominasi gereja tidak membenarkan bahwa gereja bisa didirikan tanpa berdasar pada Kristus dan juga mengacu pada gereja mula-mula. Gereja hanya mempunyai satu kepala yaitu Tuhan Yesus, dan geraja berawal pada pencurahan Roh Kudus.

 

Pertanyaan kemudian, salahkah jika sekelompok denominasi gereja tertentu merindukan pengalaman gereja mula-mula terjadi pada gereja masaa kini? Tentu saja tidak salah, itu tentunya sebuah kerinduan yang baik, karena merindukan kehadiran gereja yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang  menghasilkan pertobatan luar biasa ketika Petrus berkhotbah.

 

Tapi, jika pengalaman yang mereka sebut juga terjadi pada peristiwa Pentakosta itu dipaksakan terjadi pada gereja yang lain tentu saja tidak tepat. Biarlah masing-masing gereja memiliki pengalamannya sendiri dan memiliki keunikannya sendiri, tapi gereja dalam keragamannya itu tetap bersumber dari sumber yang sama.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/keesaan-gereja-itu-merawat-keragamanan.html

Mafia Pajak Dan Persfektif Harapan










 Mafia Pajak Dan Persfektif Harapan


Persfektif Harapan memberi janji bahwa mafia pajak akan berakhir untuk menghadirkan Indonesia Sejahtera.

 

 

Munculnya kampanye boikot membayar pajak oleh sekelompok aktivis masyarakat merupakan bukti kegeraman rakyat terhadap kebobrokan yang dipertontonkan dalam institusi perpajakan. Realitas ini tentu saja bukan kabar baik, masyarakat mestinya tidak boleh kehilangan harapan terhadap pajak yang pada galibnya adalah untuk mensejahterakan rakyat. Apalagi, tak ada satupun negara sejahtera di bumi ini yang rakyatnya tidak taat pajak.

 

Slogan orang bijak taat pajak tak boleh tercoreng oleh ulah para mafia pajak yang menyakiti rasa keadilan rakyat. Optimalisasi pungutan pajak untuk kesejahteraan rakyat harus terus diusahakan pemerintah Indonesia secara serius, utamanya melalui pembersihan praktik mafia di Ditjen pajak.

 

Kesejahteraan rakyat

Pajak adalah iuran kepada negara yang terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi atau balas  jasa kembali secara langsung. Pajak yang masuk ke kas negara ini digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berkaitan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan serta membina kesejahteraan rakyat.

 

Pemerintah memberikan balas jasa secara tak langsung kepada wajib pajak melalui pengadaan jasa pelayanan umum yang dinikmati masyarakat seperti jalan raya, bendungan, irigasi, rumah sakit, pembangunan sekolah-sekolah, penanggulangan bencana alam, keamanan, pertahanan negara dll. Jadi uang hasil pungutan pajak tersebut pada prinsipnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.

 

Terbongkarnya mafia pajak wajar saja menimbulkan kegeraman rakyat, apalagi mereka yang selama ini membayar pajak, dan tanpa melihat balas jasa sedikitpun. Seperti fasilitas jalan yang rusak parah, penanganan bencana yang sering kali terlambat, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, banyaknya bangunan sekolah yang rusak dan tak kunjung diperbaiki, bahkan ada yang tidak layak pakai, dll.

Presiden mencontohkan wajib pajak yang seharusnya membayar 100% kewajibannya kemungkinan hanya melunasi 60%. Yang 60% itu di-kongkalikong lagi, disiasati lagi oleh oknum dilingkungan pajak, sehingga yang masuk ke kas negara hanya tinggal 20%-30%. Itulah sebabnya mengapa penerimaan pajak yang mestinya mencapai 1.800 triliun, hanya mencapai Rp. 600 triliun. Dan praktik perpajakan ini telah terjadi sejak puluhan tahun. Sangat beralasan apa yang dikatakan Mahfud MD bahwa mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan rekan-rekannya hanya puncak dari gunung es. Ada kasus korupsi lain yang bernilai jauh lebih besar.

Jika memang kita masih memiliki semangat nasionalisme, kewajiban membayar pajak, khususnya bagi mereka yang memiliki harta berlimpah bukan hanya sekedar pelaksanaan dari sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang warga negara, tetapi mestinya juga merupakan ekspresi dari semangat nasionalisme yang mengantarkan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

 

Kita tentu paham mengapa banyak orang di negeri ini frustasi yang mengakibatkan terjadinya pembangkangan sipil melalui kampanye boikot membayar pajak, karena kongkalikong pembayaran pajak memadamkan harapan hadirnya sebuah negara sejahtera yang menjadi cita-cita bersama kemerdekaan Indonesia.

Pembongkaran praktik mafia pajak harus menjadi prioritas pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Apalagi, 60-70 % penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak. Apabila pemerintah tidak segera melakukan tindakan cepat untuk memberantas mafia pajak, dan juga pada institusi lainnya, pemerintah bisa kehilangan kredibilitas di mata rakyat.

Persfektif Harapan 

Mafia hukum yang makin terkuak di negeri ini, meski “bau amis”nya sudah tercium sejak lama pada satu sisi memang mencederai martabat kemanusian kita. Namun, pada sisi yang lain terkuaknya  praktik mafia disejumlah instansi pemerintahan merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki diri. Ini bisa dimengerti dengan baik dalam persfektif harapan, yakni harapan akan hadirnya Indonesia sebagai negara sejahtera.

 

Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi, pembangunan Indonesia mesti dimaknai sebagai hasil kerjasama seluruh rakyat Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam persfektif harapan kehadiran negara Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur bukanlah sesuatu yang mustahil, karena itu harapan ini tidak boleh terkikis oleh kondisi apapun.

 

Peristiwa yang terjadi di negeri ini dapat dipahami secara benar dalam konteks pengharapan Jurgen Moultman yang mengatakan Hope seeking understanding. I hope so that I understand. Dengan pengharapan, Moultman yang hidup dalam dunia yang kacau balau, khususnya perjumpaannya dengan praktik kekerasan nazi, tidak kehilangan semangat perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih baik, itu secara tegas dikumandangkanya melalui karyanya dalam teologia pengharapan  (theology of Hope). 

 

Peran agama dengan semangat teodisia yang utopis, yaitu suatu penyelenggaraan yang ilahiah yang pernah dikumandangkan Ernest Bloch dalam The Prinsiple of Hope yang sangat mempengaruhi pemikiran teologia pengharapan Moultman dalam hal ini memiliki peran penting.

 

Dengan pengharapan, terbongkarnya mafia pajak yang menimbulkan pertanyaan, mengapa petugas pajak yang memiliki gaji memadai, golongan tiga III A dengan gaji 12 juta, artinya kebutuhan tercukupi, masih juga melakukan korupsi, dapat terjawab. Bahwa tanpa pengawasan yang ketat, dan penegakkan supremasi hukum kerakusan manusia sulit untuk dikendalikan, namun bukan tidak mungkin, apalagi jika ada kerjasama semua pihak.

 

Indonesia saat ini sedang mengalami proses perbaikan kearah yang lebih baik, dan proses itu sedang berlangsung, itu adalah pengharapan yang melahirkan pengertian tentang problematika yang sedang terjadi di negeri ini. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki, namun kerja keras semua pihak sangat dibutuhkan, dan harapan akan hadirnya Indonesia yang sejahtera harus menjiwai kerja keras tersebut. Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, khususnya bagi banyak rakyat di negeri ini yang sedang berada dalam jurang keputusasaan.

 

 

Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/mafia-pajak-dan-persfektif-harapan.html

Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan





Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan


 Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia perlu mewaspadi kekerasan dalam lembaga pendidikan.
  

Jika persentase kekerasan terhadap anak pada tahun 2009 dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen, berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah mendapat kekerasan. Menurut data BPS 2006, populasi anak terlantar di seluruh Indonesia mencapai 5,4 juta. Kekerasan terhadap anak akan makin meningkat jumlahnya pada tahun-tahu belakangan ini. Itulah sebabnya kita melihat kekerasan terhadap anak menjadi cerita biasa pada media-media cetak dan eletronik,

Adalah wajar jika Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar berujar, kekerasan terhadap anak sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan sehingga perlu ada kebijakan pencegahan dan penanganan yang serius.

Yang lebih memprihatinkan adalah, modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling sadis di dunia. Pelaku tega menggorok leher, menyiram dengan air panas, menyiram dengan air keras, menyetrika, menceburkan ke dalam sumur, mematahkan tangan anak, bahkan membakar hidup-hidup.

Ironisnya, menurut data Komnas PA 70% pelakunya adalah perempuan. Baik ibu kandung, ibu tiri, ibu guru,ibu asuh, ibu angkat atau perempuan lainnya. Timbul pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia, khusunya perempuan yang terkenal dengan keramahtamahannya itu bisa mudah lepas kendali, berlaku sadis, apalagi itu terjadi terhadap anak mereka sendiri.


Kultur kekerasan

Kekerasan terhadap anak di negeri ini tidak dapat dipungkiri terkait dengan masih kuatnya kultur kekerasan di negeri ini. Banyak keluarga di negeri ini masih beranggapan bahwa anak adalah aset keluarga, milik mutlak orang tua, sehingga sebagai  konsekuensi logisnya, anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang tua. Akibatnya, ketika anak tidak memenuhi ambisi orang tua, anak akan diperlakukan dengan buruk, anak dianggap sebagai penyebab kegagalan orang tua.

Johan Galtung menggolongkan kekerasan kultural ini dalam kekerasan struktural, kekerasan yang bersifat tidak langsung. Pada kekerasan struktural ini atau kekerasan tidak langsung orang tua tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi. Karena pada kekerasan struktural tidak ada hubungan langsung subyek dan obyek. Kultur kekerasan tersebut kemudian menyebabkan orang tua tak merasa bersalah ketika menempatkan anak sebagai obyek, karena ada logika budaya yang melatarbelakanginya yaitu anak adalah aset keluarga.

Dengan demikian jelaslah, perlakuan sadis perempuan Indonesia terhadap anak-anak mereka tentu saja terkait  pra kondisi dan kondisi yang terjadi sebelum tindak kekerasan tersebut dilakukan. Dalam bahasa Galtung, direct violence, kekerasan langsung, tidak boleh terisolasi dari konteksnya. Jadi tindakan sadis perempuan Indonesia mendapatkan tempatnya pada kekerasan struktural yang bersifat tidak langsung.

Meningkatnya kasus perceraian pada lima tahun terakhir ini di Indonesia tentu saja juga berkorelasi dengan prilaku sadis perempuan. Sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, 200 ribu pasangan berakhir dengan perceraian. Angka perceraian 10% dari angka pernikahan sesungguhnya cukup besar, dari sepuluh pernikahan yang tercatat satu berakhir dengan perceraian. Menariknya, hampir 70% persen istri yang menceraikan  suami (gugat cerai). Padahal, perempuan biasanya menjadi pihak yang paling dirugikan ketika terjadi perceraian, mulai soal hak asuh anak yang biasanya dimenangkan oleh laki-laki, sampai pada pembagian harta, apalagi untuk perempuan yang tak memiliki penghasilan.

Kondisi buruk yang dialami oleh perempuan Indonesia jelas terkait dengan tindakan sadis perempuan Indonesia terhadap anak mereka. Belum lagi penderitaan akibat kemiskinan yang umumnya diderita perempuan karena tingkat pendidikan perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.


Kegagalan Pendidikan

Tindak kekerasan dalam kategori kejahatan sadis perempuan Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak mereka mengindikasikan kegagalan pendidikan di negeri ini. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghancurkan kultur kekerasan yang terus hidup di negeri ini.

Hannah Arendt berujar, pemikiran adalah ciri khas pertama untuk manusia. Pemikiran mendefinisikan manusia sebagai manusia. Pemikiran dapat menghindarkan kekerasan. Apabila pendidikan di negeri ini mampu membuat masyarakat, termasuk perempuan, untuk menjadi lebih rasional mestinya secara bersamaan masyarakat juga bisa menghindari diri untuk tidak melakukan kejahatan yang brutal dan tak bermartabat itu.

Hanya orang tua yang tidak berpikirlah yang dapat melakukan tindakan-tindakan kejahatan brutal dan sadis dalam relasi dengan anak mereka. Tepatlah apa yang dikatakan Augustinus, yang diadopsi oleh Arendt, kejahatan bertentangan dengan pemikiran. Kejahatan “membakar”pemikiran.

Apabila orang tua memikirkan akibat yang akan dialami oleh anak mereka yang menjadi sasaran kejahatan mereka, demikian juga dengan akibat yang harus mereka tanggung akibat perbuatan jahat tersebut, maka kejahatan yang sadis dan brutal itu tidak akan terjadi. Pada konteks ini jelas bahwa pendidikan yang bertujuan memuliakan nilai-nilai yang agung yang bermutu, seperti mencintai keadilan, kebijaksanaan, keindahan telah gagal. Pendidikan Indonesia belum mampu mengahancurkan kultur kekerasan untuk memanusiakan manusia Indonesia.


Binsar A. Hutabarat

Kultur Kekerasan Menyingkapkan Kegagalan Pendidikan

https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/kultur-kekerasan-menyingkapkan.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...