Cara Menulis Bebas Plagiarisme, KLIK DISINI!
Deklarasi Universal HAM yang juga disebut“Magna Carta” adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan adanya proteksi HAM dalam dunia.
Deklarasi ini dapat disebut sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional.
Perjalanan panjang deklarasi universal HAM
Nilai-nilai universal HAM pertama kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu merupakan suatu prestasi penting.
Tidaklah berlebihan jika Deklarasi
Universal HAM kemudian disebut sebagai Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua
manusia mengerti apakah tindakan atas sesamanya merupakan sesuatu yang
melanggar HAM atau tidak.
Ketika deklarasi tersebut dijadikan pedoman
bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu negara, maka HAM kemudian
mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara.
Deklarasi HAM itu juga telah membuat
negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM di
negara tempat mereka memerintah.
Kedudukan Deklarasi Universal HAM menjadi penting bagi suatu Negara karena mempengaruhi hubungan luar negeri
negara tersebut.
Deklarasi universal memang tidak mempunyai
kekuatan hukum dan juga tidak memiliki polisi internasional untuk mengawasi
pelaksanaan hak-hak tersebut, juga untuk
mengadili pelanggar HAM di suatu negara.
Namun, laporan mengenai keadaan suatu
negara yang tidak mengadakan proteksi terhadap HAM akan membuat banyak
kesulitan bagi negara tersebut dalam menjalin hubungan internasionalnya.
Sejak diterimanya Deklarasi Universal HAMoleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu telah banyak mempengaruhi banyak negara di dunia untuk melaksanakannya.
Hal tersebut nyata dengan digunakannya
deklarasi tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada,
demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim
yang otoriter.
Deklarasi Universal HAM yang dijadikan
sebagai pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas
dasar pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan melekat
pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya.
Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena
ia terlahir sebagai manusia, hal ini secara eksplisit dituangkan dalam
mukadimah Deklarasi Universal HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas
martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari
seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan
perdamaian didunia.”
Pandangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang didasari oleh hukum kodrat yang dicetuskan oleh John Locke. Rhoda seorang pengamat tentang hak-hak asasi manusia mengatakan :
Hak asasi manusia adalah masalah sekuler:
hak ini berasal dari pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan
keputusan Ilahi. Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih
terjamin kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan ini tidak
mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang
bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti
harus universal, tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya sebagai
prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan pada agama,
melainkan pada masyarakat sekuler, pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang
diperlukan semua orang untuk hidup bermartabat
Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk
menanggapi pandangan yang menolak universalitas dari HAM. Agama-agama yang
berbeda ternyata menghasilkan konsep HAM yang berbeda sehingga universalitas
HAM mengalami gugatan dari kaum relativisme HAM, karena itu bagi Rhoda seorang
penganut universal HAM, tidak penting apakah agama-agama setuju atau tidak, dan
HAM harus bersifat universal.
Pemahaman Rhoda tentang HAM yang bersifat universal merupakan penelusuran konsep HAM modern yang memang dipelopori oleh para filsuf, secara khusus John Locke.
Namun sayangnya Rhoda tidak mencoba untuk
menganalisa darimanakah asalnya pikiran masyarakat sekuler tersebut. Tentulah
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran keagamaan juga.
Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam
kebebasan dan memiliki martabat yang sama sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi
Universal HAM yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, sebenarnya merupakan sesuatu
yang berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen, yaitu diatas pengakuan manusia
yang diciptakan sebagai gambar Allah.
Memang pemahaman bahwa manusia dikarunia
akal serta hati nurani dan harus bergaul dalam semangat persaudaraan berasal
dari pikiran pencerahan.
HAM memang harus bersifat universal
berdasarkan hukum kodrat, namun tidak berarti bahwa HAM merupakan buah pikiran
manusia sekuler semata-mata. Karena apa yang dinyatakan dalam hukum kodrat John
Locke telah ada jauh sebelum dinyatakan
oleh Locke.
Pengaruh kekristenan
Untuk memahami pengaruh kekristenan dan
Yahudi dalam pembentukan pemikiran hukum kodrat John Lock, dapat ditelusuri
dengan mempelajari sejarah pembentukan pemikiran Barat.
Baik di Inggris maupun Amerika, tempat
dimana pemikiran HAM yang modern dikembangkan. Pengaruh kekristenan terhadap
institusi legal nyata ketika agama Kristen menjadi agama negara pada waktu
pertobatan Konstantinus.
Pada waktu itu, undang-undang negara
dipengaruhi oleh pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan dalam
lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami, heterosexual dan
seumur hidup.
Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak untuk kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah.
Reformasi mengakui bahwa semua manusia
memiliki martabat yang sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran
bahwa semua manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan negara.
Pemahaman manusia memiliki martabat yang
mulia dan kesederajatan tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap
Deklarasi Amerika dan Perancis.
Munculnya dasar lain selain agama dalam pembentukan sistem perundang-undangan negara, baru terjadi setelah terjadi konflik sektarian yang melahirkan perang berdarah.
Namun tidak berarti nilai-nilai kebenaran
Kristen tidak lebih baik dari standar sekuler yang kemudian melahirkan HAM
dalam perspektif masyarakat modern, karena pikiran sekuler tersebut juga berisi
pemikiran-pemikiran agama yang telah mengalami sekularisasi.
Harus diakui, perkembangan HAM tidak terikat semata-mata dengan tahapan perkembangan pemikiran Barat, namun tanpa memahami perkembangan tahapan itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik.
Pemikiran HAM akan memiliki bentuk yang
terpotong-potong, yang berakibat lahirnya pemikiran HAM yang bersifat relative
(relativisme HAM).
Pikiran Rhoda yang ingin mengabaikan agama
dengan menganggap HAM adalah buah karya masyarakat sekuler dengan tidak
mempertimbangkan pentingnya pengaruh agama juga akan mengakibatkan terciptanya
jurang antara Barat dan non Barat.
Karena bagi orang-orang yang beragama
Islam, Kristen, Hindu dan Kongfucu hukum
dan agama memiliki kesatuan yang dalam, sehingga menganggap HAM hanyalah buah
manusia sekuler dan tidak mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukan HAM
justru akan melahirkan penolakan terhadap HAM yang bersifat universal.
Apalagi apa yang dinyatakan dalam hukum kodrat sebagai dasar HAM modern dapat dimengerti lebih baik justru dengan melihat sejarah lahirnya pemahaman hukum kodrat yang telah diakui sejak lama dalam kekristenan.
Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat dianggap sebagai penetapan yang paling awal dari HAM secara
konstitusional, Maka Locke dianggap sebagai peletak dasar dari HAM jaman
modern.
Lahirnya HAM dalam konsep modern tidak
dapat dianggap sebagai buah karya
masyarakat sekuler semata-mata (produk Barat), karena pernyataan Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat sarat dengan pemikiran Kristen, dan itu ada dalam
pikiran John Locke, dan karena John Locke seorang pemeluk agama Kristen dan
seorang anggota jemaat dari Church of England.
Mengenai pengaruh pikiran John Locke dalam isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat David Weissbrodt menjelaskan sebagai berikut:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun
1776 menyatakan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua orang untuk
hidup, untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-hak ini diturunkan dari
teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang mengatakan bahwa individu itu pada
kodratnya otonom. Begitu masuk ke dalam masyarakat, otonomi setiap individu
bergabung membentuk kedaulatan rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat yang
tidak dapat dihilangkan itu telah berubah menjadi hak untuk memerintah diri
sendiri (self government) termasuk hak untuk menentukan dan mengubah
pemerintahnya. Namun masing-masing individu juga masih tetap memiliki beberapa
otonominya yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri tidak
boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak yang masih dimiliki itu telah
menyebabkan masing-masing negara bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan
Bill Of Rights kepada Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.
Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan
hasil dari analisis kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk suatu pemerintahan.
Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum kodrat yang terkait erat
dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut tertuang dalam pernyataan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditulis oleh Thomas Jefferson
seperti berikut:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini
sudah jelas dengan sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa
penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat
dicabut; bahwa di antara hak-hak ini adalah hak untuk hidup bebas dan mengejar
kebahagiaan- bahwa untuk menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan
pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan persetujuan
(kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak
tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.
Pemahaman tentang manusia yang diciptakan
oleh Allah dengan martabat yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang
berdasarkan keagamaan, bukan sekuler, jadi Pengakuan HAM tidak dapat dilepaskan
dengan pengaruh kekristenan.
Pengakuan akan hak-hak Asasi manusia
sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ada dalam
Deklarasi Perancis tentang hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789.
Naskah Deklarasi Perancis ini diberi judul Deklarasi Hak Manusia dan Warga
negara.
Karena dalam deklarasi ini bukan hanya
menyatakan hak-hak, tetapi juga menyatakan hukuman terhadap penyelewengan,
sebagaimana terjadi dalam rejim yang ditumbangkan pada revolusi tersebut.
Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa
manusia memiliki hak yang “kodrati” yang melekat pada manusia dan tak dapat
dicabut, pernyatan tersebut terdapat dalam pasal 1 Deklarasi Hak Manusia dan
Warga Negara tertanggal 26 Agustus 1789, yang mengatakan bahwa: “Semua manusia
terlahir dan tetap selalu dalam kebebasan dan persamaan hak. Perbedaan
kedudukan dalam masyarakat hanya dapat didasari oleh kemanfaatan manusia.”
Kemudian dalam pasal 4 dinyatakan bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan
segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas
pelaksanaan hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan
pelaksanaan hak kodrati bagi anggota lain masyarakat.
Batas-batas tersebut hanya dapat ditentukan
oleh hukum”. Perbedaannya adalah, jika Amerika Serikat berjuang untuk merdeka,
maka Perancis berjuang menghancurkan sistem pemerintahan yang absolut dan
mendirikan negara demokrasi.
Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Perancis pada abad XVII di Eropa sudah banyak orang berpikir tentang masalah HAM. Hal ini tidak mengherankan karena pada tahun 1215, di Inggris, lahir Piagam Mulia (Magna Charta) hasil perjuangan kaum bangsawan melawan kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolut.
Piagam Mulia ini menjadi induk bagi
perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern. Apabila HAM dipahami sebagai
hasil dari pemikiran masyarakat sekuler semata-mata, maka secara bersamaan HAM
akan dianggap sebagai sesuatu yang dilahirkan oleh budaya Barat dan tidak harus
diterima oleh non Barat.
Namun sebagaimana telah dijelaskan di atas,
pemikiran HAM yang bersifat mutilasi tersebut (Tidak melihat sejarah
perkembangan pemikiran Barat) akan mengakibatkan lahirnya HAM yang relative dan
tidak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM.
Pemahaman tentang HAM yang menyeluruh
merupakan sesuatu yang amat penting dalam memahami sifat HAM yang bersifat
universal.
Percakapan dan penghormatan HAM sebenarnya
juga sudah ada sejak sebelum Masehi. Pada jaman Yunani kuno, abad kedua sebelum
Masehi.
Ahli hukum Romawi kuno bernama Ciceromencetuskan pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah sama dan semua manusia dilahirkan bebas”. Tetapi apabila ditarik lebih jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan kebebasan sudah ada sejak adanya manusia.
Alkitab Perjanjian Lama melaporkan bahwa
manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah (Kejadian 1: 26). Jadi, martabat
manusia yang mulia bukan ada dengan sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang
dikaruniai oleh Allah.
Tidak seorang pun berhak mencabut hak-hak
manusia kecuali pencipta itu sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup
dalam penghormatan terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya.
Walaupun pada abad XIX Gereja Katolik
secara organisasi (tindakan gereja secara organisasi belum tentu sesuai dengan
pandangan Alkitab) merupakan pendukung pemerintahan monarkhi dan menolak HAM,
sikap gereja tersebut disebabkan trauma yang dialami gereja pada waktu RevolusiPerancis di mana dalam revolusi tersebut ribuan imam Katolik dihukum mati
karena tidak mau mengucapkan sumpah pada konstitusi.
Puncak penolakan kebebasan beragama dalam
gereja Katolik terjadi pada tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi
dikutuk sebagai kesesatan.
Sikap gereja yang melakukan pelanggaran HAM
juga nyata dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja Katolik dan
aliran Protestan yang dianggap bidat.
Namun tindakan-tindakan salah gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui tindakan tersebut. Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja mendukung penegakan HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes Paulus II yang memuji Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan sendi yang mendasar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demikian juga Calvin seorang tokoh reformator Protestan pernah mendapat pujian sebagai pioner kebebasan hati nurani dan HAM.
Harus diakui bahwa dalam sejarah Gereja baik Katolik maupun Protestan terdapat banyak pelanggaran HAM, namun tidak dapat diartikan bahwa kekristenan tidak menghargai HAM.
Pemahaman mengenai aspek keberadaan manusia
yang telah jatuh dalam dosa serta tidak lagi mampu mentaati Allah secara
sempurna harus menjadi dasar dalam memahami kegagalan gereja dalam mengadakan
proteksi terhadap HAM, tetapi hal itu tidak hanya terjadi pada agama Kristen,
tetapi juga pada semua agama.
Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa
semua agama besar di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap
agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut
melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama
terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti politik
atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat
lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami
trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta
perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi
HAM tidak lagi bersifat domestik. Perjuangan HAM yang bersifat mendunia tersebut
nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk
menegaskan kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional
tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10
Desember 1948. Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan sebagai standar
umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal pertama deklarasi tersebut
memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika Serikat. Karena itu tidaklah
mengherankan jika Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya
dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati. Konsep HAM dianggap
dipengaruhi oleh konsep Locke tentang hukum kodrati tersebut tidak boleh
dianggap menjadi buah karya masyarakat sekuler, karena peran kekristenan sangat
nyata, dimana hukum kodrati itu sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh
Locke, dan hukum kodrati merupakan
sesuatu yang berasal dari kekristenan.
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB
sebagai standar umum bersifat tidak mengikat, karena itu dalam usaha untuk
menegakkan HAM yang bersifat universal lahirlah konvensi-konvensi yang bersifat
mengikat.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/07/sekilas-tentang-deklarasi-universal-ham.html