Thursday, December 10, 2020

Kebebasan Beragama Dasar Bagi Kerukunan Agama-agama




 


 

Pada tes wawancara  seleksi tahap IV  calon Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) 2012-2017  (tes psikologi, uji publik, wawancara),  penulis sebagai salah seorang calon diminta menjelaskan pasal 28J ayat 2, UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Sebelum pertanyaan tersebut penulis mengungkapkan bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif tak sesuai dengan konstitusi negeri ini dan harus dicabut. 

Peraturan-peraturan yang diskriminatif  itu antara lain seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, hasil revisi SKB 2 Menteri tahun 1969 yang kini dijadikan instrumen penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, dan juga HKBP Filadelfia, dan  hingga kini belum mendapatkan jalan keluar penyelesaian.

 

Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diskriminatif di negeri ini seakan mendapatkan pembenaran konstitusi karena konstitusi menetapkan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang. 

Apabila pemerintah membuat pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan, meskipun itu terindikasi bersifat diskriminatif, ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga untuk tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan tersebut. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi.

 

 

 Pembatasan kebebasan

 

Apabila kebebasan memiliki pembatasan-pembatasan, masih bisakah kebebasan dimaknai sebagai kebebasan?

 

Kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum, yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum, karena kebebasannya dipergunakan untuk membatasi kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan haram hukumnya jika dilakukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi, sebaliknya itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi, karena itu harus direvisi agar sesuai dengan konstitusi,  atau dicabut.

 

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah memang tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang  menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama. 

Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusip bagi perjumpaan agama-agama yang damai di ruang publik.

 

 

Kerukunan beragama

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. 

Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. 

Menurut Os Guiness, kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-agama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. 

Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan. 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 

Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/kebebasan-beragama-dasar-bagi-kerukunan.html

Pahlawan dan Proyek Kebangsaan

 








Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 merupakan peristiwa penting lahirnya sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.

 Sebagaimana isi salah satu dari butir sumpah tersebut, yaitu satu bangsa, yakni Bangsa Indonesia. 

Sejak itu rakyat Indonesia secara bersama-sama, bahu membahu, bersatu, berjuang dengan cara modern  mengerjakan proyek kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Pada perjuangan tersebut memang memang ada hambatan dari penghianat yang meghinakan diri menjadi kaki tangan penjajah, demi kepentingan individu yang bertentangan dengan proyek kebangsaan. 

Namun, rakyat Indonesia yang bersatu itu memosisikan para penghianat itu sebagai musuh bersama, sebagaimana layaknya para penjajah. Jadi, perjuangan kebangsaan melawan penjajahan secara bersamaan juga perjuangan melawan penghianat yang tidak memiliki komitmen pada proyek yang bersifat kebangsaan.

 

 

Meski Max Lane beranggapan bahwa, Indonesia adalah “bangsa yang belum selesai”. 

Tapi, itu tidak berarti bahwa kekuatan sumpah pemuda-pemudi Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia dapat dibatalkan.

Sebaliknya itu harusnya mengingatkan, betapa kita harus berjuang lebih keras mewujudkan keutuhan Bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami gempuran dan bahaya disintegrasi.

 

Pada peringatan Sumpah Pemuda, rakyat di negeri ini perlu bertanya, apakah janji sebagai bangsa yang merdeka itu masih tersimpan dalam dada mereka, sumber ungkapan bahagia yang mestinya menjadi dasar utama, dan apakah janji itu telah direfleksikan dalam kehidupan berbangsa pada saat ini.

 

Seandainya saja janji sebagai bangsa itu kita pegang teguh dan kemudian diwariskan pada generasi muda, warna perayaan sumpah pemuda tentu akan penuh dengan tawa dan juga tangis bahagia rakyat negeri ini, meski ada banyak masalah yang menghadang negeri ini. 

Momentum sumpah pemuda bisa jadi akan melahirkan komitmen baru bagi perjuangan bersama untuk menyejahterakan rakyat yang sebagian besar berada dalam kemiskinan, dan penderitaan karena berbagai bencana, itulah harapan rakyat di negeri ini.

 

Kita tentu prihatin, pada  realitasnya, rakyat miskin di negeri ini masih saja belum mendapatkan perhatian memadai. 

Ditengah kemelaratan rakyat, sulitnya mencari kerja, menderita karena berbagai bencana yang belum juga teratasi, elite di negeri ini justru mempertontonkan kemewahannya dalam penyelenggaraan Pilkada yang menghamburkan banyak uang, meski disaat pandemi covid-19 sekalipun.

  Bukti bahwa rakyat  miskin belum mendapat perhatian utama. Mudah-mudahan pilkada damai menumbuhkan kesadaran elite bahwa rakyat amat merindukan implementasi janji-janji mereka.

 

Makna janji

 

Janji, ikrar sebagai bangsa memiliki makna yang penting, karena itu perlu dipegang erat. Pentingnya sebuah janji terlihat jelas dalam suatu perkawinan. 

Janji melahirkan keberanian untuk menerima satu sama lain apa adanya. Dalam janji itu terkandung tekad untuk tetap bersama meski ada banyak tantangan yang mesti dihadapi dan tak terpikirkan sebelumnya. 

Karena berpegang pada janjilah sebuah rumah tangga dapat bertahan menghadapi badai cobaan bagaimanapun derasnya.

 

Demikian juga, Janji sebagai bangsa yang satu mestinya juga terus dipegang erat, meski kita tahu negeri ini telah amat menderita oleh gelombang krisis yang datang silih berganti. 

Konflik yang timbul diberbagai daerah, konflik partai politik, dll. Konflik itu bisa di musiumkan, jika kita berpegang pada janji sebagai bangsa.

 

Apabila janji sebagai bangsa itu kemudian diwariskan pada  generasi penerus bangsa ini, kekuatiran munculnya separatisme yang biasanya mudah menjalar di kalangan kaum muda,sebagaimana terjadi di berbagai daearah, tidak perlu terjadi. 

Seperti pada peristiwa Sumpah Pemuda, kaum muda akan berjuang keras demi kebesaran bangsa ini, seperti yang dilakukan team olimpiade fisika dan sains yang telah mengharumkan negeri ini.

 

Pengampunan

 

Jika kita setuju pada Hannah Arendt, bahwa tindakan manusia memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol) maka niscaya komitmen untuk berpegang lebih erat pada janji kebangsaan akan lahir dalam peringatan kemerdekaaan Indonesia kali ini.

 

Perlakuan sesama warga bangsa yang menyakitkan tidak mesti ditafsirkan sebagai sesuatu yang lahir dari semangat membinasakan, karena kelemahan manusia bisa melahirkan interpretasi berbeda, perbuatan baik bisa direspons negative, dan bukan melulu karena nafsu ingin membinasakan, tetapi hanya karena salah pengertian, suatu tindakan yang unpredictable

 

Konflik yang terjadi dalam perjalanan bangsa ini juga mesti dilihat dari keterbatasan manusia Indonesia. Memang konflik itu telah menggoreskan luka, dan tak mungkin kembali seperti sedia kala. 

Luka yang disembuhkan tetap menyisakan bekas luka, tapi kesadaran akan keterbatasan manusia membuat kita mampu untuk saling memaafkan. Karena tak ada manusia yang luput dari salah.

 

Kekuatan pengampunan memang tidak akan melenyapkan bekas luka, namun, kekuatan pengampunan mampu menyembuhkan luka, dan memampukan yang terluka melihat sisi positif dari kejadian tersebut, tanpa perlu menghapuskan realitas yang pernah terjadi. 

Sebaliknya, itu menjadi pengalaman berharga untuk dapat hidup bersama lebih baik, mengalami kedewasaan sebagai warga bangsa.

 

Seandainya kita mengerti pentingnya makna sebuah janji, maka usaha menjaga janji itu untuk tetap lestari niscaya tertanam di lubuk hati kita yang terdalam. 

Keperihan menerima realitas menjadi kerelaan, karena kesadaran pentingnya janji itu aakan menghadirkan kesediaan untuk berkorban. 


Jika, rakyat di negeri ini dahulu rela menyerahkan jiwa raga mereka untuk kemerdekaan bangsa ini, sepatutnyalah kita rela mengampuni sesama warga bangsa untuk tetap berpegang pada janji sebagai bangsa yang merdeka.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/pahlawan-dan-proyek-kebangsaan.html

Identitas Nasional Kita





 

 

 

Kita mungkin telah bosan dengan pidato-pidato yang mengingatkan mengenai telah terjadinya degradasi identitas nasional Indonesia. 

Tapi, kebosanan mendengarkan peringatan tersebut tidak berarti bisa membebaskan kita dari krisis identitas nasional, seperti yang pernah diungkapkan Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia, Mukhlis Paeni, “Indonesia telah mengalami degradasi ingatan kesejarahan.”

 

Mahfud M.D. salah seorang tokoh nasional negeri ini pernah secara terbuka mengakui bahwa saat ini jati diri bangsa telah makin terkikis. Nilai-nilai luhur seperti toleransi, hidup damai, sopan, dan bangga pada dirinya mulai luntur. Krisis moral yang terjadi pada bangsa ini menyebabkan martabat bangsa Indonesia  sering dilecehkan oleh bangsa lain.

 

Pernyataan-pernyataan tersebut mestinya menjadi alarm bagi negeri ini, bukannya malah mengabaikannya begitu saja, karena  degradasi ingatan kesejarahan itu akan menyebabkan kematian identitas bangsa yang menyebabkan suramnya masa depan bangsa.

 

 

Identitas Nasional

 


Masa lalu mengajarkan kepada kita mengapa kita ada pada masa kini. Sedang  apa yang kita cita-citakan pada masa depan  menolong kita untuk bijak bertindak pada masa kini, karena dengan memiliki cita-cita yang jelas dan terukur itu kita dapat membuat proyeksi untuk menggapai cita-cita tersebut. Sebaliknya Indonesia akan kehilangan masa depan jika membiarkan kehilanganingatan sejara. Tanpa pengetahuan masa lalu Indonesia akan mengalami kematian identitas, yang akhirnya berujung pada negara gagal.

 

Identitas diambil dari kata Latin, idem yang mengimplikasikan arti kesamaan dan kontinuitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas diartikan sebagai jati diri, yakni ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedang, menurut pandangan psikologi sosial, identitas adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri sebagai suatu mahkluk yang unik. Erik Erickson kemudian mengembangkan gagasan identitas bukan hanya sebagai “proses ‘menemukan” dalam inti individu tetapi juga dalam inti kultur komunal, sebuah proses yang menciptakan identitas dari kedua identitas tersebut. Jadi identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi juga berlaku pada kelompok.

 

Identitas nasional menurut Koento Wibisono pada hakikatnya merupakan "manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya". Jadi, yang dimaksud dengan identitas bangsa Indonesia adalah manifestasi dari segenap nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari aneka  suku yang "dihimpun" dalam satu kesatuan Indonesia, menjadi kebudayaan nasional.

 

Pancasila dan semangat "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi dasar dan arah pengembangan kebudayaan nasional yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Keragaman suku, budaya, bahasa dan agama merupakan unsur-unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia. Segenap nilai-nilai budaya nasional Indonesia itu mesti termanifestasi dalam dirinya bangsa Indonesia. Karena itu melupakan Pancasila, secara bersamaan juga melupakan sejarah pembentukan identitas bangsa Indonesia, dan itu sama saja dengan membiarkan bangsa ini mengalami kematian identitas.

 

Krisis moral

 

Meredupnya kecintaan pada Pancasila yang kini terlihat pada pembilahan masyarakat berdasarkan suku, budaya dan agama. Ini  bukan hanya akan mengakibatkan terjadinya degradasi identitas nasional, tetapi lebih parah lagi bisa mengarah pada kematian identitas bangsa Indonesia yang fenomenanya terlihat pada disintegrasi yang meledak dalam konflik antar suku, agama dan kelompok di negeri ini.

 

Jalan Pancasila yang tersohor dengan semangat bhinneka tunggal merupakan jalan pemersatu suku, budaya dan agama yang beragam dan berbeda di negeri ini. Pancasila ibarat rumah bersama bagi identitas yang beragam dan berbeda itu, yang menjadi pembentuk identitas nasional Indonesia. Karena itu menerima Pancasila sesungguhnya jauh dari semangat diskriminasi atas nama apapun.

 

Menerima Pancasila harus dimaknai sebagai penerimaan terhadap perjumpaan komitmen-komitmen semisal perbedaan agama, suku dan budaya untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar komunitas yang beragam itu. Agama, suku dan budaya yang beragama dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesa dari keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhineka tunggal ika” yang anti diskriminasi menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. 

 

Para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila. Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Seperti dikatakan Eka Darmaputera, “Pancasila merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama (values consensus).”

 

Pancasila bukan sesuatu yang diberikan (given), tetapi itu adalah sebuah pencapaian. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi Indonesia dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Pancasila merupakan dasar filosofis yang masih perlu terus digali seiring dengan perkembangan terbaru saat ini untuk menghadapi permasalahan-permasalahan relevan saat ini.

Sayangnya, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi negara, perlawanan untuk menggantikannya dengan ideologi lain masih terus berlangsung sepanjang sejarah NKRI. Penolakan langsung terhadap Pancasila bukan hanya terjadi secara terbuka, tetapi juga secara terselubung. Pergumulan ideologi itu berjalan terutama melalui proses transplantasi ideologi masing-masing itu kedalam Pancasila. Padahal, membiarkan gerakan-gerakan yang merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sama sekali tidak beralasan, wajar saja jika rakyat di negeri ini mengalami kerisauan dengan ketika Pancasila makin dipinggirkan.

Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya apabila Pancasila tidak lagi menjadi nilai-nilai bersama, yang menjadi landasan etik dan moral bangsa Indonesia, sehingga setiap orang memiliki landasannya sendiri-sendiri. Pada kondisi ini dapat dikatakan, Indonesia sedang menghadapi bahaya disintegrasi, masing-masing individu, kelompok mengambil jalannya sendiri-sendiri, bukan jalan pancasila. Ini mengakibatkan kaburnya norma-norma apa yang baik dan yang jahat, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang benar dan apa yang salah, bisa disebut, telah terjadi krisis moral bangsa.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/identitas-nasional-kita.html

NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK

 SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...