Pada tes
wawancara seleksi tahap IV calon Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas
Ham) 2012-2017 (tes psikologi, uji
publik, wawancara), penulis sebagai
salah seorang calon diminta menjelaskan pasal 28J ayat 2, UUD 1945, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.”
Sebelum pertanyaan tersebut penulis mengungkapkan bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif tak sesuai dengan konstitusi negeri ini dan harus dicabut.
Peraturan-peraturan yang diskriminatif
itu antara lain seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, hasil
revisi SKB 2 Menteri tahun 1969 yang kini dijadikan instrumen penyegelan Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, dan juga HKBP Filadelfia, dan hingga kini belum mendapatkan jalan keluar
penyelesaian.
Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diskriminatif di negeri ini seakan mendapatkan pembenaran konstitusi karena konstitusi menetapkan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang.
Apabila pemerintah
membuat pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang dan
peraturan-peraturan, meskipun itu terindikasi bersifat diskriminatif, ayat
tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga untuk tunduk kepada undang-undang
atau peraturan-peraturan tersebut. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap
melawan konstitusi.
Pembatasan
kebebasan
Apabila
kebebasan memiliki pembatasan-pembatasan, masih bisakah kebebasan dimaknai
sebagai kebebasan?
Kebebasan tanpa
pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang
kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan
yang kuat.
Kebebasan
sesungguhnya tak bisa dimaknai sebagai
kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang
diberikan bagi mereka yang melanggar hukum, yang mengatur kehidupan bersama
dalam masyarakat dan negara. Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan
kebebasan tetap harus dihukum, karena kebebasannya dipergunakan untuk membatasi
kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut
kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada
dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.
Namun,
pembatasan kebebasan haram hukumnya jika dilakukan demi keuntungan-keuntungan
sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan hanya layak jika itu
dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan
yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan
(equal liberty).
Dengan demikian
jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri
ini tak memiliki pijakannya dalam
konstitusi, sebaliknya itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi, karena itu
harus direvisi agar sesuai dengan konstitusi,
atau dicabut.
Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah.
Regulasi
pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom
religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar
agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan
yang sama.
Pemerintah memang tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama.
Ini merupakan syarat mutlak terciptanya
kondisi yang kondusip bagi perjumpaan agama-agama yang damai di ruang publik.
Kerukunan beragama
Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi.
Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan.
Menurut Os Guiness, kebebasan hati
nurani (freedom of conscience)
merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar
bagi kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan
berkumpul (freedom of assembly).
Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling
pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.
Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan
HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.
Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-agama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama.
Karena itu inkonsistensi
pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila,
setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif
terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran
konstitusi.
Apabila pada
waktu transformasi Pancasila
kedalam perundang-undangan
terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka
perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila
yang inklusif dan nondiskriminatif.
Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan.
Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah
kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai
dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka
pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.
Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.
Lahirnya peraturan-peraturan yang
diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang
menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya
peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan.
Binsar Antoni
Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/kebebasan-beragama-dasar-bagi-kerukunan.html