Wednesday, December 16, 2020

Menyandingkan Iman dan Ilmu Pengetahuan

 





 

 Masyarat Indonesia tidak boleh terpecah dengan maraknya perbedaan pendapat, demikian juga tokoh agama tak perlu mempertentangkan sains dan ilmu pengetahuan. 

Memosisikan pendapat, iman dan ilmu pengetahuan secara tepat adalah jalan terbaik untuk hidup seimbang.
 

Kita tentu paham, pendapat adalah pengetahuan yang tidak pasti maupun terbukti. Jika kita ingin menulis opini atau pendapat, tentu saja kita akan melakukan riset sederhana untuk mengetahui dan memahami sebuah kejadian atau peristiwa. Data-data tentang kejadian itu kita kumpulkan sehingga kita memahami apa, mengapa dan bagaimana peritiwa itu bisa terjadi. Setelah itu berdasarkan sudut pandang yang kita ingin sampaikan dan didukung dengan bidang keahlian kita, maka kita memberikan pendapat atas kejadian atau peristiwa itu.

 

Riset pendapat atau opini yang kita lakukan bukanlah sebuah riset untuk membuktikan suatu kebenaran seperti ketika kita melakukan Penelitian empiris. Riset yang dilakukan untuk membuat sebuah pendapat itu hanya sampai pada perumusan sebuah hipotesis yang masih perlu dilakukan Penelitian lebih lanjut. Itulah sebabnya pendapat itu pengetahuan yang tidak pasti, dan juga belum memiliki pembuktian ilmiah. Tapi, kita perlu belajar mengemukakan pendapat untuk mengasah otak.

 

Kontroversi pendapat yang bertebaran di berbagai media sejatinya tidak perlu membuat bingung masyarakat, juga pemerintah. Sebaliknya pemerintah dan masyarakat perlu memilah-milah mana pendapat yang dapat diteruskan untuk masuk kepada penelitian yang mendalam untuk mencari strategi-strategi cerdas membendung Covid-19.

 

Masyarakat juga jangan memaksakan pandangannya pada pemerintah apalagi mengucapkan kata-kata kasar, karena pendapat itu sendiri sangat tidak pasti dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Demikian juga perbedaan pendapat para tokoh publik tidak perlu disikapi terlalu berlebihan, apalagi sampai mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa memerangi wabah corona.

 

Demikian juga tokoh-tokoh agama di negeri ini perlu mendukung kebijakan pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan menjaga jarak fisik dengan beribadah di rumah atau menghindari perhimpunan dalam bentuk apapun yang mengatas namakan agama. Kita percaya Yang Maha Kuasa bisa saja mengenyahkan virus corona, tapi temuan risat ilmiah umembendung corona dengan menjaga jarak fisik harus dilaksanakan lebih dulu.

 

Di Indonesia agama-agama mengakui pentingnya sains, pengetahuan yang memiliki kepastian dan pembuktian. Sains tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Bahkan agama-agama mengakui ada persesuaian iman dengan ilmu pengetahuan. Meski riset teologi berbeda dengan riset empiris yang memerlukan pembuktian.

 

Berbeda dengan iman yang memiliki kepastian namun tidak dapat dibuktikan. Bahkan iman memiliki kepastian jauh lebih kuat dari sains. Banyak orang berani menderita bahkan mati demi imannya, tetapi sedikit orang yang memilih menderita atau mati untuk mempertahankan temuan sains. Itulah sebabnya konflik antar agama kerap meluas dengan melibatkan para pengikut tokoh agama itu.

 

Sains memiliki kepastian dan juga pembuktian. Berdasarkan riset ilmiah, virus corona dapat menyebar dari seorang yang positif corona kepada orang lain melalui hubungan dengan orang yang terinfeksi virus corona, bahkan orang yang terpapar virus corona meski tidak menunjukkan gejala-gejala sakit dapat menjadi media penyeberan virus corona.

 

Penyebaran virus corona menjadi sulit dikendalikan karena orang yang terpapar virus corona yang tidak menunjukkan gejela-gejala sakit, meski tidak disadari dapat menjadi media untuk menyebarkan virus corona. Bahkan, benda-benda yang disentuh oleh orang positif terinfeksi corona dapat menjadi media penyebaran virus corona. Itulah sebabnya penyebaran virus corona yang tidak berdampak besar itu dapat menular dengan cepat keberbagai penjuru dunia, dan mengakibatkan korban meninggal yang tidak sedikit.

 

Berdasarkan temuan sains itulah maka pemerintah memberikan imbauan sampai pada pelarangan untuk ibadah pada tempat ibadah yang membentuk sebuah perhimpunan yang dapat menjadi media penyebaran virus corona.

 

Dengan demikian kita perlu menempatkan pendapat, iman dan ilmu pengetahuan secara tepat untuk dapat bekerja bersama memerangi wabah virus corona tanpa harus terpecah karena pendapat yang berbeda, demikian juga semua umat beragama perlu menghargai sains untuk bersama membendung corona tanpa harus melepaskan iman atau kepercayaan umat beragama.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/menyandingkan-iman-dan-ilmu-pengetahuan.html

Monday, December 14, 2020

Hukum Berkeadilan

 



 

 

 

Hukum sejatinya perlu memenuhi keadilan publik. Manakala hukum tak memenuhi keadilan publik karena dalam perumusan hukum dan undang-undang kerap terjadi Tarik menarik antar kepentingan kelompok, maka hukum atau peraturan-peraturan itu perlu direvisi untuk memenuhi keadilan publik.

 

Hak dan Kebebasan

 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, secara tegas menetapkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga negara Indonesia tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah meskipun aturan tersebut diskriminatif. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi. Padahal, bila mengacu pada kata “adil,”maka aturan-aturan yang bersifat diskriminatif sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi.

 

Kita tentu setuju adanya pembatasan yang menjamin kebebasan, tapi pembatasan kebebasan secara tidak adil adalah tidak tepat, dan mencederai keadilan. Kebebasan masih bisa disebut kebebasan meski ada pembatasan-pembatasan, asal saja pembatasan tersebut diberlakukan secara adil.

 

Sebaliknya, kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara wajib ditaati.

 

Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum. Penggunaan kebebasan seseorang tak boleh mengancam kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan menjadi diskriminatif  jika pembatasan itu dihadirkan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan berdasarkan konstitusi harus memenuhi azas keadilan, pembatasan dilakukan agar setiap orang ketika melaksanakan kebebasannya tidak mengganggu ketertiban umum atau melanggar hukum.

 

Jadi, pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi. Peraturan-peraturan yang diskriminatif mengakibatkan pemerintah bersikap tidak adil, dan secara bersamaan itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi. Undang-undang seperti itu harus direvisi atau dicabut.

 
Tentang kebebasan beragama

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama dalam negara banyak agama seperti Indonesia tetap diperlukan. Undang-undang jaminan kebebasan beragama merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kondisi yang kondusip dalam perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam.

 

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan.

 

Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-sgama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Hukum yang berkeadilan

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan.

 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.

 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 


Dr. Binsar Antoni Hutabarat, M.Th.

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hukum-berkeadilan.html

Thursday, December 10, 2020

Kebebasan Beragama Dasar Bagi Kerukunan Agama-agama




 


 

Pada tes wawancara  seleksi tahap IV  calon Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) 2012-2017  (tes psikologi, uji publik, wawancara),  penulis sebagai salah seorang calon diminta menjelaskan pasal 28J ayat 2, UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Sebelum pertanyaan tersebut penulis mengungkapkan bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif tak sesuai dengan konstitusi negeri ini dan harus dicabut. 

Peraturan-peraturan yang diskriminatif  itu antara lain seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, hasil revisi SKB 2 Menteri tahun 1969 yang kini dijadikan instrumen penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, dan juga HKBP Filadelfia, dan  hingga kini belum mendapatkan jalan keluar penyelesaian.

 

Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diskriminatif di negeri ini seakan mendapatkan pembenaran konstitusi karena konstitusi menetapkan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang. 

Apabila pemerintah membuat pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan, meskipun itu terindikasi bersifat diskriminatif, ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga untuk tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan tersebut. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi.

 

 

 Pembatasan kebebasan

 

Apabila kebebasan memiliki pembatasan-pembatasan, masih bisakah kebebasan dimaknai sebagai kebebasan?

 

Kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum, yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum, karena kebebasannya dipergunakan untuk membatasi kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan haram hukumnya jika dilakukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi, sebaliknya itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi, karena itu harus direvisi agar sesuai dengan konstitusi,  atau dicabut.

 

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah memang tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang  menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama. 

Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusip bagi perjumpaan agama-agama yang damai di ruang publik.

 

 

Kerukunan beragama

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. 

Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. 

Menurut Os Guiness, kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-agama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. 

Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan. 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 

Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/kebebasan-beragama-dasar-bagi-kerukunan.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...