Potret buram hegemoni agama yang meruntuhkan benteng kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan hanya ada pada masa orde lama dan orde baru, tetapi juga terus terjadi hingga era reformasi ini.
Hegemoni agama di negeri ini ternyata bukan hanya
terjadi dalam hubungan antaragama, tetapi juga dalam internal agama itu sendiri
(denominasi). Konflik yang terjadi dalam internal agama-agama ternyata juga
tidak kurang beringasnya dibandingkan dengan apa yang terjadi pada konflik
antaragama. Perdamaian dan Keadilan dalam hubungan interdenominasi agama masih
menjadi perjuangan kekristenan di
Usaha bagaimana
interdenominasi agama bisa menampilkan wajah perdamaiannya semata-mata menjadi
tugas yang teramat penting, khususnya tokoh-tokoh agama Kristen di negeri ini. Apalagi
jika kita setuju, ambivalensi agama dalam penampakan agama pada ranah publik
yang oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana
agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian bukanlah terkait
semata-mata pada diri agama-agama itu. Banyak peperangan yang dimotivasi agama
pada hakikatnya bukanlah “perang agama” sebab agama bisa saja ditunggangi oleh
kepentingan yang sebenarnya anti agama, secara khusus kepentingan politik.
Tulisan ini akan
memaparkan bagaimana Perdamaian dan keadilan Interagama (interdenominasi
kristen) dapat mewujud, dan sekaligus menjawab mengapa konflik interdenominasi
yang tak kunjung reda di negeri ini dapat ditekan seminimal mungkin, untuk
kemudian menghadirkan jalan tol perdamaian dan keadilan interdenominasi
Kristen.
Ut Omnes Unum Sint
Umat Kristen
senantiasa berharap menjadi satu. Namun, tidak semua penyatuan umat kristen dibangun
pada dasar yang benar. Pertanyaan pentingnya adalah, apa yang menyatukan kita?
Pada kenyataannya, umat Kristen menjadi satu bukan melulu karena karya Roh Kudus, tetapi karena kekerasan, atau
penyerangan bertubi-tubi yang diarahkan pada gereja. Apabila itu yang menjadi
dasar mengapa umat Kristen menjadi satu, maka itu adalah kesatuan yang semu.
Pada masa gereja
mula-mula, orang-orang Kristen enggan menyebar untuk kemudian memberitakan
Injil. Berkumpulnya umat Kristen pada satu tempat (Yerusalem) telah mengakibatkan
berkat Allah tak menyebar kepada bangsa-bangsa lain. Karena keegoissan umat
kristen itulah Tuhan mengijinkan penganiayaan terjadi pada orang –orang Kristen,
dengan maksud agar orang-orang Krisetn menyebar
dan memberitakan Injil. Ketika umat Kristen berkumpul, bukan berarti mereka menyatu,
tidak produktifnya perkumpulan tersebut bisa menjadi pertanda, itu adalah
persatuan yang semu. Berdiamnya umat Kristen di Yerusalem adalah persatuan yang
semu, yakni berkumpul untuk menghindar dari ancaman dunia yang tak bersahabat.
Pada masa kini,
persatuan yang semu diantara orang Kristen terlihat dalam perpindahan anggota
gereja (organisasi gereja). Anggota jemaat yang pindah harus rela menerima pembaptisan ulang. Itu
mengindikasikan, cara-cara baptisan yang berbeda lebih utama dibandingkan pada
atas nama siapa orang Kristen itu di baptis. Disini jelah terlihat meski kita
menyatakan bahwa kita adalah satu, pada praktiknya kita tidak disatukan diatas
nama kepala gereja, yaitu Yesus Kristus. Sebaliknya, denominasi gereja yang
beragam itu masih lebih mengutamakan
institusi gereja (denominasi) dibandingkan Sang Kepala gereja. Menginstitusikan
orang Kristen lebih utama dibandingkan menyatukan diri dibawah pinpinan kepala
Gereja.
Bukan hanya
baptisan yang menjadi saksi semunya kesatuan orang Kristen, tetapi juga
perbedaan makna perjamuan Kudus. Perbedaan dalam memaknai perjamuan kudus
sekaligus telah memecah persatuan diantara orang Kristen. Sejak permulaan
Reformasi gereja-gereja tidak berhasil menciptakan kesatuan dalam pemahaman
tentang perjamuan kudus. Perdebatan tentang Trans-substansia, yaitu pemahaman
bahwa roti dan anggur berubah menjadi darah dan daging dalam perjamuan kudus,
dan roti dan anggur tetap menjadi roti dan dan anggur, tetapi sambil makan dan
minum orang dipersatukan secara rohani dan
jasmani dengan kristus, serta pemahan simbolis mengenai perjamuan kudus tak
pernah selesai, dan mengancam keberhasilan Reformasi.
Rapuhnya
kesatuan umat Kristen juga terlihat dalam menyikapi perbedaan doktrin.
Khususnya terhadap mereka yang digolongkan pada bidat. Michael Servet (1553)
seorang dokter yang menolak ajaran tentang tritunggal harus mengakhiri hidupnya
dengan cara dibakar hidup-hidup. John Calvin telah berusaha mempertobatkan
Servetus agar terbebas dari hukuman, dan juga meminta kepada pemerintah untuk
tidak menghukum Servetus dengan cara keji, yakni dibakar hidup-hidup, namun
usahanya gagal. Tindakan pemerintah Jenewa yang membakar Servetus karena
menghujat nama Allah, yang adalah hukuman tradisional untuk penganut ajaran
sesat pada waktu itu, menjadi lembaran hitam sejarah gereja.
Alkitab
sesungguhnya sangat menghargai kebebasan beragama. Bagi Luther kebebasan
beragama juga berarti kebebasan setiap orang Kristen untuk menafsirkan Alkitab.
Doktrin predestinasi dalam Alkitab menjadi cikal bakal ajaran pengakuan
kebebasan beragama. Berdasarkan doktrin predestinasi dapat dipahami bahwa
perpindahan anggota gereja ke gereja lain, atau perpindahan antar agama menjadi
hak setiap individu. Kebebasan hati nurani sesungguhnya ditegakkan di atas
doktrin predestinasi. Sayangnya, gereja bukan hanya tidak belajar dari masa
lalu, tetapi mengabaikan doktrin predestinasi yang amat penting itu.
Kehadiran
Rancangan Perda Manokwari Kota Injil yang menghebohkan, pada rancangan awal
salah satunya memuat larangan kehadiran kapal penumpang yang menurunkan
penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di
Gereja yang mengakui keragaman dalam dirinya
harusnya menerima pluralisme sebagai suatu yang niscaya dalam denominasi-denominasi
gereja yang beragam dan berbeda.. Penerimaan Pluralisme bukanlah mengarahkan
pada usaha untuk menyeragamkan denominasi-denominasi yang berbeda dan beragam.
Sebaliknya penerimaan terhadap pluralisme agama adalah sesuatu yang didasarkan
oleh toleransi yang menghargai keragaman denominasi gereja, dan menjadi dasar
bagi pengakuan kebebasan beragama.
Denominasi-denominasi gereja yang berbeda tidak boleh berusaha
mempertahankan eksistensinya dengan membiarkan yang lainnya mati (live
and let die), dan agama-agama bukan
hanya harus hidup bersama dalam hubungan yang bersifat, “hidup bersama dan
tidak saling mengganggu”, namun agama-agama harus “hidup bersama dan saling
membutuhkan satu sama lain,” yaitu
agama-agama menyadari interdepedensi-nya satu sama lain. Pada kondisi
itulah proteksi kemerdekaan beribadah dapat dijaga secara bersama-sama.
Lahirnya
Peraturan Bersama Menteri (PBM) perbaikan dari Surat Keputusan Bersama (SKB)
patut disesali oleh gereja-gereja. Persetujuan gereja terhadap PBM tersebut
jelas menunjukkan penegasian gereja terhadap sesama gereja, khususnya terhadap
organisasi gereja yang memiliki jemaat kurang dari 90 orang dewasa, serta
geraja-gereja yang beribadah di ruko (rumah toko) yang bukan diperuntukkan
untuk gereja, tetapi menjadi areal bisnis. Apalagi pada kenyataannya tidak
jarang, PBM tersebut dijadikan gereja untuk menolak kehadiran gereja lain yang
dianggap sebagai kompetitor.
Evangelism
and Social Action
Penginjilan dan
aksi sosial merupakan isu penting yang terus menjadi polemik dalam gereja,
bahkan kerap mengoyak kerjasama antardenominasi gereja. Social action harus
dimaknai sebagai buah dari penerimaan atas Injil yang benar. Hal ini tidak
boleh dipersamakan dengan Injil. Social action menjadi pre-evangelistic preparation,
menjadi sesuatu manifestation of true Christian agar orang percaya kepada
injil. Namun, kebaikan motif Kristen dalam penginjilan tidak boleh menjadi
bagian dari penginjilan.
Orang Kristen wajib melayani orang miskin, dan
berjuang bersama dengan warga bangsa lainnya untuk mengentaskan kemiskinan. Namun,
secara bersamaan orang kristen juga harus berjuang untuk menyembuhkan
kemisikinan rohani (memberitakan injil). Aksi sosial dan penginjilan tidak
boleh dicampur. Pelayanan Kristen harus bersifat menyeluruh. Aksi sosial dan
pemberitaan Injil. Jadi, “mission” itu adalah evangelization ditambah dengan
the result, the fruit of our true life. Dengan sendirinya mewujudkan keindahan
daripada firman dan Injil Tuhan.
Perdamaian dan Keadilan Interdenominasi
Fakta keragaman
dan keberbedaan denominasi gereja tidak harus terus diratapi. Keragaman-dan
keberbedaan denominasi harus diterima sebagai realitas. Pluralisme dalam gereja
harus diterima dan dirawat dengan baik, agar semata-mata mendatangkan berkat
bagi gereja-gereja.
Gereja-gereja
yang berbeda dan beragam tidak boleh mengurung diri dalam benteng-benteng
denominasi, dan hanya sesaat berkumpul bersama ketika menghadapi persoalan atau
ancaman bersama. Eksklusivisme denominasi mengakibatkan umat Kristen kurang
memahami keragaman gereja, dan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman atas
agama-agama yang berbeda, yang akhirnya berujung pada konflik interdenominasi.
Bahaya eksklusivisme ini bisa muncul pada semua orang, baik yang Kristen maupun
yang bukan Kristen.
Gairah yang
makin tinggi dari anggota jemaatt dalam menekuni ajaran Kristen pada denominasi
tertentu harus disyukuri. Namun, gairah tersebut mestinya juga didukung oleh
semangat untuk mengenal realitas keragaman gereja. Sejarah membuktikan,
keragaman gereja tak pernah bisa diseragamkan, gereja-gereja di bumi ini makin
hari makin beragam, meski tetap memiki kesamaan-kesamaan. Kesamaan yang ada
dalam interdenominasi itu harus terus digali untuk dapat menjadi perekat bagi
kehidupan bersama gereja-gereja.
Pada kondisi
dimana mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah menjadi kian sulit,
gereja-gereja yang beragam dan berbeda harus berani mengijinkan denominasi
gereja lain menggunakan tempat ibadah mereka. Apabila pada ruko-rujko yang kini
banyak bertebaran di kota-kota besar, dan setiap ruko tersebut bisa digunakan
oleh dua-atau lebih denominasi gereja, dan itu berlangsung dengan damai, maka
pada gereja-gereja yang telah memiliki IMB mestinya juga terbuka untuk
fasilitas gerejanya digunakan oleh denominasi gereja lain yang membutuhkan.
Kesedian untuk
hidup damai interdenominasi, akan mendorong lahirnya lembaga-lembaga
interdenominasi gereja, organisasi interdenominasi ini penting untuk
mengkomunikasikan ajaran-ajaran gereja yang berbeda dan beragam itu. Melalui komunikasi
nilai-nilai interdenominasi itu pastilah hadir nilai-nilai inklusif (golden
rule) yang bisa menjadi titik pijak bersama, perekat kebersamaan yang lebih
mendalam untuk terciptanya hidup damai interdenominasi gereja
Apabila
integrasi interdenominasi berjalan dengan baik, maka hubungan interdenominasi
gereja tidak hanya akan tetap berada pada level tidak saling menggangu, tetapi
bergerak maju menjadi hubungan yang bersifat creative proexistence. Pada level ini dalam kelompok yang berbeda
itu telah tumbuh kesadaran interdepedensi, karena itu hubungan interdenominasi bukan
hanya tidak saling menggangu, tapi mulai saling memperhatikan.
Adanya organisasi-organisasi
interdenominasi sangat penting untuk
meredam konflik berkepanjangan interdenominasi. Rumor negatif khusunya
perpindahan anggota jemaat tidak akan berdampak luas jika lembaga
interdenominasi itu bekerja sama dengan baik. Apabila integrasi antar
denominasi terawat dengan baik, provokasi dalam bentuk apapun akan mungkin
untuk diantisipasi dengan tepat.
Tingginya
kepercayaan interdenominasi adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan
koflik interdenominasi yang kerap muncul di negeri ini. Penyelesain koflik
membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling
percaya. Mustahil menihilkan konflik, karena konflik itu sendiri sesungguhnya
merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren. Selama kita
tak mampu membebaskan diri dari stereotipe negatif tentang kelompok lain,
konflik akan terus ada.
Perdamaian antar
denominasi gereja yang dibangun diatas keadilan bersama ini juga akan menjadi
kekuatan yang amat besar untuk menekan negara yang tidak jarang tergoda untuk
mengintervensi ruang privat agama. Gereja-gereja bukan hanya perlu menolak
undang-undang yang merugikan gereja-gereja semisal PBM, tetapi gereja-gereja
juga harus menolak Undang-undang kerukunan umat beragama yang terindikasi akan
membelenggu kebebasan beragama.
Terciptanya
kebebasan beragama memang menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah
terhadap jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti
diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan
kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. Regulasi pemerintah
yang memberikan jaminan kebebasan beraganma dapat diwujudkan dalam regulasi
yang menjaminan kebebasan beragama dan
anti diskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang
kondusip bagi perjumpaan interdenominasi agama dan antaragama yang damai.
Namun, pemerintah
tidak perlu mengatur kehidupan beragama. Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi yang jelas-jelas akan
merampas kebebasan individu, atau organisasi gereja tertentu ataupun agama
tertentu maka gereja-gereja harus berani bersatu menentangnya untuk kebaikan
bersama.
Kita boleh saja
tidak setuju pada kepercayaan orang lain, tetapi sebagaimana Luther pernah
mengatakan, “manusia dalam hati nuraninya adalah raja” maka sudah seharusnyalah
dalam hati nuraninya manusia bebas memilih obyek imannya, apapun obyek iman
yang diyakininya, dan pilihan itu harus dihormati. Pada dasar inilah
penghargaan terhadap interdenominasi mesti dibangun, dan inilah yang menjadi
pembatas kebebasan seseorang ketika mengekspresikan kebebasannya sehingga
terwujudlah kehidupan interdenominasi yang damai dan adil.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/perdamaian-dan-keadilan-internal-agama.html