Friday, December 18, 2020

Perdamaian dan Keadilan Internal Agama

 





 

 

Potret buram hegemoni agama yang meruntuhkan benteng kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan hanya ada pada masa orde lama dan orde baru, tetapi juga terus terjadi hingga era reformasi ini. 

Hegemoni agama di negeri ini ternyata bukan hanya terjadi dalam hubungan antaragama, tetapi juga dalam internal agama itu sendiri (denominasi). Konflik yang terjadi dalam internal agama-agama ternyata juga tidak kurang beringasnya dibandingkan dengan apa yang terjadi pada konflik antaragama. Perdamaian dan Keadilan dalam hubungan interdenominasi agama masih menjadi perjuangan kekristenan di Indonesia hingga saat ini.

 

Usaha bagaimana interdenominasi agama bisa menampilkan wajah perdamaiannya semata-mata menjadi tugas yang teramat penting, khususnya tokoh-tokoh agama Kristen di negeri ini. Apalagi jika kita setuju, ambivalensi agama dalam penampakan agama pada ranah publik yang oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian bukanlah terkait semata-mata pada diri agama-agama itu. Banyak peperangan yang dimotivasi agama pada hakikatnya bukanlah “perang agama” sebab agama bisa saja ditunggangi oleh kepentingan yang sebenarnya anti agama, secara khusus kepentingan politik.

 

Tulisan ini akan memaparkan bagaimana Perdamaian dan keadilan Interagama (interdenominasi kristen) dapat mewujud, dan sekaligus menjawab mengapa konflik interdenominasi yang tak kunjung reda di negeri ini dapat ditekan seminimal mungkin, untuk kemudian menghadirkan jalan tol perdamaian dan keadilan interdenominasi Kristen.

 

Ut Omnes Unum Sint

 

Umat Kristen senantiasa berharap menjadi satu. Namun, tidak semua penyatuan umat kristen dibangun pada dasar yang benar. Pertanyaan pentingnya adalah, apa yang menyatukan kita? Pada kenyataannya, umat Kristen menjadi satu bukan melulu karena karya  Roh Kudus, tetapi karena kekerasan, atau penyerangan bertubi-tubi yang diarahkan pada gereja. Apabila itu yang menjadi dasar mengapa umat Kristen menjadi satu, maka itu adalah kesatuan yang semu.

 

Pada masa gereja mula-mula, orang-orang Kristen enggan menyebar untuk kemudian memberitakan Injil. Berkumpulnya umat Kristen pada satu tempat (Yerusalem) telah mengakibatkan berkat Allah tak menyebar kepada bangsa-bangsa lain. Karena keegoissan umat kristen itulah Tuhan mengijinkan penganiayaan terjadi pada orang –orang Kristen, dengan maksud  agar orang-orang Krisetn menyebar dan memberitakan Injil. Ketika umat Kristen berkumpul, bukan berarti mereka menyatu, tidak produktifnya perkumpulan tersebut bisa menjadi pertanda, itu adalah persatuan yang semu. Berdiamnya umat Kristen di Yerusalem adalah persatuan yang semu, yakni berkumpul untuk menghindar dari ancaman dunia yang tak bersahabat.

 

Pada masa kini, persatuan yang semu diantara orang Kristen terlihat dalam perpindahan anggota gereja (organisasi gereja). Anggota jemaat yang pindah harus rela  menerima pembaptisan ulang. Itu mengindikasikan, cara-cara baptisan yang berbeda lebih utama dibandingkan pada atas nama siapa orang Kristen itu di baptis. Disini jelah terlihat meski kita menyatakan bahwa kita adalah satu, pada praktiknya kita tidak disatukan diatas nama kepala gereja, yaitu Yesus Kristus. Sebaliknya, denominasi gereja yang beragam itu  masih lebih mengutamakan institusi gereja (denominasi) dibandingkan Sang Kepala gereja. Menginstitusikan orang Kristen lebih utama dibandingkan menyatukan diri dibawah pinpinan kepala Gereja.

 

Bukan hanya baptisan yang menjadi saksi semunya kesatuan orang Kristen, tetapi juga perbedaan makna perjamuan Kudus. Perbedaan dalam memaknai perjamuan kudus sekaligus telah memecah persatuan diantara orang Kristen. Sejak permulaan Reformasi gereja-gereja tidak berhasil menciptakan kesatuan dalam pemahaman tentang perjamuan kudus. Perdebatan tentang Trans-substansia, yaitu pemahaman bahwa roti dan anggur berubah menjadi darah dan daging dalam perjamuan kudus, dan roti dan anggur tetap menjadi roti dan dan anggur, tetapi sambil makan dan minum orang dipersatukan  secara rohani dan jasmani dengan kristus, serta pemahan simbolis mengenai perjamuan kudus tak pernah selesai, dan mengancam keberhasilan Reformasi.

 

Rapuhnya kesatuan umat Kristen juga terlihat dalam menyikapi perbedaan doktrin. Khususnya terhadap mereka yang digolongkan pada bidat. Michael Servet (1553) seorang dokter yang menolak ajaran tentang tritunggal harus mengakhiri hidupnya dengan cara dibakar hidup-hidup. John Calvin telah berusaha mempertobatkan Servetus agar terbebas dari hukuman, dan juga meminta kepada pemerintah untuk tidak menghukum Servetus dengan cara keji, yakni dibakar hidup-hidup, namun usahanya gagal. Tindakan pemerintah Jenewa yang membakar Servetus karena menghujat nama Allah, yang adalah hukuman tradisional untuk penganut ajaran sesat pada waktu itu, menjadi lembaran hitam sejarah gereja.

 

Alkitab sesungguhnya sangat menghargai kebebasan beragama. Bagi Luther kebebasan beragama juga berarti kebebasan setiap orang Kristen untuk menafsirkan Alkitab. Doktrin predestinasi dalam Alkitab menjadi cikal bakal ajaran pengakuan kebebasan beragama. Berdasarkan doktrin predestinasi dapat dipahami bahwa perpindahan anggota gereja ke gereja lain, atau perpindahan antar agama menjadi hak setiap individu. Kebebasan hati nurani sesungguhnya ditegakkan di atas doktrin predestinasi. Sayangnya, gereja bukan hanya tidak belajar dari masa lalu, tetapi mengabaikan doktrin predestinasi yang amat penting itu.

 

Kehadiran Rancangan Perda Manokwari Kota Injil yang menghebohkan, pada rancangan awal salah satunya memuat larangan kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari jelas merupakan bentuk intoleransi gereja terhadap kebebasan umat Kristen itu sendiri, dan juga mereka yang beragama lain. Buah dari pengabaian lembaran hitam sejarah perjumpaan gereja dan bidat. Raperda Manokwari Kota Injil menyiratkan semangat yang menggebu-gebu dalam gereja untuk menggunakan tangan pemerintah dalam memaksakan kehendaknya, dan ini menjadi bumerang bagi gereja itu sendiri, khususnya pada tempat-tempat dimana gereja menjadi kelompok minoritas. Intoleransi gereja akan melahirkan intoleransi terhadap gereja (Balas dendam agama)

 

Gereja yang mengakui keragaman dalam dirinya harusnya menerima pluralisme sebagai suatu yang niscaya dalam denominasi-denominasi gereja yang beragam dan berbeda.. Penerimaan Pluralisme bukanlah mengarahkan pada usaha untuk menyeragamkan denominasi-denominasi yang berbeda dan beragam. Sebaliknya penerimaan terhadap pluralisme agama adalah sesuatu yang didasarkan oleh toleransi yang menghargai keragaman denominasi gereja, dan menjadi dasar bagi pengakuan kebebasan beragama.

 

Denominasi-denominasi gereja yang berbeda tidak boleh berusaha  mempertahankan eksistensinya dengan membiarkan yang lainnya mati (live and let die), dan agama-agama  bukan hanya harus hidup bersama dalam hubungan yang bersifat, “hidup bersama dan tidak saling mengganggu”, namun agama-agama harus “hidup bersama dan saling membutuhkan satu sama lain,” yaitu  agama-agama menyadari interdepedensi-nya satu sama lain. Pada kondisi itulah proteksi kemerdekaan beribadah dapat dijaga secara bersama-sama.

 

Lahirnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) perbaikan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) patut disesali oleh gereja-gereja. Persetujuan gereja terhadap PBM tersebut jelas menunjukkan penegasian gereja terhadap sesama gereja, khususnya terhadap organisasi gereja yang memiliki jemaat kurang dari 90 orang dewasa, serta geraja-gereja yang beribadah di ruko (rumah toko) yang bukan diperuntukkan untuk gereja, tetapi menjadi areal bisnis. Apalagi pada kenyataannya tidak jarang, PBM tersebut dijadikan gereja untuk menolak kehadiran gereja lain yang dianggap sebagai kompetitor.

 

 

Evangelism and Social Action

 

Penginjilan dan aksi sosial merupakan isu penting yang terus menjadi polemik dalam gereja, bahkan kerap mengoyak kerjasama antardenominasi gereja. Social action harus dimaknai sebagai buah dari penerimaan atas Injil yang benar. Hal ini tidak boleh dipersamakan dengan Injil. Social action menjadi pre-evangelistic preparation, menjadi sesuatu manifestation of true Christian agar orang percaya kepada injil. Namun, kebaikan motif Kristen dalam penginjilan tidak boleh menjadi bagian dari penginjilan.

 

 Orang Kristen wajib melayani orang miskin, dan berjuang bersama dengan warga bangsa lainnya untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, secara bersamaan orang kristen juga harus berjuang untuk menyembuhkan kemisikinan rohani (memberitakan injil). Aksi sosial dan penginjilan tidak boleh dicampur. Pelayanan Kristen harus bersifat menyeluruh. Aksi sosial dan pemberitaan Injil. Jadi, “mission” itu adalah evangelization ditambah dengan the result, the fruit of our true life. Dengan sendirinya mewujudkan keindahan daripada firman dan Injil Tuhan.

 

 
Perdamaian dan Keadilan Interdenominasi

 

Fakta keragaman dan keberbedaan denominasi gereja tidak harus terus diratapi. Keragaman-dan keberbedaan denominasi harus diterima sebagai realitas. Pluralisme dalam gereja harus diterima dan dirawat dengan baik, agar semata-mata mendatangkan berkat bagi gereja-gereja.

 

Gereja-gereja yang berbeda dan beragam tidak boleh mengurung diri dalam benteng-benteng denominasi, dan hanya sesaat berkumpul bersama ketika menghadapi persoalan atau ancaman bersama. Eksklusivisme denominasi mengakibatkan umat Kristen kurang memahami keragaman gereja, dan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman atas agama-agama yang berbeda, yang akhirnya berujung pada konflik interdenominasi. Bahaya eksklusivisme ini bisa muncul pada semua orang, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen.

 

 

Gairah yang makin tinggi dari anggota jemaatt dalam menekuni ajaran Kristen pada denominasi tertentu harus disyukuri. Namun, gairah tersebut mestinya juga didukung oleh semangat untuk mengenal realitas keragaman gereja. Sejarah membuktikan, keragaman gereja tak pernah bisa diseragamkan, gereja-gereja di bumi ini makin hari makin beragam, meski tetap memiki kesamaan-kesamaan. Kesamaan yang ada dalam interdenominasi itu harus terus digali untuk dapat menjadi perekat bagi kehidupan bersama gereja-gereja.

 

Pada kondisi dimana mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah menjadi kian sulit, gereja-gereja yang beragam dan berbeda harus berani mengijinkan denominasi gereja lain menggunakan tempat ibadah mereka. Apabila pada ruko-rujko yang kini banyak bertebaran di kota-kota besar, dan setiap ruko tersebut bisa digunakan oleh dua-atau lebih denominasi gereja, dan itu berlangsung dengan damai, maka pada gereja-gereja yang telah memiliki IMB mestinya juga terbuka untuk fasilitas gerejanya digunakan oleh denominasi gereja lain yang membutuhkan.

 

Kesedian untuk hidup damai interdenominasi, akan mendorong lahirnya lembaga-lembaga interdenominasi gereja, organisasi interdenominasi ini penting untuk mengkomunikasikan ajaran-ajaran gereja yang berbeda dan beragam itu. Melalui komunikasi nilai-nilai interdenominasi itu pastilah hadir nilai-nilai inklusif (golden rule) yang bisa menjadi titik pijak bersama, perekat kebersamaan yang lebih mendalam untuk terciptanya hidup damai interdenominasi gereja

 

Apabila integrasi interdenominasi berjalan dengan baik, maka hubungan interdenominasi gereja tidak hanya akan tetap berada pada level tidak saling menggangu, tetapi bergerak maju menjadi hubungan yang bersifat creative proexistence. Pada level ini dalam kelompok yang berbeda itu telah tumbuh kesadaran interdepedensi, karena itu hubungan interdenominasi bukan hanya tidak saling menggangu, tapi mulai saling memperhatikan.

 

Adanya organisasi-organisasi interdenominasi sangat penting  untuk meredam konflik berkepanjangan interdenominasi. Rumor negatif khusunya perpindahan anggota jemaat tidak akan berdampak luas jika lembaga interdenominasi itu bekerja sama dengan baik. Apabila integrasi antar denominasi terawat dengan baik, provokasi dalam bentuk apapun akan mungkin untuk diantisipasi dengan tepat.

 

Tingginya kepercayaan interdenominasi adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan koflik interdenominasi yang kerap muncul di negeri ini. Penyelesain koflik membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling percaya. Mustahil menihilkan konflik, karena konflik itu sendiri sesungguhnya merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren. Selama kita tak mampu membebaskan diri dari stereotipe negatif tentang kelompok lain, konflik akan terus ada.

 

Perdamaian antar denominasi gereja yang dibangun diatas keadilan bersama ini juga akan menjadi kekuatan yang amat besar untuk menekan negara yang tidak jarang tergoda untuk mengintervensi ruang privat agama. Gereja-gereja bukan hanya perlu menolak undang-undang yang merugikan gereja-gereja semisal PBM, tetapi gereja-gereja juga harus menolak Undang-undang kerukunan umat beragama yang terindikasi akan membelenggu kebebasan beragama.

 

Terciptanya kebebasan beragama memang menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah terhadap jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. Regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma dapat diwujudkan dalam regulasi yang  menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusip bagi perjumpaan interdenominasi agama dan antaragama yang damai.

 

Namun, pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan beragama. Apabila pemerintah  mengeluarkan regulasi yang jelas-jelas akan merampas kebebasan individu, atau organisasi gereja tertentu ataupun agama tertentu maka gereja-gereja harus berani bersatu menentangnya untuk kebaikan bersama.

 

Kita boleh saja tidak setuju pada kepercayaan orang lain, tetapi sebagaimana Luther pernah mengatakan, “manusia dalam hati nuraninya adalah raja” maka sudah seharusnyalah dalam hati nuraninya manusia bebas memilih obyek imannya, apapun obyek iman yang diyakininya, dan pilihan itu harus dihormati. Pada dasar inilah penghargaan terhadap interdenominasi mesti dibangun, dan inilah yang menjadi pembatas kebebasan seseorang ketika mengekspresikan kebebasannya sehingga terwujudlah kehidupan interdenominasi yang damai dan adil.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/perdamaian-dan-keadilan-internal-agama.html

Wednesday, December 16, 2020

Menyandingkan Iman dan Ilmu Pengetahuan

 





 

 Masyarat Indonesia tidak boleh terpecah dengan maraknya perbedaan pendapat, demikian juga tokoh agama tak perlu mempertentangkan sains dan ilmu pengetahuan. 

Memosisikan pendapat, iman dan ilmu pengetahuan secara tepat adalah jalan terbaik untuk hidup seimbang.
 

Kita tentu paham, pendapat adalah pengetahuan yang tidak pasti maupun terbukti. Jika kita ingin menulis opini atau pendapat, tentu saja kita akan melakukan riset sederhana untuk mengetahui dan memahami sebuah kejadian atau peristiwa. Data-data tentang kejadian itu kita kumpulkan sehingga kita memahami apa, mengapa dan bagaimana peritiwa itu bisa terjadi. Setelah itu berdasarkan sudut pandang yang kita ingin sampaikan dan didukung dengan bidang keahlian kita, maka kita memberikan pendapat atas kejadian atau peristiwa itu.

 

Riset pendapat atau opini yang kita lakukan bukanlah sebuah riset untuk membuktikan suatu kebenaran seperti ketika kita melakukan Penelitian empiris. Riset yang dilakukan untuk membuat sebuah pendapat itu hanya sampai pada perumusan sebuah hipotesis yang masih perlu dilakukan Penelitian lebih lanjut. Itulah sebabnya pendapat itu pengetahuan yang tidak pasti, dan juga belum memiliki pembuktian ilmiah. Tapi, kita perlu belajar mengemukakan pendapat untuk mengasah otak.

 

Kontroversi pendapat yang bertebaran di berbagai media sejatinya tidak perlu membuat bingung masyarakat, juga pemerintah. Sebaliknya pemerintah dan masyarakat perlu memilah-milah mana pendapat yang dapat diteruskan untuk masuk kepada penelitian yang mendalam untuk mencari strategi-strategi cerdas membendung Covid-19.

 

Masyarakat juga jangan memaksakan pandangannya pada pemerintah apalagi mengucapkan kata-kata kasar, karena pendapat itu sendiri sangat tidak pasti dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Demikian juga perbedaan pendapat para tokoh publik tidak perlu disikapi terlalu berlebihan, apalagi sampai mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa memerangi wabah corona.

 

Demikian juga tokoh-tokoh agama di negeri ini perlu mendukung kebijakan pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan menjaga jarak fisik dengan beribadah di rumah atau menghindari perhimpunan dalam bentuk apapun yang mengatas namakan agama. Kita percaya Yang Maha Kuasa bisa saja mengenyahkan virus corona, tapi temuan risat ilmiah umembendung corona dengan menjaga jarak fisik harus dilaksanakan lebih dulu.

 

Di Indonesia agama-agama mengakui pentingnya sains, pengetahuan yang memiliki kepastian dan pembuktian. Sains tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Bahkan agama-agama mengakui ada persesuaian iman dengan ilmu pengetahuan. Meski riset teologi berbeda dengan riset empiris yang memerlukan pembuktian.

 

Berbeda dengan iman yang memiliki kepastian namun tidak dapat dibuktikan. Bahkan iman memiliki kepastian jauh lebih kuat dari sains. Banyak orang berani menderita bahkan mati demi imannya, tetapi sedikit orang yang memilih menderita atau mati untuk mempertahankan temuan sains. Itulah sebabnya konflik antar agama kerap meluas dengan melibatkan para pengikut tokoh agama itu.

 

Sains memiliki kepastian dan juga pembuktian. Berdasarkan riset ilmiah, virus corona dapat menyebar dari seorang yang positif corona kepada orang lain melalui hubungan dengan orang yang terinfeksi virus corona, bahkan orang yang terpapar virus corona meski tidak menunjukkan gejala-gejala sakit dapat menjadi media penyeberan virus corona.

 

Penyebaran virus corona menjadi sulit dikendalikan karena orang yang terpapar virus corona yang tidak menunjukkan gejela-gejala sakit, meski tidak disadari dapat menjadi media untuk menyebarkan virus corona. Bahkan, benda-benda yang disentuh oleh orang positif terinfeksi corona dapat menjadi media penyebaran virus corona. Itulah sebabnya penyebaran virus corona yang tidak berdampak besar itu dapat menular dengan cepat keberbagai penjuru dunia, dan mengakibatkan korban meninggal yang tidak sedikit.

 

Berdasarkan temuan sains itulah maka pemerintah memberikan imbauan sampai pada pelarangan untuk ibadah pada tempat ibadah yang membentuk sebuah perhimpunan yang dapat menjadi media penyebaran virus corona.

 

Dengan demikian kita perlu menempatkan pendapat, iman dan ilmu pengetahuan secara tepat untuk dapat bekerja bersama memerangi wabah virus corona tanpa harus terpecah karena pendapat yang berbeda, demikian juga semua umat beragama perlu menghargai sains untuk bersama membendung corona tanpa harus melepaskan iman atau kepercayaan umat beragama.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/menyandingkan-iman-dan-ilmu-pengetahuan.html

Monday, December 14, 2020

Hukum Berkeadilan

 



 

 

 

Hukum sejatinya perlu memenuhi keadilan publik. Manakala hukum tak memenuhi keadilan publik karena dalam perumusan hukum dan undang-undang kerap terjadi Tarik menarik antar kepentingan kelompok, maka hukum atau peraturan-peraturan itu perlu direvisi untuk memenuhi keadilan publik.

 

Hak dan Kebebasan

 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, secara tegas menetapkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga negara Indonesia tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah meskipun aturan tersebut diskriminatif. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi. Padahal, bila mengacu pada kata “adil,”maka aturan-aturan yang bersifat diskriminatif sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi.

 

Kita tentu setuju adanya pembatasan yang menjamin kebebasan, tapi pembatasan kebebasan secara tidak adil adalah tidak tepat, dan mencederai keadilan. Kebebasan masih bisa disebut kebebasan meski ada pembatasan-pembatasan, asal saja pembatasan tersebut diberlakukan secara adil.

 

Sebaliknya, kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara wajib ditaati.

 

Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum. Penggunaan kebebasan seseorang tak boleh mengancam kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan menjadi diskriminatif  jika pembatasan itu dihadirkan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan berdasarkan konstitusi harus memenuhi azas keadilan, pembatasan dilakukan agar setiap orang ketika melaksanakan kebebasannya tidak mengganggu ketertiban umum atau melanggar hukum.

 

Jadi, pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi. Peraturan-peraturan yang diskriminatif mengakibatkan pemerintah bersikap tidak adil, dan secara bersamaan itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi. Undang-undang seperti itu harus direvisi atau dicabut.

 
Tentang kebebasan beragama

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama dalam negara banyak agama seperti Indonesia tetap diperlukan. Undang-undang jaminan kebebasan beragama merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kondisi yang kondusip dalam perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam.

 

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan.

 

Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-sgama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Hukum yang berkeadilan

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan.

 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.

 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 


Dr. Binsar Antoni Hutabarat, M.Th.

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hukum-berkeadilan.html

NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK

 SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...