Semua individu diciptakan merdeka oleh Tuhan, dan tidak seorang pun boleh merampas hak individu tersebut dengan dalih apa pun.
Hak asasi tersebut dimiliki setiap orang, karena ia diciptakan sebagai manusia. Individu-individu ini membentuk komunitas sosial berdasarkan kerelaannya, dan karena itu haknya tidak pernah hilang walaupun ia berada dalam komunitas apa pun.
Secara internasional Hak-hak individu ini dijaga oleh Deklarasi Universal HAM. Deklarasi Universal HAM yang menghormati hak-hak individu tersebut bukan merupakan produk Barat, sehingga timbul kecurigaan.
Bagaimana mungkin Barat yang terkenal dengan kekejamannya sebagai negara penjajah yang tidak pernah menghargai HAM, sekarang berbalik memperjuangkan HAM?
Selain itu Barat identik dengan individualisme yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Karena itu, negara yang pernah dijajah seperti Indonesia, pada awal kemerdekaan menolak HAM yang dianggap buah karya manusia indivualisme yang harus dijauhkan.
Penolakan terhadap hak-hak individu dalam HAM di Indonesia bermula dari kesalahpahaman atas individualisme yang menjadi momok bagi Soekarno, di mana HAM dianggapnya produk Barat, sehingga hak-hak individu diabaikan dan keutuhan kelompok menjadi hal yang utama.
Apalagi memang pada waktu itu Indonesia membutuhkan persatuan untuk tetap dapat mempertahankan kemerdekaan.
Penerimaan terhadap hak-hak individu dikhawatirkan akan membuat negara tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi agresi Belanda.
Sayangnya, Soekarno lupa bahwa pengabaian hak-hak individu ini akan membuat negara mempunyai kekuasaan tanpa batas. Dengan dalih untuk mempertahankan keutuhan bangsa, maka negara akan mengabaikan hak individu yang tak pernah hilang walaupun ia menyatu dalam komunitas yang namanya negara.
Walaupun Pancasila mengakui HAM dan juga hak kebebasan beragama, tetapi pada awalnya Soekarno tidak menyetujui dimasukkannya HAM dalam UUD 1945, karena bagi Soekarno, HAM merupakan gagasan yang bersumber pada individualisme, yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut individualisme harus dibuang.
Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau individualisme ini juga menutup kemungkinan pengembangan konstitusional dalam perumusan UUD 1945. Tahun 1968, pada awal Orde Baru, MPR memang telah membentuk suatu panitia yang khusus menyusun sebuah konsep HAM, namun tidak pernah disahkan.
Baru tahun 1978 rumusan mengenai sila kemanusiaan yang adil dan beradab dinyatakan dalam rumusan yang jelas seperti berikut:
Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Mahaesa, yang sama derajat, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebaginya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa salira”.
Perjalanan panjang pengakuan HAM yang bersifat universal menyebabkan kebingungan bagi banyak orang di Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan pengakuan hukum yang sangat lemah, seperti SKB 2 Menteri dapat menimbulkan konflik yang sangat parah. Salah satu bukti, ribuan gereja di Indonesia hancur. Dan penghancuran itu mendapat pengesahan dari peraturan yang ada, kalau boleh dikatakan demikian, karena faktanya para pelaku perusakan tempat ibadah tidak pernah tertangkap.
Penolakan terhadap segala sesuatu yang ada dalam kemas individualisme secara ekstrem sebenarnya tidak ada gunanya. Karena jika dengan bijak dipilah-pilah akan banyak keuntungan yang didapat. Mengenai kontroversi tersebut Gunawan Setiardja menjelaskan sebagai berikut:
Individualisme yang disebut-sebut oleh Soekarno adalah individualisme yang ekstrem, yang negatif. Individualisme yang ekstrem memisahkan orang dari masyarakat sama sekali. Individualisme ekstrem inilah yang melahirkan liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Ada individualisme lain, yang positif, yang dapat saja kita terima dan tidak bertentangan dengan sila II kita, kemanusiaan yang adil dan beradab. Individualisme yang positif menghargai manusia sebagai makhluk pribadi. Yang melepaskan manusia dari kungkungan kolektif. Yang memberi kesempatan kepada manusia untuk dapat mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang berkepribadian. Atau dengan istilahnya sekarang menjadi manusia yang berkualitas.
Penolakan Soekarno secara ekstrem terhadap individualisme mengakibatkan hak-hak individu dalam negara Pancasila sering kali ditentukan oleh kelompok atau komunitas di mana individu itu berada. Padahal, hak individu bukanlah pemberian kelompok. Jadi, dalam komunitas apa pun manusia berada, setiap individu tetap mempunyai hak-hak yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk juga oleh kelompok atau negara di mana individu itu berada.
Pengakuan bahwa Indonesia adalah bangsa komunal yang bukan individualis bukanlah pembenaran untuk menghapuskan hak individu. Pemahaman yang salah tentang hal tersebut mengakibatkan tidak jarang individu-individu di Indonesia merasa terancam ketika individu tersebut harus berbeda dari kelompoknya. Tidak heran perpindahan agama dari seorang individu dalam komunitas yang homogen membuat individu tersebut terancam. Karena perbedaan individu dengan kelompoknya dianggap usaha untuk menghacurkan kelompok yang ada, sehingga tidak heran individu tersebut harus diperangi oleh kelompok di mana ia berada.
Penolakan hak individu ini pada masa Soeharto menciptakan lahan yang subur bagi pembangunan rezim yang sangat despotis. Mengenai hal ini Ignas Kleden menjelaskan demikian:
Nilai individualisme yang sering dianggap sebagai sikap yang mengutamakan kepentingan sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, menghormati hak-hak dan privasi orang lain, dan tidak mau membebani orang lain dengan persoalan dan kesulitan sendiri. Sebaliknya, kolektivisme dan kekeluargaan yang didukung oleh patriarkhi yang otoritarian dan dipuja-puja oleh rezim Soeharto, dalam prakteknya justru berkembang menjadi suatu egosentrisme kolektif yang hanya memperhatikan suatu kelompok terbatas (seperti keluarga atau kroni-kroni sendiri) dan membuat orang tak acuh terhadap mereka yang berada di luar lingkungan tersebut.
Pada masa Soeharto, diskriminasi terhadap individu dan kelompok dikemas dengan dalih untuk kepentingan bersama. Jadi, hak-hak komunitas dapat mengabaikan hak-hak individu. Dan yang muncul justru ketidakadilan. Jelaslah, mengabaikan hak-hak individu akan menimbulkan luka yang suatu saat menimbulkan perlawanan baru, ketika individu-individu yang sama mengalami luka tersebut bergabung untuk melawan kelompok yang mengesampingkannya. Itulah yang terjadi dalam tumbangnya kekuasaan Soeharto.
Pemerintah tidak boleh menolak pengakuan HAM yang bersifat internasional dengan menyatakan bahwa HAM yang berdasarkan Pancasila berbeda dari HAM internasional. Karena HAM internasional dipengaruhi pandangan Barat, sedang HAM menurut Pancasila didasarkan atas kehidupan komunal masyarakat Indonesia. Pengakuan Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya menyadarkan bahwa HAM bersifat universal.
Penolakan terhadap HAM karena ia adalah produk Barat tidak mempunyai alasan yang jelas, karena bukankah di Indonesia ini banyak produk-produk Barat yang digunakan namun tidak ada yang mempermasalahkannya? Karena tidak semua yang berbau Barat pasti tidak baik, apalagi Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai Magna Charta (Piagam Mulia), yang adalah suara dari miliaran manusia yang ada di Bumi ini.
Memang dapat dipahami bahwa usaha mengimplementasikan HAM dalam hal ini kebebasan beragama dalam komunitas sosial yang sangat heterogen merupakan sesuatu yang tidak mudah, apalagi ketika komunitas, atau kelompok-kelompok tertentu berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan eksistensinya, dalam dunia agama hal ini biasa disebut politisasi agama.
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa kurangnya pengakuan terhadap hak individu dalam masyarakat komunitarian di Indonesia menyebabkan banyak pelanggaran kebebasan beragama terjadi. Penghormatan hak-hak individu tidak harus ditakuti sebagai kehancuran masyarakat komunal. Sebaliknya usaha untuk menjaga masyarkat yang komunal tidak boleh menghapuskan hak-hal individu. Karena itu, deklarasi HAM yang mengakui hak-hak individu tidak boleh ditolak, karena penolakannya berarti juga membangun HAM yang bersifat relatif. Dan pada dasarnya tidak ada HAM yang bersifat relatif, walaupun dengan dalih menurut pandangan agama tertentu.
Mengenai pemahaman HAM yang harus bersifat universal, B.S. Mardiatmaja mengatakan seperti berikut:
Saya merasa jengah membicarakan hak asasi manusia menurut agama tertentu. Sebab HAM adalah suatu bahan pembicaraan yang sangat unggul dan sekarang ini praktis merupakan satu-satunya bidang yang mempersatukan bangsa kita. Kita tahu bahwa dokumen “Hak Asasi Manusia” dimaklumkan secara resmi sebagai ungkapan persatuan seluruh bangsa manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak itu, setiap negara yang ingin bergabung dengan PBB harus memperhitungkan, bahwa tindakannya secara internasional diukur antara lain dari pelaksanaan HAM. Namun sesungguhnya maksud utama pemakluman HAM, adalah untuk, antara lain, mengatasi perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Jadi, justru kalau kita berbicara mengenai HAM, seharusnya kita membedakan pandangan yng satu dari agama yang lain.
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia karena pengabaian hak-hak individu merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sudut pandang Kristen. Allah menciptakan manusia/individu itu sederajat, dan Allah juga yang menempatkan individu-individu itu dalam komunitas berdasarkan kerelaannya. Karena itu, hak-hak individu tidak boleh diabaikan karena ia adalah bagian dari kelompok atau komunitas tertentu.
Pengabaian hak individu demi menjaga satabilitas politi adalah sesuatu yang tidak benar dalam sudut pandang kristiani. Setiap individu memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Memberikan kebebasan kepada manusia/individu karena itu adalah haknya merupakan kewajiban negara. Hal individu tidak perlu menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena hak tersebut harus ditempatkan pada tempatnya. Demikian juga memberikan hak yang terlalu besar terhadap negara tidak akan membuat negara menjadi aman. Dalam pandangan Kristen negara dibentuk setelah kejatuhan. negara dilihat dari sisi yang negative. Artinya walaupun negara memiliki banyak kelemahan, namun ia tetap berguna. Dan untuk menutupi kelemahan negara maka negara tidak boleh tidak tanpa batas. Jadi mencurigai kedaulatan individu tidak boleh melepaskan kecurigaan pada negara. Melepaskan kecurigaan kepada negara akan membuat negara menjadi otoriter.
Hak-hak individu ini tetap melekat pada indivu tersebut dan tak boleh dicabut oleh siapa pun. Penegakan HAM yang mengabaikan hak-hak individu, secara bersamaan merupakan penyangkalan atas HAM itu sendiri, karena HAM itu bersifat individu, dan hak itu bersumber dari Allah. Karena HAM bersumber dari Tuhan maka ia tidak bisa tidak mesti universal. Dan implementasi HAM hanya mungkin ada dalam hukum-hukum yang adil, karena keadilan sejatinya tidak mengandung diskriminasi, maka keadilan yang terabaikan mengakibatkan hak-hak kebebasan beragama juga terabaikan. Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hak-individu-dalam-masyarakat-komunal.html