Heterogenitas agama-agama yang ada di Indonesia pada mulanya memang tidak banyak menimbulkan konflik antarumat beragama. Karena itu tidaklah mengherankan jika pada awalnya Indonesia menjadi negara yang dianggap sebagai teladan dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis antarumat beragama.
Tetapi dalam perjalanan waktu, ketidakkonsistenan pemerintah berpegang pada Pancasila dan UUD 1945, serta timbulnya apresiasi terhadap Pancasila melahirkan hukum dan perundang undangan yang bertentangan dengan Pancasila
Adanya hukum dan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan Pancasila serta sikap pemerintah yang lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan berpegang pada Pancasila yang membuat hubungan antar umat beragama menjadi hubungan yang peka dan dapat dengan mudah menimbulkan konflik, yang tidak jarang menbawa korban manusia.
Mengenai pekanya hubungan antarumat beragama ini, Alamsyah Ratuprawira Negara, yang pernah menjadi menteri agama di era Soeharto menjelaskan demikian:
Masalah kehidupan beragama di kalangan masyarakat kita merupakan masalah yang amat peka, bahkan paling peka di antara berbagai masalah sosial budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu masalah sosial akan menjadi semakin ruwet jika masalah tersebut menyangkut masalah agama dan kehidupan beragama.
Pekanya hubungan antarumat beragama juga terkait erat dengan sistem penaklukan agama-agama sebagaimana terjadi dalam sejarah perjumpaan agama-agama di negara asal agama-agama itu berada, sebelum dibawa ke Indonesia. Di negara-negara Kristen yang ditaklukkan oleh Islam, orang Kristen menjadi warga negara kelas dua. Demikian juga dalam perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan, hukum penaklukan ini berlaku.
Usaha mendapatkan kekuasaan dengan dukungan kelompok agama, membuat kelompok agama yang berhasil menempatkan kadernya dalam pemerintahan. mendapatkan kekhususan dibandingkan agama lain.
Akibatnya toleransi agama yang murni sangat sulit untuk dibangun. Perjumpaan antartokoh-tokoh agama dalam suasana yang sejuk dan penuh perdamaian menjadi sesuatu yang amat langka.Untuk menumbuhkan rasa toleransi dalam kehidupan umat beragama, bukan merupakan hal yang mudah, namun sebaliknya.
Pada jaman Orde Lama, telah diusahakan untuk mengadakan temu wicara pemimpin-pemimpin umat neragama, namun tidak berhasil. Namun pada jaman Orde Baru dapat diadakan, dan inipun melalui proses perjalanan yang cukup panjang.
Apalagi yang dijumpai dalam usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama dengan mengusung kata toleransi antarumat beragama sebagai sesuatu yang utama berbungkus pengekangan terhadap kebebasan umat beragama. Jadilah kata toleransi sebagi alat pasung kebebasan beragama.
Toleransi tidak boleh menjadi alat pasung dalam kebebasan beragama dengan adanya pembatasan hak-hak beribadah terhadap umat beragama, seperti adanya keharusan ijin pembangunan tempat ibadah, secara khusus bagi agama Kristen, sebenarnya tidak boleh menjadi alasan dirobohkannya gedung-gedung gereja yang telah berdiri. Paling tidak, toleransi seharusnya mendorong umat beragama bisa tetap beribadah dengan bersama-sama mendukung pemberian ijin pendirian ibadah. Hal ini terjadi, tentu kalau memang bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila menempatkan hak kebebasan beragama sebagai HAM yang paling asasi.
Pada hakikatnya, ibadah bukanlah sesuatu yang memerlukan ijin. Karena hak beribadah adalah pemberian Tuhan, dan pembangunan rumah ibadah bukanlah sesuatu yang menimbulkan masalah seperti pembangunan kompleks perjudian atau pambangunan rumah tempat praktek wanita asusila.
Pemasungan atas kebebasan umat beragama dengan mengusung kata toleransi juga terjadi dalam usulan penandatanganan untuk tidak memberitakan agama kepada yang sudah beragama. Namun walaupun penandatanganan itu ditolak, larangan penyiaran agama kepada yang sudah beragama tetap dilakukan, dengan alasan untuk menjaga kerukunan. Toleransi dalam hal itu menjadi alat pemaksaan terhadap agama-agama untuk melepaskan hak-haknya yang sebenarnya tidak dapat dicabut oleh siapa pun.
Hak kebebasan beragama pada hakekatnya juga termasuk semua hak yang diperlukan untuk menjalankan perintah agamanya. Karena itu apabila kata toleransi berarti mengkompromikan ajaran agama, maka toleransi bukan lagi menjadi toleransi, melainkan suatu pembatasan kebebasan beragama. Atau dengan kata lain, toleransi telah menjadi alat pasung bagi kebebasan beragama.
Kata toleransi yang berasal dari kata toleran itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Selanjutnya, kata toleransi juga dapat berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Dalam dunia kerja, toleransi berarti penyimpangan yang masih dapat diterima.[ ......., Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakrta: Balai Pustaka, 1995), h.1065]
Jadi dalam hubungan dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaan atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi tetap mengijinkan perbedaan itu tetap ada.
Penyebaran agama kepada orang yang berbeda agama, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kelompok agama lain, walaupun mungkin individu dalam kelompok tertentu dapat saja berpindah menjadi penganut agama lain, begitu sebaliknya.Apalagi semua agama yang saat ini disebut agaam resmi oleh negara adalah agama pendatang.
Penyebaran agama-agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen dan katolik terjadi dengan cara damai. Karena itu penyebaran agama mereupakan sesuatu yang biasa dibumi Indonesia.
Penyebaran agama pada waktu kemudian menimbulkan konflik, bukan karena dalam diri agama-agama itu mengandung konflik, tetapi penyebaran agama sering kali dikaitkan dengan maslah lain diluar, agama. Misalnya masalah ekonomi dan politik.
Tetapi komunitas agama tidak boleh mencabut hak individu yang berada dalam komunitasnya. Perbedaan agama seharusnya memperkaya agama-agama yang ada, jika penyebaran agama merupakan suatu kesaksian dari keyakinan agama-agama yang ada.
Globalisasi budaya adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi mengambil sisi positif dari keberagaman yang ada menjadi kebutuhan yang mendesak, jika tidak ingin tertinggal.
Demikian juga terciptanya dunia yang semakin heterogen karena pluralitas agama-agama seharusnya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Indonesia, setidaknya jika agama-agama itu menyadari bahwa dalam negara Pancasila ia mempunyai kedudukan yang sama.
Agama-agama di Indonesia harus memahami diri dan dunianya ( termasuk disini hubungannya dengan agama-agama lain) di dalam konteks dan dibawah terang Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan Pancasila. Bila tidak maka agama tidak berfungsi secara relevan dan kontekstual.
Dalam perspektif Kristen, karena hak pemilihan agama adalah hak kebebasan hati nurani, maka perbedaan agama bukan merupakan sesuatu yang harus ditiadakan dengan segala cara. Sebaliknya, dalam keberagaman agama-agama tersebut, umat Kristen diharuskan menjadi saksi dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajibannya.Pemenuhan kewajiban ini secara bersamaan merupakan penghormatan terhadap HAM.
Pemberitaan Injil dengan semangat memindahkan orang beragama lain ke agama Kristen bukanlah menjadi tujuan penginjilan. Seseorang pindah ke agama Kristen akibat penerimaan yang bersangkutan pada Injil. Bukan sebaliknya seseorang dipindahkan kedalam komunitas Kristen untuk menjadi Kristen.
Apabila orang tidak dipilih oleh Tuhan, maka ia tidak akan menjadi Kristen. Namun tidak berarti penginjilan mengalami kegagalan, karena memang kewajiban orang Kristen hanya untuk memberitakan isi Injil yang dia terima dan hidup sesuai dengan ajaran Injil tersebut. Sedangkan masalah orang menjadi Kristen adalah hak Tuhan.
Demikian juga yang terjadi dalam perpindahan orang yang beragama Kristen ke agama lain, tidak berarti bahwa ajaran Kristen itu salah, walaupun mungkin interpretasi orang tersebut demikian. Karena Injil itu sendiri tidak bergantung pada kesaksian manusia.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa toleransi seharusnya bukan merupakan pembatasan hak kebebasan beragama yang berasal dari Tuhan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pemasungan agama-agama. Itulah yang terjadi di Indonesia..
Menurut pandangan Kristen, semua manusia beragama. Karena itu, mempersaksikan agama Kristen kepada umat agama lain seperti juga yang terjadi kepada umat Kristen, adalah sesuatu yang tidak diharamkan. Bahkan hal itu merupakan kewajiban agama. Asal saja penyiaran agama tidak dilakukan dengan cara memaksa, atau disertai bujukan dan iming-iming, pada hakekatnya usaha penyiaran agama kepada yang sudah beragama tersebut dapat diijinkan. Toleransi beragama dalam kekristenan didasrkan pada aturan golden rule, jadi semua orang harus menerapkan kata toleransi tersebut pada dirinya, kata toleransi diletakakan pada orang pertama untuk orang kedua , ketiga dan seterusnya. Jadi jika seseorang ingin orang lain bertoleransi dengan dirinya, maka ia terlebih dahulu harus bertoleransi dengan orang lain. Pada waktu semua orang berusaha untuk bertoleransi pada orang lain, maka semua orang akan mendapatkan sikap yang toleran dari sesamanya.
https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/menguatkan-toleransi-beragama-di-indonesia.html