Wednesday, January 13, 2021

Kekerasan Agama Masih Jadi Persoalan Indonesia

 







Salah satu persoalan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang menjadi sorotan dunia adalah perihal kekerasan agama.

Maraknya kekerasan agama dengan munculnya organisasi-organisasi intoleran yang mengambil peran aparat hukum dalam menyelesaikan konflik agama tentu saja membuat kita jengah. 

Negara sebagai lembaga yang memiliki hak monopoli penegakkan hukum seakan kalah oleh kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya.

 

Penyerangan terhadap kebebasan beragama yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran itu tentu saja memengaruhi kerukunan beragama yang telah lama subur di negeri ini. 

Kecurigaan antaragama yang dihembuskan kelompok-kelompok intoleran telah membuat munculnya cluster-cluster berdasarkan agama tertentu, dan secara bersamaan  mempersempit ruang dialog agama-agama. 

Integrasi agama-agama telah menjadi persoalan yang tidak mudah, itulah sebabnya konflik agama bermunculan diberbagai tempat.


Konflik agama

Sebenarnya konflik yang membawa-bawa nama agama bukan eksklusiv terjadi di Indonesia. 

Derasnya arus imigran dari Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Selatan sesungguhnya telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam itu pada negara-negara Eropa.   

Demikian juga dengan negara-negara Eropa Timur yang sebelum komunis berkuasa dan sesudah tumbangnya komunis adalah negara-negara sekuler yang menetapkan agama hanya boleh ada pada ruang privat agama. 

Pada pemerintahan komunis kegiatan agama menjadi aktivitas terlarang. Kini mereka harus menghadapi persoalan bagaimana perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam itu tidak menimbulkan koflik ditengah kebangkitan agama-agama,  khususnya pada penolakan agama-agama untuk tidak boleh ada pada ruang publik.  

 

Mengijinkan agama-agama untuk hadir pada ranah publik memang bukan persoalan mudah bagi negara-negara sekuler yang melihat agama bukan sebagai kebutuhan, bahkan telah memarginalkannya begitu lama. Apalagi mereka memiliki keyakinan bahwa tanpa agama mereka bisa hidup sebagai sebuah negara.

Sedang pada sisi lain, negara-negara yang mengatur kehidupan masyarakatnya dengan nilai-nilai agama yang amat ketat juga tidak mampu mengatasi persoalan sosial seperti korupsi, kemiskinan dan keborobrokan birokrasi.

.

Sengkarut antara agama dan negara pada abad pertengahan tentu saja masih menyisakan trauma dan ketakutan bagi negara-negara sekuler. Negara-negara demokrasi kini menghadapi tantangan baru, karena sebagai negara demokrasi mereka harus mengijinkan agama-agama yang beragam itu  hadir dalam ruang publik.

Kehadiran agama pada ruang publik untuk Indonesia sebenarnya bukan persoalan. Pengalaman Indonesia hidup bersama dalam keragaman agama, etnik dan budaya berada dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan itu dilalui dengan damai. 

Kehadiran agama-agama di Indonesia berlangsung dengan cara damai, bahkan tidak jarang terjadi sinkretisme agama-agama yang kemudian menyemarakkan keragaman agama-agama di Indonesia.

 

Peran positif agama adalah suatu realitas bagi Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama memiliki posisi yang terhormat, agama-agama di Indonesia memiliki peran yang amat besar bagi pembangunan nasionalisme Indonesia, dan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

 

Kekerasan agama di ruang publik

Penggambaran agama yang penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap. Casanova berujar, selama tahun 1980-an, para aktivis religius juga merupakan para pemain utama di dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk pembebasan, keadilan, dan demokrasi di seluruh dunia.

 

Hadirnya teologia pembebasan di Amerika Latin, yang kemudian menyebar kebelahan dunia lainnya dengan bentuk dan  nama-nama baru, Afrika dan Asia misalnya adalah bukti yang tak terbantahkan dari keterlibatan aktivis religius dalam menegakkan keadilan, dan demokrasi. Ini juga diteguhkan oleh R. Scott Appleby telah menekankan banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.

Harus diakui, agama mempunyai dampak ganda atau apa yang disebut Appleby sebagai “ambivalensi dari yang suci. Cassanova menyebutnya wajah ganda agama (janus face). Namun, wajah ganda agama itu tidak berasal dari agama itu sendiri, tetapi dari cara pemeluk-pemeluk agama itu beragama. Karena itu mengkerangkeng agama hanya ada pada dunia privat agama saja merupakan tindakan yang tidak bijak, dan akan menimbulkan balas dendam agama.

 

Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/kekerasan-agama-masih-jadi-persoalan.html


Tuesday, January 12, 2021

Bintang Jasa Pemberantas Korupsi

 






Bintang Jasa Pemberantas Korupsi perlu dianugerahi kepada mereka yang berjuang keras menekan tingginya angka korupsi di Indonesia.


Penanganan kasus-kasus korupsi yang terus terkuak, bahkan mulai menyentuh kasus-kasus mega korupsi, belum juga menjanjikan Indonesia merdeka dari  korupsi. Kondisi ini telah menggangu kegembiraan peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75 tahun ini. Pasalnya, kasus-kasus mega korupsi  belum juga terselesaikan.



Korupsi sebagai musuh bersama 

Reproduksi korupsi dipandang dari sudut manapun tak memiliki pijakan kebenaran. Karena itu, ”menjadikan korupsi sebagai 'budaya,” atau membiarkan korupsi terus mereproduksi adalah sebuah kesalahan fatal. Korupsi  adalah kebiadaban, musuh semua manusia. Manusia beradab mestinya menekan hal-hal yang jahat, dan berusaha semaksimal mungkin menumbuhkan nilai-nilai manusia yang bermutu dan   mulia, yakni kebaikan, keadilan, serta segala sesuatu yang merupakan kebaikan bagi sesama. Maka, menjadikan korupsi sebagai “budaya” sama saja dengan menciptakan negara mafia yang biadab dan tak     berperikemanusiaan. 


Korupsi dana pendidikan telah menyebabkan biaya pendidikan terus melambung, meski pos dana pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Korupsi dana kesehatan  menyebabkan biaya rumah sakit tak terjangkau rakyat kecil, sudah tak terhitung berapa nyawa yang harus melayang karena mereka tak mampu membayar pengobatan di rumah sakit. Korupsi juga menjadi biang keladi mengapa terjadi eksploitasi alam yang semena-mena dan menyengsarakan masyarakat disekitar eksploitasi alam itu terjadi, karena alam tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, belum lagi bahaya banjir, tanah longsor yang setiap saat bisa mengancam mereka akibat  penebangan hutan, tanah-tanah tandus di tempat eksploitasi bahan tambang dll. 


Manusia beretika mestinya menyadari akibat buruk perbuatannya pada orang lain, baik pada masa kini maupun generasi selanjutnya. Tepatlah apa yang dikatakan Aristoteles, “lebih baik menderita daripada melakukan kejahatan.” Hans Jonas, seorang filosof Jerman-Amerika, secara lebih luas mengungkapkan, Bertindaklah sedemikian rupa hingga akibat-akibat tindakan kita dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.”Bayangan buruk dari akibat perbuatan jahat pada masa kini terhadap masa mendatang harusnya membuat kita berusaha bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang kita lakukan. Reproduksi korupsi dengan alasan apapun harus ditumpas oleh segenap rakyat di negeri ini, korupsi tak layak “dibudidayakan”. Korupsi layak menjadi musuh bersama bangsa ini.


Kita patut merenungkan apa yang di suarakan Levinas, Respon deo ergo sum, (aku bertanggung jawab, jadi aku berada). Manusia bukan lagi manusia jika tak memiliki tanggung jawab atas sesamanya. Melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan sesama adalah prinsip utama etika, " berbuat baiklah terhadap sesama dan  janganlah berbuat jahat terhadap sesama." Jadi, reproduksi korupsi yang menyengsarakan sesama adalah tidak etis dan tanda manusia tak berbudaya. Semua orang yang memiliki jiwa kepahlawanan tentu tak akan membiarkan merajalelanya korupsi di negeri ini.


Bintang jasa pemberantas korupsi

Indonesia memerlukan pemimpin yang tidak hanya pandai, memiliki kemampuan manajerial yang tersohor, tetapi juga memiliki sifat kepahlawanan. Pemimpin yang memiliki sifat kepahlawanan  adalah pemimpin yang berani membela dan menyuarakan kebenaran, yang menguntungkan semua orang tanpa perbedaan, dan yang mendatangkan kebaikan bagi semua masyarakat.


Di negeri ini, korupsi tergolong dalam kejahatan luarbiasa, pemberantasannyapun  menjadi bagian dalam perjuangan reformasi. Dan perjuangan pemberantasan korupsi itu juga telah melewati satu dekade reformasi, namun hasilnya tetap belum menggembirakan. Bahkan, Indonesia kini sedang memasuki masa paling kelam dalam pemberantasan korupsi, yakni terjadinya reproduksi korupsi yang banal. Reproduksi korupsi ini tentu saja tak boleh dibiarkan terus menggila, atau dibiarkan merasuki semua elemen bangsa, karena taruhannya adalah masa depan bangsa ini. 


Perilaku korupsi yang dibiarkan merajalela pada masa kini akan berdampak pada masa depan bangsa, yaitu negara gagal. Indonesia membutuhkan tampilnya pahlawan-pahlawan pemberantas korupsi. Dan untuk memotivasi perjuangan berat tersebut, bintang jasa pemberantas korupsi diberikan pada pribadi-pribadi yang berjasa luarbiasa dalam pemberantasan korupsi, ini akan mendorong semua elemen bangsa untuk bahu membahu berperang melawan korupsi, dan menjadi korupsi musuh utama bangsa ini.


Tugas untuk menghantar rakyat negeri ini pada kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dengan cara memutus rantai korupsi merupakan tugas mulia. Mereka yang berkomitmen pada tugas tersebut layak mendapatkan Bintang Jasa Pemberantas Korupsi.



Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/bintang-jasa-pemberantas-korupsi.html


Heterogenitas Apresiasi Terhadap Pencasila












 Heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila ini terjadi karena kelompok-kelompok yang ada di Indonesia tidak berpegang pada konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. 

Status Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak diakui sebagai sesuatu yang final oleh semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. 

Kelompok-kelompok yang ada tersebut (Marxisme dan ideologi Islam) mengingkari sumpah setianya untuk membangun negara Indonesia dibawah Pancasila. Dan terus memegang harapan-harapan lain (Marxisme dan Ideologi Islam).Hal tersebut nampak dengan adanya keinginan menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, baik melalui penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila, maupun dengan cara kekerasan.

Mengenai penerimaan Islam formalis terhadap Pancasila sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, Darmaputera menjelaskan demikian:

Penerimaan Islam pada waktu itu adalah bersifat “sementara” dan “taktis”, dengan pertimbangan mereka akan memperjuangkannya kembali secara konstitusional kelak, yaitu yang terjadi pada sidang-sidang konstituante dan sebagian mengambil langkah perjuangan bersenjata…penerimaan Islam pada waktu itu diikuti oleh beberapa “konsesi” penting, misalnya adanya Departemen Agama, berlakunya hukum pengadilan agama Islam.[ Eka Darmaputera, “Pancasila sebagai satu-satunya Asas Dalam Kehidupan Bermasyarakat , Berbangsa Dan Bernegara,” dalam Agama-agama Memasuki Millinium Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.141.]

Penerimaan Islam formalis  yang menginginkan negara berdasarkan ideologi Islam ini juga terjadi pada penerimaan terhadap Pancasila sebagaimana di lakukan oleh kaum Marxisme, kelompok komunis pada menjelang kemerdekaan belum mempunyai kekuatan yang menonjol dibandingkan kubu kebangsaan dan Islam. Sehingga Komunis memilih untuk mendukung kubu kebangsaan pada semenetara waktu. Akibatnya Pancasila mengalami kemajemukan status, dan terjadilah apresiasi terhadap Pancasila.

Keragaman apresiasi terhadap Pancasila dapat dimengerti karena Pancasila merupakan kompromi politik (Kebangsaan, Islam dan Marxisme). Pada waktu kelompok-kelompok politik yang ada tidak lagi berpegang pada pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi negara, maka kelompok-kelompok tersebut berusaha untuk melakukan penetrasi nilai- nilai mereka secara paksa kedalam Pancasila. 

Keragaman apresiasi terhadap Pancasila seharusnya telah selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara, karena Pancasila  merupakan konsensus dari seluruh rakyat Indonesia. Dan Pancasila yang telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 harus diterima oleh setiap kelompok yang ada di bumi Indonesia sebagai sessuatu yang final.

Pancasila sebagai suatu kompromi dari kelompok-kelompok politik yang ada di Indonesia tidak dapat memuaskan semua pihak, namun Pancasila merupakan jalan terbaik untuk memelihara kebhinekaaan Indonesia. 

Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. 

Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara. 

Ironisnya usaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan terjadi pada tahun 1949, saat dimana Indonesia akan mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, yang seharusnya disyukuri bersama. 

Usaha menggantikan Pancasila dengan pemberontakan yang terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI merupakan penghianatan terhadap komitmen untuk mempertahankan Indonesia, sebagai negara merdeka.

 Mengenai tumbuhnya harapan-harapan lain diluar Pancasila yang menciptakan heterogenitas apresiasi Pancasila dan bermuara pada usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan, Simatupang mengatakan demikian:

Dalam pada itu sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, maka telah muncul dua harapan tandingan terhadap Pancasila dan UUD 45. Yaitu, pada satu pihak, harapan tandingan untuk mendirikan negara Komunis yang dicetuskan oleh pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948. Dan pada pihak lain harapan tandingan untuk mendirikan negara Islam yang dicetuskan oleh Darul Islam atau DI. Berlainan dengan harapan bersama bangsa kita yang bersifat inklusif dan nondiskriminatif. Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa yang satu bersifat eksklusif dan diskriminatif berdasarkan kelas, sedangkan yang lain bersifat eksklusif dan diskriminatif bersarkan agama. Yang satu kita kenal sebagai ekstrem kiri, sedangkan yang lain kita kenal dengan nama ekstrem kanan.[ T.B. Simatupang, Harapan, Keprihatinan dan Tekad, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1998), h. 59.]


Harapan-harapan tandingan yang muncul menjelang tahun 1949 yang menciptakan kemajemukan status Pancasila merupakan buah dari penerimaan sementara terhadap Pancasila oleh Islam Formalis dan Komunis. Identitas-identitas yang dihargai dan dilindungi oleh Pancasila kemudian berusaha untuk menggantikan Pancasila. Karena pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada kemudian menelan rasa persatuan di bawah Pancasila. Hal ini merupakan kelemahan Pancasila yang dapat menerima semua, sebagai suatu kompromi.. 

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sebagaimana telah diikrarkan secara bersama dalam pembukaan UUD 1945, baik oleh kelompok yang mengharapakan ideologi Marxisme maupun kelompok yang mengharapakan ideologi Islam, tidak lagi dihargai sebagai harapan tunggal. Dan timbullah pemberontakan untuk menggantikan Pancasila sebagi dasar negara.

Heterogenitas Pancasila memiliki kelemahan karena adanya heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila. Pancasila tidak menjadi harapan satu-satunya semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. Kelompok yang menginginkan ideologi Islam, terus berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam. Pancasila hanya diterima karena ideologi Islam belum berhasil menjadi ideologi negara Indonesia, secara khusus oleh Islam formalis yang terus berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. 

Demikian juga dengan Komunis. Ideologi Komunis selalu dipegang sebagai harapan tandingan Pancasila, sehingga senantiasa diusahakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Heterogenitas Pancasila tersebut menimbulkan konflik, baik secara terbuka, maupun tertutup. Konflik yang timbul karena perbedaan apresiasi terhadap Pancasila tersebut seringkali menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai harapan bersama rakyat Indonesia.

Mengenai konflik yang terjadi karena adanya heterogenitas Pancasila ini A.M.W Pranarka menerangkan demikian :

Pada awalnya konflik ideologi mengenai Pancasila itu tidak terjadi secara terbuka dan sistematik. Pancasila tumbuh secara iuxta positif dengan ideologi-ideologi lain. Dalam dasawarsa 1950-an interaksi antara berbagai ideologi itu menjadi terbuka dan konfliktif, sebagaimana terjadi di dalam perdebatan mengenai dasar negara di dalam sidang Konstituante. Ada dua sikap terhadap Pancasila: ada yang menolak Pancasila (ideologi Islam, ideologi Barat modern sekuler), ada yang menerima Pancasila. Selanjutnya terdapat pula pemikiran yang memodifikasikan Pancasila, baik dari kalangan aliran ideologi Islam maupun aliran ideologi Barat modern sekuler. Pergumulan ideologi itu masih berjalan terus sesudah dinyatakan Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak saat itu tidak terjadi konflik terbuka, akan tetapi pergumulan ideologi berjalan melalui tafsir: Pancasila ditafsirkan dengan berbagai aliran ideologi terutama ideologi keagamaan, dan ideologi Barat modern sekuler.[ A.M.W. Pranarkha, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila,  h. 140.]


Dalam sejarah perjuangan bangsa, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. 

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun.

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.

 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. 

Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. 

Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia. 


https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/heterogenitas-apresiasi-terhadap.html


NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK

 SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...