Wednesday, January 20, 2021

Krisis Kepemimpinan di indonesia

 






Krisis di Indonesia terus berlanjut mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi yang  berjalan terseok-seok. Krisis yang terjadi pada masa lalu membebani masa selanjutnya, akibatnya, bisa dikatakan,  saat ini Indonesia mengalami Krisis multi dimensi. Krisis dalam bidang hukum dimana hukum hanya tajam untuk mereka yang lemah dan tumpul bagi mereka yang kuat, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin parah yang terbaca jelas pada ambruknya wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) lembaga tinggi negara yang adalah produk era reformasi, khususnya terkait peristiwa Penangkapan Ketua MK, bahkan oleh banyak kalangan dianggap sebagai alarm ambruknya hukum Indonesia. Budaya politik uang yang masih digdaya mengendalikan partai-partai politik, dan yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya  konflik-konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama, suku dan budaya. 


Krisis yang terjadi itu secara bersamaan juga menunjukkan bahwa negeri ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, itulah sebabnya meski tahun 2014 Indonesia akan menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan Presiden, harapan rakyat akan terjadinya perubahan yang signifikan tak terlihat, bahkan pemilu yang semestinya menjadai harapan bagi perubahan secara damai di respon secara dingin, apalagi calon-calon yang kan tampil dalam pemilu legislatif di dominasi dengan wajah-wajah lama, bahkan ada dari mereka yang terindikasi terlibat korupsi. Semua krisis ini, khususnya krisis kepemimpinan, jika tidak diatasai dengan baik bukan hanya akan membawa bangsa ini pada keterpurukan, tapi juga akan bermuara pada disintegrasi bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang amat beragam yang kehadirannya oleh T.B Simatupang diakui sebagai sebuah keajaiban.


Apabila kita seksama membuka lebaran-lembaran sejarah negeri ini, kita akan melihat jelas bahwa pemimpin di negeri ini kerap tidak konsisten berpegang pada konstitusi. Akibatnya, hukum tidak menjadi panglima, keadilan menjadi hanya slogan yang tak pernah mewujud dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lebih parah lagi para penjahat “berpesta pora”, bukan hanya penjahat berdasi yang dengan sadisnya mengeruk hak rakyat miskin, tapi juga penjahat-penjahat berwajah garang, yang setidaknya terlihat jelas pada pengkapan-penangkapan “preman”yang sedang giat-giatnya , khususnya di jakarta Barat. Kehidupan mewah para preman yang akrab dengan aparat keamanan melalui memeras rakyat kecil jelas terlihat pada peristiwa itu. 



Terbentuknya Nasionalisme Indonesia 


Tumbuhnya semangat nasionalisme yang semakin menguat sebagaimana di jelaskan diatas disebabkan oleh dua hal. Pertama pengaruh perkembangan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk mendapatkan kemardekaan. Peristiwa penting yang sangat mempengaruhi tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia adalah kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (eropa) tahun 1905. Dalam peristiwa tersebut Asia yang umumnya adalah bangsa jajahan Eropa membuktikan diri sebagai negara yang juga mempunyai kemampuan yang sama. Terbukti Rusia mengalami kekalahan dengan Jepang. Kedua, politik etis pemerintah Belanda yang menciptakan terjadinya peningkatan pendidikan pribumi dan melahirkan kaum terpelajar di Indonesia, yang kemudian menjadi pembawa benih wawasan kebangsaan ke Indonesia tanpa membunuh keragaman etnis, agama, ras dan golongan.[ Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 43.]

Dalam pergerakan nasionalisme Indonesia tersebut muncul dua kekuatan besar yaitu, gerakan Kebangsaan yang memperjuangkan lahirnya negara Indonesia sekuler yang memberi tempat pada agama, dan kubu Islam yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Sedang kelompok Komunis yang juga sempat bertumbuh pada menjelang kemerdekaan tidak mempunyai kekuatan yang besar karena pada tahun 1926/1927 kelompok Komunis disingkirkan oleh pemerintahan kolonialisme. Tidaklah mengherankan jika pada pergulatan mengenai dasar negara pertentangan yang kuat hanya terjadi antara kubu kebangsaan yang menginginkan negara sekuler dan kubu Islam yang menginginkan Islam menjadi dasar negara.[ Ibid,.43-44.]

Nasionalisme Indonesia kemudian tumbuh dengan subur pada masa perang-perang gerilya mempertahankan kedaulatan negara. Pengalaman perang-perang Gerilya dimana rakyat Indonesia bersama-sama, bahu membahu melawan penjajah, menumbuhkan semangat nasionalisme yang telah bertumbuh menjelang kemerdekaan. Semangat inilah yang memungkinkan Indonesia yang sangat majemuk dapat bertahan sebagai negara NKRI.


Nasionalisme, Budaya dan Agama 

Nasionalisme Indonesia yang melahirkan Indonesia sebagai negara merdeka yang baru dibawah Pancasila mestinya melahirkan masyarakat baru. Masyarakat Pancasila ini bukan lagi masyarakat-masyarakat lama yang terpisah-pisah sebagaimana yang ada sebelum kemerdekaan. Namun, sayangnya  masyarakat Pancasila yang baru ini tidak dengan sendirinya dapat tercipta. Masyarakat Pancasila ini masih harus mengalami proses mewujud. Proses perwujudan masyarakat Pancasila ini berjalan lambat, sehingga  konflik suku, budaya dan agama sering kali terjadi. Karena memang masyarakat Pancasila yang satu tersebut belum memiliki wujud yang jelas.

Terhambatnya proses mewujudkan masyarakat Pancasila antara lain dikarenakan  setelah perang kemerdekaan, usaha untuk menumbuhkan semangat nasionalisme tidak lagi dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam setiap lapisan masyarakat Indonesia. Mengenai hal ini Tamrin Amal Tomagola menerangkan demikian:

Nasionalisme negara kemudian hanya subur dikalangan penyelenggara negara dan disebarkan serta dibela dengan gigh oleh perangkat birokrasi sipil dan militer, serta disebagian kalangan terdidik yang menjadi pegawai negeri. Sedangkan di lapisan masyarakat yang lain dan dibanyak wilayah Indonesia yang tumbuh subur justru nasionalisme agama dan nasionalisme etnis.[ Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju agama, (makalah seminar Bhineka Tunggal Ika, Mengenang 100 tahun Yohanes Leimena, Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005, h. 3.]


Nasionalisme Indonesia yang tidak berakar dalam masyarakat Indonesia seharusnya  terus ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia. Namun ternyata Nasionalisme itu justru ditelan oleh menguatnya komunalisme suku dan agama, karena memang nasionalisme hanya ditanamkan dalam sekompok kecil masyarakat. Akibatnya, Indonesia sebagai negara baru tetap terdiri dari masyarakat lama yang belum mewujudkan masyarakat Pancasila. Konflik antar suku dan agama menjadi sesuatu yang terus menghiasai sejarah bangsa Indonesia.

Usaha untuk menyebarkan semangat nasionalisme tidak sebanding dengan usaha-usaha yang ingin menelan semangat nasionalisme yang terjadi secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Apalagi pemerintahan yang ada sering kali hanya memikirkan untuk melestarikan kekuasaan tanpa berpegang pada cita-cita bangsa Indonesia. Sehingga pembangunan masyarakat Pancasila sebagai perwujudan dari lahirnya negara Indonesia mengalami hambatan. 

Beberapa peritiwa yang menjadi hambatan terwujudnya masyarakat Pancasila antara lain adalah adanya usaha untuk menggantikan Indonesia dengan Ideologi lain. Yaitu Komunis dan Islam. Menjelang kemerdekaan terjadi pemberontakan Darul Islam (DI) dan pada tahun 1965 terjadi pemberontakan Komunis untuk menumbangkan negara Republik Indonesia. Usaha memadamkan perlawanan dari DI dan Komunis membutuhkan waktu yang panjang. Keadaan ini tentu saja menjadi hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan masyarakat Pancasila. Karena Pancasila terus menerus dirong-rong dari dalam dengan cara kekerasan.

Setelah pemberontakan-pemberontakan tersebut dipadamkan, usaha perlawanan terhadap Pancasila juga tidak terhenti. Yang terjadi adalah perubahan bentuk perlawanan, tidak lagi dengan cara kekerasan, tetapi perlawanan dilakukan dengan cara terselubung, yaitu melalui penetrasi nilai-nilai agama dan kelompok yang eksklusif dan kemudian menimbulkan heterogenitas tafsir terhadap Pancasila. Sayangnya dalam kondisi Indonesia tersebut usaha untuk menyuburkan semangat nasionalisme tidak dilakukan dalam sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya bukan hanya komunalisme agama yang terus bertumbuh tetapi juga dibarengi dengan komunalisme budaya. Kelompok Komunis tidak lagi memberikan perlawanan berarti karena pada jaman orde baru pemerintah menghancurkannya, dan menjadikannya partai terlarang serta paham terlarang.

Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan masyarakat Pancasila Darmaputera menjelaskan seperti berikut:

Dalam praktik kita bangun memang bukan masyarakat Pancasila. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No, masyarakat agama, Yes!.[ Dikutip dari, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 98.]


Karena usaha pembangunan Nasionalisme tidak berjalan dengan baik, maka pembangunan masyarakat Pancasila mengalami penyimpangan. Menurut Darmaputera, yang terbangun bukan masyarakat Pancasila yang satu, tetapi kumpulan masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat, yang berusaha untuk membangun dan membesarkan kumpulan umatnya sendiri lalu menelan kumpulan umat lainnya, untuk kemudian menguasai negara. 

Terciptanya komunalisme agama dan budaya yang menghambat lahirnya masyarakat Pancasila juga sangat dipengaruhi oelh sikap pemerintah. Pemerintahan yang tidak adil menyebabkan terjadinya diskriminasi suku budaya dan agama. Pembangunan yang tidak merata, membuat Indonesia menjadi beragam dalam kehidupan sosial ekonomi, dan melebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin. Akibatnya pertumbuhan suku, budaya dan agama yang pada awalnya merupakan perlawanan terhadap sikap pemerintah yang tidak adil, kemudian mengarah pada konflik antar kelompok yang ada. Kondisi tersebut sering kali disuburkan oleh pemerintah dengan politik akomodasinya   demi mempertahankan kekuasaannya.


Indonesia, dan Krisis Kepemimpinan


Krisis kepemimpinan di negeri ini terlihat jelas dalam sejarah perjuangan bangsa ini, khususnya dengan lemahnya komitmen pemimpin-pemimpin negeri berpegang pada  nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia, krisis kepimpinan inilah yang melahirkan krisis pada bidang-bidang lain yang membahayakan kelangsungan bangsa Indonesia.


Lahirnya Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946 sebagai konsesi atas ditolaknya piagam jakarta merupakan bukti inkonsistensi pemerintah dalam berpegang pada pancasila dan UUD 1945. Kementerian Agama pada awalnya adalah kementerian agama Islam, kemudian memang dimasukkan agama-agama lain di dalam kementerian itu, namun secara struktur tetap tidak berubah. Dominasi Islam sebagai agama mayoritas terlihat jelas, kementerian ini banyak memberikan kekhusussan terhadap umat islam, seperti pelayan Haji dan juga sekolah-sekolah agama islam. 


Terkait dengan pendefinisan agama produk kementerian agama yang menetapkan bahwa agama resmi harus: Monoteistik, mempunyai kitab, mempunyai Nabi, mempunyai komunitas Internasional,  jelas menunjukkan,  pemerintah Indonesia terlalu jauh mencampuri urusan agama.  Intervensi negara dalam menentukan agama mana yang patut dipilih oleh rakyat Indonesia nyata dalam pendefinisian agama yang diskriminatif itu. 


Akibat pendefinisia agama yang diskriminatif itu kelompok yang dianggap bidat kerap menjadi sasaran kekerasan. Pelarangan terhadap bidat ini mengakibatkan kelompok bidat kerap menjadi sasaran amuk massa, seperti yang dialami oleh jemaah Ahmadiyah. Pelarangan terhadap bidat ini umumnya berlaku terhadap bidat-bidat dalam agama Islam dan Kristen. Syiah yang sudah lama bercokol di negeri ini, dan juga hadir di berbagai belahan dunia ini, di Indonesia, khususnya Sampang, Madura harus menerima perlakuan diskriminat dan kekerasan dengan diusirnya mereka dari rumah-rumah mereka, bahkan hingga kini belum bisa menikmati hak mereka diam ditanah, dan rumah milik mereka sendiri. 


Lahirnya produk undang-undang diskriminatif yang bertentangan dengan Pancasila menyebabkan hubungan antaragama di Indonesia menjadi kian peka. Produk hukum yang diskriminatif ini terlihat dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Yang kemudian pada era reformasi mengalami perubahan menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) dalam peraturam bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri nomor 9 tahun 2006, dan nomor 8 tahun 2006. Namun, inti dari PBM tersebut tidak berbeda dengan SKB yang terindikasi memuat pasal-pasal yang membatasi kebebasan beragama, khususnya pembangunan tempat ibadah yang menuntut adanya sejumlah 60 tanda tangan orang dewasa dari aggota masyarakat dimana tempat ibadah itu akan didirikan. Untuk pendirian Gereja, sekurang-kurangnya diajukan oleh 90 orang anggota dewasa. Peraturan diskriminatif ini kemudian menjadi instrumen penutupan rumah-rumah ibadah. Bukan hanya untuk rumah ibadah yang belum memiliki Izin mendirikan bangunan tetapi juga untuk rumah-rumah ibadah yang telah memiliki Izin mendirikan bangunan. Penutupan GKI Taman Yasmin dan HKBP Fildelfia membuktikan bahwa bukan hanya gereja-geraja dengan jumlah jemaat sedikit yang menjadi sasaran, tetapi juga gereja-gereja dengan jemaat yang besar. Kabar terakhir terjadi pada gereja Katolik di Tangerang.


Peraturan – peraturan yang diskriminatif juga terbaca jelas pada peraturan penodaan agama (PNPS 1965), dan juga perda-perda syariah yang tumbuh subur di banyak tempat di Indonesia dengan dalih dilahirkan secara demokrasi.



Menurut pengamatan saya, kekerasan agama di Indonesia sesungguhnya disebabkan ketidakmampuan para pemimpin negeri ini  memosisikan agama secara tepat dalam hubungan dengan negara. Politisasi agama dan agamaisasi politik keduanya bertentangan dengan Pancasila.  Demikian juga usaha untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler, khususnya pada penetapan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Politisasi agama yang menjadikan agama untuk kepentingan politik sesungguhnya telah mengkerdilkan peran penting agama dalam masyarakat. Politisasi agama terlihat jelas pada pendirian Kementerian Agama yang adalah konsesi terhadap tidak diberlakukannya Piagam Jakarta. Demikian juga kehadiran perundang-undangan yang memberika kekhusussan  pada agama tertentu demi melanggengkan kekuasaan. Politisasi agama ini dilakukan oleh pemerintah lokal dengan menghadirkan perda-perda bernuansa agama.


Pada sisi lain, agama juga kerap tergoda menjadikan negara untuk kepentingan agama.  Agamaisasi politik adalah menjadikan pemerintah sebagai alat untuk kepentingan agama tertentu. Undang-undang penodaan agama (PNPS1965) adalah salah satunya. Agama memakai tangan pemerintah untuk membatasi penyebaran agama yang berbeda.



Apabila politisasi agama dan agamaisasi politik menciptakan negara yang berdasarkan agama, dimana  ruang publik didominasi oleh agama tertentu. Maka agama sekuler justru meminggirkan agama dari ruang publik. Kedua hubungan agama dan negara ini tidak sesuai dengan Pancasila. 


Berdasarkan Pancasila, Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan juga negara agama, namun agama memiliki posisi terhormat dinegeri dan di dorong untuk memberikan kontribusi positifnya dalam ruang publik. Jadi hubungan agama dan negara yang tepat bukan negara agama, dan juga bukan negara sekuler yang meminggirkan agama dari ruang publik.

 

Posisi utama sila ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila mengharuskan penafsiran sila-sila lain dikaitkan dengan sila pertama. Sila ketuhanan menjadi dasar bagi keempat sila lain. Itu berarti sila kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial bukan semata-mata “sila-sila sekular,”usaha murni manusia, tetapi sila-sila yang memiliki dimensi transendental


Menurut Soekarno, Indonesia sebagai negara religius yang tidak teokratis harus mendukung kepentingan-kepentingan agama. Agama-agama di dorong untuk memberikan kontribusi positifnya dalam ruang publik. . T.B. Simatupang berpendapat, negara Pancasila bertanggung jawab “bukan saja untuk menjamin kebebasan beragama, tetapi juga mendorong peran agama-agama di dalam masyarakat.”


Pancasila, berdasarkan sila pertamanya, mendorong peran-peran publik dari agama di dalam urusan-urusan publik Indonesia. Peran-peran publik dari agama seperti itu, menurut Sukarno, harus dibatasi “secara beradab.” Dengan kata lain, peran-peran publik dari agama akan sah asalkan peran-peran itu dialamatkan pada tingkat wacana yang terjadi di dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah satu-satunya saluran bagi agama untuk memberikan sumbangsih  penting kepada masyarakat Indonesia.


Dengan demikian berdasarkan apa yang telah saya uraikan, maka pilihan yang tepat untuk Indonesia bukanlah memprivatisasikan agama untuk menekan koflik agama yang tidak jarang meletus dalam bentuk kekerasan antar umat beragama. Pilihan yang tepat untuk Indonesia adalah apa yang telah diutarakan dalam Pancasila. 


Dalam konteks Pancasila sebagai dasar negara, relasi agama dan negara adalah jelas yakni menetapkan pertumbuhan agama publik. Jadi, politisasi agama dan agamaisasi politik merupakan ancaman bagi hubungan agama dan negara yang ditetapkan Pancasila. Berdasarkan Pancasila agama tidak berada di bawah negara, dan negara juga tidak berada dibawah agama. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Abraham Kuyper – “a free (Religion) in a free State,” as Abraham Kuyper says. Without a community of freedom, the politicization of religion and the religionization of politics are inevitable. However, this does not mean that religion and the state have to be segregated. They are “separated but not parted” (ada pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan). It means that although they are separated from each other, the state and religion have a mutual responsibility towards each other.

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/krisis-kepemimpinan-di-indonesia.html


Wednesday, January 13, 2021

Belajar Dari Kontroversi Perda Kota Injil







Kontroversi Perihal Perda Manokwari Kota Injil

I. Pendahuluan

Kabar akan diberlakukannya perda bernuansa Kristen di Manokwari, Papua Barat menimbulkan kontroversi, baik dalam kalangan Kristen itu sendiri, maupun juga dari umat Islam yang secara langsung merasa terdiskriminasikan, bahkan PGI dan KWI telah jauh-jauh hari menyatakan penolakannya. Menurut berita-berita di media massa, draft perda kota Injil yang telah beredar, tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya secara langsung isinya terindikasi ada yang membelenggu kebebasan beragama, khususnya kaum muslim.

Meski Raperda kota Injil itu sendiri sesungguhnya belum ada, namun telah direspons dengan amat kuat lantaran isi draft yang beredar itu jika kemudian dijadikan perda dikhawatirkan akan berisi nilai-nilai yang bersifat diskriminatif. Apalagi draft usulan itu telah beredar luas tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, serta tanpa penjelasan yang utuh, maka tidaklah mengherankan komentar yang hadirpun sangat beragam, karena umumnya lebih didasarkan pada asumsi, bukan fakta, dan tampaknya telah menimbulkan dampak negative berupa polarisasi agama, baik dari penggagas, maupun mereka yang menentangnya.

Reaksi yang begitu riuh sekitar perda kota injil itu tampaknya mendapatkan tempatnya ditengah maraknya perda bernuansa agama yang dihadirkan dibeberapa daerah di Indonesia. Meski kehadiran perda-perda bernuansa agama (perda syariah) itu diklaim terlahir secara demokratis, tetap saja penetapan perda bernuansa agama itu telah mendiskriminasikan agama-agama lain, bahkan meski pembahasannya telah menuai protes, perda bernuansa agama itu dengan dukungan mayoritas masyarakat setempat tetap saja diberlakukan, setidaknya itu telah ditetapkan di 26 daerah di Indonesia.

Kekhawatiran mereka yang tidak setuju untuk ditetapkannya perda kota Injil tidaklah mengherankan. Respons penolakan terhadap pemberlakuan perda Manokwari Kota Injil itu lebih bergemuruh dibandingkan yang mendukungnya, khususnya dari luar Papua, namun, sebagaimana keberhasilan ditetapkannya perda-perda bernuansa agama meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, demikian juga dikuatirkan, perda Manokwari Kota Injil yang dianggap perda bernuansa agama Kristen itu akan mengalami keberhasilan sebagaimana perda-perda bernuansa agama Islam.

Memang draf awal yang beredar adalah perda pembinaan mental dan spiritual yang digagas oleh komunitas Kristen, karena penggagasanya adalah umat Kristen, dalam hal ini gereja pada khususnya, maka tidaklah mengherankan jika perda itu dianggap sebagi perda agama Kristen, meski belum tentu merupakan aspirasi semua umat Kristen. Namun, bukan mustahil perda itu akan mendapatkan dukungan dari umat Kristen Papua sebagai agama mayoritas, meski penolakan terhadap perda itu cukup kuat, khususnya yang berasal dari luar Manokwari, Papua Barat, tapi dengan adanya otonomi khusus untuk Papua, apalagi 20 orang anggota DPRD kabupaten dari jumlah 25 anggota DPRD kabupatennya adalah umat Kristen, bisa saja timbul anggapan, wakil-wakil umat Kristen yang mayoritas itu tentulah akan berusaha untuk menyetujui usulan perda itu.

Melihat kontroversi yang begitu kuat sekitar perda Injil itu, apalagi pembahasannyapun belum dilakukan, maka Reformed Center for Religion and Society merasa perlu untuk memberikan kontribusinya untuk mengetahui lebih jelas dengan hadir di kota Manokwari untuk mewawancarai sumber-sumber yang dianggap berkompeten untul hal itu, dan kemudian mencoba memberikan solusi yang bermanfaat.

Informasi yang hendak di dapat dalam wawancara serta survey melalui angket antara lain, untuk apakah usulan perda itu dibuat, dan permasalahan apakah yang coba dipecahkan? Apakah pemberlakuan perda itu memang suatu kebutuhan, dan siapakah yang menggagasnya? Kemudian bagaimana merancangnya dan apakah itu efektif, jika memang mesti dilakukan dan bagaimana menghadirkan perda yang tidak diskriminatif.

Penelitian ini juga berusaha untuk mengkaji, apakah usulan perda kota Injil terindikasi telah menciptakan polarisasi agama, baik antar agama maupun intra agama, dan apakah polarisasi agama itu makin kuat setelah beredarnya draft usulan perda itu, ataukah kehadiran perda Manokwari kota Injil merupakan usaha agama untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan public, dan apakah ada dampak negative peran public agama, dan jika ada, mengapa itu bisa terjadi.

Polarisasi agama di Manokwari jika terjadi, tentunya sangat berbahaya, dan akan menutup dialog antar agama, dan dapat mengarah pada konflik antar agama. Penelitian ini juga akan berusaha melihat hal positif dan negative yang mungkin ada dari usulan perda tersebut, untuk kemudian memberikan pemikiran-pemikiran berupa solusi yang bermanfaat.

II. Manokwari Selayang Pandang.

Manokwari adalah ibu kota provinsi Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat), merupakan pemekaran dari provinsi Papua (Irian Jaya). Nama Irian adalah pemberian dari Soekarno, meski sesungguhnya orang Papua tidak menyenangi sebutan itu.

Nama Irian Jaya Barat ditetapkan oleh undang-undang nomor 45 tahun 1999, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2007 tanggal 18 April 2007, Nama Provinsi Irian Jaya Barat itu dirubah menjadi Papua Barat. Kini di Papua telah terbentuk dua Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Saat ini juga sedang digagas untuk pemekaran wilayah lagi dengan tambahan provinsi Papua Selatan. Pemekaran wilayah itu sendiri menimbulkan pro kontra, apalgi gagasan awalnya berasal dari pusat bukan berasa dari daerah Papua itu sendiri yang dimulai dari dewan adat Papua. Meski kehadiran provinsai Papua Barat menimbulkan kontroversi, namun, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan, meski pada umumnya orang Papua tak ingin terpisah menjadi beberapa provinsi, karena mereka merasa satu, yaitu Provinsi Papua.

Wilayah Provisni Papua Barat meliputi kawasan kepala burung pulau Papua adan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi Papua Barat oleh Samudra pasifik, bagian barat berbatasn dengan Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku, sedang dibagian timurnya dibatasi oleh Teluk Cendrawasih, bagian selatan dengan laut Seram dan tenggara berbatasn dengan Provinsu Papua.

Meski Provnsi Papua Barat telah menjadi provinsi sendiri, Provinsi ini tetap mendapat perlakuan khusus seperti juga provinsi induknya, yaitu Papua. Pada tanggal 5 Aprl 2004, provinsi ini juga telah mempunyai KPUD yang telah berhasil menyelenggarakanpemilu untuk pertama kalinya.

Papua Barat merupakan daearah yang memiliki potensi luar biasa, baik kesuburan alamnya, kandungan barang-barang tanbang, hasil hutan maupun keindahan alamnya sebagai temapat pariwisata. Belum lagi hasil laut seperti mutiara dan rumput laut. Papua Barat juga telah memiliki industri tradisional tenun ikatkain Timor yang dihasilkan di Sorong. Papua Barat sendiri terbagi atas 9 Kabupaten dan Kota, yitu : Kabupaten Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kota Sorong. Sedang Manokwari sebagai ibu kota Provinsi terbagi atas 12 kecamatan dan 132 desa.

Kabupaten Manokwari biasa disebut sebagai kota buah-buahan, karena kesuburan tanahnya yang menghasilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli Manokwari terdiri dari beberapa suku, yaitu Sough, Karon, Hatam, Meyeh dan Wamesa, suku-suku itu memiliki budaya yang berbeda satu sama lain.

Manokwari dibatasi oleh Samudra pasifik di sebelah utara, Kabupaten nabire dan Kabupaten Panial di sebelah Selatan, Kabupaten Biak Numfor di sebelah Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong. Topografi Manokwari umumnya adalah daerah berbukit dan dataran tinggi, atau sekitar 80% dari luas wilayahnya. Manokwari tergolong daerah beriklim basah, curah hujan disana cukup tinggi, rata-rata 2688 mm per tahun, hutan rata-rata 123 hari pertahun. Suhu anatara 26 derajat selsiussamapi 32 derajat Celsius dan kelembaban rat-rat 84,7 % dan intesitas matahari 54,3 %

III. Kota Buah menjadi kota Injil

Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua, hanya saja, sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Pergantian nama Manokwari sebagai kota buah-buahan yang kini menjadi Kota Injil itu juga terkait usaha pencarian kekhususan Papua yang dilakukan oleh masyarakat Kristen Papua, dengan mengangkat kembali peristiwa sejarah yang mengawali peradaban baru di Papua yang merupakan buah dari penerimaan Injil oleh masyarakat Papua.

Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, yang mengatakan, “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini.” Pernyataan dua missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai kota Injil, sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Kristen Papua yang adalah mayoritas itu sepakat untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah kota buah-buahan menjadi kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas histories dari daerah manokwari.

Keinginan agar julukan kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari sesungguhnya bukan semata-mata terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat akan keberadaan Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil ke tanah Papua, sebagimana diungkapkan beberapa tokoh agama di Manokwari, karena ada diantara mereka yang berpendapat bahwa itu adalah usaha melestarikan nilai-nilai Injil yang terbukti telah mengangkat kehormatan masyarakat Papua, dan secara bersamaan merupakan aspirasi masyarakat Papua untuk mendapatkan harapan baru dari ketertinggalan mereka disbanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Meski kekayaan sumber alam Papua 2 kali ;ebih banyak dibandingka kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia.

Mereka berharap, Injil yang telah merubah kehidupan masyarakat Papua yang berada dalam kegelapan, hidup dalam kecurigaan, kebencian, saling memangsa sesamanya (mengayau), dan oleh injil itu mereka telah diperdamaikan. Maka mereka juga berharap penetapan Manokwari kota Injil akan menyadarkan masyarakat untuk berjuang mengatasi ketertimggalan mereka. Kekayaan alam yang melimpah ruah di Papua ternyata tidak berdampak banyak bagi kemajuan masyarakat Papua, karena itu harapan mereka kini berbalik pada Injil yang telah mengakat martabat masyarkat Pappua, sehingga seorang tokoh perempuan Papua mengatakan, itu adalah hak-hak dasar masyarakat Papua. Penetapan Manokwari kota Injil diharapkan akan menuntut penduduk kota Manokwari menjaga kelestarian nilai-nilai Injil yang mulai itu dengan hidup sesuai dengan kebenaran Injil.

IV. Lahirnya Raperda Kota Injil

Usaha untuk memberikan julukan Manokwari sebagai Kota Injil itu sesungguhnya mendapatkan momentumnya setelah aksi demo terhadap pembangunan Mesjid Raya, dengan Islamic Centernya, menurut Pdt. Dimara, Gembala Sidang GKI Elim Koali, Gereja kedua yang dibangun setelah Gereja GKI di pulau Mansinam, luas tanah yang diperuntukan bagi pembangunan Mesjid Raya itu 1 hektare, apalagi posisinya yang sangat strategis, dekat lapangan Udara manokwari, setiap orang yang akan memasuki kota Manokwari tentunya akan melihat mesjid raya yang besar itu, jika jadi dibangun. Kehadiran Mesjid raya itu juga akan melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah mayoritas, hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI, yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menurutnya, persiapan untuk membangun mesjid raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004, itu mengherankan, karena umat muslim tahu, di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulan Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua tumpah ruah di pulau Mansinam, dan pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu.

Pendirian mesjid raya oleh umat Kristen, bermula dari GKI yang kemudian menggandeng gereja-gereja lain, sebagai tindakan yang anti toleransi. Sebagai penganut agama Mayoritas tindakan membangun mesjid raya adalah pengabaian eksisitensi Kristen Manokwari, dan itu menimbulkan perasaan terancam di kalangan umat Kristen, Kota Manokwari yang secara histories diakui sebagi kota Injil, dan ditempat itu setiap tahun dirayakan masuknya Injil di Papua, ingin dirubah menjadi kota berbasis muslim, setidaknya dengan cara menghadirkan Mesjid Raya itu, Apalagi pertambahan masyarakat Muslim di Papua cukup signifikan, dan pertain-partai Islam di Papua pada pemilu 2004 telah mengklaim bahwa umat Muslim di Papua sekitar 40% dan terus mengalami pertambahan. Keberhasilan perkembangan agama Islam di Papua itu dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan pembangunan rumah ibadahnya yang besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah mencukupi.

Kemudahan yang selama ini diberikan kepada umat Muslim ternyata tidak demikian yang dialami oleh umat Kristen di daerah-daerah lainnya, apalagi laporan jumlah gereja yang terbakar atau dirusak juga dilaporkan dalam demonstrasi Mesjid Raya. Gema Indonesia sebagai negara dimana pembakaran rumah ibadah, khususnya gereja yang terbanyak di dunia tentu saja menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua yang terkenal amat toleran, belum lagi pendatang yang umumnya beragama Islam umumnya lebih kaya dibandingkan masyarakat Papua sendiri dn itulah yang kemudian melahirkan aksi demo masyarakat Kristen yang pada intinya berisi penolakan terhadap pembangunan mesjid raya itu.

Usaha menghadirkan mesjid raya yang besar, bahkan ada yang mengatakan akan menjadi Islamic center yang terbesar di Asia Tenggara, segera saja itu menimbulkan protes masyarakat Gereja, apalagi memang ada selebaran yang mencoba memancing di air keruh dengan menyebarkan jumlah gereja-geraja yang dirusak, dibakar di luar Papua, khususnya di pulau Jawa untuk menumbuhkan rasa sentimen keagamaan, tapi menurut beberapa peserta, alasan utamanya adalah mereka tidak setuju jika agama minoritas di Manokwari, dalam hal ini Islam, membangun tempat ibadah yang amat megah, melampaui kemegahan gereja-gereja yang ada, apalagi tempat-tempat ibadah yang tersedia masih mencukupi untuk digunakan.

Pada tanggal 17 November 2005, ada kira-kira 5000 orang lebih pendemo yang memprotes pembangunan mensjid raya tersebut, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa Kristen, warga Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja yang berasal dari 30 denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi Papua Barat, sebelumnya mereka berkumpul di Gereja dekat kompleks DPRD, GKI Maranatha, kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD kabupaten Manokwari. Demonstran itu diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua Barat yang didampingi Bupati Manokwari, Kapolres dan Dandim setempat. Pada waktu itu juga para pendemo mendesak membentuk Perda Manokwari kota Injil, namun tetap setuju dengan mengikut sertakan kelompok agama-agama lain, agar ada saling pengertian dan rasa saling bertoleransi, serta memiliki persepsi yang sama mengenai Manokwari sebagai kota injil. Mereka juga berharap, pembangunan tempat-tempat ibadah mesti memperhatikan keberadan Manokwari sebagai kota injil, sehingga peristiwa pembangunan mesjid raya yang menimbulkan rasa terancam umat Kristen itu tidak akan terulang lagi, hal itu dapat dimengerti karena bisa jadi usaha untuk kembali membangun mesjid raya itu akan terus dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Sejak aksi demo itu wacana Manokwari kota Injil mulai sering diperdengarkan dalam pidato-pidato tokoh-tokoh agama di Papua.

Menurut Yulio yang adalah koordinator pemuda Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua, yang juga menjadi koordinator lapangan aksi demo menjelaskan, Aksi demo itu berlangsung secara damai, tanpa ada pengrusakan apapun, ini adalah bukti bahwa masyarakat Kristen Papua yang berada di Papua tanah damai, tidak berniat untuk membelenggu kebebasan beribadah kaum Muslim, sebagaimana dilakukan beberapa komunitas umat muslim yang telah merusak dan membakar gereja, bahkan telah mengakibatkan korban nyawa manusia, seperti di Situbondo misalnya, yang hampir saja menyulut kemarahan masyarakat Kristen Papua, tapi itu tak terjadi karena tokoh-tokoh agama yang memang disegani masyarakat dengan segera menenangkannya. Ia juga menjelaskan, jumlah mesjid yang kini ada di Papua cukup untuk menampung kaum Muslim beribadah, jadi untuk apa lagi membangun mesjid raya yang besar itu, bukankah itu tanda tidak ada lagi penghargaan terhadap umat Kristen yang adalah mayoritas.

Demo damai itu memang hampir saja menyulut kemarahan massa pendemo karena adanya komunikasi yang tidak lancar, tapi bukan benturan antar agama. Penurunan spanduk yang dibawa pendemo yang bertuliskan penolakan pembangunan mesjid raya oleh departemen agama sempat direspons negative, yaitu sebagai penolakan terhadap aspirasi massa pendemo, namun, setelah ada klarifikasi bahwa penurunan spanduk mesti dilakukan karena sesungguhnya pemerintah telah mendengar tuntutan pendemo, maka salah paham itu pun reda dan tidak melahirkan konflik. Itu adalah bukti bahwa masyarakat Papua hidup dengan toleransi yang tinggi, dan di tanah Papua, Manokwari tidak pernah ada perusakan atau pembakaran tempat ibadah agama apapun, fakta itu diakui oleh tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dan juga pejabat setempat.

Sikap toleransi maasyarakat Papua yang tinggi itu juga terbukti dengan diijinkannya masyarakat muslim di Manokwari melakukan sembahyah Ied pada perayaan Idul Fitri di 4 lapangan Bola yang terdapat di Manokwari. Massa yang membanjiri lapangan-lapangan bola itu dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik, tanpa gangguan berarti, suasana tenang dan damai menyelemuti perayaan hari raya Idul Fitri tanggal 13 Oktober 2007. Spanduk-spanduk ucapan selamat hari raya menghiasai kota Manokwari, dan itu berasal dari komunitas yang amat beragam.

Selang beberapa bulan kemudian setelah aksi demo mesjid raya, dalam usaha untuk mengukuhkan keberadaan Manokwari kota Injil, dihadirkanlah perda larangan minum minuman keras pada bulan Desember 2006. Perda itu diakui sebagai nilai-nilai Injil, meski juga diterima oleh umat beragama lain, karena memang nilai-nilai itu bersifat universal. Perda itu diakui berasal dari nilai-nilai Injil karena penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam hal ini gereja-geraja.

Dalam suatu seminar tentang perda Miras 98% peserta yang mewakili gereja, agama, pemuda, komponen wanita mengangkat tangan untuk menunjukan persetujuannya, beberapa orang yang tidak setuju menurut Amos wakil ketua DPRD Kabupaten, dan Yulio koordinator pemuda GKI umumnya adalah para distributor Miras.Usulan itu kemudian juga diterima oleh pemda dan mendapatkan persetujuan DPRD Kabupaten, keberhasilan penerapan perda larangan minuman keras itu kemudian dicontoh oleh daerah-daerah lainnya di Papua.

Memang dalam penetapan larangan Miras itu, minuman keras yang telah ada, terlanjur dibeli pedagang sebelum penetapan perda, masih diijinkan untuk dijual sampai habis, dan baru kemudian tidak boleh lagi di pasok untuk kemudian dijual kembali. Pemerintah juga diminta memikirkan mata pencaharian pengganti untuk mereka yang menjadi penjual minum-minuman keras, agar tidak menambah jumlah pengangguran yang akan berakibat pada tindakan-tindakan kriminal.

Kelahiran perda larangan minuman keras itu ternyata cukup efektif untuk menjaga keindahan kota Manokwari sebagai kota Injil, setelah penetapan perda itu, Manokwari bukan hanya bebas dari para pemabuk pada siang hari, tapi juga pada malam hari. Perda ini dianggap sebagai nilai-nilai Injil yang universal dan dapat diterima oleh semua, atau agama apapun. Perda Miras yang juga di motori oleh pemimpin-pemimpin agama Kristen itu menumbuhkan suatu keyakinan bahwa usaha menghadirkan perda kota injil tentu bukanlah sesuatu yang diskriminatif, karena nilai-nilai Injil yang universal itu pastilah diterima oleh semua agama yang ada di Papua, khususnya Manokwari, apalagi itu bukanlah perda agama, sebagaimana draf awalnya berjudul Perda Pembinaan Mental dan Spiritual.

Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali. Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang pada awalnya diberi nama “Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”. Usulan tersebut kemudian dituangkan dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian menyebar tidak diketahui siapa yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita itu menjadi laporan utama di majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.

Manokwari yang terletak jauh di ujung Timur itu kini menjadi buah bibir bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, serta seorang pengurus radio swasta di Papua. Meski itu baru wacana menurut pengakuan beberapa orang, dan tidak popular di Manokwari, tetapi sebaran informasinya bergerak dengan amat cepatnya kemana-mana, bahkan tidak sedikit yang beraksi keras dan melakukan demo penolakan, meski terkadang informasi yang diterima tidak jelas, karena memang itu baru berupa usulan.

V. Perda Kota Injil dan persoalan diskriminasi

Tampaknya dengan maraknya perda-perda bernuansa agama yang terbukti diskriminatif, reaksi penolakan terhadap usulan itu menjadi begitu kuat. Pada tingkat kabupaten, usulan itu dianggap akan disetujui karena 20 orang dari 25 anggota DPRD kabupaten adalah umat Kristiani. Namun, Pejabat di Manokwari, juga tokoh-tokoh agama disana berkomentar, kami tidak mengerti mengapa itu menjadi berita besar, sedang kami di Manokwari tenang-tenang saja. Wakil ketua DPRD kabupaten, Amos, menjelaskan, “memang saya pernah di wawancarai Koran ibu kota, namun setelah saya melihat isi beritanya, sama sekali berbeda dengan apa yang saya katakan. Demikian juga dengan komentar MUI Papua, komentarnya sesungguhnya tidak didasarkan pada pengertian yang benar, karena kami belum pernah melakukan dialog, jelas terjadi salah pengertian, apalagi sesungguhnya perda kota injil itu sendiri belum ada dan masih berupa usulan dalam hal ini berasal dari komunitas Kristen.

draft berupa usulan pemimpin-pemimpin gereja itu, khususnya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, sebagai pelopor utama yang juga kemudian mengikut sertakan gereja-geraja lainnya, ternyata memiliki pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Kenyataan adanya pasal-pasal yang diskriminatif tersebut diakui dengan jujur baik oleh tokoh-tokoh agama di Papua yang telah membaca isi draf tersebut, khususnya Badan Kerja sama Gereja (BKSG), juga pejabat di kabupaten Manokwari, namun mereka tetap bersikukuh itu bukanlah perda, tapi masih merupakan usulan masyarakat Kristen Papua, khususnya GKI, dan itu wajar saja, apalagi itu harus melewati pembahasan bersama, dan tentu saja nilai-nilai yang bersifat diskriminatif terhadap agama-agama lain tidak akan disetujui dalam arti akan mengalami revisi.

Secara tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, “Perda Manokwari Kota Injil belum pernah ada!” yang ada hanyalah usulan dari masyarakat Kristen, usulan tersebut telah kami terima, namun itu mesti melewati team legislasi, untuk kemudian disusun dalam bentuk perda, dan dalam proses penyusunan itu bisa saja bagian-bagian yang dianggap diskriminatif itu dihilangkan, apalagi usulan itu dihadirkan sebagai respons terhadap pidato-pidato tentang Manokwari Kota Injil, ada pertanyaan, jika Manokwari Kota Injil, isinya apa, dan usulan yang dituangkan dalam bentuk format perda itu adalah usulan dari isi Manokwari Kota Injil.

Hal itu juga ditegaskan kabag hukum Manokwari, menurutnya Perda Manokwari Kota Injil, yang usulan awalnya adalah Perda pembinaan Mental dan Spiritual itu bukan perda agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai-nilai Injil yang adalah perintah Tuhan, dengan perda yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri. Jadi kami menampung usulan itu dan akan disusun oleh team legislasi dalam bentuk bentuk format raperda untuk kemudian diadakan pembahasan, dan kemungkinan pembahasan itu akan dilaksanakan bulan januari 2008. Ia juga mengatakan, dalam raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua.

Sekda Manokwari juga mengatakan, bahwa pemerintah daerah sendiri masih menunggu perdasus yang akan memayungi usulan itu, karena Majelis rakyat Papua pernah membuat ketetapan bahwa Manokwari daerah berbasis religius Kristen, Fak-fak, Muslim, dan Merauke berbasis agama katolik, jadi jelas tidak ada diskriminasi disana, itu justru untuk menjaga kedamaian antar umat beragama di Papua yang sejak lama terjaga dengan baik, dan dengan makin terbukanya Manokwari sebagai konsekwensi menjadi ibu kota provinsi, membanjirnya pendatang ke Manokwari tentu saja tak dapat dihindari, dan untuk itu perlu aturan untuk tetap menjaga keindahan manokwari. Namun, menurut Kabag Hukum Manokwari, usulan dari komunitas Kristen itu baik, hanya saja tentu tidak boleh mengatur hal-hal yang berkenaan dengan umat beragama lain. Memang ciri khas kota Injil dengan keceraiannya perlu ada. Meski ia juga mengatakan telah berkonsultasi dengan depdagri, bahwa yang bisa mengatur perda agama itu hanya Aceh, sedang Papua mesti berdasarkan budaya, usualan itu juga sudah mendapat kajian apakah bertentangan dengan HAM atau tidak. Ia juga mengatakan, pusat memang telah menyatakan penolakannya, tapi mereka belum melihat. Ia juga mengakui dalam draft usulan itu ada point-point yang bersifat diskriminatif, tapi itu akan dihilangkan.

Menurut Pdt Sherley, dalam semiloka yang menggagas usulan perda kota Injil itu umat Kristen yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat suatu perda yang akan membuat masyarakat Manokwari hidup yang menjadikan ciri Manokwari sebagi kota Injil. Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh diijinkan ditetapkan perda syariah, maka mengapa kami tidak boleh menetapkan perda kota Injil, lagi pula perda koyta Injil berbeda dengan perda syariah yang diskriminatif, sedang perda kota injil tidak bersifat diskriminatif,

Kehadiran perda itu memang diharapakan khususnya oleh masyarakat Kristen Papua, meski itu pun masih menjadi polemik dalam gereja-geraja, tapi pada prinsipnya mereka sepakat, jika usulan itu akan dijadikan perda perlu ada dialog dengan semua kelompok agama yang ada di Papua, dan mesti mendengarkan masukan dari komunitas agama-agama lainnya.

Menurut Pendeta Bastian sanbalai, salah seorang pembicara dalam semi loka dan yang juga memberikan kontribusi usulan untuk pembuatan perda pembinaan mental dan spiritual itu, aturan yang akan ditetapkan dalam perda itu adalah nilai-nilai yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai universal itulah yang kami usulkan, jika kemudian ada usulan-usulan yang tampak berisi nilai-nilai yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan, hanya saja memang perda itu merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari usaha-usaha islamisasi yang gencar dilaksanakan di Papua. Misalnya saja tentang penggunaan Jilbab, ia berkomentar, itu merupakan atribut Islam, yang otomatis juga media penyebaran agama, kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai seragam khusus, mengapa mesti ada perbedaan atau kekhususan? Jadi, tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. Komentar ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama lainnya dan juga pejabat di kabupaten Manokwari.

Selain tentang penggunaan Jilbab, yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut mereka adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu, tokoh-tokoh agama, menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya pengojek lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal itu juga dinyatakan oleh anggota DPRD Propinsi, ia mengatakan, dulu kami tidak ada yang bekerja pada hari minggu, hari itu adalah untuk beribadah, tapi kini, hari itu tidak lagi dipedulikan, karena itu perlu aturan untuk mengingatkannya.

Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini.

Sedang mengenai ijin pendirian tempat ibadah, itu semua sudah diatur oleh pemerintah, jadi wajar saja jika kita meminta mesjid pun perlu mendapatkan ijin dari masyarakat, setidaknya harus mendapatkan ijin dari 150 anggota masyarakat setempat. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi kami perlu memberikan proteksi pada umat kami, agar kehadirannya juga dihargai, dan kami tidak mencontoh Aceh yang mengharuskan semua orang non Muslim di Aceh Berjilbab, kami hanya meminta ada keteraturan, untuk menjaga toleransi yang telah tertanam kuat di Papua ini terjaga dengan baik.

Wakil Ketua DPRD Papua, Amos, mengatakan, jika usulan itu berupa perda pembinaan mental dan spiritual tentu saja saya menyetujuinya. Realitas degradasi moral yang terjadi di Papua memerlukan penanganan yang serius, kehadiran perda larangan minuman keras meski belum maksimal, setidaknya telah mengubah Manokwari menjadi lebih aman, khususnya dari ancaman para pemabuk yang sering mengganggu, baik rumah-rumah penduduk, maupun pedagang dan pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor, karena itu demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua yang dulunya telah mengalami pembaharuan oleh Injil. Maka perda itu diperlukan.

Pdt. Dimara mengatakan, dulu tempat kami ini aman, tidak ada pencuri, jika ada barang hilang, atau tertinggal dimanpaun tidak ada orang yang akan mengambilnya. Tapi, sekarang jika kita tidak hati-hati barang-barang kita bisa dicuri orang, demikian juga jemuran pakaianpun bisa diambil pencuri, ini adalah bukti kemerosotan moral yang terjadi, belum lagi dengan banyaknya pemabuk, yang membuat mereka tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan juga mengganggu orang lain, itu adalah bukti telah lunturnya nilai-nilai injil di Papua. Untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut perlu dihadirkan suatu perda yang akan menjadi panduan bagaimana seharusnya masyarakat Papua hidup di Kota Injil ini.

VI. Pemasangan Plang-Plang manokwari Kota Injil

Setelah semiloka yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan spiritual itu, maka di kota Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat indah yang berisi pernyataan “Manokwari Kota Injil”, pada pinggir jalan masuk kota manokwari juga terpampang tulisan “Selamat Datang Di Manokwari Kota Injil, Tuhan Memberkati.” Plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil itu juga terpampang disudut-sudut jalan Manokwari, bahkan sampai kedesa-desa, deklarasi Manokwari kota injil dengan pemasangan plangh-plang itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis perwakilan YPPII di pasang setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda Manokwari Kota Injil. Beberapa pendeta gereja di luar GKI memang mengatakan bahwa, ketika pemasangan plangh-plang tersebut mereka tidak dilibatkan, tetapi kemudian ketika timbul masalah, adnya penolakan, mereka kemudian dilibatkan, itu adalah bukti bahwa perda manokwari kota Injil masih berada dalam tahapan wacana, meski umumnya mereka juga mengakui bahwa Manokwari Kota Injil adalah harga mati, namun jika sampai berbentuk perda beberapa tokoh agama berpendapat perlunya berdialog dengan umat agama-agama lain, dan itu memerlukan diskusi yang cukup panjang.

Plang-plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang amat indah, atau yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi assesoris yang memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan alamnya, dan juga kesuburan tanahnya. Itu juga berarti sebutan Manokwari kota Injil tampaknya tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Muslim Papua, sudah terbiasa mendengar sebutan manokwari kota Injil, karena memang di kota itu setiap tahun diadakan perayaan besar menyambut masuknya Injil ditanah Papua. Dan Pemimpin Muslim Papua sendiri telah menyatakan penerimaannya, karena mereka percaya nilai-nilai inil itu adalah nilai-nilai yang universal yang juga baik untuk semua. Terlebih lagi, bagi masyarakat Papua agama adalah agama keluarga, jadi mereka telah terbiasa dengan toleransi dalam keragaman agama, sehingga kehadiran plang-plang manokwari yang terkait dengan realitas sejarah itu tidak mengancam mereka.

Meski terlihat ada keragaman pandangan mengenai perda manokwari kota Injil, tokoh-tokoh agama di Papua umumnya setuju bahwa pernyataan dua missionary jerman, yaitu Ottow dan Geisler yang mengatakan, dalam nama Tuhan kami menginjak tanah ini, merupakan peryataan Tuhan bahwa Manokwari adalah kota Injil. Terlebih lagi sejarah membuktikan bahwa Manokwari adalah kota pertama yang mengalami kemajuan di Papua, dan melalui injillah orang Papua bisa menjadi pendeta-pendeta, dan pejabat-pejabat, tanpa injil itu tidak mungkin terjadi. Secara ekstrem mereka mengatakan, yang pertama ada di Papua adalah Injil bukan negara, jadi yang membawa perubahan untuk Papua adalah Injil, jadi penghormatan terhadap Injil mesti ada, karena itu adalah kekuatan Allah. Banyak denominasi gereja di papua dapat disatukan dengan kesadaran yang sama bahwa mereka menerima Injil atas jasa dua orang missionary Jerman itu, sehingga kesadaran itulah yang tampak menyatukan mereka dalam keragaman pandangan tentang perda kota Injil.

VII. Kontroversi Sekitar Perda Kota Injil

Pdt. Gereja Bethel Tabernakel yang telah melayani 32 tahun di Papua dan kini telah berusia 56 tahun berkomentar, “Kota Injil bagi kami adalah harga mati!” Pernyataan itu bukanlah sesuatu yang diungkapkan dengan semangat heroik yaitu untuk melawan orang-orang yang tidak menyetujui dengan sebutan Manokwari Kota Injil, melainkan suatu pernyataan yang didasarkan keyakinan yang teguh bahwa Tuhanlah yang menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil yang didasarkan pada peristiwa historis, karena itu meski tanpa pengakuan dari pemerintah sekalipun keyakinan bahwa manokwari Kota Injil akan tetap dipegang teguh oleh masyarakat Kristen Papua.

Memang, tidak sedikit diantara tokoh-tokoh agama di Manokwari yang bersikukuh bahwa formalisasi sebutan Manokwari kota Injil adalah hak mereka yang harus dipenuhi, karena itu terkait dengan nilai-nilai dasar masyarkat Papua. Penetapan Manokwari sebagi Kota Injil diperlukan untuk mendorong masyarakat hidup menyesuaikan dengan daerah dimana mereka tinggal.

Dapat dipahami bahwa masalah formalisasi sebutan Manokwari kota Injil sesungguhnya masih penuh pro dan kontra, beberapa orang tokoh agama di luar GKI masih menganggapnya hanya sebagai wacana, karena dirasa belum jelas apa sesungguhnya tujuan dari dihadirkannya penetapan kota Injil, apalagi ditengah masyarakat Manokwari yang kini telah menjadi sangat heterogen, dalam ungkapan tokoh-tokoh agama yang menyebut diri sebagai gereja-gereja aliran pertobatan, perda kota Injil tidaklah diperlukan. Pdt Jefrey, seorang pendeta dan dosen di sekolah Alkitab Manokwari mengungkapkan, yang diperlukan adalah kebebasan untuk memberitakan Injil, bukan aturan yang menghambat kebebasan agama-agama lain. Ia juga berpendapat, pelajaran dari sejarah gereja, diamana gerja-geraja menjadi kelompok mayoritas dan kemudian memakai tangan negara untuk memaksakan ajarannya terbukti membawa gereja pada dunia yang gelap, seperti abad pertengahan, karena itu formalisasi agama tidak diperlukan, menghadirkan diri sebagi orang beragama yang hidup benar lebih penting dari pada memaksakan ajaran agama, bahkan diakui, ada ketakutan jika memang usulan itu dijadikan perda itu akan mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang berkeberatan, dan juga bahaya eksklusifisme.

VIII. Penutup.

Usaha untuk menghadirkan perda pembinaan mental dan spiritual yang kemudian dikenal menjadi perda kota injil memang diakui sebagai usaha agama memberikan kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran publik agama itu dipegang kuat sebagai sesuatu yang adalah hak masyarakat Papua, apalagi disana mereka mengatakan tak ada usaha pembelengguan kebebasan beragama. Hukum yang akan dihadirkan adalah hukum yang membuat semua agama-agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Namun, karena usulan itu belum didialogkan dalam komunitas yang lebih luas dalam komunitas agama-agama, wajar saja ada efek samping dari keterbatasan pengetahuan agama-agama itu. Kesediaan tokoh-tokoh agama sebagai penggagas menunjukkan adanya keinginan untuk memberikan kontribusi bagi terciptanya kehidupan masyarakat di Manokwari yang damai.

Peran publik agama yang coba ditawarkan agama kemudian juga mengalami bias dengan kondisi ekonomi masyarakat Papua yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin, apalagi ketika diperhadapkan dengan pendatang yang jauh lebih kaya, dalam hal ini umat Muslim, hal itu terlihat dengan penekanan pada nilai-nilai Kristen yang adalah isi perda kota Injil yang kemudian ingin dipaksakan. Berangkat dari hak untuk memberikan kontribusinya, komunitas agama kemudian ingin memaksakan kebenaran pandangannya pada komunitas lain, dan itu terjadi karena adanya perasaan terancam dari masyarakat Kristen Papua.

Demi untuk memuluskan jalan bagi diberlakukannya perda kota Injil, GKI dalam hal ini sebagai pihak penggagas baik perihal sebutan Manokwari sebagai kota Injil maupun kehadiran perda kota injil, berusaha menggandeng Gereja-gereja lain yang sebenarnya juga ada yang memiliki pandangan yang bersebrangan. Polarisasi agama dalam agama, dalam hal ini Kristen bertujuan untuk mencapai tujuan penetapan raperda kota Injil.

Peran publik agama yang coba diusahakan ternyata telah menjadi bias, karena disana tersimpan semangat hegemoni agama, hal itu semakin diperparah dengan adanya kebangkitan mereka yang menolak untuk didiskriminasikan, dalam hal ini komunitas Mulim yang kemudian juga menyatu, yaitu antara muslim Papua dan muslim pendatang. Polarisasi agama pu terjadi tidak hanya di kalangan Kristen yang mencoba inginmenggolkan apa yang mereka anggap baik, namun itu juga terjadi di kalangan muslim yang merasa terdiskriminasikan.

Polarisasi agama itu mungkin saja tidak disadari, namun itu tetap saja membahayakan. Pada kondisi ini pendekatan yang hati-hati dengan menghadirkan dialog antara mereka yng berbeda pendapat tersebut merupakan kebutuhan penting, itu juga disadari oleh kalangan Kristen sebagai penggagas. 

Kontroversi terkait kota Injil memang sudah berlalu, tapi persoalannya bisakah kita belajar dari persoalan-persoalan itu untuk bersikap bijak pada masa kini dan masa lampau.

Kebijakan publik di negeri ini perlu diselaraskan dengan Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama, agar kebhinekaan negeri ini tetap terawat dalam kesatuan. Nehgara Kesatuan republik Indonesia perlu dijaga dengan serius. 

Penelitia di Manokwari tahun 2007.

Dr. Binsar A Hutabarat, S.Th., M.C.S.M.Th.


https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/belajar-dari-kontroversi-perda-kota-injil.html



Belajar dari Masyarakat Adat Saat Covid









Pemerintah kota di Indonesia perlu belajar dari masyarakat adat dalam menangani covid-19. Setidaknya dalam mengatur arus masuk dan keluar pengunjunga kota-kota itu.



Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mungkin cocok mencontoh kehidupan masyarakat Adat. Saat saya berada di Desa Sinar Resmi, masuk keluar orang dari desa tersebut terpantau dengan baik. Bahkan mereka yang berkunjung ke desa tersebut mendapatkan tempat tersendiri dalam pemantauan pimpinan desa. Mungkin itulah sebabnya, penyebaran Covid 19 tidak begitu terdengar melanda daerah masyarakat adat yang tertata dengan baik dengan aturan adat yang dipatuhi masyarakat desa. Berbeda dengan penerapan PSBB di Provinsi DKI Jakarta yang sarat pelanggaran.


Masyarakat adat melekat dengan agamanya, berarti juga melekat dengan aturan yang ditaati masyarakat sebagai standar hidup bersama. Ketaatan pada aturan adat menjadikan toleransi dalam msyarakat adat tertata dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka menghormati masyarakat dalam daerah urban saat ini berarti juga menghormati agama dan kepercayaan masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat perlu tetap diproteksi dalam masyarakat urban. Karena menjaga eksistensi masyarakat adat adalah merawat nilai-nilai toleransi yang secara bersamaan juga merawat NKRI.


Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Kebebasan memilih agama dan kepercayaan adalah hak dari Tuhan, karena suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia. Kebebasan hati nurani menjadi hak asasi yang paling mendasar. Dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara. Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM).


Kebebasan hati nurani merupakan kunci kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Tanpa kebebasan hati nurani tidak mungkin tercipta ruang publik yang sehat yang mensyaratkan kerelaan setiap anggota masyarakat untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya. Dan itu bisa diwujudkan di negeri ini jika Kepercayaan diposisikan setara dengan agama-agama resmi. Masyarakat adat


Menegasikan masyarakat adat, penganut agama suku, aliran kepercayaan yang menjadi identitas masyarakat adat, serta menjadikan mereka warga kelas dua di negeri ini, sama saja dengan menghianati perjuangan kemerdekaan indonesia yang dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia, termasuk didalamnya adalah masyarakat adat, mereka yang menganut agama suku dan aliran kepercayaan. Karena itu, kolonialisasi terhadap agama suku dan aliran kepercayaan tidak boleh terjadi di negeri toleran ini.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/belajar-dari-masyarakat-adat-saat-covid.html


NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK

 SINOPSIS DISERTASI POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK FIELD HIGHER EDUCATION EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIF...