Akreditasi Belum Menghadirkan Pendidikan Berkualitas. Pemerintah perlu bekerja keras untuk menghadirkan kader-kader bangsa berkualitas.
Pada waktu penetapan kewajiban akreditasi pendidikan tinggi tahun 2012, ada yang menarik terkait hal itu. Kebijakan yang bertujuan melindungi masyarakat untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi berkualitas, bagi sebagian pengelola pendidikan tinggi teologi justru dianggap bahwa keputusan itu dianggap malapetaka, dan pemerintah dicurigai sengaja mematikan pendidikan tinggi teologi Kristen secara khusus yang jumlahnya hampir dua kali lipat jumlah sinode yang ada di indonesia.
Penelitian penulis terkait pendidikan tinggi teologi di Indonesia sangat mencengangkan, karena bukan hanya luaran pendidikan tinggi teologi itu saja yang tidak jelas dengan banyaknya denominasi gereja, karena setiap pendidikan tinggi dibawah gereja wajib melestarikan doktrin gereja pendiri.
Lulusan STT yang tidak diterima pada gereja pendiri harus bersusah payah untuk mencari tempat pelayanan atau tempat kerja pada denominasi gereja yang berbeda. Mungkin itulah sebabnya banyak terjadi pendirian gereja baru sebagai jalan pintas mendapatkan peluang kerja, yang kemudian juga mendirikan pendidikan teologi baru.
Berburu Ijazah Pendidikan Terakreditasi
Akreditasi ternyata menimbulkan masalah baru. Ijazah dari pendidikan tinggi teologi terakreditasi menjadi barang dagangan dan diburu banyak mahasiswa, secara khusus untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri, atau pada pendidikan-pendidikan formal.
Dengan pengahapusan ujian negara untuk pendidikan tinggi teologi yang kemudian disebut ujian penanandasah ijazah dari pendidikan yang belum terakreditasi. Ada kabar sumbang tentang manipulasi terkait ujian negara dan ujian penjaminan mutu yang menggelontorkan ijazah-ijazah pada lulusan tak berkualitas.
Dengan dihapusnya ujian negara dan ujian penjaminan mutu, terjadilah perpindahan ujian dan “penandasah ijazah”jika tidak ingin disebut ijazah “bodong”dari pemerintah ke sekolah yang terakreditasi dengan berbagai model manipulasi.
Sekolah terakreditasi bergerilya menawarkan ijazah kepada mahasiswa dari sekolah yang belum terakreditasi, meski sudah memiliki ijin penyelenggaraan yang resmi. Bukannya Program “double degree”yang dilakukan, sebaliknya transfer mahasiswa secara massal.
Pencurian domba ternyata bukan hanya terjadi antar gereja, tetapi juga antar perguruan tinggi teologi. Yang mengherankan, bagaimana mungkin mereka yang belajar dalam pendidikan tinggi tertentu kemudian berbondong-bondong mendapatkan ijazah dari pendidikan tinggi teologi lain?
Kita kerap mendengar perdebatan itu terjadi di media sosial, salah satu teguran terlontar dari Pdt. Mangapul Sagala dari STT Trinity yang berang karena tiba-tiba mahasiswanya yang sedang cuti kuliah dapat diwisuda di STT lain. Siapa yang bermain disana?
Mengapa Prodi Pak “Booming”?
Peluang kerja lulusan program studi teologi yang makin kecil mengakibatkan pendidikan tinggi teologi beralih pada penyelenggaraan program studi PAK. Akibatnya, saat ini pendidikan tinggi teologi dengan program studi teologi makin kekurangan mahasiswa, sedang program studi PAK lebih diburu karena peluang kerja lebih luas.
Mungkin Itulah sebabnya Sekolah Tinggi Agama Kristen milik pemerintah makin berkibar, dan beberapa sudah beralih menjadi Institut dan diharapkan akan menjadi universitas sebagaimana juga terjadi pada sekolah tinggi pendidikan keagamaan Islam yang telah menjadi universitas.
Untuk pendidikan tinggi teologi yang tetap saja kekurangan mahasiswa, meski telah terakreditasi, karena memang akreditasi tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan tinggi, maka terjadilah kampus-kampus bayangan di desa-desa untuk mendapatkan pasokan mahasiswa.
Tidak jarang daerah-daerah pemasok mahasiswa itu berasal dari STT yang belum terakreditasi, dan dibiarkan tidak terakreditasi dengan harapan ada pasokan mahasiswa dari daerah untuk STT-STT di kota-kota yang makin tidak diminati calon-calon mahasiswa.
Peningkatan mutu pendidikan tinggi di indonesia memang pelik, selain SDM nya sangat minim, tetapi pertambahan pendidikan tinggi teologi terus terjadi. Moratorium juga bukan jalan pintas. Karena pendidikan tinggi yang terlanjur berdiri dengan kualitas yang rendah justru diuntungkan, apalagi tidak ada tindakan tegas. Gereja, masyarakat dan pemerintah perlu bekerja keras secara khusus untuk membenahi pendidikan tinggi teologi di Indonesia.
Apabila gereja, masyarakat dan pemerintah tidak membenahi pendidikan di Indonesia, maka buka hanya pemimpin gereja yang tidak berkualitas yang akan hadir dinegeri ini, tetapi juga pejabat-pejabat publik yang tidak berkualitas. Kiranya Tuhan mengampuni dosa-dosa kita yang melayani di pendidikan tinggi teologi dan keagamaan Kristen Indonesia.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat