Konflik antarkelompok agama merupa isu yang kerap menjadi perhatian besar di Indonesia, khususnya di era reformasi.
Konflik antaragama di banyak tempat bisa dikategorikan sebagai bencana nasional, dalam arti telah membahayakan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia.
Konflik dalam kategori bencana nasional ini bukan hanya mengakibatkan korban materi tetapi juga, korban luka-luka dan korban meninggal dunia. Itulah sebabnya, wajar saja jika konflik antaragama yang terus berlangsung hingga saat ini menjadi perhatian banyak pihak di negeri ini.
Toleransi yang awalnya menjadi modal sosial untuk terciptanya integrasi bangsa pada era reformasi kerap mengalami pasang surut. Akibatnya proses integrasi bangsa bukan hanya mengalami hambatan, tetapi kecurigaan antarkelompok semakin kuat, bahkan tidak jarang hanya gara-gara karena persoalan sepele, konflik antaragama bisa meletus, dan sulit untuk dipadamkan.
Laporan tentang kekerasan antarumat beragama yang menunjukkan pasang surut tingkat toleransi masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diterbitkan oleh banyak lembaga kajian, seperti SETARA Institute, Wahid Institute, Interseksi dll.
Penelitian mengenai faktor-faktor determinan toleransi antaragama yang pernah dilakukan oleh lembaga kajian Interseksi, yang dituangkan dalam buku Komunalisme dan Demokrasi, menjelaskan bahwa komunalisme merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tergerusnya toleransi antaragama di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama pada tahun 2010 tentang Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri), menunjukkan bahwa kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap toleransi beragama mahasiswa. Lingkup penelitian ini menduga ada faktor agama dalam toleransi antarkelompok masyarakat di Indonesia.
Pada sisi lain, keragaman adalah realitas Indonesia yang tidak bisa ditolak. Keragaman adalah elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) Indonesia, yang terlihat jelas dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu) secara jelas menyatakan bahwa keragaman Indonesia tidak bisa dihomogenisasi.
Indonesia adalah satu dalam keragaman. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu telah mengantarkan Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang mampu memelihara realitas keragamannya dan mendapatkan manfaat dari keragaman tersebut. Dalam hal keragaman agama, toleransi antarumat beragama juga merupakan modal sosial yang menjadi kunci keberhasilan Indonesia, dan harus terus dipelihara untuk menjaga keutuhan Indonesia
Toleransi antaragama di Indonesia tidak selalu terjaga dengan baik. Ada banyak konflik bernuansa agama yang mengubah wajah Indonesia—yang terkenal dengan toleransinya—menjadi negara yang penuh kekerasan antaragama.
Entah sudah berapa kali kekerasan bermotif agama yang sangat merisaukan terjadi, terutama di era reformasi ini. Konflik bermotif agama tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, tetapi juga nyawa manusia. Ironisnya negara seakan tidak hadir.
Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa berdarah yang terjadi dalam kurun 1998 – 2000 di Ambon, Maluku. Saat itu pecah kerusuhan berkepanjangan antarkelompok masyarakat beragama yang melibatkan kelompok Kristen dengan Islam.
Konflik yang berlangsung bertahun-tahun dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda itu padahal bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan sopir angkutan kota. Kemudian meluas menjadi konflik antara kelompok masyarakat Ambon dan kelompok Masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar.
Karena konflik tersebut kemudian membawa-bawa agama, maka kemudian menjadi konflik antara kelompok masyarakat Kristen Ambon dengan kelompok masyarakat Islam Ambon. Konflik ini menjadi salah satu konflik terbesar dan terlama di negeri ini, dan dapat dikatakan sebagai bencana nasional yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, serta harta benda.
Konflik yang membawa-bawa nama agama juga terjadi di Maluku Utara yang melibatkan dua kelompok masyarakat yang berbeda agama.
Konflik dalam skala besar juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Laporan jurnalistik menyebutkan konflik Poso sebagai tragedi tiga babak. Pertama tanggal 25-30 Desember 1998; Kedua 15-21 April 2000; Ketiga, tanggal 23 Mei – 10 Juni 2001. Ditilik dari sisi dinamika kelompok (in group- out group), kerusuhan ini merupakan konflik horizontal antara kelompok Islam dan Kristen.
Konflik yangbbermula dari perkelahian antarpemuda (kriminal) itu berkembang menjadi kerusuhan bernuansa SARA yang tidak terkendali, mengakibatkan tumpulnya pemerintahan, perekonomian, transportasi dan aktivitas masyarakat.
Agama ternyata bukan merupakan pemicu utama, tapi lebih berperan sebagai faktor pengiring yang datang belakangan, dimanfaatkan selaku penggalang solidaritas.
Konflik yang sama juga sempat melanda masyarakat Tolikara, Papua, tepatnya pada 17 Juli 2015 lalu. Konflik ini diduga ada kaitannya dengan agama, karena menyasar kelompok agama tertentu dan juga rumah ibadah.
Pada peristiwa ini bukan hanya gedung bangunan yang menjadi sasaran amuk massa, tapi juga menyebabkan seorang warga meninggal dunia, dan beberapa orang lainnya terluka parah.
Belum tuntas persoalan itu, konflik antarwarga berbeda agama meletup di Singkil, Aceh, pada pertengahan Oktober 2015. Dengan alasan tidak memiliki izin, beberapa gereja menjadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa menuntut agar tempat-tempat ibadah umat kristiani tersebut ditutup selamanya.
Pada peristiwa itu bukan hanya rumah ibadah yang dibakar, namun juga ada korban meninggal dan luka-luka, dan ribuan orang mengungsi.
Kita harus mengakui, Indonesia yang sejak dulu terkenal dengan keramahtamahannya, telah berubah menjadi negara yang kerap diwarnai kekerasan bernuansa agama. Kondisi ini semakin diperparah oleh oknum- oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ‚menjual‛ agama untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri. Hal ini jamak terjadi pada pilkada atau pemilu. Ada saja pihak- pihak yang tidak sungkan memainkan isu agama dalam rangka menjegal lawan politiknya. Contoh terkini adalah menjelang Pilkada DKI 2017. Namun saat ini suhu politiknya sudah sangat membara. Unsur SARA sangat terang-terangan digunakan oleh banyak pihak yang tidak menginginkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terpilih kembali menjadi gubernur DKI untuk periode 2017 – 2022. Statemen bahwa ‚haram hukumnya memilih pemimpin yang berasal dari agama lain‛, menjadi kalimat andalan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menjegal lawan politiknya yang kebetulan tidak seagama.
Dapat dikatakan, kondisi-kondisi semacam ini yang bisa berujung pada konflik antaragama di negeri ini, amat mengkhawatirkan, dan dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Singkatnya, kemajemukan masyarakat Indonesia kini bisa jadi bukan lagi menjadi modal dasar pembangunan, tapi justru menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia. Munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, merupakan indikator dari persoalan tersebut.
Kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun berbalik arah menuju ke arah intoleransi yang makin menebal. Kenyataan ini ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga antaragama di masyarakat.
Umat GKI Yasmin, Bogor sejak beberapa tahun lalu terpaksa menggelar ibadah minggu di depan Istana Merdeka Jakarta, karena gereja mereka disegel massa. Belakangan jemaat HKBP Filadelfia Bekasi turut bergabung, karena alasan yang sama: gereja mereka disegel massa. Nasib yang sama juga kerap menimpa umat Ahmadiyah di berbagai tempat. Mereka dilarang beribadah dan tempat ibadah mereka disegel massa. Dan ada banyak kejadian serupa yang tidak mungkin diurai satu per satu. Ironisnya, negara tidak berbuat apa-apa, bahkan seolah membiarkan aksi- aksi sepihak massa intoleran itu berlangsung dengan leluasa.
Timbul pertanyaan, apakah tingkat toleransi antaragama di negeri ini memang sudah berada dalam keadaan darurat dan memerlukan perhatian khusus untuk bisa kembali kepada kondisi awal saat perjuangan kemerdekaan? Dan siapakah yang harus bertanggung jawab untuk menumbuhkan dan meningkatkan toleransi antaragama di negeri ini?
https://www.binsarhutabarat.com/2021/03/toleransi-antaragama-di-indonesia.html