Monday, March 22, 2021

Landasan Teologi Pendidikan

 




Indonesia adalah negara yang menempatkan agama pada posisi yang terhormat, sila pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” dengan tegas menyatakan keyakinan bangsa Indonesia akan posisi penting agama. 



Mengenai pengertian  sila pertama itu Soekarno menjelaskan demikian: 

Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja karena bangsa Indonesia  bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, sesuai keyakinan masing masing. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk  Isa  Almasih, Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW.  ibadahnya menurut petunjuk kitab-kitab  mereka, dan  seterusnya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah  negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara  leluasa.  Segenap rakyat Indonesia hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya  egoisme agamadan hendaknya negara Indonesia  satu negara  yang bertuhan. 

 

Posisi penting agama dalam kehidupan bangsa Indonesia sesungguhnya juga terkait dengan peran penting agama-agama yang ada di negeri ini dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, Agama-agama terus di dorong untuk memberikan peran postifnya dalam pembangunan bangsa.

Berbeda dengan di Barat yang menempatkan agama hanya pada ruang privat agama saja, di Indonesia agama diijinkan ada pada ruang publik. Karena itu nilai-nilai agama yang ada di ruang publik itu semestinya juga dapat memberikan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. 

Nilai-nilai agama yang penting itu bisa jadi landasan bagi pendidikan di Indonesia, apalagi tujuan pendidikan nasional secara tegas dinyatakan dalam pembukaan undang-undang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) 2003 menekankan pada keimanan dan ketaqwaa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam bangsa yang diatur dengan undang-undang; Pasal 1 (Sisdiknas 2003) menyatakan bahwa Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Tulisan ini secara khusus akan menguraikan mengenai apakah nilai-nilai agama di Indonesia bisa menjadi landasan pendidikan nasional, dan apakah implikasinya bagi pembangunan pendidikan di Indonesia.

 
Agama dan Teologi

Agama adalah aturan atau tatacara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Agama juga disebut pedoman hidup manusia, pedoman bagaimana ia harus berpikir, bertingkah laku dan bertindak, sehingga tercipta suatu hubungan serasi antar manusia dan hubungan erat dengan Yang Mahapencipta. 

Agama dapat menjawab pertanyaan tentang berbagai hal terkait hakikat hidup manusia, tujuan hidup, pedoman tentang salah benar. Jadi agama sangat penting bagi kehidupan manusia.   

Umat beragama senantiasa berusaha mengenal apa yang dipercayanya, untuk itu umat beragama harus mengerjakan teologi. Kata “teologi” berasal dari dua kata Yunani: yaitu, theos yang berarti “Allah,” dan logos yang berarti kata atau pikiran. Secara etimologis teologi berarti berkata atau berpikir tentang Allah.  

Untuk agama-agama yang memiliki kitab suci, pada umumnya teologi didasarkan pada kitab suci, karena pengetahuan tentang Tuhan itu bergantung pada penyataan Allah yang dicatat dalam kitab suci. Sebagai sebuah ilmu, teologi berarti sebuah usaha sistematis untuk mengetahui apa yang tertulis di dalam kitab suci. 

Karena itu untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah yang mendalam, dan juga hal-hal terkait dengan tujuan hidup manusia, hakikat manusia, umat beragama itu mengerjakan teologi. Pekerjaan berteologi ini menuntut persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat mengahsilkan pemikran teologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Indonesia mengaku kehadiran agama-agama besar, namun juga kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa (religi). Usaha berteologi juga tetap bisa dilakukan oleh religi-religi itu, yakni dengan metode yang mereka yakini. Jadi mengerjakan teologi sebenarnya bisa dilakukan oleh semua agama dan kepercayaan. 

Kemudian untuk mendapatkan ajaran tentang pendidikan yang dapat digunakan sebagai landasan teologi pendidikan, maka perlu dilakukan usaha berteologi untuk mendapatkan ajaran agama dan kepercayaan tentang pendidikan. Usaha ini dapat dilakukan oleh semua agama. Kemudian nilai-nilai universal yang ada dalam ajaran agama-agama tentang pendidikan ini dapat dijadikan landasan pendidikan di Indonesia.

Landasan teologi pendidikan ini penting karena bukan saja undang-undang pendidikan menyatakan bahwa yang menjadi tujuan pendidikan  meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia. 

Tujuan itu secara tegas mengatakan bahwa teologi mestinya menjadi landasan pendidikan indonesia. Namun, satu hal yang perlu diwaspadai bahwa yang patut mengerjakan teologi dalam hal ini bukan hanya agama-agama besar yang memiliki kitab -kitab suci, tetapi semua agama di Indonesia, termasuk agama-agama suku dan kebatinan. Karena istilah “ketuhanan yang maha esa” tidak boleh ditafsirkan secara teologis.  TB Simatupang mengatakan secara tegas bahwa

Sila pertama bukanlah “kepercayaan kepada Allahtetapi lebih berarti kepercayaan kepada “ide ketuhanan, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah “Allahtetapi istilah yang lebih netral, “Ketuhanan. Kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang ke-allahan. Ia berbicara tentang keilahian. 

Ia berbicara tentang kepercayaan kepada sesuatu yang maha transenden. Sesuatu yang maha esa, mungkin ini terdengar sebagai suatu konsep yang amat samar samar, tetapi ia berhasil merangkul semuanya.  

Jadi, istilah teologi dan mengerjakan teologi ini untuk Indonesia tidak hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang memiliki kitab suci, tetapi juga agama-agama yang tidak memiliki kitab suci.

 

Pentingnya Landasan Teologi Pendidikan


Karena adanya berbagai agama dan keyakinan iman di Indonesia, pertanyaan dasar yang timbul adalah bagaimana agama dan keyakinan tersebut bisa memberikan kerangka etis religius bagi kehidupan bersama. 

Peran obyektif agama Indonesia di dalam memberikan bimbingan etis religius adalah membantu menciptakan “kebaikan bersama,” yang dikenal di dalam Islam sebagai mashlahah ‘ammah, dari masyarakat Indonesia.

Kebaikan bersama pada dasarnya adalah seluruh kondisi kehidupan masyarakat yang memungkinkan kelompok-kelompok sosial dan para anggotanya untuk secara relatif mendalam dan siap untuk mencapai pemenuhannya sendiri.” 

Dengan demikian kebaikan bersama adalah “kebaikan manusia secara keseluruhan yang membentuk masyarakat,” termasuk semua aspek material dan spiritual yang membentuk martabat manusia secara penuh.Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu bagi semua orang dengan keyakinan-keyakinan agama yang berbeda-beda, untuk bekerja sama di dalam melanjutkan dialog untuk mencapai secara sengaja sebuah konsensus mengenai konsepsi kebaikan bersama

“kebaikan bersama untuk semua orang dan bukan keuntungannya sendiri.” Tugas utama pemerintah dengan demikian adalah membela dan memajukan kebaikan bersama untuk semua warga negara. Pada titik ini, negara adalah alat, bukan tujuan. Negara dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk negara.” Menurut penulis dari keragaman agama dan budaya yang ada di Indonesia terdapat nilai-nilai agama yang menjadi nilai-nilai bersama semua agama yang dapat dijadikan landasan bagi pendidikan di Indonesia antara lain adalah ajaran agama-agama tentang manusia. 

Agama-agama dalam hal ini bisa mengerjakan telogi untuk menjelaskan mengenai hakikat manusia yang menjadi pusat dalam pendidikan.

Usaha agama-agama dan kepercayaan di Indonesia untuk mengerjakan teologi dalam menggali siapakah manusia itu sesungguhnya dapat menjadi landasan pendidikan di Indonesia, dan jika semua agama-agama itu dapat memberikan kontribusi postifnya, maka nilai-nilai manusia yang amat mulia yang dinyatakan agama dan kepercayaan itu akan menjadi landasan bersama pendidikan manusia Indonesia, dengan demikian keberhasilan pendidikan akan menjadi perjuangan bersama.  

 

Manusia mahkluk mulia 

Agama-agama di Indonesia umumnya setuju bahwa manusia mempunya dua dimensi yaitu dimensi rohani dan dimensi tubuh. Namun, kedua entitas yang berbeda itu tidak dapat dipahami secara terpisah, dimensi rohani dan dimensi tubuh itu tidak dapat dipisahkan, meski dapat dibedakan.

Menurut pandangan Kristen, dari sudut realitas rohani, manusia selalu mengaktualisasikan diri dalam relasi dengan Tuhan. Dalam hal ini jelas, agama adalah suatu dimensi dalam kehidupan rohani manusia. 

Manusia adalah mahkluk yang beragama. Paul Tillich mengatakan bahwa agama terletak pada kedalaman hati manusia yang lehadirannya tidak bisa ditolak. Semua manusia pada hakikatnya adalah manusia yang beragama.

Adanya dimensi rohani itu maka manusia mempunyai tugas dari Sang Pencipta yakni tugas pemeliharaan ciptaan Tuhan, dan pemenuhan tugas itu berorientasi pada tiga arah yakni Tuhan, diri sendiri dan dunia atau alam. 

Jadi manusia harus mengembangkan kreativitas budaya, dan relasi dengan alam karena manusia berkedudukan sebagai tuan atas alam, dan pemelihara  alam, dan pekerjaan ini dilakukan bekerja sama dengan sesamanya. Manusia diciptakan begitu mulia, semua manusia tak terkecuali memiki martabat yang sama, yaitu sebagai ciptaan yang mulia.

Menurut pandangan Kristen manusia juga merupakan mahkluk rasional, berarti manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu yang bisa diketahui manusia juga tuan atas segala mahkluk lain, oleh karena itu manusia wajib memanfaatkan segala sesuatu sesuai dengan panggilan ilahi yang berkaitan dengan setiap jenis ciptaan. 

Manusia tidak boleh mempebudak dirinya pada mahkluk lain atau orang tertentu. Sejajar dengan itu manusia dilarang memperbudak mahkluk lain terlepas dari hak masing-masing dalam rencana Allah. Setiap orang bertanggung jawab kepada Tuhan, Sang Pencipta. Manusia  wajib bertindak secara moral.

Manusia yang dicipta mulia itu juga memiliki kebutuhan antara lain: Manusia memiliki hak hidup, baik secara biologis maupun hidup dalam hubungan dengan penciptanya. 

Manusia membutuhkan pengetahuan tentang dunia sekitarnya, baik pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindra, akal dan iman. Pengetahuan itu akan menghindari manusia dari terjadinya banyak kesalahan dari pihak manusia. 

Manusia mempunyai kebutuhan untuk hidup merdeka, manusia membutuhkan kesempatan untuk hidup secara aktif agar memanfaatkan segala bakat dan tenaga. Memiliki harta benda yang cukup, membutuhkan kehidupan yang aman, manusia butuh dihargai dan dihormati. Manusia mempunyai kebutuhan disukai orang lain, karena itu ia perlu bertindak sopan dan bermoral. Tempat

Maka manusia bukan hanya memiliki kedalaman dengan Tuhan, tapi juga harus mengembangkan bakat-bakat yang diberikan untuk kesejahteraan umat manusia. Untuk itu perlu ada pendidikan, dalam hal ini pendidikan bukan hanya persoalan pengajaran agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupan manusia serta pemeliharaan alam.

Apabila agama-agama di Indonesia memberikan kontribusi mereka mengenai padangan teologi agama-agama tentang manusia, menurut penulis akan ada banyak hal kesamaan yang akan didapatkan, dan itu dapat dijadikan landasan teologi bersama untuk kemudian menjadi landasan pendidikan Indonesia.

 

Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan

Berdasakan landasan teologi di atas maka dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan adalah: Karena manusia memiliki dimensi rohani,  maka manusia harus mempertahankan sifat-sifat kebaikan sebagaimana yang ditentukan Tuhan di sepanjang sejarah hidupnya. 

Sebagaimana Tuhan bersifat pemilihara, maka manusia tidak berfungsi sebagai destroyer(perusak) dan pembina alam semesta. Sifat pemiliharaan Tuhan diwujudkan secara kongkrit oleh manusia dalam bentuk pengelolaan. Dan memang pada dasarnya manusia adalah pengelola alam. Dalam arti bahwa, segala bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan mempunyai relasi kebertautan antara satu sama lainnya. 

Dalam kerangka sikap seperti ini, manusia Pancasila adalah manusia yang memanfaatkan alam sekitarnya untuk kepentingan dan kemajuan manusia, sambil memberikan sumbangan tertentu yang memungkinkan terjadinya kontinuitas keberlangsungan hidup alam semesta itu sendiri. Manusia harus hidup memuliakan Allah dan bukan hidup untuk dirinya sendiri:

Karena manusia telah diciptakan segambar dengan Allah,maka semakin dekat gambar dengan modelnya , semakin mulia pula gambaran itu. 

Jadi agar manusia tidak kehilangan kemuliaan Allah dan karena itu merampas kepunyaan Allah, maka semua orang harus diajar untuk tidak berbuat dosa, tidak berbuat salah dan tidak gagal dalam panggilannya memenuhi jatidirinya yang segambar dengan Allah. Allah berkehendak agar manusia diajar untuk mengamalkan panggilan yang tinggi, yaitu kemuliaan Allah. 

Karena anugerah Tuhan manusia diampuni dosanya, dan hidup berdamai dengan Allah, maka perdamaian dengan Allah tersebut menjadi dasar bagi manusia untuk hidup dengan sesama. Tujuan pendidikan untuk membawa damai (Shalom) dalam dunia yang mengglobal, Sekolah Kristen harus mendidik siswa-siswa  untuk bekerja bagi dunia yang lebih baik, bukan hanya mencapai sukses pribadi.

Kitab suci Kristen menjelaskan bahwa manusia mendapatkan mandat budaya dari Sang Pencipta untuk memelihara dunia, pendidikan dalam hal ini menolong manusia untuk dapat mengelola alam secara bijaksana, dan dipergunakan secara maksimal untuk kepentingan semua umat manusia. 

Pendidikan penting untuk hadirnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Pendidikan dalam hal ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai hak-hak asasi manusia, karena itu sejak lama Gereja memprakarsai kesempatan bersekolah untuk mereka yang miskin. Disamping memberikan pendidikan dasar kepada semua warganya.  

 

Implikasinya terhadap Pendidik/guru

 Tepatlah apa yang dikatakan Undang-undang Guru guru dan Dosen UU No.14 tahun 2005 pasal 7 ayat 1, guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut; 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

Untuk mendidik manusia-manusia muda menjadi manusia mulia sebagaimana telah dijelaskan dalam landasan teologis tentang manusia yang menjadi landasan pendidikan implikasinya adalah guru sebagi pendidik haruslah orang-orang pilihan, tidak semua orang boleh menjadi guru, karena itu usaha untuk mempersiapkan guru-guru berkualitas sangat penting. 

Guru bukan hanya mampu menjadi teladan bagi siswa dalam kehidupan moralnya, tapi juga memiliki kemampuan yang tinggi pada bidang studi yang diajarnya.

Hubungan yang kuat antara guru dan peserta didik merupakan pusat proses pengajaran. Pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai cara, apalagi dengan penggunaan teknologi baru di dalam kelas yang telah terbukti efektif. 

Namun, untuk sebagian besar peserta didik, terutama mereka yang belum menguasai keterampilan berpikir dan belajar, guru tetap menjadi katalis penting. Demikian juga hal nya dalam kapasitas penelitian independen, kapasitas ini hanya mungkin setelah terjadi interaksi dengan guru atau mentor intelektual. 

Peran guru dalam keberhasilan proses pendidikan sesungguhnya amat krusial, apalagi pada tahap awal pendidikan dimana citra diri pelajar terbentuk. 

Tuntutan terhadap guru semakin tinggi pada  pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, kemampuan guru untuk memotivasi pelajar untuk hadir di sekolah amat penting untuk pelaksanaan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.

Profesionalisme guru merupakan tuntutan kerja seiring dengan perkembangan sains teknologi dan merebaknya globalisme dalam berbagai sektor kehidupan. 

Suatu pola kerja yang diproyeksikan untuk terciptanya pembelajaran yang kondusif dengan memperhatikan keberagaman sebagai sumber inspirasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. 

Guru sebagai tenaga pendidikan secara substantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan.

Implikasinya terhadap Kurikulum

Menetapkan landasan pendidikan pada landasan teologis berarti juga menempatkan  semua mata pelajaran atau isi kurikulum pada landasan teologis, dalam hal ini pada hakikat dan kebutuhan manusia menurut pandangan teologis. 

Semua mata pelajaran harus memiliki  pijakan etis teologis, karena itu dalam setiap mata pelajaran siswa bukan saja tahu isi pelejaran yang ada, namun semua pelajaran yang ada itu mesti direlaskan dengan landasan teologis yang telah ditetapkan. 

Demikian juga halnya dengan proses pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran juga harus mengacu pada landasan teologis yang telah ditetapkan.

 

Agama dan Negara dalam Pembangunan 

Pendidikan

Pendidikan harus diakui dipengaruhi oleh kebjakan politik, dalam hubungan agama dan negara sebenarnya Indonesia telah memiliki dasar yang kokoh, yaitu Indonesia bukan negara agama yang didasarkan pada satu agama tertentu, dan Indonesia juga bukan negara sekuler yang memprivatisasikan agama. 

Dalam negara Pancasila agama memiliki posisi yang terhormat, yakni diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. 

Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, mengenai hal ini Eka Darmaputera lmenjelaskan,

Begitu agama membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu, agama akan kehilangan karakter transendentalnya untuk selamanya. 

Dan masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk menikmati sumbangsih khas yang hanya bisa diberikan agama, yaitu keterlibatannya yang transendental-kritis. 

Pada saat yang sama, ketika politik membiarkan dirinya hanya menjadi alat kepentingan agama tertentu, politik juga akan segera kehilangan fungsinya yang paling mulia, yaitu melindungi kesejahteraan semua warga negaranya, tanpa diskriminasi. Baik politisasi agama maupun pengagamaan politik sebenarnya adalah bunuh diri bagi semua pihak yang terlibat.


Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. 

Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. 

Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.

Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. 

Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.

Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.

 

Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.

Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.

Bagi Darmaputera, negara sekuler bukanlah pilihan terbaik mengingat kesatuan dan keberagaman Indonesia. Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, menurut Darmaputera, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Darmaputera lebih lanjut menjelaskan,

Orientasi religius yang sangat kuat dari rakyat Indonesia pada umumnya menjadikan pilihan sekuler sangat tidak mungkin. Tentu saja ini bukanlah kebenaran umum. 

Turki, misalnya, adalah sebuah negara sekuler namun mayoritas penduduknya [adalah] Muslim. Tetapi Turki dan Indonesia berbeda di dalam satu hal penting: pengaruh Barat tidak sedalam di Indonesia dibandingkan di Turki. 

India juga adalah sebuah negara sekuler dimana mayoritas rakyatnya adalah sangat religius. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa India harus membayar harga berpisahnya Pakistan.

 

Singkatnya, jika Indonesia menjadi sebuah negara sekuler, maka keberagaman Indonesia akan dijaga “tetapi tanpa faktor pemersatu yang memadai untuk menjadikan Indonesia bersatu sebagai sebuah bangsa.”

Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire, “Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”  Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45. 

Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus.

Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.

 

 Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

https://www.binsarhutabarat.com/2020/10/landasan-teologi-pendidikan.html

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sunday, March 21, 2021

Penyertaan Tuhan Pada Masa Sulit






 

Penyertaan Tuhan pada masa Sulit
(Matius 28:16-20)
Minggu 21 Januari 2021
 

Pandemi, Banjir dan bencana lain bukan tidakan Tuhan, tetapi sesuatu yang diijinkan Tuhan, oleh karena tindakan manusia yang  menghancurkan bumi secara global. Gereja perlu membuat terobosan-terobosan penting untuk tetap mewujudkan panggilan Gereja saat masa sulit sekalipun. Karena Tuhan berjanjin akan menyertai gerejaNya sampai pada akhir zaman.

 

Pada satu sisi, kita setuju bahwa banyak penderitaan dan kesusahan dialami umat manusia diseantero dunia ini tanpa kecuali. Tapi pada sisi lain gereja juga perlu introspeksi diri untuk mengevaluasi apa yang telah gereja kerjakan, dan kemudian berusaha memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan, atau rencana Misi Allah untuk gereja pada masa sulit ini.

 

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah gereja dapat melaksanakan panggilannya saat covid-19, bencana banjir, Tsunami, dan bencana- bencana lain yang terus terjadi?

 

Gereja Perlu Percaya Pada Kuasa Kebangkitan

Kematian Kristus di Kayu salib adalah untuk menggenapi rencana Bapa menyelamatkan manusia berdosa. Pada salib itu dosa manusia ditanggung oleh Yesus, sehingga manusia tidak perlu menerima kematian kekal, sebaliknya berhak menerima hidup kekal.

 

Kebangkitan Kristus memproklamasikan kemenangan Kristus terhadap Iblis dan sekaligus membebaskan manusia dari perbudakan dosa. Karena itu mengingat kematian dan kebangkitan Kristus berarti memiliki pengharapan bahwa kita memiliki hidup kekal. Dan hidup itu lebih berharga dari segala sesuatu.

 

Umat Kristen dapat menghadapi penderitaan dalam kasih Tuhan untuk memuliakan Tuhan dengan percaya kuasa kebangkita Kristus. Karena itu penderitaan apapun yang dialami orang percaya tidak melampaui kasih Tuhan. Dan penderitaan apapun yang kita alami akan berlalu, sebaliknya hidup yang Tuhan berikan kepada kita tidak pernah berlalu, bahkan ketika kematian merenggut kehidupan sementara umat Kristen di dunia.

 

Gereja Perlu Belajar pada Pelayanan Para Rasul

Mereka yang menjadi murid Kristus mendapatkan otoritas Allah untuk menyaksikan kabar sukacita Injil. Lihatlah betapa agungnya otoritas Allah yang menyertai para Rasul. Bagaimana mungkin para rasul yang umumnya orang sederhana itu dapat menyampaikan kabar Injil yang merubah peradaban dunia? Tdak lain karena otoritas Allah menyertai pemberitaan para Rasul.

 

Gereja, umat Kristen masa kini perlu melakukan terobosan-terobosan penting untuk melayani pada masa sulit dengan bergantung pada otoritas Allah. Janji Tuhan bahwa penyertaan Tuhan diberikan kepada orang percaya sampai akhir zaman.

 

Pada masa sulit sekalipun Allah tidak pernah meninggalkan orang percaya, Allah tetap berdaulat atas segala sesuatu, dan pada waktunya mereka yang tidak mentaati Tuhan akan menghancurkan dirinya, dan juga alam tempat kediaman manusia. Tapi, karena kasih Tuhan, mereka yang hidup dalam kebenaran akan menerima hidup kekal dalam dunia yang baru, surga yang kekal.

 

Gereja Perlu Bertumbuh Menjadi Seperti Kristus

Sebagai seorang murid Kristus, umat Kristen perlu terus bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, untuk menjadi seperti Kristus.

Umat Kristen perlu mengalami pengalaman-pengalaman pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam kehidupan Kristen, dan tekun beribadah, menyerahkan hidup bagi kemuliaan Tuhan.

Umat Kristen juga wajib menjalankan misi Allah yakni menyaksikan kabar kematian dan kebangkitan Kristus yang menebus dosa manusia. Itu juga tugas misi Allah untuk umat Kristen masa kini.

Selamat hari minggu, segala kemuliaan hanya bagi Tuhan.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/02/penyertaan-tuhan-pada-masa-sulit.html


Saturday, March 20, 2021

Masa Depan Komnas Ham di Indonesia





 

MASA DEPAN KOMISI NASIONAL HAK-HAK AZASI MANUSIA Di INDONESIA PERLU MENJADI KEPEDULIAN SEMUA ELEMEN BANGSA DI INDONESIA.



Tulisan ini pertama-tama akan menjelaskan mengenai konsep HAM, secara khusus terkait perdebatan antara universalisme dan relativisme HAM, dan lahinya perlindungan terhadap HAM. Setelah itu akan dipaparkan mengenai kebutuhan proteksi HAM di Indonesia, dan selanjutnya menilai mengenai masa depan proteksi HAM di Indonesia, secara khusus dalam kerangka kerja Komnas Ham di Indonesia.

 

Universalisme Ham Versus Relativisme

Deklarasi Universal HAM yang juga disebut “Magna Carta” adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan adanya proteksi dari HAM dalam dunia. Deklarasi ini dapat disebut sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Nilai-nilai universal HAM pertama kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu merupakan suatu prestasi penting. Tidaklah berlebihan jika Deklarasi Universal HAM kemudian disebut sebagai Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua manusia mengerti apakah tindakan atas sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika deklarasi tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu negara, maka HAM kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara. Deklarasi HAM itu juga telah membuat negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM di negara tempat mereka memerintah.

Kedudukan Deklarasi Universal HAM  menjadi penting bagi suatu Negara  karena mempengaruhi hubungan luar negeri negara tersebut. Deklarasi universal memang tidak mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak memiliki polisi internasional untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak tersebut,  juga untuk mengadili pelanggar HAM di suatu negara. Namun, laporan mengenai keadaan suatu negara yang tidak mengadakan proteksi terhadap HAM akan membuat banyak kesulitan bagi negara tersebut dalam menjalin hubungan internasionalnya.

Sejak diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu telah banyak mempengaruhi banyak negara di dunia untuk melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada, demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim yang otoriter.

Deklarasi Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas dasar pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya. Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena ia terlahir sebagai manusia, hal ini secara eksplisit dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian didunia.” Dengan demikian jelaslah bahwa HAM bersifat universal, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan perlindungan HAM.

Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan keagamaan, bukan sekuler, jadi Pengakuan HAM tidak dapat dilepaskan dengan pengaruh agama. Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa semua agama besar di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.

Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik. Perjuangan HAM yang bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948. Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika Serikat. Karena itu tidaklah mengherankan jika Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati. Konsep HAM dianggap dipengaruhi oleh konsep Locke tentang hukum kodrati tersebut tidak boleh dianggap menjadi buah karya masyarakat sekuler, karena peran agama sangat nyata, dimana hukum kodrati itu sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh Locke, dan hukum kodrati  merupakan sesuatu yang berasal dari kekristenan.

 

 

Proteksi Ham di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang tersohor dengan toleransinya ternyata tidak lepas dari jejak-jejak kelam pelanggaran Ham. Baik pada era orde lama, yang hingga kini penyelesaiannya masih dalam pergulatan, demikian juga persoalan perlindungan pada era orde baru.

Dalam perjalanan waktu toleransi antar kelompok di Indonesia itu tidak selalu terjaga dengan baik. Ada banyak konflik antar kelompok masyarakat di negeri ini yang kemudian merubah wajah Indonesia yang terkenal dengan toleransinya, menjadi negara penuh dengan pelanggaran HAM (baik hak-hak sipil, maupun hak-hak ekonomi, dan juga hak-hak komunal). Pelanggaran yang sangat merisaukan itu masih juga terjadi pada Era Reformasi, ironisnya pada konflik antar kelompok di negeri ini negara seakan tidak hadir, akibatnya konflik antar kelompok di negeri ini bukan hanya membawa kerugian harta benda, tetapi juga nyawa manusia.  

Salah satu kerusuhan antar kelompok yang mencoreng wajah Indonesia yang terkenal dengan toleransinya adalah Kerusuhan Mei 1998, mengenai hal ini HWRG (Human Rights Working Group) melaporkan: Berbagai temuan, baik itu berasal dari investigasi NGO, jurnalisme atau reportase media massa, hingga temuan investigasi independen yang dibentuk negara menggambarkan bagaimana di ujung periode Orde Baru (Sesaat sebelum Soeharto mengundurkan diri), 13-15 Mei 1998 terjadi sebuah program kerusuhan massal di berbagai kota besar di Indonesia; Jakarta, Medan, Surabaya, Palembang, Solo dan lampung. Di tengah-tengah kerusuhan massal tersebut terjadi tindak kekerasan terhadap etnis Tinghoa di Indonesia; mulai dari penjarahan harta benda, kekerasan fisik, hingga perkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Pada momentum yang sama di kota-kota besar tersebut sentiment rasial tampil secara terbuka. Kata-kata “milik pribumi” tertulis di berbagai rumah atau pertokoan untuk menghindari penjarahan massa. 

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)enam menteri, yaitu SK Menteri pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, SK Menteri Luar negeri, SK Menteri Negara Peranan Wanita, dan SK jaksa Agung, melaporkan bahwa peristiwa 13-15 Mei 1998 terjadi secara sengaja, terencana, terdapat pola, sistematis, dan diduga merupakan hasil pertarungan politik dari elit untuk memperebutkan kekuasaan.

Kerusuhan antar kelompok di Indonesia yang berlangsung cukup lama, selama hampir setahun, terjadi pada tahun 1998, yaitu konflik antar kelompok etnis di Sambas, Kalimantan Barat dan kelompok etnis Madura. Selama periode konflik tersebut terdapat korban jiwa dari kedua belah pihak, dan karena konflik ini 68000 orang mengungsi. Konflik antar kelompok ini kembali mengejutkan masyarakat Indonesia, dan mengakibatkan kedua kelompok hidup dalam prasangka dan ketegangan.

Konflik antar kelompok yang sama yang terjadi di Sambas, kemudian juga terjadi di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, meledak pada 18 Februari 2001. Konflik di Kalimantan tengah ini berlangsung selama sepuluh hari. Konflik tersebut menelan korban jiwa dari kedua belah pihak. Sekitar 341 dari kelompok Madura dan 16 orang dari kelompok Dayak, ratusan rumah dibakar dan di rusak.

 Kerusuhan antar kelompok dalam skala besar juga terjadi di Kota Ambon yang bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan sopir Angkutan Kota Ambon, yang kemudian meluas menjadi konflik antara kelompok masyarakat Ambon dan kelompok Masyarakat Bugis, Buton dan Makasar. Karena konflik tersebut kemudian membawa-bawa agama, maka kemudian menjadi konflik antara kelompok masyarakat Kristen Ambon dengan kelompok masyarakat Islam Ambon. Konflik ini  menjadi salah satu koflik terbesar dan terlama di negeri ini, dan dapat dikatakan sebagai bencana nasional yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, serta harta benda. Konflik yang membawa-bawa nama agama juga terjadi di Maluku Utara yang melibatkan dua kelompok masyarakat yang berbeda agama

Konflik dalam skala besar juga terjadi di Poso. Laporan jurnalistik menyebutkan konflik Poso sebagai tragedy tiga babak. Pertama tanggal 25-30 Desember 1998. Kedua 15-21 April 2000. Ketiga, tanggal 23 Mei-10 juni 2001. Ditilik dari sisi dinamika kelompok (in group-out group), kerusuhan ini merupakan konflik horizontal antara kelompok Islam dan Kristen. Konflik bermula dari perkelahian antar pemuda (kriminal) berkembang menjadi kerusuhan bernuansa  SARA tidak terkendali, mengakibatkan tumpulnya pemerintahan, perekonomian, transportasi dan aktivitas social kemasyarakatan lainnya. Agama bukan merupakan pemicu utama, tapi lebih berperan sebagai faktor pengiring yang dating belakangan, dimanfaatkan selaku penggalang solidaritas.

Konflik –konflik antar kelompok juga terjadi di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang mewujud dalam kerusuhan antar kampung atau antar desa, baik yang bermula  dari perebutan wilayah pemalakan atau pemerasan untuk memperoleh uang keamanan antara dua kelompok preman yang saling bersaing. Pada peristiwa konflik  itu tidak sedikit kerugian harta benda, tetapi juga mengakibatkan banyak orang yang terluka, bahkan meninggal dunia.

Konflik antar kelompok masyarakat di Indonesia tampaknya tak pernah sepi, dan terus terjadi hingga saat ini. Kekerasan antar kelompok baru-baru ini juga terjadi di Tolikara, konflik ini diduga ada kaitannya dengan agama, karena menyasar kelompok agama tertentu dan juga rumah ibadah.  Pada peritiwa ini bukan hanya gedung bangunan yang menjadi sasaran amuk massa, tapi juga telah terjadi korban meninggal dan luka parah. Belum selesai persoalan ini, konflik antar kelompok masyarakat kembali meletus di Aceh, dugaan yang sama juga muncul, yakni karena persoalan agama, karena yang menjadi sasaran amuk massa, pembakaran adalah rumah ibadah. Pada peristiwa ini juga ada korban meninggal dan luka-luka, dan ribuan orang harus mengungsi untuk menghindar dari daerah konflik.

Indonesia yang terkenal dengan keramah tamahannya harus diakui telah berubah menjadi negara yang tersohor dengan kekerasan, dengan banyaknya kasus konflik antar kelompok yang terjadi sejak era Orde baru hingga saat ini. Singkatnya , Konflik antar kelompok di negeri ini amat menguatirkan dan dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, apalagi setelah diberlakukannya otonomi daerah, konflik antar kelompok pada beberapa daerah hingga kini masih kerap terjadi. Dan setiap kali diadakan pemilihan kepala daerah, kekuatiran akan konflik antar kelompok masih membayangi banyak daerah di negeri ini.

Singkatnya, kemajemukan masyarakat Indonesia kini bukan menjadi modal dasar pembangunan, tapi justru menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia. Munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, merupakan indikator dari persoalan tersebut. Kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun berbalik arah menuju kearah intoleransi yang makin menebal. Kenyataan ini ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga antar kelompok masyarakat . Hegemoni mayoritas dan minoritas semakin menebal seiring merosotnya tingkat toleransi antar kelompok di negeri ini. Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Kebijakan nasional yang berorientasi otonomi daerah yang pada awalnya dianggap sebagai jalan menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, justru memicu merebaknya etnosentrisme etnis.   

Masa Depan Komnas Ham di Indonesia  

Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Komnas HAM bertujuan :Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Melihat tugas Komnas yang besar dan disatu sisi Komnas tidak lagi punya hak untuk menyidik, atau bisa dikatakan kelengkapan Komnas Ham untuk menjalankan tugasnya telah dilucuti, wajar saja jika Komnas Ham saat ini tidak lagi popular di negeri ini. Pertanyaannya sekarang, apakah yang harus dilakukan Komnas untuk kembali pada kejayaan seperti awal berdirinya yang terkenal dengan sepak terjangnya yang menggetarkan pelaku pelanggaran Ham?

Menurut saya, anggota Komnas bukan hanya orang-orang yang berintegritas, memiliki wawasan luas, dan pengalaman yang luar biasa dalam keterlibatan proteksi HAM, tetapi mesti diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan bukan hanya  menganalisis apakah sebuah peritiwa dapat disebut pelanggaran HAM atau bukan, dan bagaimana menanganinya atau menyelesaikannya, tapi anggota Komnas HAM adalah mereka yang memiliki integritas dan kemampuan menciptakan sistem atau prosedur-prosedur untuk melindungi hak-hak azasi manusia. Kemampuan analisis, dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, baik sebelum dan sesudah diimplementasikan harus dilakukan. Sehingga Komnas harus berada selankah di depan lembaga-lembaga lainnya dalam melindungi HAM masyarakat Indonesia. Apabila kemampuan ini dimiliki oleh anggota-anggota Komnas HAM, maka masa depan Komnas HAM akan kembali jaya.

 

 

Dr. Binsar A. Hutabarat 

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/masa-depan-komnas-ham-di-indonesia.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...