Saturday, May 15, 2021

Apakah Kebenaran Itu?

 TEMPAT MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!



Apakah Kebenaran Itu?

 

Saat Pilatus menerima Yesus sebelum penyaliban Yesus, Pilatus sempat bertanya kepada Yesus, apakah kebenaran itu?

 

Ada pandangan bahwa Pilatus memang tidak peduli dengan kebenaran, karena yang dilakukannya pada umumnya adalah sesuatu yang tidak benar. 

Sehingga pada waktu Pilatus bertanya tentang kebenaran kepada Yesus, Pilatus tidak menunggu jawaban dari pertanyaannya itu.


Sebagai tokoh politik, bisa jadi Pilatus memahami bahwa kebenaran adalah segala sesuatu yang dapat mengokohkan takhtanya, dan dia merasa lebih tahu tentang kebenaran dibandingkan Yesus. Apalagi pada waktu itu Yesus dihadapkan kepada Pilatus, tak ubahnya seperti tawanan para imam-imam Yahudi, dan keputusan Pilatus sangat menentukan bagi Yesus.

 

Menariknya, para pemimpin politik pada waktu itu, baik Pilatus maupun Herodes tidak menemukan kesalahan Yesus. Herodes tidak ingin memberikan hukuman apapun kepada Yesus, bahkan ketika Pilatus ingin melepaskan Yesus setelah menyesah Yesus untuk memuaskan nafsu para imam yang ingin membunuh Yesus, orang banyak yang berkerumun dibawah komando para imam itu justru meminta Yesus disalibkan.

 

Apakah kebenaran itu?

Jika orang benar diperlakukan seperti orang hukuman, sedang kejahatan merajalela, wajar bukan jika kita bertanya, apakah kebenaran itu?

 

Sejarah menunjukkan bahwa kebenaran tidak punya tempat di bumi ini, karena yang BENAR itu mati disalib, diperlakukan sama dengan penjahat-penjahat.

 

Jika kita semua adalah orang berdosa, dan yang BENAR itu telah mati bagi kita, apakah kita masih sama dengan Pilatus, Herodes, dan tokoh-tokoh agama pada waktu itu yang bersepakat membunuh yang BENAR demi menjaga kekuasaan dan reputasi mereka yang diporakporandakan Yesus?

 

Yang BENAR itu telah mati bagi kita, tapi mati untuk membenarkan kita yang berdosa. Karena itu jangan lagi ada yang menghakimi sesamanya, apalagi menghancurkan sesamanya. Jangan lagi mengatakan demi kebenaran maka kita harus menghancurkan sesama kita. Yang BENAR itu mati untuk membenarkan, bukan untuk membinasakan manusia!

 

Kematian Yesus adalah sesuai rencana Allah untuk menjadi jalan pengampunan dosa manusia. Yesus mati untuk membenarkan manusia berdosa. Itu artinya tidak boleh ada lagi yang merasa diri paling benar, dan kemudian menghinakan sesamanya, apalagi menghancurkan sesamanya.

 

Kita boleh saja meyakini apa yang kita percaya itu yang benar, tapi kebenaran tidak pernah menjadi milik kita. Kebenaran yang sempurna itu hanya milik Allah. Kita hanya mendapatkan kebenaran itu dari Allah. Kebenaran sebagai sebuah pemberian, atau sebuah anugerah.

 

Usaha berteologi juga merupakan anugerah Allah. Saat membaca Alkitab, kita dapat menemukan tentang data-data yang BENAR, dan yang BENAR itu sendiri menjelaskan dirinya ketika kita membaca Alkitab. Itulah sebabnya validasi hasil berteologi itu hanya mungkin oleh Roh Kudus. Iman melampaui pengetahuan, maka tidak mungkin pengetahuan, atau bukti-bukti itu mendasari iman. Maka pengetahuan tentang Allah adalah anugerah,  dan iman juga adalah anugerah.

 

Mereka yang percaya akan mentaati kebenaran, berjuang segenap tenaga untuk taat kepada Allah, meski selalu gagal, dan Allah yang sempurna itulah yang menyempurnakan pekerjaan kita, karena perjuangan kita dilakukan di dalam Allah.

 

Saya tidak melihat pertentangan antara anugerah dan perbuatan, dengan demikian juga kita tidak boleh mempertentangkan pengetahuan tentang Allah, karena itu pun sebuah anugerah. Apakah itu berarti kompromi?

 

Menurut saya kompromi total tidak ada, kekudusan, kesempurnaan total juga tidak ada. Apakah semuanya relatif? Tentu saja tidak, karena jika semua relatif tidak ada yang mutlak, berarti Tuhan tidak ada. Bagi saya hanya Tuhan yang sempurna, Absolut, manusia tak ada yang sempurna. Merasa memahami kebenaran yang sempurna akan menjauhkan kita dari Allah, dan menjadikan diri kita sebagai Allah, sebuah kebohongan terbesar sepanjang masa.

 

Saat konflik agama terus saja terjadi, konflik kekuasaan juga tak pernah berhenti, konflik dalam keluarga menjadi biasa, maka kita perlu bertanya dimanakah yang BENAR itu? Apakah yang BENAR itu kian menjauh dari kita?

 Apakah kita menjadikan diri kita sendiri sebagai yang benar?

 

Apakah kebenaran itu? Kita hanya bisa menjumpainya dalam Yang BENAR, yaitu Allah yang mati bagi manusia berdosa untuk membenarkannya. Kita semua orang berdosa yang dibenarkan, dan tidak pernah memiliki kebenaran, kecuali kita dimiliki oleh yang BENAR itu.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 TOKO ONLINE KU, KLIK DISINI!

 

 

 https://www.binsarhutabarat.com/2021/04/apakah-kebenaran-itu.html

 

 

Friday, May 14, 2021

Bersih-Bersih Perguruan Tinggi Teologi.





Pendidikan Tinggi Teologi di Indonesia telah berperan aktif dalam pembangunan gereja dan masyarakat Indonesia. Kualitas lulusan Pendidikan Tinggi Teologi yang mengalami pasang surut tentu saja berhubungan dengan peran yang dimainkan luaran pendidikan tinggi teologi itu. Itulah sebabnya pendidikan tinggi teologi di Indonesia perlu terus berjuang untuk meningkatkan mutunya.

Berawal dari kebutuhan untuk memenuhi tenaga pelayan dalam gereja sebagai tujuan utama didirikanlah pendidikan-pendidikan teologi di indonesia.

Banyak pendidikan teologi itu didirikan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan tenaga pelayanan dalam gereja, secara khusus yang didirikan oleh gereja-gereja Injili dan Pentakosta. Umumnya pendidikan teologi yang didirikan itu adalah non gelar, dan pola pendidikannya seperti pendidikan vokasi.

Pertumbuhan gereja, secara khusus dengan makin maraknya kehadiran denominasi gereja, maka pendidikan tinggi teologi pun tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Pendidikan teologi yang didirikan itu jumlahnya melebihi jumlah denominasi gereja.

Mulai dari pendidikan teologi berasrama sampai pada sekolah Alkitab malam, sekolah penginjilan  dengan nama-nama yang beragam, semuanya itu memiliki tujuan sama, yakni untuk memenuhi kebutuhan tenaga pelayan di gereja.

 Perubahan kebijakan pemerintahan kemudian mendorong pendidikan teologi itu bertranformasi. Ada yang tetap mempertahankan diri untuk memenuhi kebutuhan pengerja gereja, tapi ada juga yang memperluasnya dengan membuka program studi lain untuk pemenuhan tenaga guru agama di sekolah-sekolah dan pergurua tinggi. Apalagi dengan kewajiban adanya pelajaran agama pada sekolah-sekolah negeri, program studi PAK kemudian menjadi program studi primadona.

Lingkup pelayanan atau pekerjaan yang lebih luas kemudian membuat banyak pendidikan teologi bertranformasi menjadi Sekolah Tinggi Teologi. Bimas Kristen, Kementerian Agama Kristen juga ikut mendirikan Sekolah Tinggi Agama Kristen.

Ada banyak benturan yang terjadi dengan tranformasi pendidikan teologi terkait kebijakan pemerintah, serta makin terbukanya peluang pelayanan atau peluang kerja luaran pendidikan teologi.

Peluang kerja yang makin luas bagi tamatan pendidikan teologi membuat pendidikan teologi terus bertumbuh, dan jumlahnya melampaui jumlah denominasi gereja. Tentu saja dapat dipahami, karena peluang kerja kini terbuka luas.

Kebutuhan guru agama yang makin tinggi mendorong pendidikan teologi kemudian lebih mengutamakan pendirian program studi pendidikan agama Kristen. 

Sayangnya, ada kecenderungan program studi pendidikan teologi melepaskan diri dari induknya yaitu teologi, akibatnya tamatan Pendidikan Agama Kristen pada gereja-gereja tertentu tidak diakui kompetensinya untuk melayani di gereja.

Pendidikan Agama Kristen yang pada awal didirikan dianggap sebagai pendidikan tidak bermutu lambat laun dengan bantuan dana pemerintan menjadi lebih kuat. Tapi, dalam Sekolah Tinggi Agama Kristen itu juga membuka program studi teologi, yang luarannya diharapkan melayani di Gereja, dan beberapa gereja menolak tamatan teologi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen.

Melihat sekilas perjalanan pendidikan tinggi teologi di Indonesia, serta tranformasinya terkait kebijakan pemerintah, dan juga terkait perkembangan profil lulusan, semestinya pendidikan teologi itu perlu melakukan perbaikan-perbaikan penting, apalagi ketika kewajiban akreditasi diberlakukan.

Tidak siapnya pendidikan tinggi teologi Indonesia bertranformasi terkait dengan kebijakan pemerintah terlihat jelas dengan banyaknya kebohongan yang dilakukan dalam proses akreditasi.

Parahnya, akreditasi yang diwajibkan pada tahun 2012 itu tidak membawa perubahan berarti dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi teologi.

Hal lain yang menjadi permasalahan hingga saat ini adalah pendidikan tinggi teologi di Indonesia itu bisa mendapatkan ijin program studi tanpa boleh mewisuda mahasiswa sebelum diakreditasi, padahal pendidikan tinggi itu sudah bertahun-tahun menjalankan perkuliahan tanpa izin penyelenggaraan. 

Ada juga yang STT yang bertahun-tahun mendapat izin penyelenggaraan dan izin perpanjangan penyelenggaraan program studi tapi tidak pernah mengajukan akreditasi, atau tidak memenuhi syarat untuk mengajukan akreditasi dengan banyak alasan. 

Padahal, pendidikan tinggi agama-agama lain sudah menetapkan bahwa ijin program studi harus telah memenuhi akreditasi minimal, dan sebelum mendapatkan ijin penyelenggaraan program studi, institusi itu belum diijinkan menjalankan perkuliahan.

Harus diakui, kapasitas Direktorat Jenderal Bimas Kristen, Kementerian Agama RI juga perlu dikuatkan untuk memfasilitasi hadirnya pendidikan tinggi teologi yang bermutu.

Itulah sebabnya akreditasi bukan hanya tidak meningkatkan kualitas pendidikan tinggi teologi, tetapi juga tak mampu menekan jual beli gelar yang sangat merugikan masyarakat, bangsa dan negara. 

Perguruan tinggi teologi di Indonesia sudah saatnya berbenah diri, bersih-bersih pada perguruan tinggi teologi perlu dilakukan secara konsisten. Jika bersih-bersih perguruan tinggi teologi ini gagal dilakukan secara konsisten maka itu akan berdampak pada gereja, bangsa dan negara, bahkan dunia Internasional.


Dr. Binsar A. Hutabarat



Friday, May 7, 2021

Bijak Mendengarkan Paul Maxwell

   TEMPAT MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!


                           CLICK HERE

CLICK HERE

Bijak Mendengarkan Paul Maxwell


Pindah agama bisa terjadi pada agama apapun. Biasanya, individu yang berpaling dari agama komunitasnya  itu akan selalu menjadi sasaran deskriminasi dari komunitasnya, meski dengan alasan mengasihi, atau ingin menghindari orang yang "murtad" itu dari neraka atau hukuman kekal, atu mungkin menghindari terulangnya kejadian yang sama pada individu lain dalam komunitas itu.

Terkait dengan persoalan pindah agama, sebagai penggiat Hak Azasi Manusia tentu saja saya melihatnya sebagai pilihan bebas tiap individu. Apapun keyakinan agama tentang nasib dari mereka yang memilihi untuk berpaling pada agama yang lain, kebebasan memilih kepercayaan itu perlu dilindungi. Kita perlu menjaga agar pilihan bebasnya itu kemudian tidak mengancam martabat kemanusiaannya.


Soal Paul Maxwell

Berita tentang pindah agama Paul Maxwell wajar saja terdengar santer karena figur Paul Maxwell yang tersohor. Christianity Today melaporkan, Paul Maxwell adalah mantan kontributor situs web apologetika John Piper yang sangat populer, Desiring God. Maxwell memiliki gelar Ph.D Trinity Evangelical Divinity School dan merupakan mantan profesor filsafat di Moody Bible Institute. Dia saat ini bekerja untuk Tithe.ly, sebuah aplikasi persepuluhan gereja.

Perpalingan Paul Maxwell adalah pilihan bebasnya, sehingga saya tak tertarik memasuki diskusi tentang hal yang menjadi ranah privat itu. Kemudian, mungkin ada yang bertanya, mengapa saya menulis artikel ini?

Artikel ini saya tulis karena dorongan yang berasal dari pertanyaan keponakan saya yang sedang beiajar di sebuah universitas Kristen terkait Paul Maxwell. Ia bertanya, “Artikel Paul Maxwell sering kami kutip, dan menjadi dasar bagi teologi Kristen di kampus kami. Kemudian dari konteks keselamatan dan lahir baru itu bagaimana? Kemudian dia melanjutkan, pengajaran yang selama ini dibuat dan semua doktrin teologi bisa diterima tidak?

Setelah menjawab pertanyaan tersebut, saya pun menyempatkan diri untuk menulis artikel ini.

 

Pindah agama

Seperti saya katakan dalam pembukaan artikel ini, pindah agama adalah sebuah pilihan bebas individu dan itu terjadi pada semua agama. Utamanya, kita perlu menghargai pilihan bebas individu itu, dan kemudian mereponsnya secara bijak.

Jika melihat respon terhadap peryataan Maxwell, terlihat jelas bahwa respon masyarakat banyak yang langsung meminggirkan Paul Maxwell. Padahal, Maxwell sangat ingin tetap bersahabat dengan penggemar-penggemarnya. Kehilangan hubungan dengan pendengarnya karena pengumuman perpalingannya dari kekristenan itu kerap terjadi pada orang-orang seperti Maxwell. Menurut saya itu adalah tindakan yang tidak bijak.

Jika membaca Tulisan Dr. Lucas Lukito, jelas sekali bahwa Posisi Maxwell berada pada posisi sulit, dia dianggap sebagai seorang yang sedang berpetualang, atau karena kesulitan tertentu, dan tidak sanggup menanggungnya, maka ia menghianati kekristenan. Atau ada juga anggapan Pertobatan Paul Maxwell perlu diragukan.

Menurut saya pilihan Paul Maxwell justru menimbulkan risiko untuk dirinya sendiri, selain kehilangan popularitas yang dibangunnya begitu lama, dia juga kehilangan banyak orang-orang dekat.

 

Bijak Mendengarkan Paul Maxwell

Bagi saya keselamatan adalah anugerah Tuhan, dan keselamatan itu berada pada tangan Tuhan, bukan pada tangan manusia. Manusia perlu berjuang mentaati Tuhan, tapi tak seorangpun berkenan pada Tuhan tanpa anugerah Tuhan.

Umat Kristen bukan pemilik keselamatan, demikian juga keselamatan itu tidak pernah dimiliki oleh gereja, tapi tetap berada dalam tangan Tuhan, mereka yang menemukan keselamatan perlu bersyukur tanpa menonjolkan arogansi individu atau kelompok, karena kemuliaan hanya bagi Tuhan.

Mereka yang keluar dari gereja atau pindah agama adalah milik Tuhan, bukan milik gereja. Umat Kristen perlu mengasihi mereka yang secara terbuka berpaling dari kekristenan, dan mendengarkan ketidaksetujuan mereka terhadap kekristenan.

Kita perlu menyadari bahwa bagaimanapun hebatnya doktrin yang kita pahami, itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan keselamatan, pengetahuan doktrin yang benar seharusnya membawa kita pada kebergantungan dengan Allah, bukannya menjadi arogan, apalagi merasa ajarannya yang paling murni.

Mendengarkan mereka yang keluar dari kekristenan justru akan menunjukkan kasih Kristen kepada mereka yang berpaling, dan sekaligus menjadi sarana introspeksi diri, betapa segalanya sesuatunya adalah karena kemurahan Tuhan. Dan sekaligus mendorong kita untuk terus belajar menjadi seperti Kristus. Hidup dalam kerendahan hati, pengorbanan untuk membawa damai kepada semua orang.

Hal yang utama menurut saya, agama-agama termasuk kekristenan perlu menyadari, bahwa pengalaman iman itu subyektif, dan tidak perlu diabsolutkan. Mendengarkan mereka yang berpaling dari kekristenan bukan berarti kita setuju, tapi kita menghargai kebebasan pilihan individu.

Debat mengenai agama yang benar sebaiknya dihentikan saja, karena kebenaran agama itu subyektif, bergantung pada iman, sebaliknya marilah kita saling membagi pengalaman iman, tanpa perlu menjadi arogan, untuk memperkaya hidup bersama, terlebih pada masa sulit seperti sekarang ini.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

TOKO ONLINE KU, KLIK DISINI!

https://www.binsarhutabarat.com/2021/04/bijak-mendengarkan-paul-maxwell.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...