Undang-undang Pendidikan nasional tahun 1950 merupakan cermin pemikiran bapak pendidikan nasional, Ki hajar Dewantara, maka semestinya undang-undang yang disusun selanjutnya juga tidak melupakan prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun sebelumnya, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama yang telah dipikirkan secara serius pada waktu sebelumnya.
Apabila pemerintah masa kini cukup bijaksana untuk belajar dari masa lalu, maka diskriminasi terhadap sekolah-sekolah swasta agama tidak perlu terjadi. Penghargaan terhadap pendidikan agama pada masa lalu jelas terlihat dari apa yang dikatakan Dewantara:
Meskipun sifat, bentuk, dan laku pendidikan dan pengajaran itu pada dasarnya menjadi hak dan kewajiban tiap-tiap orang tua terhadap anaknya, namun dalam praktiknya tidak mungkin tiap- tiap orang tua menyelenggarakan sendiri segala usaha pendidikan dan pengajaran bagi anak- anaknya tadi, dan terpaksalah mereka itu mempersatukan diri dengan orang-orang, yang bersamaan atau hampir bersamaan aliran hidupnya, untuk bersama-sama mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran sebagai suatu golongan yang khusus; berdirilah dengan begitu “sekolah partikulir” yang disebut private school (Inggris) atau juga bijzondere school (Belanda). Karena hak mendidik dan mengajar itu prinsipil ada pada orang tua, sedangkan kewajiban menyelenggarakannya adalah kewajiban negara, maka segala biaya yang umum dari sekolah partikulir itu sebetulnya harus ditanggung oleh pemerintah menurut peraturan keuangan yang sama dengan sekolah negeri; biaya-biaya yang dipikul oleh masing-masing badan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang khusus.
Pendidikan agama mestinya dihargai karena hak mendidik ada pada orang tua secara kodrati, dan apabila kemudian kelompok agama-agama itu mendirikan sekolah-sekolah agama sesuai dengan keyakinan mereka, maka pemerintah harus menghargainya, apalagi sekolah-sekolah agama juga ikut terlibat aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemerintah wajib membiayai sekolah-sekolah swasta sebagaimana juga layaknya sekolah negeri. Sekolah-sekolah negeri berkewajiban memberi pendidikan dan pengajaran yang umum, sebagaimana diwajibkan pula untuk sekolah swasta, dan pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan di sekolah negeri ini menjadi kurikulum minamal pada sekolah swasta, dan pemerintah tidak perlu membelenggu keunikan sekolah-sekolah swasta agama.
Pada masa lalu sekolah-sekolah negeri bersifat netral karena sekolah negeri pada masa lalu hanya mengajarkan pengetahuan umum dan hal-hal yang bersifat pokok saja, dan yang diakui dapat memajukan berkembangnya budi pekerti pada umumnya. Mengenai pelajaran agama disekolah sebenarnya pemerintah pernah menetapkan pemberian pengajaran agama di sekolah negeri sebagai budi pekerti dengan menggunakan bahan dari semua agama, jadi nilai-nilai agama yang dianut masyarakat Indonesia didorong untuk memberikan kontribusinya bagi pembangunan karakter siswa di sekolah-sekolah negeri. Kebijakan pemerintah itu membuat sekolah-sekolah negeri bersifat netral, atau bisa dikatakan menerima pluralisme agama-agama. Kebijakan tersebut ditetapkan karena sejak lampau pemerintah menyadari bahwa soal pengajaran agama tidak mungkin mendapatkan persetujuan yang utuh dan sempurna.
Semangat demokrasi pendidikan terlihat jelas pada ketetapan pemerintah yang menetapkan bahwa sekolah-sekolah agama pada masa itu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga penyelenggara pendidikan swasta. Pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak adalah hak orang tua secara kodrati, maka orang tua yang memasukkan anak mereka ke sekolah agama tertentu tentu saja telah memahami bahwa sekolah tersebut memiliki keunikan tersendiri berdasarkan agama tertentu, dan tentunya kurikulum yang disajikan pada sekolah tersebut jelas diketahui didasarkan pada semangat lembaga agama yang mendirikan sekolah tersebut. Jadi, sangatlah tidak beralasan jika lembaga pendidikan agama itu harus mengajarkan pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga itu.
Demikian juga hal nya sekolah-sekolah Kristen yang dianggap memiliki sekolah-sekolah berkualitas, dan diminati banyak orang tua pada masa itu, semua isi pelajaran yang disajikan pada kurikulum sekolah tentu saja memiliki landasan teologi Kristen, karena itu sekolah-sekolah swasta agama itu tidak bisa dipaksa oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelajaran agama lain, dan itu sama saja mencampuri ruang privat lembaga agama itu. Pada sisi lain, pada sekolah-sekolah negeri pelajaran agama lebih diarahkan pada pelajaran budi pekerti yang merupakan nilai-nilai yang diterima semua agama. Kalaupun disekolah-sekolah negeri diajarkan pelajaran agama, maka pelajaran agama itu tidak boleh dipaksakan
Pancasila merupakan nilai-nilai moral minimal, artinya tidak ada agama-agama di negeri ini yang menolak nila-nilai sebagaimana tercantum pada sila-sila dalam Pancasila, karena itu pelajaran budi pekerti atau pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri sepatutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Jadi, perdebatan mengenai pelajaran agama di sekolah bukan hanya problematika masa kini, tapi telah ada sejak lama, hanya saja pemerintah pada masa lalu konsisten berpegang pada pancasila dengan jalan demokrasinya, sehingga semua individu dan kelompok terlindungi. Sekolah-sekolah agama tidak dipaksakan untuk menyelenggarakan pelajaran agama yang berbeda dengan agama lembaga penyelenggara pendidikan itu. Demikian juga hal nya yang terjadi pada sekolah-sekolah negeri, keragaman agama diterima dengan memberikan kesempatan agama-agama memberikan nilai-nilai universalnya dalam bentuk pelajaran budi pekerti.
Perdebatan mengenai pelajaran agama di sekolah sebenarnya tidak perlu terjadi di negeri ini, apalagi rakyat Indonesia adalah rakyat yang beragama, sehingga tidak ada yang menentang agama, namun memaksakan pelajaran agama di sekolah adalah sesuatu yang tidak diperlukan, apalagi memaksakan diadakannya pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga agama sekolah-sekolah yang bernapaskan agama itu. Pendidikan nasional sepatutnya dibangun pada dasar kebangsaan bukan berdasarkan agama yang beragam dan berbeda. Hal ini dapat dipahami, karena untuk Indonesia yang beragam agama, suku dan budaya, usaha untuk terus mempererat rasa kebangsaan merupakan hal yang amat penting. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, maka dengan demikian pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Jelaslah bahwa segala usaha pendidikan dan pengajaran harus didasarkan pada dasar kebangsaan.
Semangat demokrasi dalam bidang pendidikan pada awalnya telah melahirkan penghargaan terhadap sekolah-sekolah swasta agama yang secara jujur diakui oleh pemerintah memiliki jasa yang besar dalam membantu perluasan pendidikan dan pengajaran bagi segenap rakyat Indonesia. Tiap aliran ideologis yang tidak bertentangan dengan Pancasila terkait dengan agama dan kemasyarakatan di lindungi haknya untuk membangun dan memelihara pendidikan yang didasarkan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Pemerintah harus melindungi sekolah-sekolah agama, karena ada banyak orang tua yang memilih sekolah itu didasarkan kekuatiran terhadap moralitas anak. Keyakinan orang tua bahwa sekolah agama itu bisa memberikan harapan bagi pembentukan moral dan karakter anak bukan hanya ada di Indonesia, tapi juga di negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat misalnya, karena itu pilihan orang tua, dan seharusnya dihargai.
Melihat pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam gerakan pendidikan nasional seharusnya pemerintah juga mampu memanfaatkan kekuatan pendidikan agama itu dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pemerintah tidak perlu memaksakan pendidikan agama yang berbeda dengan agama penyelenggara pendidikan agama itu, sebaliknya pada sekolah-sekolah negeri, keragaman agama-agama harus diakomodasi. Pendidikan agama harus diintegrasikan pada nilai-nilai Pancasila yang adalah karakter bangsa Indonesia.
Untuk mencari jalan tengah dari kontroversi yang terjadi pada sisdiknas 2003 terkait dengan pelajaran agama, pemerintah bisa memfasilitasi sekolah-sekolah swasta yang mendasarkan pendidikannya di atas dasar pluralisme agama, demikian juga hal nya pada sekolah-sekolah negeri. Pada pendidikan swasta dan negeri tersebut diajarkan agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, namun, pelajaran agama itu harus didasarkan pada Pancasila. “Pendidikan agama lebih tepat disebut pendidikan keagamaan karena mencakup nilai-nilai dari semua agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang bhineka itu.”
Pelajaran agama di sekolah dalam sisdiknas 2003 tidak akan melahirkan kontroversi apabila tidak dijadikan alat untuk membelenggu kebebasan sekolah agama. Demikian juga dalam sekolah-sekolah negeri, karena nilai-nilai agama ada dalam ruang publik, maka nilai-nilai itu diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia, sehingga tidak ada yang menolak diajarkannya pelajaran agama di sekolah.
Perwujudan penerimaan nilai-nilai publik agama tersebut terlihat dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar hidup bersama bagi semua agama yang ada di Indonesia. Penerimaan semua agama-agama terhadap Pancasila seharusnya menyadarkan pemerintah mengenai peran strategis sekolah-sekolah agama dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, karena itu sekolah-sekolah agama itu harus dihargai keunikannya, dan pemerintah hanya perlu mengawasi mutu sekolah tersebut demi ketertiban umum.
Pemerintah juga wajib memberikan subsidi pada sekolah-sekolah itu karena memiliki peran yang sama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
https://www.binsarhutabarat.com/2020/07/diskriminasi-terhadap-sekolah-swasta.html