Betapa indahnya jika Perdamaian Israel dan Palestina dapat terwujud, demikian juga perdamaian antar bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Tanggung jawab memelihara kehidupan
Tak ada seorang pun yang bisa menolak untuk dilahirkan di bumi ciptaan Tuhan, dengan dasar itu pula kita semua harus memelihara kehidupan.
Kehidupan bukan milik kita, tetapi milik sang pencipta, maka tanggung jawab memelihara kehidupan menjadi tanggung jawab semua yang hidup dan memiliki kehidupan yang terberi.
Keburukan perang
Perang, pembunuhan, kejahatan dan segala sesuatu yang merampas kehidupan dari seorang individu akan berhadapan dengan sang pemilik kehidupan.
Mengobarkan perang sama saja dengan merampas kehidupan yang terberi, maka siapapun yang mengobarkan perang sama saja dengan menyediakan diri untuk diperangi. Perang tidak pernah dapat dihentikan dengan perang.
Tentang pembalasan dendam
Pembalasan dendam juga tak pernah berhenti dengan pembalasan dendam. Sebaliknya dendam hanya akan padam jika mereka yang bertikai saling mengampuni, karena pertikaian terjadi karena kesalahan kedua belah pihak.
Penghentian gencatan senjata yang disepakati Palestina dan Israel mestinya didasari bahwa perang, pembalasan dendam tak akan pernah berhenti.
Sebaliknya, membatasi diri untuk tidak berperang, malakukan pembalasan dendam adalah jalan bijaksana untuk dapat memahami akibat perang yang mengerikan.
Dengan perenungan dan pemahaman akibat perang yang buruk, kedua belah pihak yang berperang perlu berdamai untuk menghentikan peperangan.
Damai itu membahagiakan
Lihatlah sorak sorai masyarakat Palestina dan Israel yang menyambut kesepakatan gencatan senjata. Damai itu membahagiakan semua pihak.
Perang hanya akan menimbulkan penderitaan, secara khusus rakyat yang tak tahu menahu ambisi para pemimpin negara yang gemar berperang.
Kegembiraan rakyat menyambut gencatan senjata harusnya menyadarkan kedua pimpinan negara bahwa rakyat merindukan perdamaian.
Perdamaian Abadi
Perang sangat mudah terjadi, karena itu mengusahakan perdamaian adalah perjuangan bersama untuk memelihara kehidupan.
Apabila para pemimpin negara dikuasai nafsu untuk berperang, dan bukannya mengusahakan kesejahteraan rakyat, maka perjuangan memelihara kehidupan menjadi terabaikan.
Perang bukan cara untuk melindungi kehidupan, tetapi sebaliknya merampas kehidupan yang adalah milik Tuhan.
Masyarakat dunia sangat berharap terwujudnya perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, bukan hanya sekadar gencatan senjata sementara.
Para pemimpin kedua bangsa itu mesti berani menyingikirkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Lihatlah sorak sorai rakyat yang menyambut gencatan senjata. Itu berarti para pemimpin kedua negara perlu berjuang lebih keras untuk mengusakan perdamaian, melindungi rakyat dari perang yang menyengsarakan.
Kiranya perdamaian abadi Palestina dan Israel dapat terwujud dan menjadi inspirasi untuk mewujudkan perdamaian di seantero dunia ini.
Undang-undang Pendidikan nasional tahun 1950 merupakan cermin pemikiran bapak pendidikan nasional, Ki hajar Dewantara, maka semestinya undang-undang yang disusun selanjutnya juga tidak melupakan prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun sebelumnya, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama yang telah dipikirkan secara serius pada waktu sebelumnya.
Apabila pemerintah masa kini cukup bijaksana untuk belajar dari masa lalu, maka diskriminasi terhadap sekolah-sekolah swasta agama tidak perlu terjadi. Penghargaan terhadap pendidikan agama pada masa lalu jelas terlihat dari apa yang dikatakan Dewantara:
Meskipun sifat, bentuk, dan laku pendidikan dan pengajaran itu pada dasarnya menjadi hak dan kewajiban tiap-tiap orang tua terhadap anaknya, namun dalam praktiknya tidak mungkin tiap- tiap orang tua menyelenggarakan sendiri segala usaha pendidikan dan pengajaran bagi anak- anaknya tadi, dan terpaksalah mereka itu mempersatukan diri dengan orang-orang, yang bersamaan atau hampir bersamaan aliran hidupnya, untuk bersama-sama mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran sebagai suatu golongan yang khusus; berdirilah dengan begitu “sekolah partikulir” yang disebut private school (Inggris) atau juga bijzondere school (Belanda). Karena hak mendidik dan mengajar itu prinsipil ada pada orang tua, sedangkan kewajiban menyelenggarakannya adalah kewajiban negara, maka segala biaya yang umum dari sekolah partikulir itu sebetulnya harus ditanggung oleh pemerintah menurut peraturan keuangan yang sama dengan sekolah negeri; biaya-biaya yang dipikul oleh masing-masing badan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang khusus.
Pendidikan agama mestinya dihargai karena hak mendidik ada pada orang tua secara kodrati, dan apabila kemudian kelompok agama-agama itu mendirikan sekolah-sekolah agama sesuai dengan keyakinan mereka, maka pemerintah harus menghargainya, apalagi sekolah-sekolah agama juga ikut terlibat aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemerintah wajib membiayai sekolah-sekolah swasta sebagaimana juga layaknya sekolah negeri. Sekolah-sekolah negeri berkewajiban memberi pendidikan dan pengajaran yang umum, sebagaimana diwajibkan pula untuk sekolah swasta, dan pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan di sekolah negeri ini menjadi kurikulum minamal pada sekolah swasta, dan pemerintah tidak perlu membelenggu keunikan sekolah-sekolah swasta agama.
Pada masa lalu sekolah-sekolah negeri bersifat netral karena sekolah negeri pada masa lalu hanya mengajarkan pengetahuan umum dan hal-hal yang bersifat pokok saja, dan yang diakui dapat memajukan berkembangnya budi pekerti pada umumnya. Mengenai pelajaran agama disekolah sebenarnya pemerintah pernah menetapkan pemberian pengajaran agama di sekolah negeri sebagai budi pekerti dengan menggunakan bahan dari semua agama, jadi nilai-nilai agama yang dianut masyarakat Indonesia didorong untuk memberikan kontribusinya bagi pembangunan karakter siswa di sekolah-sekolah negeri. Kebijakan pemerintah itu membuat sekolah-sekolah negeri bersifat netral, atau bisa dikatakan menerima pluralisme agama-agama. Kebijakan tersebut ditetapkan karena sejak lampau pemerintah menyadari bahwa soal pengajaran agama tidak mungkin mendapatkan persetujuan yang utuh dan sempurna.
Semangat demokrasi pendidikan terlihat jelas pada ketetapan pemerintah yang menetapkan bahwa sekolah-sekolah agama pada masa itu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga penyelenggara pendidikan swasta. Pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak adalah hak orang tua secara kodrati, maka orang tua yang memasukkan anak mereka ke sekolah agama tertentu tentu saja telah memahami bahwa sekolah tersebut memiliki keunikan tersendiri berdasarkan agama tertentu, dan tentunya kurikulum yang disajikan pada sekolah tersebut jelas diketahui didasarkan pada semangat lembaga agama yang mendirikan sekolah tersebut. Jadi, sangatlah tidak beralasan jika lembaga pendidikan agama itu harus mengajarkan pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga itu.
Demikian juga hal nya sekolah-sekolah Kristen yang dianggap memiliki sekolah-sekolah berkualitas, dan diminati banyak orang tua pada masa itu, semua isi pelajaran yang disajikan pada kurikulum sekolah tentu saja memiliki landasan teologi Kristen, karena itu sekolah-sekolah swasta agama itu tidak bisa dipaksa oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelajaran agama lain, dan itu sama saja mencampuri ruang privat lembaga agama itu. Pada sisi lain, pada sekolah-sekolah negeri pelajaran agama lebih diarahkan pada pelajaran budi pekerti yang merupakan nilai-nilai yang diterima semua agama. Kalaupun disekolah-sekolah negeri diajarkan pelajaran agama, maka pelajaran agama itu tidak boleh dipaksakan
Pancasila merupakan nilai-nilai moral minimal, artinya tidak ada agama-agama di negeri ini yang menolak nila-nilai sebagaimana tercantum pada sila-sila dalam Pancasila, karena itu pelajaran budi pekerti atau pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri sepatutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Jadi, perdebatan mengenai pelajaran agama di sekolah bukan hanya problematika masa kini, tapi telah ada sejak lama, hanya saja pemerintah pada masa lalu konsisten berpegang pada pancasila dengan jalan demokrasinya, sehingga semua individu dan kelompok terlindungi. Sekolah-sekolah agama tidak dipaksakan untuk menyelenggarakan pelajaran agama yang berbeda dengan agama lembaga penyelenggara pendidikan itu. Demikian juga hal nya yang terjadi pada sekolah-sekolah negeri, keragaman agama diterima dengan memberikan kesempatan agama-agama memberikan nilai-nilai universalnya dalam bentuk pelajaran budi pekerti.
Perdebatan mengenai pelajaran agama di sekolah sebenarnya tidak perlu terjadi di negeri ini, apalagi rakyat Indonesia adalah rakyat yang beragama, sehingga tidak ada yang menentang agama, namun memaksakan pelajaran agama di sekolah adalah sesuatu yang tidak diperlukan, apalagi memaksakan diadakannya pengajaran agama yang berbeda dengan lembaga agama sekolah-sekolah yang bernapaskan agama itu. Pendidikan nasional sepatutnya dibangun pada dasar kebangsaan bukan berdasarkan agama yang beragam dan berbeda. Hal ini dapat dipahami, karena untuk Indonesia yang beragam agama, suku dan budaya, usaha untuk terus mempererat rasa kebangsaan merupakan hal yang amat penting. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, maka dengan demikian pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Jelaslah bahwa segala usaha pendidikan dan pengajaran harus didasarkan pada dasar kebangsaan.
Semangat demokrasi dalam bidang pendidikan pada awalnya telah melahirkan penghargaan terhadap sekolah-sekolah swasta agama yang secara jujur diakui oleh pemerintah memiliki jasa yang besar dalam membantu perluasan pendidikan dan pengajaran bagi segenap rakyat Indonesia. Tiap aliran ideologis yang tidak bertentangan dengan Pancasila terkait dengan agama dan kemasyarakatan di lindungi haknya untuk membangun dan memelihara pendidikan yang didasarkan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Pemerintah harus melindungi sekolah-sekolah agama, karena ada banyak orang tua yang memilih sekolah itu didasarkan kekuatiran terhadap moralitas anak. Keyakinan orang tua bahwa sekolah agama itu bisa memberikan harapan bagi pembentukan moral dan karakter anak bukan hanya ada di Indonesia, tapi juga di negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat misalnya, karena itu pilihan orang tua, dan seharusnya dihargai.
Melihat pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam gerakan pendidikan nasional seharusnya pemerintah juga mampu memanfaatkan kekuatan pendidikan agama itu dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pemerintah tidak perlu memaksakan pendidikan agama yang berbeda dengan agama penyelenggara pendidikan agama itu, sebaliknya pada sekolah-sekolah negeri, keragaman agama-agama harus diakomodasi. Pendidikan agama harus diintegrasikan pada nilai-nilai Pancasila yang adalah karakter bangsa Indonesia.
Untuk mencari jalan tengah dari kontroversi yang terjadi pada sisdiknas 2003 terkait dengan pelajaran agama, pemerintah bisa memfasilitasi sekolah-sekolah swasta yang mendasarkan pendidikannya di atas dasar pluralisme agama, demikian juga hal nya pada sekolah-sekolah negeri. Pada pendidikan swasta dan negeri tersebut diajarkan agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, namun, pelajaran agama itu harus didasarkan pada Pancasila. “Pendidikan agama lebih tepat disebut pendidikan keagamaan karena mencakup nilai-nilai dari semua agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang bhineka itu.”
Pelajaran agama di sekolah dalam sisdiknas 2003 tidak akan melahirkan kontroversi apabila tidak dijadikan alat untuk membelenggu kebebasan sekolah agama. Demikian juga dalam sekolah-sekolah negeri, karena nilai-nilai agama ada dalam ruang publik, maka nilai-nilai itu diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia, sehingga tidak ada yang menolak diajarkannya pelajaran agama di sekolah.
Perwujudan penerimaan nilai-nilai publik agama tersebut terlihat dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar hidup bersama bagi semua agama yang ada di Indonesia. Penerimaan semua agama-agama terhadap Pancasila seharusnya menyadarkan pemerintah mengenai peran strategis sekolah-sekolah agama dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, karena itu sekolah-sekolah agama itu harus dihargai keunikannya, dan pemerintah hanya perlu mengawasi mutu sekolah tersebut demi ketertiban umum.
Pemerintah juga wajib memberikan subsidi pada sekolah-sekolah itu karena memiliki peran yang sama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan kronologis penyusunan RUU Permusikan yang telah dipaparkan dalam naskah akademiknya dapat diketahui bahwa RUU tersebut merupakan usulan DPR. Adapun yang mendasari usulan tersebut adalah belum adanya undang-undang yang mengatur tentang permusikan. Kenyataan tersebut menjadi dasar bagi anggota DPR untuk merumuskan undang-undang yang mengatur permusikan. Tujuannya adalah agar dengan adanya undang-undang permusikan itu ada kepastian hukum bagi pemerintah untuk mengatur tentang permusikan untuk kemudian mengembangkan dunia permusikan di Indonesia yang dijelaskan dalam RUU tersebut bahwa musik tradisional tertinggal dari musik-musik lain yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penyusun undang-undang beranggapan intervensi pemerintah untuk memajukan permusikan harus didasari dengan adanya undang-undang. Dengan kata lain, RUU Permusikan merupakan produk DPR untuk memajukan pemusikan Indonesia.
Pemikiran bahwa pemerintah hanya dapat intervensi untuk memajukan permusikan di Indonesia dengan menghadirkan RUU Permusikan menunjukan kurang pahamnya pemerintah mengenai kebijakan publik. Karena apapun yang pemerintah lakukan terhadap dunia permusikan baik secara positif yakni dengan menghadirkan RUU Permusikan atau secara negatif dengan tidak menghadirkan undang-undang, keduanya merupakan kebijakan. DPR harus memahami bahwa adakah problem khusus yang mengharuskan hadirnya sebuah undang-undang untuk mengatur kehidupan publik terkait permusikan? Pada saat yang sama juga DPR harus memahami apakah kebijakan publik itu telah bergerak jauh pada dunia privat atau tidak. Maraknya demonstrasi terkait kebijakan tersebut menjelaskan bahwa ada ruang privat yang telah diintervensi kebijakan publik itu. Kebijakan DPR bisa juga mencakup suatu keputusan untuk mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, DPR dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan DPR mungkin memunyai konsekuensi-konsekuensi besar untuk memajukan permusikan di Indonesia. DPR harusnya memerhatikan apa yang dikatakan Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apa yang dilakukan pemerintah dan apa yang tidak dilakukan pemerintah. Intervensi pemerintah dalam ruang publik tidak harus berupa undang-undang, menjaga kebebasan individu agar tercipta ruang publik yang sehat tidak harus dilakukan dengan undang-undang.
Mengamati agenda permasalahan yang tertuang dalam RUU Permusikan terlihat adanya ketidakjelasan mengenai agenda permasalahan. Ketidakjelasan ini dapat dipahami bahwa RUU permusikan tidak didasarkan pada riset mendalam sebagaimana seharusnya sebuah kebijakan publik. Riset kepustakaan dan penggunaan Fokus Goup Discusion (FGD) yang melibatkan lembaga-lembaga permusikan hanya sebatas sosialisasi dari rumusan akademik. Lemahnya perumusan agenda permasalahan tentang permusikan dapat terlihat juga dari waktu penelitian yang sangat singkat, sekitar satu tahun, termasuk sosialisasi yang melibatkan lembaga-lembaga permusikan. Padahal, sebuah proses penyusunan agenda publik permusikan tidak terlepas dari kepentingan politik yang saling bertarung, sebagaimana dijelaskan William N. Dunn demikian, tahapan proses kebijakan publik haruslah didahului sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah pembuat keputusan memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik yang dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Selanjutnya, masih menurut William N. Dunn, masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Perumusan kebijakan unggul ini perlu kehati-hatian.
Demonstrasi yang marak terhadap RUU tersebut membuktikan bahwa agenda permasalahan permusikan belum dapat ditangkap penyusun kebijakan dengan baik. Sebaliknya, bagi pekerja musik permasalahan yang dijabarkan dalam RUU Permusikan bukan masalah penting bagi mereka, sehingga jawaban yang diberikan lewat RUU Permusikan tidak dianggap sebagai solusi dalam mengembangkan permusikan di Indonesia. RUU Permusikan mungkin merupakan hal yang amat penting bagi pemimpin-pemimpin politik, penasihat-penasihatnya, kelompok-kelompok berkepentingan, dan birokrasi karena merupakan produk yang penting untuk menunjukkan kinerja DPR yang terkenal rendah, namun para elite juga harus menyadari bahwa bukan rahasia bahwa tidak banyak dari para elite tersebut yang memunyai kemampuan untuk memutuskan semua isu yang timbul, demikian juga terkait permusikan. Itulah sebabnya ada indikasi RUU tersebut bersifat inkrementalis, atau RUU Permusikan hanya berisi pengembangan kecil dari formula-formula yang dibuat di masa lalu yang menunjukkan keberhasilan untuk medapatkan alternatif-alternatif pemecahan masalah.
Para pejabat publik harus menyadari bahwa mereka membutuhkan pertolongan, saran, kritik dari semua pihak yang ada dalam masyarakat karena proses penyusunan kebijakan publik yang menjadi kebutuhan masyarakat membutuhkan proses yang berat dan keterlibatan semua pihak. Kebijakan publik di Indonesia sebagai negara demokrasi sejatinya juga merupakan bidang yang harus dipikirkan semua orang, setiap warga negara sepatutnya diberikan kesempatan memberikan sesuatu yang berharga yang patut disumbangkan untuk kebaikan bersama. Pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik sangat penting khususnya para ahli kebijakan publik, dan sumbangan masyarakat yang tanpa interes politik itu penting untuk menghadirkan kebijakan yang unggul dan dapat diimplementasikan. Ruang lingkup kebijakan publik yang pertama itu sendri adalah adanya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara-cara yang baik untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak maka kebijakan publik kurang bermakna dan sulit untuk dilaksanakan.
Dalam masyarakat Indonesia yang modern, demokratis, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, partisipasi dari masyarakat sangat penting sekali dalam urusan-urusan pemerintahan termasuk di dalam urusan kebijakan publik. Apabila RUU Permusikan dalam penyusunan agenda dan masalahnya melibatkan stakeholder yang luas, maka penolakan atas substansi RUU itu tidak perlu terjadi, karena masyarakat tentunya akan menyambut gembira sebuah kebijakan publik yang unggul yang akan membawa penyelesaian terhadap konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Hal lain yang dilanggar dalam proses perumusan RUU Permusikan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa perundang-undangan harus didasarkan keterbukaan. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat memunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Hadirnya RUU Permusikan yang merupakan usulan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia seharusnya tidak boleh diartikan bahwa DPR adalah badan yang paling memahami permasalahn permusikan di Indonesia. Kebijakan publik permusikan seharusnya melibatkan semua pihak, sehingga kebijakan publik tersebut diyakini penggiat musik dan seluruh masyarakat Indonesia sebagai jalan untuk menuju kehidupan yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia.
Evaluasi Materi RUU Permusikan
Pasal 50 RUU Permusikan adalah salah satu pasal yang banyak menimbulkan kontroversi. Alasannya adalah pasal tersebut adalah pasal karet yang justru bisa membelenggu proses kreatif pekerja musik. Substansi proses kreatif menimbulkan perdebatan karena proses kreasi adalah domain individu menurut pekerja musik, tapi dalam RUU Permusikan proses kreatif yang adalah domain privat itu dapat diintervensi oleh pemerintah. Alasannya adalah apabila proses kreatif tersebut mengandung unsur: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau RUU Permusikan g. merendahkan harkat dan martabat manusia.
RUU Permusikan terkait materi proses kreatif terindikasi tidak mampu membedakan domain publik dan domain privat. Harus diakui bahwa membedakan secara tegas ruang publik dan privat tidak mudah. Tetapi dengan kehati-hatian, penyusunan agenda masalah yang menjadi dasar perumusan undang-undag permusikan dapat terbebas dari kontroversi yang mungkin ditimbulkan. Apabila penyusunan agenda masalah dilakukan dengan hati-hati, maka aturan proses kreatif yang mengijinkan pemerintah intervensi dalam ruang individu atau privat tentu tidak akan terjadi. Klaim bahwa hadirnya sebuah undang-undang untuk menata permusikan adalah sebuah keharusan sebagaimana dituangkan dalam naskah akademik RUU Permusikan sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat, apalagi sampai memasuki domain individu atau privat yang seharusnya dihindari oleh pemerintah.
Penetapan aturan proses kreatif dalam RUU Permusikan jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:a. pengayoman; Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. kemanusiaan; Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. kebangsaan; Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia d. kekeluargaan; Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalahbahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. kenusantaraan; Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. f. bhinneka tunggal ika; Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika”adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. keadilan; Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Melihat isi materi RUU Permusikan sebagaimana dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa materi RUU Permusikan tidak memenuhi kebutuhan mereka yang terlibat dalam dunia permusikan, itulah sebabnya materi RUU Permusikan mendapat penolakan yang luas.
KESIMPULAN
Agenda permasalahan permusikan di Indonesia sebagaimana dituangkan dalam RUU Permusikan yang merupakan inisiatif DPR dapat disimpulkan belum menjadi kebutuhan pekerja musik Indonesia. Itulah sebabnya kehadiran RUU Permusikan menimbulkan penolakan dari banyak pekerja music di Indonesia.
RUU Permusikan belum dianggap sebagai kebutuhan permusikan di Indonesia karena penyusunan agenda persoalan permusikan di Indonesia tidak dilakukan dengan kehati-hatian, yakni dengan melibatkan stakeholder permusikan secara luas, selain itu waktu yang singkat dalam proses penyusanannya membuat isi materi RUU Permusikan menimbulkan kontroversi.
Materi RUU Permusikan secara khusus terkait atauran proses kreatif tidak mampu memisahkan domain privat dan domain publik secara bijak. Pasal yang berisi aturan proses kreatif ditolak oleh banyak pekerja musik sebagai instrumen yang dapat membelenggu kebebasan insan permusikan. Substansi RUU Permusikan tidak menjawab kebutuhan mereka yang menjadi sasaran kebijakan karena kebijakan ini lebih merupakan ide elite, bukan permasalahan yang diangkat dari kehidupan masyarakat.
REKOMENDASI
RUU Permusikan sebagai alternatif kebijakan direkomendasikan tidak dimasukkan dalam program legislasi nasional karena penyusunan agenda permasalahn yang tertuang dalam RUU Permusikan kurang melibatkan mereka yang merupakan sasaran kebijakan. Cakupan RUU Permusikan yang amat luas membutuhkan peran serta masyarakat yang luas untuk merumuskan sebuah alternatif kebijakan sebagai jawaban terhadap persoalan masyarakat. Penolakan yang luas terhadap RUU Permusikan menunjukkan bahwa kebijakan itu bukanlah kebijakan unggul yang dapat diimplementasikan dengan baik.