Wednesday, June 2, 2021

Pengalaman Buruk Perancis Menguburkan Doktrin Sekularisisasi

  








 

Konflik bisa disebabkan banyak hal, dan bisa terjadi dalam kelompok agama, suku, budaya, dan antar kelompok. Artinya konflik bukan eksklusif milik agama, karena itu tak ada alasan mengatakan bahwa agama merupakan sumber konflik.

Negara-negara Eropa yang sekuler , seperti Perancis kerap gamang bersikap terhadap agama. Pada sisi lain Barat yang sekuler, jika tidak ingin dikatakan anti agama, kerap tidak mengijinkan agama untuk hadir dalam ruang publik. Ada anggapan ruang publik yang steril dari agama menjanjikan kedamaian untuk semua orang.

Keyakinan itu sebenarnya perlu dikubur, karena bagaimana pun kuatnya negara-negara sekuler menyingkirkan agama untuk hadir di ruang publik, eksistensi agama tak pernah tergusur. 

Mungkin itu masih menjadi mimpi buruk negara-negara sekuler yang awalnya adalah negara agama, dan mereka yang menganut paham sekuler itu mengalami deskriminasi dalam negara agama.

Apabila negara-negara Eropa seperti Perancis dapat arif dalam mengamati perjalanan sejarah, maka mereka yang menganut paham sekuler itu tak perlu anti agama, apalagi berusaha mendeskriminasikan agama-agama untuk melindungi eksistensi mereka.


Pengalaman buruk Perancis

Perancis perlu Belajar dari Presiden Jeques Chirac yang menanggapi postif protes negara islam terhadap provokasi terang-terangan Tabloid Charlie Hebdo yang mengatakan, “Apapun yang dapat melukai keyakinan orang lain, khususnya keyakinan beragama harus dihindari.”

Pengabaian Nasihat Bijak Chirac yang dilakukan Emmanuel Macron terlihat dengan pemberian dukungan terhadap Sekularisme Perancis yang secara bersamaan juga menumbuhkan islamofobia di Eropa. Apalagi dengan pernyataan macron yang deskriminatif yang akan memberlakukan undang-undang lebih ketat terhada minoritas Muslim di Perancis.

Sebenarnya cemooh kaum sekuler Eropa bukan hanya ditujukan kepada Islam, tetapi juga agama-agama lain. Perancis sebagai negara sekuler, juga negara-negara Eropa sekuler lainnya, kerap melakukan cemooh terhadap agama-agama yang mereka anggap tidak patut hadir di ruang publik. Bagi negara-negara sekuler seperti Perancis agama hanya boleh ada dalam ruang privat agama, dan tidak perlu terlibat untuk membangun kehidupan publik yang aman dan sejahtera.

Tesis negara sekuler terhadap agama

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.

Pippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.

Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia.

 

Menguburkan Doktrin Sekularisasi

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”

Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.”

 

Negara-negara sekuler patut menyadari bahwa kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan. Kebebasan perlu dilaksanakan dengan memerhatikan kebebasan orang lain. Kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan, tapi keliaran, karena itu sudah sepatutnya kelompok-kelompok sekuler juga mengakui keberadaan agama-agama dan mencontoh tindakan bijak Chrirac untuk tidak melukai perasaan siapapun dalam menjalankan kebebasan. Untuk itu perlu aturan atau undang-undang yang non deskriminatif.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/pengalaman-buruk-perancis-menguburkan.html






Thursday, May 27, 2021

Pelatihan Pengembangan Kurikulum



 


 

Pelatihan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Teologi Secara online jadi kebutuhan pada saat ini.
 

Penguasaan kurikulum serta pengembangan kurikulum menjadi kebutuhan untuk menghadirkan perguruan tinggi bermutu. Pada masa pandemi covid-19 ini, pelatihan kurikulum secara online menjadi strategi jitu untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi secara berkelanjutan.

 

Menurut UU No 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat (1) dijelaskan bahwa: Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

 

Selanjutnya, dalam Undang-undang tersebut di atas juga diterangkan, Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.

 

Pentingya penguasaan kurikulum sebagai seorang dosen juga ditegaskan oleh Lee S. Shulman, yang menetapkan penguasaan kurikulum sebagai salah satu dari 7 kategori yang harus dimiliki seorang dosen, antara lain:

1. Content knowledge

2. General pedagogical knowledge,

3. Curriculum knowledge, 

4. Pedagogical content knowledge,

5. Knowledge of learners and their characteristics;

6. knowledge of education context, and

7. Knowledge of educational ends, purposes, and values, and their philosophical and historical grounds.

 

 

Secara teoritis terdapat dua macam pendekatan struktur kurikulum, yaitu model serial dan model parallel. Pada Kurikulum Model Serial: mata kuliah disusun dari yang paling dasar (berdasarkan logika keilmuannya) sampai di semester akhir yang merupakan mata kuliah lanjutan (advanced). Setiap mata kuliah saling berhubungan yang ditunjukkan dengan adanya mata kuliah prasyarat. Siapa yang harus membuat hubungan antar mata kuliah antar semester?

 

Sedangkan, kurikulum model parallel (Blok/Modular) menyajikan mata kuliah pada setiap semester sesuai dengan tujuan kompetensinya atau dalam bentuk semesteran yaitu dengan mengelompokkan beberapa mata kuliah berdasarkan kompetensi yang sejenis. Dengan demikian mengarah pada pencapaian kompetensi yang serupa dan tuntas pada semester tersebut, tanpa harus menjadi syarat bagi mata kuliah di semester berikutnya.

 

Disamping itu, Sebuah program studi perlu menetapkan profil lulusan, dengan Standar kompetensi lulusan yang merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan berdasarkan level KKNI yang ditetapkan, setelah itu kemudian menetapkan rumusan capaian pembelajaran lulusan.

 

Kurikulum mengacu Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) adalah kurikulum berbasis kompetensi, dan KKNI menambahkannya dengan capaian pembelajaran lulusan yang merupakan turunan dari standar kompetensi lulusan, serta memberikan pembedaan level pada setiap jenjang pendidikan. Pada kurikulum KKNI pencirian program studi yang disusun bersama asosiasi program studi memungkinkan lulusan program studi berelasi dengan dunia kerja, tanpa harus menegasikan visi, misi keilmuan program studi serta visi, misi institusi pendidikan.

 

Standar kompetensi lulusan yang mengacu pada level KKNI itu digunakan sebagai acuan utama pengembangan standar isi pembelajaran, standar proses pembelajaran, standar penilaian pembelajaran, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana pembelajaran, standar pengelolaan pembelajaran, dan standar pembiayaan pembelajaran.

 

Standar Kompetensi lulusan sekurang-kurangnya mencakup tiga hal, yakni pengetahuan, Keterampilan dan Sikap. Sikap dalam hal ini merupakan perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. (lihat lampiran permendikbud No. 44 Tahun 2015)

 

Sedangkan Pengetahuan diartikan sebagai penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau falsafah bidang ilmu tertentu secara sistematis yang diperoleh melalui penalaran dalam proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.

 

Selanjutnya, Keterampilan merupakan kemampuan melakukan unjuk kerja dengan menggunakan konsep, teori, metode, bahan, dan/atau instrumen, yang diperoleh melalui pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran, mencakup:

a. Keterampilan umum sebagai kemampuan kerja umum yang wajib dimiliki oleh setiap lulusan dalam rangka menjamin kesetaraan kemampuan lulusan sesuai tingkat program dan jenis pendidikan tinggi; (lihat lampiran permendikbud No. 44 Tahun 2015)

b. Keterampilan khusus sebagai kemampuan kerja khusus yang wajib dimiliki oleh setiap lulusan sesuai dengan bidang keilmuan program studi.

 

Rumusan pengetahuan dan keterampilan khusus sebagai bagian dari capaian pembelajaran lulusan wajib disusun oleh:

a. forum program studi sejenis atau nama lain yang setara; atau

b. pengelola program studi dalam hal tidak memiliki forum program studi sejenis.

 

Untuk dosen mampu memahami kurikulum yang mengacu pada KKNI diperlukan pelatihan yang berkelanjutan. Perguruan tinggi perlu memfasilitasi dosen-dosen perguruan tinggi untuk mendapakan pelatihan mengenai kurikulum mengacu KKNI.

 

Pentingnya penguasaan kurikulum oleh dosen ini sangat menentukan keberhasilan program pendidikan. Dosen yang wajib menyusun rencana pembelajaran mata kuliah perlu memahami kurikulum serta peta mata kuliah dari mata kuliah yang diajarkan untuk kemudian mengembangkan pembelajaran di kelas dan juga kegiatan pembelajaran mahasiswa untuk menguasai materi kuliah.

 

Berbekal pengalaman membimbing penyusunan kurikulum pada beberapa Sekolah Tinggi Teologi, Dr. Binsar A. Hutabarat, tamatan doktor Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta dengan Disertasi, Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) Bidang Pendidikan Tinggi terbeban untuk membantu STT-STT di Indonesia mengembangkan kurikulum yang mengacu pada KKNI.

 

Mengingat kondisi Covid-19 yang tidak memungkinkan pelatihan atau pendampingan pengembangan kurikulum secara tatap muka, maka pelatihan pengembangan kurikulum secara online menjadi pilihan, dengan tetap menjaga mutu dari pelatihan yang diadakan. Adapun jensi pelatihan yang disediakan adalah seperti berikut.

 

Tanggal/Jam

Tema

Kontribusi Peserta

Keterangan

7 Oktober 2020, jam 13.00-14.30 WIB.

Kebijakan Kurikulum KKNI, Alternatif Meningkatkan Mutu Pendidikan Tinggi Teologi dan keagamaan Kristen (Dasar Kebijakan KKNI, KKNI dan Dunia kerja, Level Kualifikasi KKNI, Matriks Pengetahuan dan proses Kognitif.

Rp. 75.000,-

Peserta Mendapatkan Bahan ajar/Makalah

14 Oktober 2020, jam 13.00-14.30 WIB.

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen (Tujuan, profil kompetensi lulusan, CPL, CPMK. Sub CPMK,

Rp. 75.000,-

Peserta mendapatkan bahan ajar dan makalah

21 Oktober 2020, Jam 13.00-14.30 WIB.

Penyusunan Rencana pembelajaran Semester (RPS) termasuk Satuan Acara perkuliahan

Rp. 75.000,-

Peserta mendapatkan Bahan ajar/Makalah

 

 

 

 

 

 

Informasi pendaftaran:

Mariana, Hp. 081210641245

Via email: antonihutabarat@gmail.com

 

- Pendaftaran peserta ditutup setelah jumlah pendaftar mencapai 20 orang atau dua hari sebelum acara.

- Peserta dianggap telah mendaftar setelah membayar biaya pelatihan yang ditransfer ke. Rekening BCA. 7400166760 atas nama Binsar Antoni Hutabarat

- Peserta yang telah membayar biaya pendaftaran mengirimkan bukti pembayaran ke WA. Hp. 081210641245, 0818829934.

 

 

 

 

Binsar Hutabarat Institute

 

 

Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th., M.C.S.


https://www.binsarhutabarat.com/2020/09/pelatihan-pengembangan-kurikulum.html

Covid 19 Bukan Tindakan Tuhan




 Sains menemukan bahwa covid-19 merupakan akibat tindakan manusia yang menghancurkan bumi secara global dan menciptakan ketidakseimbangan alam. Virus yang asalnya dari kelelawar itu menyerang manusia secara luas.


Kita mungkin setuju bahwa bahwa pandemi bukan tidakan Tuhan, tetapi sesuatu yang diijinkan Tuhan, oleh karena tindakan manusia yang  menghancurkan bumi secara global. Karena itu, Gereja perlu membuat terobosan-terobosan penting untuk tetap mewujudkan panggilan Gereja di tengah Covid-19.


Pada satu sisi, kita setuju bahwa banyak penderitaan dan kesusahan dialami umat manusia diseantero dunia ini tanpa kecuali. Tapi pada sisi lain gereja juga perlu introspeksi diri untuk mengevaluasi apa yang telah gereja kerjakan, termasuk gereja di Indonesia, dan kemudian berusaha memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan, atau rencana Misi Allah untuk gereja pada masa sulit ini.


Topik yang menjadi pokok bahasan saya adalah Mewujudkan Panggilan gereja di tengah covid-19. Secara khusus saya mencoba mengevaluasi respon gereja di Indonesia dalam menghadapi badai covid-19. Pertama-tama saya akan membahas sekilas tentang kondisi gereja dan pendidikan tinggi teologi di Indonesia, untuk kemudian memberikan jawaban terhadap pertanyaan, bagaimanakah gereja dapat melaksanakan panggilannya di tengah covid-19?  


Gereja dan Pelestarian Doktrin Denominasi


Saat awal merebaknya covid-19 di Indonesia, saya terkesima dengan perang doktrin denominasi yang disuguhkan media-media sosial. Gereja yang dibentengi tembok-tembok gereja yang tinggi itu harus keluar dunia nyamannya dan terlihat gagap bergaul dengan sesama saudaranya sendiri. 


Ibadah online yang awalnya dapat diakses secara bebas pada saat ini makin dibatasi dengan teknologi mutakhir. Itu terjadi karena dunia maya telah menjadi arena pertempuran doktrin gereja yang gagap ketika harus saling berbagi informasi eksklusif denominasi. Banyak hal-hal yang tak masuk akal kita dengar dari pertempuran pada dunia maya itu,  mulai dari kata-kata tak patut yang dilontarkan, sampai pada hardikan kasar yang sepertinya sengaja dilontarkan untuk membungkam sesama saudaranya.


Perpecahan gereja melahirkan banyak denominasi

Denominasi gereja di Indonesia menurut saya terlalu banyak, dan salah satu penyebanya adalah perpecahan gereja. Ironisnya gereja yang terpecah itu bukan karena doktrin utama, atau doktrin dasar, tetapi lebih kepada dukungan terhadap tokoh. 


Alasan perpecahan karena pengaruh tokoh tertentuitu jelas  tidak bisa menjadi alasan pendirian denominasi baru. Apalagi tata ibadah denominasi yang terpecah itu seringkali tak banyak perbedaan. 


Penelitian saya menunjukkan bahwa sikap intoleransi antaragama, demikian juga antar denominasi banyak dipengaruhi oleh sikap intoleran tokoh agama. Berdasarkan temuan itu dapat dipahami bahwa ketika terjadi perjumpaan tokoh-tokoh gereja dalam bentuk ibadah online, sikap intoleransi tokoh agama terlihat jelas. 


Pengamatan saya sementara gereja-gereja di Indonesia lebih berpusat kepada pembangunan kerajaan “denominasi gereja.” Menurt pengamatan saya, yang terjadi di Indonesia bukan pertumbuhan gereja, tetapi perpindahan anggota jemaat. 


Saya kuatir “jangan-jangan” gereja telah menjadikan keunikan denominasi gereja sebagai “produk kebijakan” untuk menarik jemaat lain masuk dalam denominasi gereja tertentu. Ini tentu bukan salah satu usaha untuk mewujudkan panggilan gereja.


Kita kerap mendengar gereja tertentu menawarkan produk “doktrin paling benar,””Hidup paling kudus,”serta “paling disertai Tuhan” dengan “karunia-karunia spektakuler.”Kita tentu perlu bertanya, apakah dalam promosi produk-produk denominasi itu tidak terselip keinginan untuk sekadar memperbesar jumlah anggota jemaat gereja tertentu?


Menurut saya penekanan pada “produk kebijakan,”untuk istilah yang saya berikan, itulah yang kemudian membuat gereja berjuang keras untuk melestarikan dirinya untuk tetap punya keunikan ditengah derasnya arus informasi. 


Strategi itu biasanya diungkus dengan propaganda sebagai  usaha untuk melindungi diri dari serangan keragaman doktrin yang melanda sampai pada ruang-ruang privat kita. Dengan alasan melindungi jemaat dari penyesatan, gereja yang saling bertempur itu telah melupakan alam demokrasi dinegeri ini, apalagi semangat bhineka tunggal ika yang menjadi dasar bersama negeri ini.


Bahaya fundamentalisme, yaitu gereja merasa diri tahu segala sesuatu, merasa memiliki doktrin yang absolud, sehingga melupakan keterbatasannya, dan kemudian mengangkat doktrin denominasi itu menjadi setara dengan Alkitab, mungkin tanpa disadari, dan kemudian ironisnya lagi dengan bernapsu, “napsu ilahi”menurut mereka, denominasi itu berusaha menghabisi siapapun yang berbeda dengan mereka. 


Realitas itu telah menjadi persoalan serius bagi gereja dan juga agama-agama di Indonesia. Ambil contoh Gerakan “pemurnian” bukan hanya dilakukan radikalisme agama-agama, tetapi juga telah menerobos masuk kedalam gereja, apalagi ketika sikap kritis anggota jemaat seakan terkubur oleh penampilan tokoh-tokoh idola mereka. Jemaat, bahkan teolog tak berani menguji pandangan-pandangan tokoh berkharisma itu.


Bagaimana dengan peran Teologi Akademis.


Pengamatan saya, pada umumnya pendidikan tinggi teologi yang didirikan oleh gereja, hanya menjadikan pendidikan tinggi teologi itu sebagai barisan pelestari doktrin gereja. Produk kebijakan gereja dipaksakan diterima pendidikan tinggi teologi. Menolak produk kebijkan itu berarti harus menyingkir, dan masih bersyukur tidak disebut bidat. Itulah sebabnya, Sulit ditemukan kebebasan akademik dalam pendidikan tinggi teologi yang didirikan gereja.


Sayangnya, perguruan tinggi teologi yang didirikan yayasan atas visi seorang tokoh Kristen juga mengikuti jejak yang sama. Adalah tabu untuk mengkaji doktrin tokoh pendiri perguruan tinggi teologi. Perguruan tinggi teologi seperti layaknya program “Vokasi”yang dihadirkan karena kebutuhan tenaga pengerja gereja.


Parahnya lagi, karya-karya akademis yang digelontorkan dosen-dosen teologi bisa dikatakan sangat langka. Mereka yang tamat doktor-doktor teologi menghabisi waktu mereka untuk mengajar, dan seakan lupa tugas panggilan mereka untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran teologi konteks Indonesia melalui penelitian untuk pengabdian masyarakat gereja.


Saya sempat terkesima ketika banyak perguruan tinggi teologi memaksakan tamatannya hanya menghasilkan karya akhir dalam bentuk penelitian kuantitatif, tragisnya lagi mereka tak pernah belajar statistik. Teologi dijadikan sama dengan sains. Sedang pada sisi lain terjadi pendangkalan kajian-kajian teologis. 


Mewujudkan panggilan Gereja di tengah covid-19.

Menurut saya sudah tidak waktunya lagi antar denominasi gereja itu saling bertempur, apalagi hanya demi mempromosikan “produk kebijakan”gereja yang belum tentu sesuai dengan rencana misi Allah untuk denominasi itu, dan juga untuk denominasi gereja lain. Gereja di Indonesia perlu menyadari keterbatasannya, dan perlu saling belajar. Apalagi dalam alam demokrasi saat ini. 


Apabila gereja-gereja dengan bantuan teolog-teolog yang bermarkas pada pendidikan tinggi teologi mampu bekerjasama, maka gereja akan tetap dapat memahami rencana misi Allah untuk gereja saat ini.  


Kita bersyukur ada para teolog bersama para ahli kesehatan yang membuat pedoman bersama bagaimana gereja tetap menjalankan panggilannya di tengah covid-19. mulai dari penyelanggaraan ibadah-ibadah fisik terbatas, penggunaan media digital, gereja digital, penerapan protokol kesehatan sesuai dengan konteks ibadah gereja, dan juga pelayanan-pelayana gereja baik dalam hal pelaksanaan koinonia, diakonia, dan marturia.


Saya setuju dengan usaha “mainstreaming”pendidikan tinggi teologi. Karena pendidikan tinggi teologi di Indonesia, secara khusus Injili kehilangan percaya diri. Luaran perguruan tinggi teologi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pengerja gereja, dan perlu taat total pada doktrin gereja. Lebih parah lagi mereka hanya menjadi barisan pengaman doktrin gereja.



Sebagai seorang peneliti, pada Dies Natalis STT Providensia ini saya mengusulkan agar pendidikan tinggi teologi mengembangkan pemikiran-pemikiran teologi mutakhir, dan juga penerapan doktrin teologis yang kontekstual, seperti saat covid-19 ini. Berarti, Pendidikan tinggi teologi bukan hanya mengembangkan studi multi disiplin dan interdisiplin, mencari integrasi antar disiplin yang berbeda untuk menjawab persoalan yang ada, seperti ketika akan membuat panduan pelayanan ditengah covid-19.


Pendidikan tinggi teologi juga perlu mengembangkan pendekatan “transdisiplin”untuk menghasilkan temuan-temuan baru. STT Providensi jangan menjadi benteng pelestari doktrin tokoh tertentu, tapi berusaha maju untuk menemukan penarapan-penerapan baru, jika mungkin pengembangan doktrin gereja, dalam mewujudkan panggilan gereja ditengah covid-19.   


Soli Deo Gloria


Dr. Binsar Antoni Hutabarat


Dr. Binsar Antoni Hutabarat lahir di Jakarta, 19 November 1963. Menyelesaikan pendidikan SMA di Jakarta, kemudian melanjutkan di   Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen perindustrian RI tahun 1983-1986. Terpanggil menjadi Hamba Tuhan, menyelesaikan pendidikan Sarjana Teologi di I-3 Batu, Jawa Timur. Menyelesaikan Magister Christian Studies di Institut Reformed Jakarta. Mendapatkan gelar Magister Teologi (M.Th.) di STT Reformed Injili Internasional. Meraih gelar doktor pada Universitas Negeri Jakarta prodi Penelitian dan Evaluasi pendidikan (PEP). Saat ini menjabat sebagai Pendiri dan direktur Binsar Hutabarat Institute. Asesor Kepangkatan dosen pada Dirjen Bimas Kristen, Kementerian Agama RI. Ketua bidang penelitian Perkumpulan Dosen dan Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia(PDPTKI), Ketua umum regional 3 Jakarta-Banten PDPTKI. Ketua asosiasi jurnal perguruan tinggi keagamaan Kristen Indonesia. Ketua Litbang STT Lintas Budaya Jakarta. Ketua Tim Akeditasi STT Siarnauli, Sibolga, Sumatera Utara. Ketua Pendiri Institute Harsen Nias. Reviewer Buku Guru dan Buku PAK dan Budi Pekerti Siswa SMA Kelas X. Reviewer tujuh (7) Jurnal ilmiah.  






https://www.binsarhutabarat.com/2021/02/covid-19-bukan-tindakan-tuhan.html


Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...