Friday, November 19, 2021

Pancasila Ibarat Payung Besar


Pancasila Ibarat Payung Besar






Pancasila ibarat sebuah payung besar yang cukup untuk memberikan perlindungan terhadap keragaman di Indonesia. Keragaman suku, budaya dan agama mendapatkan tempat persemaiannya di bumi Pancasila yang memosisikan agama pada tempat terhormat.

 

 Negara yang berdasarkan Pancasila, mengembalikan domain agama kepada pemeluknya, tetapi juga memberikan suasana yang kondusif bagi agama memberikan sumbangsih yang berharga bagi bangsa. Pancasila yang menjiwai UUD 45 menghadirkan kebijakan yang anti deskriminatif untuk semua.


Pancasila Sebagai Kompromi 

Pancasila diterima sebagai sebuah kompromi politik karena Pancasila bermanfaat bagi semua agama-agama yang ada di Indonesia. Pancasila bukan hanya mengijinkan tetapi juga mendukung apa yang disebut bukan negara sekuler dan bukan negara agama yang mendasarinya pada agama tertentu.

 

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah untuk mendorong agama memainkan peran yang penting di dalam urusan-urusan publik Indonesia.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, harus memainkan peran yang menentukan yang menjadi dasar keempat sila yang lain, yaitu sila kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial.Namun, tidak berarti Pancasila harus ditafsirkan secara vertikalisme, karena agama harus menghadirkan perikemanusiaan. 

 

Namun, mengijinkan agama-agama untuk hadir dalam ruang  publik bukan persoalan mudah bagi negara-negara sekuler yang melihat agama bukan sebagai kebutuhan, bahkan telah memarginalkannya begitu lama. Apalagi pemisahan mana yang menjadi domain privat dan domain publik itu sendiri tidaklah mudah. Agama-agama perlu secara bersama membangun konsensus bersama untuk menghadirkan etika bersama yang dilandasi oleh nilai-nilai dari Pancasila.

 

Keyakinan bahwa agama dapat memberikan kontribusi penting bagi kehidupan bersama yang damai, merupakan pengalaman Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, agama-agama budaya Indonesia hingga saat ini masih dapat dijumpai dengan mudah.


Pancasila memosisikan agama pada tempat terhormat

Sebaliknya, agama-agama besar yang masuk ke Indonesia, tidak sedikit yang kemudian mewarnai agama-agama suku itu. Masuknya agama-agama besar ke Indonesia secara damai itulah yang membuat keragama Indonesia terawat dengan baik. Jadi, Indonesia tidak pernah mengalami kehidupan tanpa agama, atau negara sekuler yang meminggirkan peran agama.

 

Indonesia yang toleran juga tidak pernah menghadirkan agama negara yang mengatur kehidupan masyarakat secara ketat. Pelajaran dari banyak negara agama menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa negara-negara yang mengatur kehidupan masyarakatnya dengan nilai-nilai agama yang amat ketat juga tidak mampu mengatasi persoalan sosial seperti korupsi, kemiskinan dan keborobrokan birokrasi.


Finalitas jalan Pancasila

Dengan demikian jelaslah bahwa Indonesia telah berada dalam jalan yang benar, yakni menjadi bukan negara agama yang mendasari pada agama tertentu, demikian juga bukan negara sekuler yang meminggirkan peran agama. Tidak ada komunitas agama apapun yang secara jumawa bahwa mereka mempunyai jawaban untuk memajukan Indonesia. Tetapi, semua elemen bangsa di negeri ini perlu bersatu untuk mendapatkan solusi terbaik untuk memajukan Indonesia. Secara khusus setelah negeri ini merayakan kemerdekaannya yang ke-75.

 

Sengkarut antara agama dan negara pada abad pertengahan masih menyisakan trauma dan ketakutan. Runtuhnya komunisme dan kembalinya sekularisme tetap membuat masyarakat berhati-hati saat membahas  agama untuk menghindari masuk ke ranah privat terlalu dalam. 

 

Negara-negara demokrasi kini menghadapi tantangan baru, karena sebagai negara demokrasi mereka harus mengijinkan agama-agama yang beragam itu  hadir dalam ruang publik, disini hubungan antara agama dan negara memasuki fase yang baru. 

 

Indonesia sebagai negara dengan banyak agama kini menghadapi persoalan yang tidak mudah seiring dengan kebangkitan agama-agama yang menuntut untuk hadir mendominasi ruang publik dengan alasan mayoritas. Padahal, Pancasila secara jelas telah mengingatkan bahwa Pancasila tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Satu untuk semua, semua untuk satu begitu dikatakan Presiden Soekarno.

 

Timbul pertanyaan apakah Pancasila masih mampu menjadi payung yang lebar untuk menjadi landasan etis bersama agama-agama yang kerap tergoda untuk menunjukkan hegemoninya pada ruang publik? Kita berharap kedewasaan kita sebagai bangsa Indonesia akan tetap pada pilihan, bahwa Pancasila telah Final sebagai landasan bersama seluruh rakyat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/08/pancasila-ibarat-payung-besar.html


Tuesday, November 2, 2021

Negara Kesatuan Republik Indonesia




Negara Kesatuan Republik Indonesia


Hari lahirnya NKRI jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hari dimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Kemerdekaan yang di raih oleh bangsa Indonesia itu bukanlah hadiah dari bangsa Jepang, terlebih lagi Belanda yang tidak pernah ingin melepaskan cengkeramannya atas Indonesia. 

Jika mungkin, Belanda ingin terus menguasai Indonesia sebagai negara jajahan. Pasalnya, bagi Belanda, Indonesia mempunyai arti yang sangat penting. Setidaknya, selama berabad-abad Indonesia telah menjadi sumber penghasilan yang amat besar untuk Belanda. Terbukti, setelah kemenangan tentara sekutu atas Jepang, Belanda kembali ingin menancapkan taringnya di Indonesia. Pada akhirnya  Belanda mengakui kedaulatan NKRI, namun itu dilakukan setelah melewati peperangan-peperangan yang amat melelahkan dengan mengorbankan nyawa, harta yang tidak sedikit. 

Tekad dan perjuangan rakyat Indonesia lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pernyataan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.[ Lihat A.A. Yewangoe, Iman Agama Dan Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002), h.217-218.]  

Perjuangan kemerdekaan Indonesia diraih dengan susah payah dan dibayar dengan harga yang mahal, yaitu darah para pejuang di seluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu, tidak boleh ada individu atau kelompok yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tersebut semata-mata karena peran individu atau kelompok tertentu.

Lahirnya NKRI dapat pula disebut sebagai lahirnya Nusantara ketiga.[ Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disini saya sengaja menggunakan istilah “dipersatukan” kembali tentu saja dengan pengertian bahwa bangsa kita sudah pernah bersatu dalam bentuk “persatuan” dan persatuan itu pernah berantakan, persatuan yang diproklamasikan pada tahun 1945 itu kita beri nama negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya ingin memandang negara kesatuan Republik Indonesia itu sebagai negara Nusantara yang ketiga. Nazarudin Syamsuddin, “Melestarikan Negara Nusantara Ketiga”, dalam Pembangunan Politik Situasi Global Dan Hak-Hak asasi Manusia di Indonesia, di edit oleh Haris Munandar, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 244.] Hal ini didasari dengan pandangan bahwa NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah “negara ketiga” yang ada di bumi Nusantara. Ada pun negara pertama yang pernah berjaya di Nusantara adalah Sriwijaya yang bertahan lebih kurang selama empat abad. Negara kedua adalah Majapahit yang berjaya selama hampir tiga abad. Dapat pula dikatakan bahwa wilayah Majapahit lebih-kurang sama dengan NKRI saat ini. Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut, tidak salah jika dikatakan bahwa NKRI adalah Nusantara ketiga yang bersatu. Oleh sebab itu pula, maka seharusnya warga etnis Tionghoa dimasukkan sebagai salah satu suku di Indonesia, karena kehadirannya telah ada sejak tahun 1415. Pada waktu itu di Gunung Jati Cirebon telah ada pemukiman Tionghoa. Sehingga, warga etnis Tionghoa ini harus diperlakukan sama sebagaimana suku-suku pribumi lain di Indonesia, apalagi mereka juga ikut serta dalam perjuangan merebut kemerdekaan.[ Pemukiman Cina telah ada di Gunung Jati Cirebon tahun 1415, disana dilukiskan Laksmana Haji Kung Wu Ping, seorang keturunan dari penganut Konghucu mendirikan menara mercusuar di atas bukit gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula komunitas Cina muslim Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan memelihara pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. Secara bersama-sama ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula memasak bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok Dinasti Ming, Chandra Setiawan, “Khonghucu Dalam Kemajemukan Agama-Agama di Indonesia”, dalam Struggling in Hope, diedit oleh, Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, A.Rajendra, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 465.] Bedanya, jika negara Nusantara pertama dan kedua disatukan dengan kekuatan senjata, maka negara Nusantara ketiga ini bersatu berdasarkan konsensus bersama. Dengan kata lain, persatuan tersebut tercipta tidak dengan kekuatan senjata, walaupun harus menghadapi perlawanan bersenjata dari pihak penjajah. Meski demikian, NKRI ini bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Sriwijaya atau pun Majapahit. Pernyataan bahwa rakyat yang berdiam di wilayah Nusantara ketiga sebagai bangsa yang bersatu, telah dicetuskan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini tertuang dalam pernyataan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. Pengakuan tersebut lahir dari kesadaran bahwa rakyat Indonesia sejak dahulu memang telah hidup dalam kesatuan, baik pada jaman Sriwijaya maupun Majapahit.[ “Pengakuan bertumpah darah yang satu, berkebangsaan yang satu, berbahasa satu, tidak perlu disangsikan lagi baru merupakan konsensus nasional pada tingkat pengakuan masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politis. Namun demikian, sebagai bangsa yang merdeka bangsa Indonesia baru lahir sejak tanggal 17 Agustus 1945”. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 74.] Dan pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat yang tinggal di bumi Nusantara sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Rasa senasib dan sependeritaan tersebutlah yang mendorong rakyat Nusantara membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Para pemimpin yang mewakili mereka pada waktu itu kemudian disebut sebagai “The founding fathers” Indonesia. Hanya dengan bersatu padu maka Indonesia dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Dan persatuan Indonesia  tersebut merupakan reaksi terhadap kolononialisme Barat yang melahirkan nasionalisme. Perjuangan rakyat Indonesia pada mulanya dilakukan secara tradisonal, secara kedaerahan. Sehingga selalu mengalami kegagalan. Dalam proses modernisasi Indonesia belajar dari Barat, sehingga nasionalisme yang terbentuk di Indonesia adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar dari Barat, dan secara bersamaan merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat.[ Lihat T.B.Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998),  h. 7-8.] Kemudian rasa satu bangsa itu terus bertumbuh dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga dapat dimengerti mengapa bangsa Indonesia yang sangat beragam tersebut akhirnya dapat menjadi bangsa yang bersatu. Dan tentunya untuk memelihara persatuan tersebut merupakan suatu usaha yang seharusnya di usahakan terus menerus. Mengenai tumbuhnya perasaan sebagai bangsa yang bersatu tersebut, T.B. Simatupang menjelaskan seperti berikut:

Negeri saya telah melalui perang kemerdekaan belum terlampau lama berselang. Dalam kehidupan bangsa-bangsa, perang semacam itu – bila berbentuk perang gerilya – merupakan pengalaman yang amat menentukan. Ia mendobrak banyak hal yng lama dan sekaligus memantapkan tali-temali baru, solidaritas-solidaritas baru. Ia membuka cakrawala-cakrawala baru, harapan-harapan baru. Negeri saya benar-benar lahir ditengah-tengah perang kemerdekaan tersebut. Sekiranya peperangan itu tidak ada, sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan seperti misalnya terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini.[ T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h. 4.]


Nasionalisme Indonesia yang bertumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme Barat terus bertumbuh dalam perjuangan revolusi, itulah yang menyebabkan Indonesia tidak terpecah-pecah seperti negara-negara lain yang beragam, seperti perpecahan yang terjadi di India. Jadi tidaklah mengherankan jika rakyat Indonesia tidak menyadari keberadaan dirinya yang sangat beragam tersebut, maka disintegrasi bangsa merupakan ancaman yang sangat serius, karena banyak daerah di Indonesia berusaha untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa sejak permulaan revolusi hingga Indonesia mencapai kedaulatan penuh, setiap warga negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama telah menjalankan kewajibannya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.[ T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen Dalam Perang Revolusi Dan Pembangunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 32.]

Pengakuan bahwa bangsa Indonesia telah ada sejak lama tercermin dengan diakuinya pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan dari berbagai pelosok tanah air. Mereka itu antara lain Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Pattimura dari Maluku, Raja Singamangaraja XII dari Tanah Batak, Teuku Umar dari Aceh, dan lain-lain. Pahlawan-pahlawan tersebut telah berjuang memimpin rakyat Indonesia di daerahnya masing-masing untuk mengusir penjajah sebelum proklamasi kemerdekaan dinyatakan. Pengakuan bahwa masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politik telah ada sejak lama, kemudian diwujudkan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, juga merupakan pencerminan bahwa rakyat Indonesia tetap sebagai satu kesatuan meskipun terdiri dari berbagai suku bangsa (bhinneka tunggal ika).[ “Pancasila pada hakekatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Ia meliputi toleransi dan akomodasi timbal balik dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan lapisan sosial…Pancasila, pada hakekatnya, merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan, atau dijabarkan kedalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, maka Pancasila telah menjadi faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia”. Simatupang, kehadiran Kristen, h. 74-75.]



https://www.binsarhutabarat.com/2021/11/negara-kesatuan-republik-indonesia.html

Monday, November 1, 2021

Fanatisme Agama

Fanatisme Agama



Fanatisme agama telah menampilkan Wajah Ganda Agama, wajah garang dan wajah damai.


Agama pada satu sisi dapat menjadi agen pembawa damai, namun pada sisi alain juga menampilkan wajah garang yang tampil dalam koflik agama. 

Umat beragma di Indonesia, termasuk umat Kristen perlu mewaspadai fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama yang kerap menampilkan kekerasan agama.

penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekitar 2,5 persen masyarakat Indonesia memiliki paham radikalisme. Radikalisme tidak identik dengan terorisme, namun, upaya preventif agar mereka yang memiliki paham radikal itu  tidak terkooptasi menjadi teroris harus dikerjakan secara bersama termasuk dalam hal ini umat Kristen.


Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. 

Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secara global.  Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci dan agama itu sendiri.


Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu gemar memaksakan kehendaknya.


Kaum radikalisme agama memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. 


Kelompok Radikalisme agama ini kerap  mengumandangkan  penolakannya untuk memberikan proteksi terhadap  kebebasan beragama yang ditetapkan dalam konstitusi negeri ini.


 “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” 


Meningkatnya intoleransi agama tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus meningkat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu sebaliknya makin melemah. 


Dampak Fanatisme Agama 

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let live). Bahkan  pada beberapa tempat di negeri ini hubungan antarumatt beragama itu sedemikian buruk yakni sudah pada taraf menampilkan hegemoni agama yang menjurus pada kekerasan agama (live and let die). 


Pertumbuhan sebuah agama kerap diringi dengan pembelengguan kebebasan beragama pada agama-agama yang berbeda. Lahirnya perda-perda bernuansa agama, baik perda syariah maupun raperda Injil meneguhkan hubungan antar agama yang amat memperihatinkan itu.


Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai  bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Kondisi terancam itu membuat agama-agama kehilangan kesadaran interdepedensi satu dengan yang lainnya, yang ada hanyalah usaha bagaimana agama-agama itu mempertahankan eksisitensinya tanpa memedulikan akibatnya pada yang lain, atau dengan sengaja menekan pertumbuhan agama yang lain.


Radikalisme dan fanatisme keagamaan yang semakin subur di negeri ini ternyata berdampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang lama bersemayam di negeri ini. Deradikalisasi agama menjadi persoalan penting yang harus dikerjakan dengan serius jika memang kita ingin melihat agama-agama di negeri ini terus menebarkan wajah perdamaian.



Mewaspadai Wajah Ganda Agama

 Pada satu sisi, secara unik dan inheren agama hadir dengan berbagai sifat eksklusif, partikularis, dan primordial. Namun di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, ia kaya dengan identitas yang berelemen inklusif, universalis, transendental. Kedua sisi ini datang silih berganti  secara simultan. Itu sebabnya mengapa agama berpotensi menampakkan wajah kekerasan dan wajah perdamaian.


Karena itu penggambaran agama yang melulu penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap.   Karena banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.


Untuk Indonesia, konflik agama terbilang relatif kecil pada era orde lama maupun orde baru. Pada era tersebut, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. 


Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama. 


Jadi konflik agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Bahkan, posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini awalnya telah mempopulerkan Indonesia  sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. 

Perjalanan sejarah negeri ini menyaksikan bahwa agama bukan sumber masalah, dan kontribusi positif agama-agama sangat dibutuhkan. 



Betapapun universalnya suatu agama dan  betapapun kekalnya doktrin-doktrin agama itu, kepercayaan-kepercayaan ini tidak bisa menjadi prinsip ideologis formal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.  


Negara yang  membiarkan agama tertentu menjadi alat penentu untuk memperlakukan para warga negara secara berbeda, sama saja dengan  mengabaikan prinsip-prinsip inklusifitas dan non-diskriminasi yang terdapat di dalam Pancasila. 


Ketika politik mengizinkan dirinya dikooptasi oleh agama, seketika itu juga ia kehilangan fungsinya yang paling luhur, mengayomi dan memperlakukan warganya secara adil, tanpa diskriminasi.


Lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa agama meski dengan alasan demi merukunkan antarumat beragama justru telah membuat kehidupan antarumat beragama menjadi tidak rukun, dan penuh konflik, karena kehadiran undang-undang bernuansa agama tak terbantahkan sarat dengan politisasi agama. 


 Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme keagamaan adalah buah dari cara-cara beragama yang salah tersebut.


Konteks Kristen

Radikalisme agama ada pada semua agama, termasuk dalam kekristenan. Karena itu umat Kristen Indonesia harus mewaspadai hal itu. Khusunya Fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama.


Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga.

Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan  membuat pemeluk agama melihat agama lain darikacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atautafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka.


Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. 

Fanatisme adalah sikap terlampau kuat atau berlebihan menyakini ajaran agama. Akibatnya, sering kali melahirkan tindakan yang anti keberagaman. 

Fanatisme cenderung melahirkan arogansi, menebar kebencian, anti perbedaan, dan dekat dengan kekerasan. 

“Fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Artinya, dimana fanatisme tumbuh dengan subur, di situ pastilah terjadi pemasungan kebebasan beragama.


Pdt. Dr. Binsar A. Hutabarat



https://www.binsarinstitute.id/2021/11/fanatisme-agama.html






Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...