Sunday, February 27, 2022

Tes Wawasan Kebangsaan Perlu Di Kaji

 




Tes Wawasan Kebangsaan Perlu Di Kaji 

Wajar saja jika Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) jadi perbincangan luas. Isu yang mencuat adalah bahwa tes TWK itu sengaja diberikan untuk menjerat puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tak lolos menjadi ASN.

 

Materi Test

Menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN) TWK adalah materi yang bertujuan untuk menguji seberapa baik wawasan kebangsaan dan pengetahuan calon ASN tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Nasionlisme, Bahasa Indonesia, dan Wawasan pilar negara.

 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa  Uji kemampuan ini dilakukan karena salah satu fungsi aparatur sipil negara (ASN) sebagai perekat NKRI, penjamin kesatuan dan persatuan bangsa. Dijelaskan juga tes wawasan kebangsaan adalah seperti bagaimana seorang mengamalkan sila pertama Pancasila dalam kehidupan beragama di lingkungan tempat tinggalnya.

 

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika test tersebut bertujuan untuk mengukur pemahaman rata-rata calon ASN, dan kemudian KPK berencana meningkatkan pemahaman pegawai KPK tentang wawasan kebangsaan mungkin hal itu dapat diterima.

Persoalannya, tes tersebut jadi alat untuk menilai seseorang itu berwawasan kebangsaan atau tidak. Para pakar tes tentu memahami, siapa yang menentukan bahwa butir tes tersebut bisa jadi indikator bahwa seorang itu berwawasan kebangsaan?


 Pengukuran Mental

Pengukuran mental, sebenarnya tak pernah menjadi alat untuk menghakimi, tetapi jadi alat untuk merencanakan pembinaan. 

Jadi, sangat beralasan jika tes itu dicurigai untuk mendepak pegawai KPK yang tidak disukai, apalagi yang melakukannya adalah pimpinan KPK. Mestinya itu dilakukan oleh badan independen. Dan sekali lagi itu juga bukan alat menghakimi.

 Jawaban Tunggal

 Mengamati butir pertanyaan yang diberikan dalam tes TWK kita tentu terperangah, kenapa test itu memiliki jawaban tunggal, dan orang yang tidak mengisi sesuai jawaban pembuat tes dianggap tidak berwawasan kebangsaan.

 

Pembuat tes juga perlu menyadari bahwa tes model skala Likert itu untuk mengukur sikap, dan tidak boleh tes yang diberikan itu ketika diisi peserta menimbulkan rasa bersalah. Kalau sampai terjadi maka hasil tes tentu tidak valid.

 

Apabila kita perhatikan butir pertanyaan TWK, maka sebenarnya tidak boleh ada jawaban tunggal dari pertanyaan tersebut. Jika ada yang menentukan jawaban tunggal kita akan bertanya, siapa yang memberikan jawaban tunggal?

 

 Kecurigaan bahwa Tes Wawasan Kebangsaan merupakan warisan Orde Baru wajar saja, karena tes itu sebenarnya mirip dengan kerja Orde Baru, dimana pemerintah memiliki hak sebagai penafsir tunggal dari Pancasila.

 

Menurut saya tes ini perlu dikaji ulang, karena bagi pakar-pakar tes dengan memerhatikan butir-butir tes TWK, jelas tes itu perlu dipertanyakan.

 

Apalagi melansir berita media, bahwa keinginan tes lebih banyak dari kehendak Pimpinan KPK melalui peraturan komisi sehingga dapat dipahami siapa yang menjadi penafsir tunggal dari tes yang dianggap dapat mengukur wawasan kebangsaan seseorang.  

 

Berikut daftar pertanyaan tersebut.

1. Saya memiliki masa depan yang suram.

2. Saya hidup untuk menebus dosa-dosa masa lalu.
3. Semua orang China sama saja.

4.Semua orang Jepang kejam.

5. UU ITE mengancam kebebasan berpendapat.

6. Agama adalah hasil pemikiran manusia.

7.  Alam semesta adalah ciptaan Tuhan.

8.Nurdin M Top, Imam Samudra, Amrozi melakukan jihad.

9. Budaya barat merusak moral orang Indonesia.

10.Kulit berwarna tidak pantas menjadi atasan kulit putih.

11.Saya mempercayai hal ghaib dan mengamalkan ajarannya tanpa bertanya-tanya lagi.

12. Saya akan pindah negara jika kondisi negara kritis.

13. Penista agama harus dihukum mati.

14. Saya ingin pindah negara untuk kesejahteraan.

15. Jika boleh memilih, saya ingin lahir di negara lain.

16. Saya bangga menjadi warga negara Indonesia.

17. Demokrasi dan agama harus dipisahkan.

18. Hak kaum homoseks harus tetap dipenuhi.

19. Kaum homoseks harus diberikan hukuman badan.

20. Perlakuan kepada narapidana kurang keras. Harus ditambahkan hukuman badan.

 

Soal esai 1. OPM 2. DI/TII 3. PKI 4. HTI 5. FPI. 6. Rizieq Shihab 7. Narkoba 8. Kebijakan pemerintah 9. LGBT 

Tepat apa yang dikatakan Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang  "Kalau tidak lulus tes COVID itu dibuktikan dengan bukti lab dengan metode tes yang diterima secara ilmiah, hasilnya disampaikan ke pasien. Tidak lulus tes masuk ASN juga analoginya sama harus ada tabulasi tiap orang mengapa seseorang tidak lulus di lembaga yang dia sudah bekerja tahunan yang KPI (Key Performance Indicator)-nya sudah terbukti," ucap Saut.

 

Lebih lanjut, Saud menjelaskan seharusnya tujuan dari proses alih status tersebut adalah memilih pegawai yang mampu membangun kinerja, dedikasi, kompetensi, dan integritas dalam pemberantasan korupsi. Pegawai yang telah bekerja dalam upaya pemberantasan korupsi tidak perlu diragukan lagi integritasnya. 

 

Artinya pegawai KPK hanya bisa dikatakan tidak berwawasan kebangsaan, jika memang terdapat kasus-kasus pelanggaran hukum, pelanggaran kode etik, dan tindakan kriminal. Itulah yang bisa jadi alat ukur bahwa seseorang itu tidak berwawasan kebangsaan.

 

Sedangkan tes wawasan kebangsaan itu hanya berguna untuk merencanakan bagaimana meningkatkan wawasan kebangsaan pegawai KPK, dan bukan jadi alat menghakimi.



https://www.binsarhutabarat.com/2021/05/tes-wawasan-kebangsaan-perlu-di-kaji-ulang.html




Saturday, February 26, 2022

Toleransi di Kampung Sawah Jadi Teladan





Toleransi di Kampung Sawah Jadi Teladan 


GPPS Talitakum Kampung Sawah memiliki hubungan dengan lingkungan yang baik.


Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS)  Talitakum Bekasi sejak 1965 merupakan pos dari Gereja Pantekosta Cawang. Karena jemaat yang berdomisili di Bekasi banyak yang sudah berusia tua, mereka tidak kuat lagi pergi ke Cawang untuk ibadah. Akhirnya mereka pun minta ijin majelis gereja untuk melaksanakan ibadah di Bekasi. Pdt. Samuel Lemuhut sendiri baru masuk pada 1965.

Kemudian tahun 1976 dibangunlah gereja yang di depan itu. Itu dibangun atas swadaya jemaat dan juga bantuan dari gereja lain.  GKI ikut membantu, maka berdiri gereja seperti sekarang ini.

Selama itu tidak ada konflik dengan warga sekitar. Pada awal berdirinya gereja, pendetanya sangat dihormati masyarakat, karena dia juga seorang guru. Jadi tidak ada masalah dengan warga. Di tahun 1968 – 1969 misalnya, ketika Samuel Lemuhut baru tiba di kampong itu, suasana kerukunan antarmasyarakat sangat bagus.  Kalau hari Lebaran, warga datang mengantarkan makanan ke rumah Samuel Lemuhut. Sebaliknya kalau Natal, keluarga Samuel membagi-bagikan makanan ke warga.


Tetapi situasi yang sangat bagus itu mulai berhenti saat ada orang diundang  berkhotbah di masjid. Orang itu dalam khotbah mengatakan bahwa makanan dari orang Kristen itu haram. Maka sejak itu warga menolak makanan yang diberikan oleh orang-orang Kristen. Yang saling memberi makanan hanyalah warga berbeda agama yang masih punya hubungan keluarga.

“Ceramah dari pendatang itu membuat semua orang menjadi antipati terhadap masyarakat Kristen,” kata Samuel Lemuhut. Namun untunglah pemuka agama (haji) di sana masih banyak yang berpikiran moderat. Dengan mereka Samuel sering menjalin dialog. Dalam arisan pun Samuel kerap berbincang dengan ustadz-ustadz setempat. Dan tidak ada masalah. Yang dikhawatirkan Samuel justru ustadz-ustadz yang datang dari luar memberikan ceramah.

Gereja sering membagikan sembako bekerja sama dengan lembaga lain, seperti GKI. Tetapi waktu diadakan acara bagi sembako di gereja beberapa waktu lalu, warga yang datang hanya sekitar 60%. Kabarnya ada penduduk yang merasa “ngeri” kalau ke gereja mengambil sembako. Maka panitia berpikir agar suatu saat nanti menyelenggarakan acara bagi sembako jangan di gereja, tetapi di kelurahan atau RW. Sewaktu acara pengobatan gratis, banyak juga warga yang datang.

“Jadi dengan masyarakat sini cukup baik, kondusif. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kalau ada orang yang melambung kemari, ini yang kita khawatirkan,” kata Samuel Lemuhut. Dan Lurah dan RW pun selalu mengatakan siap menjaga bila ada orang dari luar yang mencoba mengganggu gereja. Tetapi lurah itu kebetulan masih ada hubungan saudara dengan Samuel Lemuhut.

Memang ada keinginan untuk mengurus surat ijin gereja. Namun karena situasi aman-aman saja, pihak gereja pun masih berpikir-pikir juga. “Sebab untuk mengurus surat ijin itu kan perlu uang. Duitnya dari mana? Jadi selama aman-aman, kita berdiam dulu. Tapi saya sudah mulai mengumpulkan KTP, KTP jemaat, kita mau cek berapa orang. Kalau nanti dari pemerintah bertanya sudah sampai mana kegiatannya, saya sudah memulai,” kata Pdt Samuel Lemuhut.


Menurut Samuel, pihaknya belum bergabung dengan FKUB, tetapi sudah bergabung dengan Badan Kerja Sama Antar Gereja se-kecamatan. Ada beberapa gereja yang bergabung di sana. Dan setiap bulan pengurus gereja-gereja itu berkumpul. Dengan pemerintah GPPS pun  dekat. Tahun kemarin (2010), GPPS mengadakan acara buka puasa bersama. Camat dan tokoh-tokoh masyarakat diundang. Direncanakan ini menjadi agenda setiap bulan puasa.

Selain hubungan dengan pemerintah dan masyarakat cukup bagus, soal persyaratan ijin lingkungan, pun kelihatannya tidak akan jadi masalah. Pasalnya di lingkungan itu ada banyak warga Kristen, seperti di Rt 1 dan Rt 3. Jadi untuk mendapatkan sekitar 60 – 90 tanda tangan tidak terlalu masalah. Jadi, Perber bukan merupakan halangan bagi GPPS. Sekalipun demikian, Pdt Samuel Lemuhut berpendapat kalau Perber itu harus direvisi. Perber seolah-olah membatasi orang. Sebab  UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang diberi kebebasan beribadah dan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing. sementara aturan-aturan dalam Perber banyak yang bertentantan dengan UUD 1945 yang merupakan peraturan pokok.  Samuel juga mempertanyakan kenapa pemerintah daerah ikut-ikutan mengurus agama, sebab itu kan urusan pemerintah pusat. “Menurut saya, kita kembali ke pokok UUD 1945. Kalau itu kan mudah, sudah tidak ada masalah,” katanya.



 Kerukunan pun  tidak perlu diatur-atur. Kerukunan itu kan sudah otomatis. Apalagi dalam ajaran agama Kristen dikatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Jadi kita tidak memandang apakah dia Islam apakah dia Kristen. Sesama manusia kita saling mengasihi.

Labih bagus kalau UU Kerukunan diganti menjadi UU Kebebasan Beragama. Masyarakat tahu kalau beribadah itu adalah hak. Agama itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain, karena ini urusan pribadi kita dengan Tuhan. Mendirikan rumah ibadah jangan lebih sulit daripada mendirikan rumah pribadi. Gereja adalah tempat membina jemaat, membina manusia, ikut membangun karakter bangsa.

Tapi di atas semua itu, gereja di mana pun harus membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar.  Kalau hubungan sudah baik dalam masyarakat, bila ada gangguan dari luar, semua masyarakat akan menghadapi bersama-sama.

Wajah Ganda Agama

 



Wajah Ganda Agama

   Wajah Ganda Agama yaitu wajah damai dan wajah garang perlu diwaspadai secara khusus yang muncul pada fanatisme agama.


Wajah Ganda Agama

Agama pada satu sisi dapat menjadi agen pembawa damai, namun pada sisi alin juga menampilkan wajah garang yang tampil dalam koflik agama. Umat beragma di Indonesia, termasuk umat Kristen perlu mewaspadai fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama yang kerap menampilkan kekerasan agama.

penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekitar 2,5 persen masyarakat Indonesia memiliki paham radikalisme. Radikalisme tidak identik dengan terorisme, namun, upaya preventif agar mereka yang memiliki paham radikal itu  tidak terkooptasi menjadi teroris harus dikerjakan secara bersama termasuk dalam hal ini umat Kristen.


Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. 

Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secaraglobal.  Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci dan agama itu sendiri.


Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu gemar memaksakan kehendaknya.


Kaum radikalisme agama memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. 


Kelompok Radikalisme agama ini kerap  mengumandangkan  penolakannya untuk memberikan proteksi terhadap  kebebasan beragama yang ditetapkan dalam konstitusi negeri ini.


 “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” 


Meningkatnya intoleransi agama tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus meningkat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu sebaliknya makin melemah. 


Dampak Fanatisme Agama 

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let live). Bahkan  pada beberapa tempat di negeri ini hubungan antarumatt beragama itu sedemikian buruk yakni sudah pada taraf menampilkan hegemoni agama yang menjurus pada kekerasan agama (live and let die). 


Pertumbuhan sebuah agama kerap diringi dengan pembelengguan kebebasan beragama pada agama-agama yang berbeda. Lahirnya perda-perda bernuansa agama, baik perda syariah maupun raperda Injil meneguhkan hubungan antar agama yang amat memperihatinkan itu.


Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai  bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Kondisi terancam itu membuat agama-agama kehilangan kesadaran interdepedensi satu dengan yang lainnya, yang ada hanyalah usaha bagaimana agama-agama itu mempertahankan eksisitensinya tanpa memedulikan akibatnya pada yang lain, atau dengan sengaja menekan pertumbuhan agama yang lain.


Radikalisme dan fanatisme keagamaan yang semakin subur di negeri ini ternyata berdampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang lama bersemayam di negeri ini. Deradikalisasi agama menjadi persoalan penting yang harus dikerjakan dengan serius jika memang kita ingin melihat agama-agama di negeri ini terus menebarkan wajah perdamaian.



Mewaspadai Wajah Ganda Agama

 Di satu sisi, secara unik dan inheren agama hadir dengan berbagai sifat eksklusif, partikularis, dan primordial. Namun di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, ia kaya dengan identitas yang berelemen inklusif, universalis, transendental. Kedua sisi ini datang silih berganti  secara simultan. Itu sebabnya mengapa agama berpotensi menampakkan wajah kekerasan dan wajah perdamaian.


Karena itu penggambaran agama yang melulu penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap.   Karena banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.


Untuk Indonesia, konflik agama terbilang relatif kecil pada era orde lama maupun orde baru. Pada era tersebut, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. 


Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama. 


Jadi konflik agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Bahkan, posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini awalnya telah mempopulerkan Indonesia  sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Perjalanan sejarah negeri ini menyaksikan bahwa agama bukan sumber masalah, dan kontribusi positif agama-agama sangat dibutuhkan. 



Betapapun universalnya suatu agama dan  betapapun kekalnya doktrin-doktrin agama itu, kepercayaan-kepercayaan ini tidak bisa menjadi prinsip ideologis formal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.  


Negara yang  membiarkan agama tertentu menjadi alat penentu untuk memperlakukan para warga negara secara berbeda, sama saja dengan  mengabaikan prinsip-prinsip inklusifitas dan non-diskriminasi yang terdapat di dalam Pancasila. 


Ketika politik mengizinkan dirinya dikooptasi oleh agama, seketika itu juga ia kehilangan fungsinya yang paling luhur, mengayomi dan memperlakukan warganya secara adil, tanpa diskriminasi.


Lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa agama meski dengan alasan demi merukunkan antarumat beragama justru telah membuat kehidupan antarumat beragama menjadi tidak rukun, dan penuh konflik, karena kehadiran undang-undang bernuansa agama tak terbantahkan sarat dengan politisasi agama. 


 Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme keagamaan adalah buah dari cara-cara beragama yang salah tersebut.


Konteks Kristen


Radikalisme agama ada pada semua agama, termasuk dalam kekristenan. Karena itu umat Kristen Indonesia harus mewaspadai hal itu. Khusunya Fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama.


Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga.Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan  membuat pemeluk agama melihat agama lain darikacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atautafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka.


Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. 

Fanatisme adalah sikap terlampau kuat atau berlebihan menyakini ajaran agama. Akibatnya, sering kali melahirkan tindakan yang anti keberagaman. Fanatisme cenderung melahirkan arogansi, menebar kebencian, anti perbedaan, dan dekat dengan kekerasan. “Fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Artinya, dimana fanatisme tumbuh dengan subur, di situ pastilah terjadi pemasungan kebebasan beragama.


Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarinstitute.id/2021/11/wajah-ganda-agama.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...