Pocast Rukun Beragama

Video

Monday, April 4, 2022

Kebebasan Berkeyakinan

 


Penghayat kepercayan dan agama-agama suku telah hadir dan berkembang di bumi Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Mereka terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena itu sudah sepatutnyalah mereka diberikan hak-hak sipil yang setara dengan penganut agama-agama lainnya dalam kebebsan berkeyakina.

Sebelum lahirnya UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, anggota penghayat kepercayaan dipaksa menyatakan diri menjadi bagian dari salah satu agamaresmiuntuk bisa mendapatkan KTP. Kehadiran UU No 23 /2006 ternyata juga tak otomatis menyelesaikan masalah. Pasal dari UU itu menyatakan, bagi penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan, keterangan pada kolom agama tidak diisi. Dalam undang-undang tersebut posisi penghayat kepercayaan tetap tidak setara dengan agama-agama mayoritas.

Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, khususnya yang dialami perempuan adat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan, maka pantaslah jika baru-batu ini Komnas Perempuan mendorong negara mengkaji UU No 23/2006 dan segala peraturan dibawahnya agar mengakui, menghormati, dan memilihara agama leluhur /kepercayaan, setara agama-agama mayoritas.

 

Agama dan kepercayaan

Dalam ayat 2, pasal 29 UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sayangnya, pasal 29 UUD yang memberikan jaminan kebebasan beragama ini tidak dijabarkan secara detail dalam undang-undang kebebasan beragama. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang kebebasan beragama yang merupakan penjabaran UUD pasal 29. Akibatnya, problematika kebebasan beragama  terus menjadi persoalan hingga saat ini.

Katakepercayaanyang dicantumkan dalam pasal 29 UUD itu ternyata memiliki multi-interpretasi, dan berdampak besar. Bagi aliran kepercayaan seperti  Sapto dharma, Sumarah, Subud, dan Pangestu  yang telah eksis sebelum kemerdekaan diproklamasikan menganggap dimasukkannya katakepercayaandalam pasal itu berarti negara mengakui aliran kepercayaan setara dengan agama resmi. Pasal tersebut memang seharusnya ditafsirkan sebagai pemberian posisi yang setara antara agama dan kepercayaan.

Namun, dengan kelahiran kementerian agama yang pada awalnya adalah kementerian agama Islam,  yang memiliki kegiatan sebagai pengawas kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/faham-faham, dimana kegiatan pengawasan ini memiliki tugas untuk melakukan bimbingan atau pembinaan terhadap aliran kepercayaan untuk memeluk agama resmi, katakepercayaanternyata tidak setara dengan agama-agama resmi. Pemilahan agama dan kepercayaan yang diskriminatif itu mendapat dukungan dari agama-agama resmi.

Pendirian kementerian agama yang hanya memfasilitasi kepentingan agama-agama resmi jelas menunjukkan intervensi negara kedalam ranah agama yang direpresentasikan oleh agama mayoritas. Peran pemerintah sebagai aktor yang mendiskriminasikan penghayat kepercayaan juga tampak jelas  dalam Pakem (Pengawas Aliran kepercayaan Masyarakat) pada kementerian kehakiman yang didirikan tahun 1954, dan bertugas memberi izin kegiatan aliran kepercayaan, termasuk kegiatan rutin organisasi. Padahal, kegiatan-kegiatan agama tidak memerlukan izin.


Pada tahun 1957 para pimpinan BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) pernah mengajukan surat pada Presiden Soekarno yang isinya memohon agar statusnya disetarakan dengan agama-agama resmi. Namun, yang kemudian dihadirkan adalah definisi agama yang makin mempertegas pemilahan  kepercayaan dan agama.

Definisi agama yang ditetapkan oleh Kementerian Agama didasarkan pada keyakinan  agama-agama tertentu.  Syarat-syarat untuk dapat disebut agama resmi adalah: Memiliki kitab suci, Memiliki nabi, Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa), Memiliki tata ibadah bagi pengikutnya. Menurut   Niels Murder (1978), target utama pendefinisan agama ini adalah untuk penghayat kepercayaan, khususnya Islam abangan agar dapat dipaksa untuk tunduk pada agama Islam.

Ketika definisi agama versi kementerian agama tersebut ditetapkan, maka terjadilah pemilahan mana yang disebut agama resmi, dan mana yang bukan agama atau aliran kepercaayaan. Penghayat kepercayaan berdasarkan definisi agama Kementerian agama diposisikan tidak setara dengan agama-agama resmi, itulah sebabnya hingga kini penghayat kepercayaan tidak dimasukkan dalam Kemeterian Agama. 

Penetapan definisi agama yang dikriminatif tersebut bukan hanya menempatkan aliran kepercayaan bukan sebagai agama, tetapi juga agama-agama suku, yang kemudian dihimbau untuk memilih salah satu agama yang diakui di Indonesia. Agama-agama suku ini  kemudian dijadikan ladang misi agama-agama resmi.

Akibat pendefinisian agama Kementerian Agama ini Kong Hu Cu yang pada era orde lama masuk sebagai agama resmi negara, kemudian tidak lagi diakui pada era orde baru. Karena jasa Abdurrahman Wahid, di era Reformasi, Kong Hu Cu kemudian kembali diakui sebagai agama resmi negara.

                                                                                
Kolonialisasi Penghayat Kepercayaan

Apabila penganut agama suku dan kepercayaan berkeras memegang teguh keyakinannya, dan tidak bersedia untuk memilih salah satu agama resmi, maka mereka tidak akan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk, dengan demikian mereka akan kehilangan hak-hak sipil, yakni tidak mendapatkan subsidi pemerintah, dan mengalami kesulitan dalam melaksanakan ritual mereka, juga dalam hal penyelenggaraan perkawinan.

Kehadiran UU No. 23/2006 memang mengijinkan penganut kepercayaan mengosongkan kolom agama, namun penganut kepercayaan tidak diijinkan untuk mengisi kolom agama itu dengan kepercayaan yang dianutnya, itu berartiKepercayaantetap belum disetarakan dengan agama.

Kolonialisasi agama yang bersumber pada pendefinisan agama yang diskriminatif ini jelas harus segera diakhiri. Penghayat kepercayaan dan penganut agama-agama suku harus diposisikan setara dengan penganut agama resmi. Jalan terbaik adalah dengan mengosongkan kolom agama pada KTP. Dengan penghapusan kolom agama pada KTP, diharapkan tidak ada lagi pemilahan antara agama dan Kepercayaan, dan Kepercayaan disetarakan dengan agama, sebagaimana tuntutan penghata kepercayaan. Penyetaraan agama dan kepercayaan sekaligus merupakan pengakuan terhadap kebebasan hati nurani yang dilindungi oleh konstitusi negeri ini.

Marthin Luther dengan tegas mengatakan,di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Kebebasan memilih agama dan kepercayaan adalah hak dari Tuhan, karena suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia. Kebebasan hati nurani menjadi hak asasi yang paling mendasar. Dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara. Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM).

Kebebasan hati nurani merupakan kunci kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Tanpa kebebasan hati nurani tidak mungkin tercipta ruang publik yang sehat yang mensyaratkan kerelaan setiap anggota masyarakat untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya. Dan itu bisa diwujudkan di negeri ini jika Kepercayaan diposisikan setara dengan agama-agama resmi.

Membiarkan penganut agama suku dan aliran kepercayaan menjadi warga kelas dua di negeri ini sama saja dengan menghianati perjuangan kemerdekaan indonesia yang dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia, termasuk didalamnya mereka yang menganut agama suku dan aliran kepercayaan. Karena itu, kolonialisasi terhadap agama suku dan aliran kepercayaan harus segera diakhiri.


 

Binsar Antoni Hutabarat

 https://www.binsarhutabarat.com/2022/04/kebebasan-berkeyakinan.html

 

 

 

 

 

 

Thursday, March 31, 2022

Sekilas Lahirnya NKRI




  Sekilas Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hari lahirnya NKRI jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hari dimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.

 Kemerdekaan yang di raih oleh bangsa Indonesia itu bukanlah hadiah dari bangsa Jepang, terlebih lagi Belanda yang tidak pernah ingin melepaskan cengkeramannya atas Indonesia. 

Jika mungkin, Belanda ingin terus menguasai Indonesia sebagai negara jajahan. Pasalnya, bagi Belanda, Indonesia mempunyai arti yang sangat penting. 

Setidaknya, selama berabad-abad Indonesia telah menjadi sumber penghasilan yang amat besar untuk Belanda. Terbukti, setelah kemenangan tentara sekutu atas Jepang, Belanda kembali ingin menancapkan taringnya di Indonesia. 

Pada akhirnya  Belanda mengakui kedaulatan NKRI, namun itu dilakukan setelah melewati peperangan-peperangan yang amat melelahkan dengan mengorbankan nyawa, harta yang tidak sedikit.  

Tekad dan perjuangan rakyat Indonesia lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pernyataan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.   

Perjuangan kemerdekaan Indonesia diraih dengan susah payah dan dibayar dengan harga yang mahal, yaitu darah para pejuang di seluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu, tidak boleh ada individu atau kelompok yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tersebut semata-mata karena peran individu atau kelompok tertentu.

Lahirnya NKRI dapat pula disebut sebagai lahirnya Nusantara ketiga.  Hal ini didasari dengan pandangan bahwa NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah “negara ketiga” yang ada di bumi Nusantara. 

Ada pun negara pertama yang pernah berjaya di Nusantara adalah Sriwijaya yang bertahan lebih kurang selama empat abad. Negara kedua adalah Majapahit yang berjaya selama hampir tiga abad. Dapat pula dikatakan bahwa wilayah Majapahit lebih-kurang sama dengan NKRI saat ini. 

Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut, tidak salah jika dikatakan bahwa NKRI adalah Nusantara ketiga yang bersatu. Oleh sebab itu pula, maka seharusnya warga etnis Tionghoa dimasukkan sebagai salah satu suku di Indonesia, karena kehadirannya telah ada sejak tahun 1415. 

Pada waktu itu di Gunung Jati Cirebon telah ada pemukiman Tionghoa. Sehingga, warga etnis Tionghoa ini harus diperlakukan sama sebagaimana suku-suku pribumi lain di Indonesia, apalagi mereka juga ikut serta dalam perjuangan merebut kemerdekaan. 

 Bedanya, jika negara Nusantara pertama dan kedua disatukan dengan kekuatan senjata, maka negara Nusantara ketiga ini bersatu berdasarkan konsensus bersama. 

Dengan kata lain, persatuan tersebut tercipta tidak dengan kekuatan senjata, walaupun harus menghadapi perlawanan bersenjata dari pihak penjajah. 

Meski demikian, NKRI ini bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Sriwijaya atau pun Majapahit. Pernyataan bahwa rakyat yang berdiam di wilayah Nusantara ketiga sebagai bangsa yang bersatu, telah dicetuskan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. 

Hal ini tertuang dalam pernyataan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. 

Pengakuan tersebut lahir dari kesadaran bahwa rakyat Indonesia sejak dahulu memang telah hidup dalam kesatuan, baik pada jaman Sriwijaya maupun Majapahit.  

Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat yang tinggal di bumi Nusantara sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. 

Rasa senasib dan sependeritaan tersebutlah yang mendorong rakyat Nusantara membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. 

Para pemimpin yang mewakili mereka pada waktu itu kemudian disebut sebagai “The founding fathers” Indonesia. Hanya dengan bersatu padu maka Indonesia dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. 

Persatuan Indonesia  tersebut merupakan reaksi terhadap kolononialisme Barat yang melahirkan nasionalisme. Perjuangan rakyat Indonesia pada mulanya dilakukan secara tradisonal, secara kedaerahan. Sehingga selalu mengalami kegagalan. 

Dalam proses modernisasi Indonesia belajar dari Barat, sehingga nasionalisme yang terbentuk di Indonesia adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar dari Barat, dan secara bersamaan merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat.  

Kemudian rasa satu bangsa itu terus bertumbuh dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga dapat dimengerti mengapa bangsa Indonesia yang sangat beragam tersebut akhirnya dapat menjadi bangsa yang bersatu. Dan tentunya untuk memelihara persatuan tersebut merupakan suatu usaha yang seharusnya di usahakan terus menerus. 

Mengenai tumbuhnya perasaan sebagai bangsa yang bersatu tersebut, T.B. Simatupang menjelaskan seperti berikut:

Negeri saya telah melalui perang kemerdekaan belum terlampau lama berselang. Dalam kehidupan bangsa-bangsa, perang semacam itu – bila berbentuk perang gerilya – merupakan pengalaman yang amat menentukan. Ia mendobrak banyak hal yang lama dan sekaligus memantapkan tali-temali baru, solidaritas-solidaritas baru. Ia membuka cakrawala-cakrawala baru, harapan-harapan baru. Negeri saya benar-benar lahir ditengah-tengah perang kemerdekaan tersebut. Sekiranya peperangan itu tidak ada, sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan seperti misalnya terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini. 


Nasionalisme Indonesia yang bertumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme Barat terus bertumbuh dalam perjuangan revolusi, itulah yang menyebabkan Indonesia tidak terpecah-pecah seperti negara-negara lain yang beragam, seperti perpecahan yang terjadi di India. 

Jadi tidaklah mengherankan jika rakyat Indonesia tidak menyadari keberadaan dirinya yang sangat beragam tersebut, maka disintegrasi bangsa merupakan ancaman yang sangat serius, karena banyak daerah di Indonesia berusaha untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. 

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa sejak permulaan revolusi hingga Indonesia mencapai kedaulatan penuh, setiap warga negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama telah menjalankan kewajibannya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. 

Pengakuan bahwa bangsa Indonesia telah ada sejak lama tercermin dengan diakuinya pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan dari berbagai pelosok tanah air. Mereka itu antara lain Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Pattimura dari Maluku, Raja Singamangaraja XII dari Tanah Batak, Teuku Umar dari Aceh, dan lain-lain. 

Pahlawan-pahlawan tersebut telah berjuang memimpin rakyat Indonesia di daerahnya masing-masing untuk mengusir penjajah sebelum proklamasi kemerdekaan dinyatakan. 

Pengakuan bahwa masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politik telah ada sejak lama, kemudian diwujudkan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. 

Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, juga merupakan pencerminan bahwa rakyat Indonesia tetap sebagai satu kesatuan meskipun terdiri dari berbagai suku bangsa (bhinneka tunggal ika). 

https://www.binsarhutabarat.com/2022/03/sekilas-lahirnya-nkri.html


Monday, March 28, 2022

Masyarakat adil dan makmur

 



Masyarakat adil dan makmur


Konstitusi negeri ini menetapkan, demi keadilan sosial, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara, dan tanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur ada pada negara. 

Karena itu, kuasa negara atas bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya harus diusahakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. 


Konstitusi juga menetapkan, pemerintah harus mewujudkan cita-cita kemerdekaan mensejahterakan rakyat Indonesia, dan membawa rakyat Indonesia pada kehidupan yang adil dan makmur. Maka,  pemerintah bisa dituduh bertindak tidak adil jika membiarkan rakyat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan. 


Masyarakat adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam UUD 45 merupakan cita-cita yang dilontarkan para pendiri Indonesia yang ingin menghapuskan kesusahan dan kesengsaraan masyarakat Indonesia sebagai bangsa terjajah. Memang tak mudah untuk melukiskan, seperti apakah masyarakat yang adil dan makmur itu. Tapi,  itu adalah sebuah keinginan luhur yang patut dihargai. 


Kita tentu setuju dengan apa yang dikatakan Babari, Masyarakat adil dan makmur dapat dibandingkan  dengan masyarakat gemah ripah dalam cerita pewayangan. “Nagari kang luwih gedhe, obore padhang, jagadhe kondang kaonang-onang kajana priya. Nagara ingkang panjang-punjung, pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, kerta tentrem tur raharja. Dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan: Negara yang besar ternama, dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik di daratan maupun di lautan. Masyarakatnya sejahtera, tertib, dan damai. Rakyatnya mempunyai daya beli untuk memenuhi kebutuhannya. Pertanian, perindustrian, dan perdagangan maju.”(Ensiklopedi nasional Indonesia:2004


Keadilan sebagai sebuah “fairness,” meminjam istilah John Rawls, adalah sebuah gagasan kontrak. Selanjutnya ia menjelaskan, yang disebut adil adalah: 1. Setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan mendasar dengan sistem kebebasan yang serupa. 2. Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti ditata sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) memberi manfaat terbesar bagi yang paling kurang diuntungkan (b) dikaitkan dengan posisi yang terbuka untuk semua orang di dalam.


https://www.binsarhutabarat.com/2022/03/masyarakat-adil-dan-makmur.html

Kebakaran Hutan California

  https://youtube.com/shorts/qxdaZxgWd6Y?si=czD2F2ba5owlKDBn Awalnya saya tak bisa memahami bagaimana kebakaran Hutan kemud...